Thursday, December 29, 2011

...merayakan kepedulian dari tengah lintasan


“Iii, mbak, beneran deh, setelah nonton Para Games tadi, aku jadi tahu, kalau mereka hebat. Lebih hebat dari kita yang punya bagian tubuh lengkap malah…”

Itu adalah komentar Kiky, adik kost saya, sepulang melihat nomor renang Asian Para Games (APG) di kolam renang Tirtomoyo. Sayangnya waktu itu saya nggak ikut melihat dan mendukung atlet Indonesia karena sedikit tak enak badan. Bahkan tidak sempat melihat dan mendukung secara langsung hingga penutupan dan Indonesia berhasil mendapat peringkat kedua.

Saya, tadinya sedikit merasa aneh karena beberapa teman terlihat lebih heboh tentang kembang api pembukaan APG daripada APG-nya sendiri. Apa sih? Ini APG kan buat menunjukan semangat para atlet, bukan sekedar kehebohan kembang api, lah kok malah jadi merayakan ketidakpedulian, pikir saya. Tapi, setelah mendengar cerita Kiky, saya jadi sadar, keacuhan saya rasanya keliru. Ini bukan merayakan ketidakpedulian, ternyata ini bisa untuk merayakan tumbuhnya kepedulian.

Saya sedikit takut membahas tentang difabel. Alasannya, jangan-jangan ini akan mengeksploitasi “kekurangan” mereka. Itu yang ada di pikiran saya ketika beberapa bulan lalu teman-teman ukm saya sepakat membahas tentang relasi dalam keluarga difabel untuk bahasan utama majalah. Dengan diskusi panjang dan hasil riset, nyatanya, sampai tulisan jadi dan saya baca untuk didiskusikan lagi, teman-teman saya yang tergabung di tim peliputan mampu menunjukan bahwa: tidak ada yang berbeda dari mereka, justru mereka memiliki semangat juang lebih tinggi. Dan karena anggapan “kurang” yang berkembang diantara kitalah (orang yang merasa diri kita normal karena bagian tubuh dan fungsi indra kita lengkap), yang menjadikan kedirian meraka kurang di mata kita. Padahal bagi mereka, mereka itu ya seperti adanya mereka. Mereka bisa. Lalu saya menanamkan ke diri saya sendiri, “Jangan pernah merasa kamu lebih baik”.

Bukankah itu bagus? Setidaknya, akan ada efek positif sama bagi pembaca majalah mahasiswa itu nantinya. Dan itu juga yang ada di pikiran saya ketika tahu bahwa Solo akan menjadi tuan rumah APG. Walaupun saya rada nggak paham juga, kenapa Solo, dan kenapa Indonesia yang menjadi tuan rumah? Karena, setuju tidak setuju, rasa-rasanya kok belum pantas saja. Saya menggambarkan diri saya dan yang saya lihat saja yah, banyak hal yang menunjukan bahwa kita tidak cukup peduli dengan masalah difabel. Tidak hanya masalah akses pelayanan umum macam kendaraan umum hingga masalah pendidikan, bahkan di dalam diri saya sendiri sebagai pribadi, jarang ambil pusing dengan masalah ini.

Barangkali, penyebabnya banyak, karena saya atau banyak diantara kita, tidak secara langsung berhubungan atau pernah berhubungan dengan mereka. Nah, kedekatan emosional macam ini kayaknya juga akhirnya berpengaruh ke sikap kita. Belum lagi berita beberapa hari sebelum APG, jelas-jelas menunjukan pemerintah kita masih sangat jauh dari peduli ke atlet-atlet APG dari Indonesia. Ini semakin membuat saya bertanya, kenapa Indonesia yang jadi tuan rumah? Ibarat kata, ngurus anak sendiri aja belum bisa, masa harus menjadi contoh untuk orang tua lain?

Tapi nyatanya, saya benar-benar menyesal, tidak sempat melihat secara langsung kehebatan para atlet di tengah lapangan. Kiky, siang itu bercerita banyak tentang kehebatan para atlet dari tengah lintasa renang dan angkat besi. Lalu kami berdua tiba-tiba menjadi sedikit malu, karena cuma bisa menonton. Aih, itu si adik kost saya, dia mau menyempatkan diri untuk mendukung secara langsung. Sementara saya lebih memilih menceracau tidak jelas sambil baca koran karena kesal kementrian olahraga tidak memberikan kursi roda layak untuk nomor atletik.

Cerita adik kost saya sore itu cukup membuat saya sadar, bahwa, ternyata, pikiran buruk dan skeptis terhadap hal-hal yang sebelumnya saya anggap sebagai “mengeksploitasi” itu cuma ada di pikiran saya. Nyatanya, dengan terlibat langsung tanpa pretensi apapun, hanya berbekal semangat mendukung, bisa membuka pikiran Kiky tentang apa yang akan dia lakukan setelah ini, yaitu, menghilangkan anggapan “kurang” dari penyandang difabel. Dan dia bahkan bisa menularkannya kepada saya, yang sama sekali tidak sempat melihat. Hebat bukan?

Adakah cuma saya yang tersadar? Atau ribuan orang lain juga merasakan kesadaran tersebut? Mereka yang sempat ataupun tidak sempat melihat dan menyemangati secara langsung. Atau mereka yang justru terlibat secara langsung dalam APG?

Berbagai plakat sudah mulai dicopot. Tapi, semoga semangat kepedulian seperti Kiky, adik kost saya, masih tertanam di benak setiap orang, khususnya warga Solo. Tidak hanya ikut meletup beberapa waktu untuk kemudian hilang. Seperti letupan kembang api di pestanya. Atau bahkan copot sama sekali, seperti plakat di jalanan Solo.

No comments:

Post a Comment