Thursday, July 3, 2014

...lipat suara

Pemilu presiden kali ini, saya terancam golput. 

Pertama, sampai detik ini, saya belum mengurus segala surat menyurat dan atau printilan-printilan yang harus disiapkan agar saya mendapatkan hak pilih saya. Kedua, dan ini yang lebih krusial, sepertinya saya akan malas bangun pagi demi ke TPS. Ini kejadian di pemilu legislatif kemarin. Malamnya, saya semangat sekali akan mengurus hak pilih di TPS terdekat, tapi paginya, saya malas bangun. Saya lebih memilih tidur, daripada memperjuangkan nasib bangsa lima tahun ke depan. Yasudahlah, toh saya tidak kenal para calon legislatif yang katanya terhormat itu. Yasudahlah, toh ini bukan dapil saya. Yasudahlah, apa ya suara saya cukup signifikan demi memenangkan satu caleg yang katanya bagus.

Jikalah saya di rumah, besar kemungkinan saya akan menggunakan hak pilih saya. Saya akan memilih beberapa nama caleg yang saya kenal. Mereka yang tetangga saya, atau mereka kawan ayah saya, atau setidaknya orang yang posternya terpajang di depan rumah saya. Tapi bagaimana dengan pemilihan presiden? Emang saya kenal Prabowo? Emang saya kenal Jokowi? Rasa-rasanya saya akan lebih memilih tidur gulung-gulung memeluk guling, berselimut hangat, dan dengerin Bon Iver dengan sedikit ngiler.

Emang kalau Prabowo menang, Coldplay bakal datang ke sini? Kalau Jokowi menang, emang iya bener harga mrica naik lagi?

Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Tapi besar kemungkinan tidaknya si, kayaknya.

Sungguh oportunis dan naif? Tentu saja. Emang para capres itu nggak oportunis dan naif apah?

Beruntung dua bulan terakhir saya berada entah di mana, yang memungkinkan saya tidak tahu, tidak tahu sama sekali, terkait rame-rame presiden-presidenan ini. Sampai satu hari saya mendengar suara orang yang saya kenal mengisi iklan salah satu kandidat peserta pemilu nanti. Juga ketika akhirnya bisa membuka media sosial. Rasanya seperti ada dunia baru yang tidak saya kenal. Dunia yang begitu gegap dengan riuh rendah sorak sorai semua orang, yang tak ada saya di dalamnya. Cuma terlintas, "Oh, kita sudah punya dua pasang calon presiden dan wakilnya." Dan sudah, cuma begitu.

Akhirnya saya teringat satu hal ini, tentang anggapan bahwa ada orang-orang di bagian dunia ini, orang-orang di Indonesia ini, yang tak paham apa pun tentang politik dan lalu suaranya begitu mudah diarahkan. Atau tentang hal lainnya lagi, yaitu prihal keacuhan banyak orang terkit pemilu ini, terlebih bagi masyarakat kebanyakan yang memang tak terlalu paham politik. Atau tepatnya, tak terlalu peduli dengan gegap gempita di ibukota sana. Seperti saya misalnya. 

Ketika saya tinggal di satu keadaan di mana akses saya terbatas terhadap banyak hal terkait gembar-gembor presiden bla, bli, blu, ble, blo... Saya hanya peduli dengan apa yang ada di hadapan saya. Meski saya tinggal di Bogor, Jakarta terlalu jauh bagi saya. Begitupun istana presiden yang sama-sama berada di Bogor. Jalan ke puncak tetap macet parah tuh. Apa yang ada di kepala saya adalah, menyelesaikan tugas yang harus saya selesaikan sebisa saya, sebaik mungkin. Jadi bayangkan, semua hal itu bagi saya yang sekarang sedang berada di bagian kecil Sumatera. Atau nanti ketika saya tinggal di satu talang kecil dengan kurang dari seratus kepala keluarga yang selalu bersiap selepas subuh yang gelap menuju kebun karet. Ide tentang swa-sembada pangan atau ketahanan nasional menjadi terlalu jauh, sangat jauh. Apalagi si janji-janji kampanyenya?

Hal-hal kecil prihal tersedianya listrik dan atau jalanan yang mudah dilalui terasa menjadi lebih nyata dirasakan dibandingkan dengan koar-koar atau kalimat-kalimat normatif tentang kesejahteraan bagi setiap warga Indonesia dalam satu debat kandidat. Setiap calon presiden, tak usahlah calon presiden, gubernur, bupati, atau caleg sekalipun selalu berujar tentang kesejahteraan. Kesejahteraan yang mana? Jakarta sepertinya memang benar-benar jauh.

Rasa-rasanya, benar jika, seperti akan lebih baik untuk tidak memilih saja. Lagipula, paling juga saya malas bangun pagi.

Pada satu titik saya sadar benar, bahwa dia, siapa pun yang kelak menjadi presiden, ialah dia, yang, secara tidak langsung, akan banyak mempengaruhi hidup saya lima tahun mendatang. Barangkali dia akan membuat kebijakan pencabutan subsidi bbm yang lalu rentetannya banyak berpengaruh terhadap kondisi ekonomi Indonesia, makro dan mikro. Ongkos ke kota bisa jadi akan semakin mahal, sementara jalanan masih akan rusak, karena dana perbaikan kian besar. Dan jika saya pernah punya keinginan bekerja di satu multinational agency, barangkali ketika itu mereka sudah tidak perlu banyak pekerja, karena client-nya banyak yang cao dari sini, susah laku, daya beli menurun. Mungkin itu efek-efek yang akan saya dapatkan.

Dan dia ini, kalau misal bekerja dengan benar. Jika benar biaya pendidikan sekolah digratiskan, dan guru-guru akan lebih dimaksimalkan kualitasnya melalui sistem pendidikan yang sedemikian rupa, bersykurlah saya yang kelak tak perlu pusing mikirin biaya masuk TK atau SD anak saya. Anak saya kelak tak perlulah harus sekolah di sekolah super-mahal yang katanya mengedepankan kualitas itu. Dia cukup sekolah di sekolah negeri dan bisa berkawan dengan siapa saja.

Kayaknya bayangan saya kejauhan yah? Ya, memang sejauh itulah timbal-balik hubungan saya dengan seorang presiden. Saya orangnya memang tidak terlalu visioner si yah. Ini sebenarnya agak aneh juga nulis ginian.

Dan untuk itu semua, apakah saya harus bangun pagi lalu memperjuangkan hak pilih saya?

Awalnya saya ingin. Sudah bertekad, iya saya akan memperjuangkannya. Tapi lalu saya malas lagi. Kemalasan itu bermula dari obrolan singkat dengan beberapa kawan di Jakarta tempo hari. Saya yang tidak mengikuti berita terkait pemilu ini bertanya, "Pemilu gimana?" Jawaban mereka semua senada, kampanyenya parah, negatif dan cendrung SARA. Walaupun ada juga yang bilang, seru, karena entah mengapa, ketika orang per orang berani bilang mendukung siapa dan mengemukakan alasannya, rasanya seperti sedang benar-benar pesta demokrasi. Tapi lalu peperangannya menjadi kian riuh. Bahkan satu kawan bilang, beruntung saya jauh dari itu semua, karena efek setelah pemilu nanti bisa jadi lebih kacau dari ini. Siapa pun yang nanti terpilih. Dan lalu dia berdoa, semoga tak ada pemilu putaran kedua, toh ini sudah jelas siapa lawan siapa. Yang saya amini dalam hati. Dan yang membuat saya malas memilih, rasa-rasanya saya seperti ingin bilang: yailah pak, pak, baik-baiklah kalau mau dapat suara kami. Gimana nanti kalau situ mimpin kami? Kurang-kurangin, pak...

Hhhha. Konyol yah saya. Ini random banget. Ketika yang lain udah ramai lebih baik milih siapa, saya masih bingung, antara mau milih atau tidak. Beruntung saya sedang entah di mana. Dan belum tahu nanti milih apa enggak. Barangkali memang suara saya benar tak sesignifikan itu. Atau mungkin sebaliknya. Kita lihat nanti. Saya sering berubah pikiran. 

Tapi yang pasti, menjadi bagian lingkup terkecil negeri ini, membuat saya berfikir lebih banyak tentang peran dan keterlibatan kita sebagai seorang warga negara. Karena bisa jadi, tiba-tiba presiden menjadi tidak terlalu penting lagi. Dia terlalu jauh dan tinggi.

Wednesday, July 2, 2014

...grey

How to made it? Again?

Once you told me...

It was a black dark night
With all those sad stories
About a boy who lose his father; his father killed in a war: a war for nothing. 
About a girl and her broken heart; how she loved a man: a man with a wife.

And it was a light, shining and blue sky in a morning
With all these happy stories you've ever told me
About a butterfly and a yellow sunflower
About a green land with million bugs and falling leaves

Its you, on your world
A grey world

A grey world i couldn't make
A grey world you made to hide





.