Sunday, July 21, 2013

...role models






Nyatanya, saya besar di masa ketika melihat jauh entah ke mana justru membuat saya kembali ke dalam diri saya. Meski saya tidak tahu siapa yang ada di sana. Halah, drama.
Maksudnya, kenapa saya tidak pernah nge-fans sama istri ustaz saya sejak kecil lalu menjadi ingin seperti dia. Tapi saya malah ngefans sama Alexa Chung dan rasanya kayak ikut cemburu pas si Alex Turner punya pacar baru yang nggak lebih cantik dari Alexa. Oke, ini lebih drama.
Semua ini gara-gara majalah gadis mbak sepupu saya yang saya baca sejak SD. Gara-gara TV. Gara-gara iklan. Gara-gara lagu. Gara-gara film. Lagi, gara-gara majalah. Gara-gara saya nggak mau baca Ayat-Ayat Cinta. Saya lagi dapet, hari pertama, jadi nggak usah protes kalo saya drama banget.
Sebenarnya saya cuma posting beberapa nama yang, gara-gara mereka saya nggak kenal siapa saya. Yuk, mar, ciiiint…

Srintil – Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari

Saya membaca buku ini ketika saya masih SMP. Percaya atau tidak, saya melihat jiwa Srintil pada seorang kakak kelas yang dia juga penyanyi dangdut. Latar cerita Ahmad Tohari kental dengan budaya Banyumasan, budaya yang sama dengan tempat tinggal saya ketika besar. Saya suka nangis-nangis sendiri kalau baca buku-buku beliau. Karena saya melihat karakter-karakter itu ada di sekitar saya. Biduan remaja rebutan semua pria, petani-petani biasa tanpa banyak pilihan, penyadap nira yang bisa meninggal kapan saja, orang-orang desa yang mendapat pendidikan ala kota yang lalu berjarak dengan tanah kelahirannya (salah satunya saya), pejabat-pejabat desa yang juga korup, proyek-proyek tak kunjung usai yang hanya nampak untuk diresmikan pejabat kota, dan lainnya.
Dan tentang Srintil. Seharusnya setiap orang punya pilihan, menurut saya. Srintil menjadi gila, dalam arti yang sebenarnya, karena tak punya banyak pilihan. Saya tidak mau seperti dia.

Matilda – Matilda oleh Roald Dahl

Tidak semua orang tua itu sempurna. Tidak semua anak itu tidak tahu apa-apa. Saya belum namatin buku-buku yang dibaca Matilda. Tapi saya udah berkali-kali nonton Pride&Prejudice sih. Kisah Matilda itu ajaib banget bagi saya. Saya nggak ngebayangin kalau Matilda gede bakal jadi kayak apa…

Nyai Ontosoroh – Tetralogi Buru Pramoedya
Aktris Happy Salma memainkan monolog sebagai Nyai Ontosoroh

Apah kata si Nyai, Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Duhdeh, saya malah merasa Minke tidak akan sehabat itu, kalau nggak ada Nyai Ontosoroh. Setidaknya secara mental, menurut saya loh yah. Melihat perjalanan hidup si Nyai juga bikin saya: gila dia kuat banget. Karakternya sangat mengagumkan, saya bingung juga mendeskripsikannya gimana. Dan jika harus mencari sosoknya di dunia nyata, saya akan memilih ibu saya sendiri, sebagai seseorang yang “selalu melawan”, kuat, dan pembimbing yang baik.

Jenny Mellor – An Education; Diperankan oleh Carey Mulligan; Disutradara oleh Lone Scherfig; Memoir Lynn Barber

Jenny (atau masa muda dari Lynn), itu adalah separuh saya ketika usia saya 16 tahun. Ada semacam pengalaman emosional yang membuat saya merasa bahagia banget bisa melihat An Education, saya sampai pengen banget kirim surat ke Lynn Barber. "The life I want, there's no schortcut," katanya.


Peggy Olson – Mad Man; Diperankan oleh Elisabeth Moss; Ditulis oleh Matthew Weiner

Saya baru menonton Mad Man beberapa bulan lalu. Iya, Peggy adalah seorang copywriter. Yang tidak pernah punya niatan menjadi copywriter, sama, saya juga. Mulai bekerja di usia hampir sama. Meski mungkin tekanannya beda. Saya tahu banget rasanya harus menjadi satu-satunya perempuan di antara laki-laki dengan segala obrolan dan imaji dan dunianya. Dan ternyata saya nggak harus jadi seperti laki-laki kok. Saya semakin percaya pentingnya sudut pandang seorang perempuan dalam melihat perempuan lain, atau perempuan pada umumnya. Seandainya saya nanti mengerjakan kampanye tertentu, saya harus tahu bagaimana untuk memosisikan sosok perempuan. Ya, di mata saya Peggy ini agak-agak feminis, dibanding semua karakter lain di serial ini.

You dalam lagu “Yellow” Coldplay
“You know, I love you so”. Cukup menjelaskan kan yah.

She dalam lagu “Girl” The Beatles
She's the kind of girl you want so much; She will turn to me and start to cry; She's the kind of girl who puts you down. Semua perempuan ingin menjadi dia. Saya yakin. (kalo nggak salah memaknai ni lagu, saya sering salah memaknai lagu soalnya)

Gabrielle “Coco” Bonheur Chanel

Kenyataan bahwa Coco Chanel ternyata awalnya adalah bukan siapa-siapa, menjadi salah satu kenyataan paling indah yang saya tahu. Man, kerja keras itu nyata. Keberuntungan itu benar-benar ada. Bahkan bisa jadi legenda.

Kartini
Rukmini dan Kartini

Awalnya saya sinis sama Kartini. Tapi sejak menginjakkan kaki di Museum Kartini di Rembang, yang notabene adalah rumah tinggalnya setelah dipersunting Bupati Rembang, yang ada hanya satu: miris. Pertama, bahkan Kartini, dengan segala kelebihan dan keterberiannya, tidak punya pilihan lain selain bersedia menjadi istri utama yang kedua di antara beberapa selir. Berkamar besar disertai kamar mandi dengan bathtub di masanya. Sementara, tak lebih dari 100 meter, berjajar lima kamar selir, perempuan lain yang juga sama-sama tak punya pilihan, untuk saling berbagi satu lelaki. Ah, damn! Sore itu, setelah melihat-lihat, saya duduk lemas bingung sendiri di serambi barat museum. Kedua, Kartini kini dicintai dengan pesta diskon di pusat perbelanjaan, saya nggak ngerti kenapa, tapi kita juga tak punya banyak pilihan untuk melepaskan diri dari kegetiran ini. Ketiga, Kartini jarang sekali tersenyum dalam foto-fotonya. Ah, saya menyesal pernah nyinyir dan sinis padanya.

Alexa Chung

Saya melihat seorang perempuan cantik yang sadar dia cantik, tapi dia tidak mau didikte atas segala kecantikan yang dia punya. Kenyataan kalau Alexa menjadi salah satu muse Karl Lagerfeld bagi saya sudah cukup final untuk menunjukkan kalau dia bukan sekedar manekin hidup. Alexa menunjukkan dirinya dengan cara yang berbeda dengan Marilyn Monroe, Madonna, atau Kate Moss. Berani, tapi tidak bitchy. Pokoknya yah, semoga Alexa Chung balikan sama Alex Turner lagi ya Allah… amin.

Huma Abedin
Keturunan muslim, di samping Hillary Clinton. Ciyus? Ulasan panjang di New York Times, tentang bagaimana Huma bersikap atas segala kekampretan Anthony Weiner, suaminya, membuat saya tidak siap jadi istri pejabat. Tapi Huma bergeming. Pers menyebutnya Hillary kedua, pasca terbongkarnya kisah Bill dan Monica Lewinski. Bisa jadi, karena bahkan bagi Hill, Huma sudah seperti putrinya sendiri. Saya nggak tahu apa Weiner menang menjadi mayor di New York (walikota apa gubernur, bdw? Kan di sana state gitu kan? Saya agak-agak nggak mudeng juga), terakhir saya baca, kalau Weiner menang, tidak lain tidak bukan adalah karena Huma. Saya kira, Huma adalah salah satu perempuan yang punya sikap. Sebelas-duabelas sama Sefti Sanustika lah, yah… duerrrr, tidaak!!



Sementara ini yang saya bisa ingat dalam waktu cepat. Saya pengen nulis Dian Sastro, tapi saya nggak ngerti lagi harus nulis dia gimana, apa karena film-film dan iklan-iklan dia itu agak-agak girl power dan mother-power a la Indonesia gitu? Atau apa? Saya nggak ngerti, jadi saya putuskan untuk tidak menuliskannya secara spesial. Begitupun karakter Summer, dalam “500 Days of Summer”, saya kira itu terlalu sempit membahas tentang nyakitin cowok, dan kerasa pernah bikin sakit cowok itu menyakitkan, bikin merasa jadi orang penting padahal nggak, bikin merasa jadi sesuatu padahal juga nggak, bikin merasa bersalah dan tak tahu harus berbuat apa, ini iya. Summer ini jahat, tapi perempuan juga sekali-kali harus jahat. Karena laki-laki kadang juga jahat. Huh!
Ah, yang pasti nih yah: saya pasti tidak akan mungkin dilirik mas-mas alim karena tidak menuliskan Siti Khadijah nih. Tapi begitulah adanya.

Saturday, July 20, 2013

...menolak dewasa?

“We now have a culture in which people are frightened of what the future might hold and are terrified of taking risks
Do we?


Saya mendapatkan tautan menarik hingga ke tulisan ini. Tulisan yang seketika mengingatkan saya, pada obrolan dua hari lalu dengan Sinta. Di dalam taksi, dari buka puasa bersama yang kemalaman, dan bicara banyak hal seperti orang mabuk, padahal tidak, tiba-tiba Sinta bilang: “Aku merasa tua…”
Yang saya jawab dengan: “Ooh, fuck!”
Marianne Power, si penulis catatan tentang generasi yang menolak menjadi dewasa, dia 34 dan tinggal di London. Sinta, kawan saya, dia baru ulangtahun April lalu, meski saya agak lupa, dia baru 24 atau 25, dan dia merasa tua. Waktu itu saya tidak bisa memberi jawaban apapun, tapi mungkin sekarang saya akan bilang, “Mungkin karena kamu anak pertama, Nta…”
Ketika membaca kolom-kolom catatan dari media luar, sering muncul di kepala saya: apa yang terjadi di sana adalah sekitar satu, dua, tiga, empat, atau bahkan lima dekade dari yang saya rasakan sekarang. Sebagian. Setidaknya tentang pola pikir. Atau maksudnya saya. jika Marianne Power membandingkan hidupnya sekarang dengan ayahnya, maka generasi saya di sini, sebagian generasi saya di lingkungan yang saya kenal, adalah potret dari ayahnya. Menikah di awal 20-an, mulai membeli rumahnya sendiri, mulai memiliki bayi-bayi lucu, memilih pekerjaan dengan gaji sebesar-besarnya, dan sederet rencanan matang nan mapan lainnya.
Saya sendiri, saya menginginkannya. Saya udah ngiler banget pengen punya anak kalau lihat anak-anak. Namun sayangnya, entah karena apa saja, saya seperti memiliki standar ganda. Seperti misalnya, ngapaian nikah cepet-cepet kalau masih bisa nglakuin banyak hal yang saya pengen, yang kemungkinan besar hal-hal itu nggak mungkin saya dapatkan kalau saya udah nikah. Bisa jadi, itu adalah hasil dari hal-hal yang diserukan dalam semangat “girl power” yang saya dapatkan sejak membaca Gadis. Cewek itu kudu aktif, berani ngomong apa yang ada di pikiran kita, berani nglakuin yang kita mau, dan lain-lain, dan lain-lain. Bisa jadi, termasuk menyuarakan untuk menunda menikah, atau bahkan menolak menikah.
Tapi nyatanya, saya sendiri lahir dan besar dengan ide tentang: pada akhirnya setiap gadis kecil akan besar, menikah, dan punya anak. Bahkan sampai sekarang saya percaya, takdir saya adalah menjadi ibu (dan otomatis menjadi istri). Saya besar dengan segala ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati bersama. Misalnya, ketika ayah saya tahu saya belum punya pacar, wajahnya mendadak heran. Saya tahu, dia akan sedikit repot-repot mencarikan “jodoh” buat saya, sama seperti dia juga mencarikan tempat bekerja selepas saya wisuda, meski tidak terang-terangan. Baginya, seorang perempuan harus menikah. Iya, saya pribadi juga setuju, kalau saya harus menikah. Namun sayangnya, dan ini bisa jadi terjadi di mana saja, dalam ide tentang “harus menikah”, selalu hadir perbandingan, misal “Lihat si itu, dia sudah seumuran bapak dan belum menikah. Orang-orang menyebutnya perawan tua, dan bapak nggak pengen kamu begitu.” Ya, di lingkungan orang tua saya, mungkin umur 26 juga akan dibilang perawan tua, sepertinya. Dan itu menjadi mitos tersendiri, lebih angker dari kuburan tempat pemujaan yang katanya bisa bikin kaya. Waktu itu saya menjawabnya dengan, “Mungkin dia bahagia nggak menikah Bapak. Kita lihat saja, banyak orang menikah muda, tapi mereka juga bercerai muda. Bapak juga nggak pengen Diyah kayak gitu kan?” Sepertinya ayah saya setuju dengan pendapat balasan dari saya.
Kegelisahan ayah saya sederhana. Kawan-kawan sekolah saya, anak-anak kawannya yang seangkatan saya,  satu per satu mereka menikah. Mereka lulus kuliah, bekerja, dan lalu menikah. Sementara saya, lulus kuliah telat satu setengah tahun, boro-boro merancanakan pernikahan, pacar saja tidak punya. Bahkan dia sempat menanyakan pacar-pacar jaman saya sekolah, mungkin dia berharap saya balikan sama salah satu dari mereka dan menikah. Tinggal tak terlalu jauh dari rumah orang tua saya, sehingga mereka bisa menjenguk cucu kapan saja. Gambaran sederhana tentang masa tua bahagia, bagi orang tua saya.
Beruntung ayah saya tidak pernah menekan, secara langsung. Mungkin karena jurus ampuh ibu saya yang dengan enteng menjawab: “Diyah itu dua tahun lebih muda dari mereka, jangan dulu disuruh-suruh menikah. Menikah juga kan nggak gampang.”
Saya terselamatkan dengan kenyataan bahwa saya kebetulan lebih muda satu setengah atau dua tahun, dari usia rata-rata kawan sepermainan dan seangkatan. Tapi justru inilah yang membahayakan, karena hal ini membuat saya merasa berhak untuk melakukan hal-hal yang tidak lebih dewasa dari mereka. Kalau saja saya tidak punya adik kecil, bahkan mungkin saya tidak akan pernah merasakan rasanya untuk peduli, melindungi, atau bertanggungjawab. Karena, saya merasa lingkungan pertemanan saya memberi saya kesempatan untuk menjadi paling kekanak-kanakan di antara yang lain. Tapi hal ini tidak berlaku ketika saya berada di lingkungan keluarga, karena saya seorang kakak. Lagi, ada dua hal yang saling bersisian dalam diri saya.
Saat saya bercerita tentang kenyamanan itulah, Sinta bilang dia merasa tua. Bukan hal aneh bagi saya, untuk mulai terlibat dalam obrolan-obrolan panjang tentang pernikahan, pekerjaan, dan sekitarnya dengan kawan-kawan saya. Standar pertama saya tentang, perempuan yang ditakdirkan menjadi ibu, terwakili saat saya berbicara panjang tentang pernikahan dengan kawan-kawan seangkatan yang mulai merencanakan pernikahan. Mereka bersama dengan kekasih-kekasih mereka sudah lama, sekarang sudah mulai bekerja, saya tidak kaget jika kata “Tahun depan,” “2 tahun lagi”, “3 tahun lagi”, “Abis S2”, “Abis abis kontrak DP”, terucap dari mulut mereka. Standar saya tentang, dapetin apa yang kamu mau, akan terwakili ketika ngobrol panjang dengan kawan-kawan seangkatan, atau bahkan kakak-kakak yang usianya terpaut beberapa tahun di atas saya, yang belum punya pacar, atau sudah punya pacar tapi belum merencanakan untuk menikah.
Saya? Saya tidak tahu. Sepanjang membaca catatan di Daily Mail, saya sepenuhnya sadar, saya hidup dalam dua standar yang berbeda dalam melihat pernikahan. Pertama, karena pengaruh lingkungan saya lahir dan besar plus segala adat, budaya, kepercayaa, kesepakatan umum, bahkan mungkin Undang-undangnya juga. Kedua, ego saya percaya ada hal-hal yang saya inginkan yang tidak mungkin saya dapatkan jika sekarang saya menikah.
Waktu saya ngobrol sama Ita, kawan saya yang lain, di mana dia memiliki standar tertentu untuk calon suaminya nanti. Saya bahkan tidak punya standar, saya pernah punya standar, dan standar yang dulu saya inginkan ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Karena bisa jadi saya jatuh cinta dengan orang yang bukan dalam kategori standar yang sebelumnya saya miliki. Sementara saya pernah bersama orang dengan kategori-kategori yang saya pegang, tapi ternyata saya juga punya pemikiran tentang: saya nggak mungkin hidup dengan orang kayak gini, selamanya. Ingat film “Hari Untuk Amanda”? Kurang lebih seperti itu.
Tapi mungkin, sebenarnya, tentang diri saya, jawabannya adalah tentang kondisi. Bayangkan saya saat ini memiliki pasangan, saya curiga saya sudah akan merengek-rengek minta dinikahi. Tidak menutup kemungkinan akan adanya hal itu, bukan? Nah, ketika kondisi saya berada pada posisi sekarang, hal-hal yang ada pikiran tentu bukan itu.
Apakah saya terlalu merasa aman dan nyaman? Apakah saya tidak berani mengambil risiko? Apakah saya menolak dewasa? Mungkin ini bisa menjadi pertanyaan pada diri sendiri, bagi semua kamu yang sedang di ambang pertanyaan tentang masa depan…
Halah.
Marianne 11 tahun lebih tua dari saya. Diam-diam saya berdoa agar semoga tidak akan menulis catatan persis sama dengan catatannya ketika saya 34 nanti. Tapi, bagi saya pribadi, ini menjadi catatan yang cukup penting. Terlebih ketika mengingat di mana saya tinggal dan dari mana saya lahir.
Saya tidak tahu, dan belum pernah bercerita panjang dengan mereka yang telah menginjak kepala tiga dan belum menikah. Tapi yang saya tahu, dan ini mengerikan, adalah stigma atau anggapan yang terlempar bagi mereka, yang sayangnya, stigma itu justru akan membuat repot orang-orang terdekatnya. Ingat kalimat, “Bapak nggak mau kamu dianggap perawan tua,” padahal umur saya baru mau 23. Bisa jadi itu menjadi ketakutan para ayah-ayah lainnya. Sementara, hal lain yang saya tahu, dari melihat mereka yang telah melewati usia 30-an dan belum berumah tangga, mereka menikmati hidup mereka biasa saja. Saya tak pernah membicarakan hal ihwal rumah tangga dengan mereka, karena bisa jadi bagi mereka saya hanya anak kecil, dan prihal rumah tangga bukan lagi hal besar bagi mereka, toh mereka melewatinya dengan baik-baik saja.
Bagi kita yang belum berpasangan, belum menikah, atau malah belum memikirkannya. Apakah kita terlalu merasa aman dan nyaman? Apakah kita tidak berani mengambil risiko? Apakah kita menolak dewasa?
Saya sendiri tidak tahu. Karena bisa jadi, definisi tentang menjadi dewasa bagi tiap orang itu berbeda. Satu orang mengukurnya dengan keberanian berumah tangga. Sebagian lainnya mengukur dengan variabel lainnya.
Mungkin saya harus lebih banyak ngobrol lagi dengan banyak orang. Dengan kawan saya seangkatan, yang anggaplah seumuran tapi saya lebih kekanak-kanakan; mereka yang lebih tua; mereka yang telah berumah tangga; mereka yang belum atau malah tidak memilih untuk berumah tangga; bahkan adik-adik tingkat saya, yang bisa jadi seumuran atau lebih muda. Karena katanya usia bukan standar untuk menjadi dewasa. Dan Sinta tak perlulah merasa tua, asal dia cukup merasa dewasa.
Dan, yang lebih penting sebenarnya, bagi saya adalah: menemukan standar ketiga.