Friday, September 30, 2011

...the one?


Waktu itu hampir tengah malam, salah seorang teman terbaik saya, dia menangis sesenggukan di kamar saya. Ada yang benar-benar mengganjal tentang hubungannya dengan laki-laki(nya). Saya nggak pinter masalah hubungan laki-laki – perempuan. Saya juga tidak pandai berkata-kata bijak. Tapi waktu itu saya bilang semacam ini, “Mungkin kita nggak akan masalah dengan hubungan macam apa pun. Kita udah gede lah, harusnya udah bisa mikir bijak buat menghormati hubungan-hubungan kayak gini. Tapi, sadar nggak sih, dalam konteks hubungan macam apa pun, mau pacaran lah, mau enggak lah, mau langsung nikah aja lah, bahkan cuma gebetan, kita pengennya cuma ada kita seorang. We just wanna be the one.

Dan anehnya, teman saya itu ngebenerin kalimat saya. Diantara sesenggukannya, dia iya-iya-iya aja. Dan, kayaknya emang benar kalimat saya itu. Dalam hubungan kayak gitu, siapa sih yang mau diduain? Kok rasanya naif sekali. Kok rasanya ajaib sekali.

Eh, catetan aja si yah, maksudnya yang udah ada komitmen di antara keduanya loh yah. Kalau perkara kita suka sama orang, terus orang itu nggak suka sama kita, tapi suka sama orang lain, yaudah, sana, suka aja sama orang lain. Mau kita menunggu atau diam, atau gimana, terserah sajalah. Beda dong, sama orang yang ngumbar kalimat-kalimat macam orang lagi pedekate ke semua orang. Malas sekali kalau tahu ada orang yang kayak gitu. Macam ng-mumumu ke semua orang gitu? Huih. Macam mengumbar senja ke semua cewek gitu? Iih. Apalagi kalau udah jelas-jelas, hubungannya nggak cuma sekedar teman. Aaaaiihh sekali deh. Itu namanya menyebalkan. Fufufuuuu sekali.

Waktu itu saya dan teman saya, hampir setuju, bahwa, kalau emang dua orang itu benar-benar punya niatan bersama, entah mau dikultuskan dalam ikatan berpacaran, atau ber-entahlah-an dengan, harusnya, keduanya benar-benar siap. Buat, ehm, njadiin kita satu-satunya (dan kita juga tentunya yah, tidak lupa). Makanya, harus adalah ruang dan waktu untuk membicarakan itu dengan serius. Dan, kami juga setuju, niatan itu harus diikuti dengan perbuatan sejalan. Walaupun macam pramuka, tapi rasanya itu cukup fair. Ngapain ribet-ribet kebanyakan omong kalau cuma mau bermain-main. Macam ngapain ribet bikin bermacam janji kalau bakal dibuat lebih ribet setelahnya.

Dan lalu, saya nulis ini sambil ngaca nggak sih?

Tuesday, September 13, 2011

...baju bersih buat tuhan


Saya dandan ribet cuma buat makan ke satu tempat, yang kata orang restoran. Sempet nge-pas baju bolak-balik cuma buat nonton konser. Apalagi jaman konsul awal-awal, sadar diri isi lemari kebanyakan kaos, mulai ribet lagi cari-cari kemeja buat ketemu dosen.

Apa kabar kalau saya ngadep tuhan?

Biasa aja sih. Mukena juga, ehm, hayoh, berapa lama belum dicuci? Bisa lebih dari seminggu, jawabannya.

Saya jadi keinget satu teman baik saya yang Kristen. Dia termasuk rajin ke gereja tiap minggunya. Dan, ya, dia berdandan untuk itu. Maksudnya, bukan dandan yang berlebihan atau gimana, tapi, membuat tampilannya lebih rapi dan bersih. Dalam beberapa waktu, bahkan dia menempatkan jadwal luluran dan creambath rambut di waktu-waktu sebelum ke gereja.

Ehm, pasti ini kelihatan dangkal sekali yah. Bukan berarti harus gimana-gimana ketika kita beribadah, saya percaya, setiap orang punya cara tersendiri untuk beribadah dan berbicara dengan tuhannya. Tapi di sini saya lagi mempertanyakan tentang kesiapan kita menghadap tuhan, mulai dari pakaian. Aih, iya, tahu, pasti juga tuhan nggak akan memperhatikan penampilan kita. Iya. Tapi biar saya nulis dulu dong, rasanya ada dua orang di kepala saya. Hih.

Rasanya ada anjuran (atau mungkin ayatnya, entahlah), bahwa kita harus suci ketika beribadah, gampangnya, sholat deh buat kita yang Islam. Makanya ada mengambil air wudhu dan rukun-rukunnya. Tapi bagaimana dengan pakaian yang kita pakai? Dulu saya sempat mempertanyakan ini pada guru ngaji saya, kebetulan memang ada dibahas di kitab fiqih, jadi, untuk pakaian pun hendaknya suci dari hadas dan najis. Semoga bener yah, itu jaman kapan tahun saya mempelajari kitab-kitab tak bertasdid (ini bener nggak nulisnya?) itu.

Nah, kadang sadar nggak si, kita itu duduk di mana, di mana, dan di mana. Lalu kita (tepatnya saya) sholat pakai celana yang sama lagi. Aduh. Sempat saya ngobrol dengan teman saya, kata dia sih, selama kita yakin yang hadas dan najis nggak ada di pakaian kita, yaudah, nggak masalah. Hm.. hampir sama dengan yang dibilang guru ngaji saya beberapa tahun lalu sih. Tapi dulu dia menjelaskan lebih detail, bahwa, akan sangat lebih baik, jika kita memang benar-benar memastikan kesucian pakaian yang kita pakai. Pun tidak hanya buat sholat, tapi juga buat keseharian. Hm… Karena pada dasarnya gini, pakaian yang kita pakai bakal kena ke mukena kita, lalu tempat ibadah kita juga. Hm… lagi…

Kenapa saya repot-repot kebingungan dan tertampar. Karena, seperti teman saya yang menyempatkan diri untuk merapikan diri sebelum ke gereja. Sementara saya, kadang nggak tahu baju tidur belum ganti berapa malam, kepake deh buat bermacam sholat. Belum lagi beberapa celana yang sengaja dipakai berlama-lama. Pokoknya, pakaian yang dipakai berkali-kali kemana-mana saja dan dimana-mana saja.

Dan tanpa sadar, saya akhirnya sadar setelah tanpa sengaja mengamati, ibu saya membersihkan diri sebelum mengambil air wudhu dan menyempatkan berganti pakaian (daster yang tidak dipakai sebelumnya gitu lah), sebelum dia sholat. Padahal saya, ehm…

Oke. Saya percaya, tuhan punya cara masing-masing melihat hambanya beribadah. Bahkan doa diantara tumpukan sampah juga pasti didengar tuhan. Saya percaya itu. Semoga benar, saya nggak gitu kenal tuhan soalnya, tapi saya tahu dia baik.

Tapi saya tertampar. Rasanya, kesiapan kecil itu mengajak saya melihat. Bahwa, dengan hal pakaian lebih bersih itu, rasanya membuat si manusia lebih siap menghadap tuhan. Menunjukan kesiapan bertemu tuhan. Ada niat sedikit lebih besar untuk bicara dengan tuhan. Barangkali lebih lancar ‘ngobrol’ juga.

Jadi, hm… Berapakianlah lebih baik nona, setidaknya lebih bersih, kata saya ke diri saya sendiri. Mau dandan buat pacar juga nggak punya toh yah (hloh?). Jadi, entahlah.

Monday, September 12, 2011

... beda (lagi)


Beda pendapat itu biasa. Biasa banget. Malah, seringkali jadi pelajaran. Buat menghargai orang lain dan sekaligus membuat kita mikir lebih dalam tentang sesuatu yang kita perdebatkan.

Tapi, beda pendapat dengan orang yang kita sayang banget dan sayang banget sama kita? Apalagi tentang masa depan? Susah kali, memperdebatkan sesuatu yang sama sekali belum terjadi.

Apalagi kalau lama-lama kita merasa semakin terpojok. Kadang adanya jadi nahan emosi. Mau habis-habisan mempertahankan pendapat kita, semakin terpojok. Mau mengiyakan pendapat orang lain, rasanya keliru. Mau saling menghormati, sulit, karena sama-sama keras dan saling memojokan.

Bayangkan itu jika harus berbeda pendapat dengan orang yang kita sayang banget dan sayang banget sama kita? Tentang masa depan pula. Misal aja deh, sama ayah kita.

Bayangin betapa susahnya. Susah. Sesusah mengiyakan, lebih susah lagi mengatakan tidak. Walaupun pada akhirnya bisa bilang tidak, yang di dalam sana lebih nyesek. Bisa nggak ya, membuktikan kalau kita bisa benar?

Saturday, September 10, 2011

,,,mighty love (a simply devil’s masterplan)


“The place I stand will let you know my full immunity”

Kalimat ini menjadi penutup manis dan tegas Mighty Love dari Zeke and The Popo. Entah apa yang menjadi alasan Zeke Khaseli dan kawan-kawan ketika merangkai kalimat ini, tapi bagi saya, kalimat ini sangat lebih dari cukup untuk menyelesaikan salah satu lagu yang akan membuat si pendengar jatuh suka ketika mendengar untuk pertama kali.

Mighty Love mengajak saya untuk menikmati jatuh cinta. Sekaligus untuk menahannya tetap menjadi jatuh cinta yang ‘auuuuhh’ sekali, menahannya agar jatuh cinta itu tetap tentang sesuatu yang indah-indah saja. Bukan tentang memaksakan diri dan pada akhirnya seringkali menyakiti diri sendiri. Zeke mengajak saya untuk menyadari bahwa, cinta itu, ya sudah, tidak ada yang salah dengan jatuh cinta. Begitulah adanya cinta itu, ia kuat ada di dasar hati sana dan tidak rumit. Tak perlu dibuat menjadi rumit.

Walaupun, barangkali, ia juga mengajak kita merutuki cinta, yang, entah kenapa, begitu kuat, dan pada kenyataannya, mungkin akan membuat hidup kita sedikit kacau. Kacau yang menyenangkan. Kacau yang indah-indah saja. Seperti melihat pelangi setelah berjam-jam terjebak hujan dan kebasahan. Zeke merutuk manis melalui rangkaian kalimat pada, “Wasn’t made by human hand/ It simply devil’s master plan/ Aint got no mother father sister / What the bloody hell is it?”. Salah satu penggambaran cinta yang, sekali lagi, ini hanya bagi saya, luar biasa. Capeklah saya yang melulu mendengar bahwa cinta itu anugerah tuhan yang terindah bagi manusianya, atau cinta itu seperti inilah, seperti itulah, harus dengan kesetiaanlah, harus dengan pengorbananlah, atau sekedar nafsulah. Basi sekalilah cinta itu kalau dipikir-pikir dan hanya akan menjadikannya drama. Padahal, itu hanya sekedar akal-akalan setan. Sesuatu yang pada akhirnya kita sumpah serapahi, tapi juga kita nikmati.

Dan saya menikmati tiap kata yang ada di lagu ini, selain bahwa ketukan-ketukannya juga membuat aura bahagia tersendiri, apalagi jika dimainkan pagi hari atau satu sore menunggu dia untuk sekedar makan rica-kare? Maka senyum saya tidak putus di saat-saat mendengar lagu ini. Auuh, what the bloody hell is it?

Mulai dari kalimat-kalimat awal, saya diajak mereka untuk, “Hei, nona, ayo, ayo jatuh cinta….” Sekaligus mengingatkan, bahwa kelak, ketika saya jatuh cinta, banyak hal yang akan terjadi. Saya akan tergila-gila seperti orang paling tidak waras sedunia, saya akan membayar mahal untuk hal yang nantinya hanya akan ditertawakan, sesaat mungkin saya akan menapak sepuluh sentimeter di atas tanah, mengumpat dan berpuisi, tapi, percayalah, semuanya adalah sesuatu yang sederhana. Sesederhana saya jatuh cinta dan sesederhana bahwa saya hanya harus menikmatinya.

Hingga di akhir lagu, saya disadarkan untuk kembali menapak tanah, melihat cahaya matahari, dan menyadari, bahwa, “Hei, nona, kamu masih di dunia yang sama.” Banyak hal lain yang lebih penting dari sekedar cinta-cintaan macam ini. Banyak hal yang harus kamu lakukan, termasuk hal-hal lain yang nantinya akan menjadikan cinta ini lebih bermakna tapi tetap sederhana. Aishhh. Pada akhirnya, jatuh cinta itu, meskipun menyenangkan sekaligus mengerikan, saya harus kembali pada diri saya. Pada diri saya se-saya-saya-nya. Karena ketika menjadi saya, atau diri kita, tidak ada yang akan mengalahkan kita. Cinta sekalipun. The place I stand will let you know my full immunity.

Sial yah, sepertinya saya kerasukan setan apa lagi ini?

Drop a penny throw a stone
I guess its time to let love
And throw your anesthetic piece of heart
You built for long

Smack my face and you will see
This piece will never be free
Oh please somebody
Connect me back into reality

This mighty love
Strictly from the bottom
Simply from the head
This mighty love
Strictly from the bottom
Simply from the head

Wasn’t made by human hand
It simply devil’s master plan
Aint got no mother father sister
What the bloody hell is it?

She’s the queen of libertines
A cross of sex and good machine
A modest words of love
In turn she pressed a fucking charge
On me

This mighty love
Strictly from the bottom
Simply from the head
This mighty love
Strictly from the bottom
Simply from the head

I miss the sun while I’m in here
I fought my mind and my needs
I found out there are more to stake than just to scratch your back
I laid down there for awhile, the bee will never stung me
The place I stand will let you know my full immunity.

Tapi, lebih sial lagi, adalah ketika akhirnya saya menyaksikan video klipnya. Ternyata, sejauh yang saya bisa tangkap, bercerita tentang kesalah-pahaman dalam sebuah relationship. Tapi intinya, hampir sama lah, tentang menyikapi cinta tanpa mendramatisir berlebihan.

Yeaa. This mighty love, strictly from the bottom, simply from the headSimply:)

Friday, September 9, 2011

...A

dan kita mulai mengeja
mengeja lagi dari awal
seperti seorang anak TK belajar membaca
dan kita memulai dari A,

lalu kau tergagap,
"mengapa harus mulai dari A?", tanyamu
lalu kau tergelak
"dan aku tahu, A itu apa dan siapa..."
dan, kita tertawa bersama

kita tahu kenapa kau bertanya
karena A adalah huruf terakhir dalam cinta
ia menjadi awal dan akhir sekaligus

sekali lagi kita tergelak,
tertawa bersama,
ingat, kita hanya mengeja kata dan menafsir makna
bersama

*untuk A dan waktu-waktu ini. dan A, adalah bukan sebuah nama.

Thursday, September 8, 2011

...seandainya


Seandainya, surat pertamanya saya buka dua minggu lalu. Mungkin ceritanya akan berbeda dari delapan bulan lalu. Dan ada cerita berbeda pula dengan hidup saya yang sedikit konyol ini. Tapi, kita seharusnya tidak pernah bicara tentang “seandainya”.

Ini yang ingin saya jawab, untuk menjawab pertanyaan seorang teman tentang, kenapa saya tidak bersama dengan kawannya. Tapi saya tidak mungkin menjawab ini dengan mulut saya sendiri. Entahlah, saya nggak ingin memberi kata-kata konyol dan harapan konyol lagi sekarang. Sama seperti saya sudah kapok dengan aturan-aturan konyol yang pernah saya buat, dan nyatanya menambah konyol hidup saya.

Bukannya harusnya semua menjadi biasa saja yah. Sama seperti menjadi biasa sajanya, ketika kamu bicara tentang menjadi ikhlas, dan kemudian emang menjadi sangat biasa saja. Ya karena ikhlas itu, karena logowo itu. Pada akhirnya emang benar-benar bisa jadi legowo dan bersikap biasa saja dan tenang. Dan, yah, harusnya semua orang bisa.

Kayak ibu saya bilang barusan, “Udah, jangan pernah bilang ‘seandainya-seandainya’ terus. Orang masih muda kok. Selesaikan yang ada di depanmu. Orang hidup itu ada tahapannya sendiri-sendiri kok.”

Jadi, mari kita hilangkan kata, “seandainya”. Khususnya untuk masalah cita, dan cinta. Hmm…

Tuesday, September 6, 2011

...hidup susah?!


Saya surprise sekali ketemu teman-teman lama dan mantan pacar saya jama smp-sma. Lebih surprise lagi, ketika satu malam kami bisa nongkrong dan ngobrol bareng. Obrolannya kemana-mana si. Dari sekedar ngetawain orang sampai mengenang jaman dulu.

Kayak misal, dulu ada anak yang nakal banget, sekarang udah gede ternyata lucu-lucu aja. Ada yang dulu pendiam, ternyata sekarang heboh. Atau yang tetap-tetap aja, dan nggak berubah sama sekali. Yang dulu cantik ya sekarang masih cantik dan jadi idola. Yang dulu biasa aja kayak saya, ya sekarang biasa aja. Nyatanya, saya terutama, memang jarang berkumpul bersama mereka, gara-gara saya yang entahlah, dengan sombongnya jarang pulang ke rumah, dan kalaupun pulang ke rumah, saya lebih memilih untuk bersama keluarga. Sementara sebagian besar teman-teman saya ini, kebanyakan belajar tidak terlalu jauh. Kalaupun ada yang juga belajar di Solo, dia sering pulang. Hm…

Tapi, paling lucu adalah ketika satu malam saya smsan dengan salah satu teman saya. Entah tadinya ngobrolin apa, dari masalah kuliah sampai mengingat-ingat kapan terakhir sempat ketemu, tiba-tiba kita ngobrolin masalah pacar. Eaaah sekali deh. Masalah umur segini di mana-mana hampir sama. Terakhir saya tahu, teman saya itu punya pacar. Tapi dia bilang, sekarang dia lagi nggak punya pacar. Saya bilang, “Ah, ko kakehan pengen si”.

Yah, saya kira, orang kayak dia nggak akan kesulitan dapat pacar. Tiba-tiba, dia sms panjang sekali. Sepertinya agak serius. Dan smsnya bercerita tentang, kurang lebih semacam ini, bahwa, dia bisa aja pacaran sama siapa aja yang dia mau, tapi, dia nyari cewek yang mau diajak susah. Ngok!

Apa coba? Cewek yang mau diajak susah itu maksudnya gimana? Diajak hidup susah selamanya? Atau gimana? Elha, bukannya hidup itu adalah tentang menjadi bahagia dan susah? Kok tega-teganya dia mikir bakal menjerumuskan seseorang ke lembah penderitaan, dengan mengajak seorang perempuan diajak susah. Apalagi cuma buat dijadikan pacar. Apakabar kalau dijadikan istri?

Saya sih bukan bermaksud sok oke, dengan berharap kelak mendapatkan laki-laki kaya raya seratus turunan. Bukan. Rada mustahil soalnya. Tapi gini deh, saya pengen ketawa aja sama klu temen saya itu. Apa si? Ih, ribet deh. Saya si sempat tanya, ngukur mau diajak susah itu gimana? Dia malah ketawa.

Lah kalo diajak susahnya, cuma dalam ukuran materi, misal kemana-mana naik angkot, makan seadanya, aduh, itu si cerita semua anak kostan di dunia. Dan saya tentunya. Lah, wong, saya nonton hidup teman saya itu enak-enak aja. Kalo mau jalan nggak mau kepanasan dan kedinginan, tinggal bawa mobil. Rokoknya maliboro, dan sejam ngobrol sama dia, bisa habis lima batang pula. Kuliah asal-asalan, dia sendiri yang cerita, maklum, bapaknya lebih tajir dari bapak saya. Haduh. Benar-benar tidak konsekuen. Apa coba mau cari pacar yang mau diajak susah? Kecuali, hidup dia emang dalam kategori susah. Boleh dia teriak-teriak kayak gitu. Lah wong hidupnya aja bukan kategori hidup susah. Tolong deh. Tolooong mas…

Malah jadi curiga, diajak susahnya, kayak semisal jangan-jangan, ditinggal pacaran ama cewek lain? Nggak diajak berkomunikasi? Ditinggalin empat bulan tanpa ada kabar? Ditinggal nikah tanpa kata-kata? Wah, ini mah, mana ada cewek yang mau.

Tapi intinya, saya ketawa ngakak sampe sakit perut aja si ngebaca sms dia dan ketemu dia keesokan harinya. Kemudian, besoknya lagi, saya baca itu kalimat jadi status facebooknya. Haduh, benar-benar labil hidup mantan pacar saya ini, eh, temen saya ini. Tapi setelah mengenang hidup saya beberapa waktu sama dia, emang dia cukup membuat susah.

Semacam, jama smp, dia pake berantem sama kakak kelas dan adik kelas nggak penting dan bikin ribet hidup gadis berusia 12 tahun. Atau datang ke rumah dengan pasukan teman-temannya gara-gara saya ulangtahun, sampai emak saya kaget karena emang nggak ada acara apa-apa. Atau membuat saya sebel sama satu adik kelas gara-gara dia, padahal dianya santai-santai saja. Pun setelah putus, saya masih di semprot pacarnya kala itu, gara-gara hal nggak penting. Benar-benar hidup yang susah.

Hei, cewek-cewek, emang pada mau, diajak hidup susah?

Monday, September 5, 2011

...merah


Merah. 120. Mulai.

Pagi ini, seperti biasa. Semua tergesa. Semua bergegas. Hari ini, Senin lagi. Masih seperti biasa, ada sugesti. Hari ini terkutuk, hari  ini busuk, hari ini akan berakhir dengan buruk.

Semua melambat. Semuanya terhenti. Seperti de javu. Berulang. Setiap waktu. Ada momen yang terhenti. Barangkali, di ruang sana adalah mereka yang sama. Orang yang sama, pada waktu yang sama, di ruang yang sama. Di sini. Sedikit kesempatan menarik nafas, menyisir rambut, membalas sms, menelepon, merapikan bedak, mengulas lipstik, menggigit sepotong roti, meneguk aqua, mengecek jam, membeli koran, tertawa ringan, meluruskan dasi, atau berdoa.

Dan saya ada didalamnya. Bersama mereka yang juga melihat saya sebagai orang yang sama. Pihak yang senasib, pribadi yang memiliki hak sama atas ruang, waktu, dan momen yang sama. Saya yang menjadi melankolis setiap kali berhenti di waktu ini. Saya yang tiba-tiba menjadi pemikiri sok kritis ketika mata mulai melihat nanar ke sekitar. Saya yang selanjutnya merasa bodoh dan tolol tidak bisa berbuat apa-apa atas semua protes di kepala. Saya yang pada akhirnya hanya mampu pada tataran menikmati semua ini hampir setiap hari. Setiap hari, dalam waktu hidup saya. Hingga entah kapan.

***

Hanya sedikit cerita, diwaktu yang entah mengapa dan entah oleh siapa, hanya dibuat dengan dua digit angka. Dengan matahari yang terus bergerak sebagai pertanda. Dengan segala tanda yang membatasi. Ada empat ruang. Hanya ada satu yang boleh bergerak. Jika dua, atau bahkan tiga bergerak bersama itu sama dengan celaka. Keempatnya tidak mungkin dan tidak akan bertemu dan bersama di satu titik. Tak selamanya seimbang itu bertemu di tengah, bermassa sama, bergerak bersama. Tidak selamanya.

Jika ruang pertama terbuka, ruang kedua, ketiga, dan keempat harus tertutup. Begitu seterusnya. Tak boleh ada dua pintu terbuka dalam satu waktu bersamaan. Ibarat sebuah pintu air, jika dua pintu terbuka bersama dalam waktu yang tak seharusnya dibuka bersama, maka bencana turut keluar bersamaan dengan dibukanya kedua pintu. Ada kalanya kita berhenti untuk hanya berdiam. Cukup untuk berdiam dan memberi kesempatan yang lain bergerak. Cukup hanya untuk melihat. Barangkali bisa sambil belajar dan mencerna setiap gerak yang tercipta. Bukankah kadang gerak bisa menciptakan momen indah yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dengan suara, bahkan dengan lukisan terindah.

Suara-suara yang sama juga terdengar di ruang besar tak bertembok dengan pancuran air bulat ditengah. Seandainya semua orang mampu memainkan alat musik, atau setidaknya tahu bagaimana mencipta nada, pasti iramanya tak akan semenakutkan ini. Setidaknya tidak akan membuaat orang yang baik-baik saja secara fisik dan mental tiba-tiba menjadi sakit. Senyum lebar berubah menjadi kerutan kening dan diikuti mulut yang mengatup tak nyaman, hingga mood memburuk dan mulut mulai merutuk. Bukankah mulut yang merutuk adalah sebuah ketidakpuasan dan ketidaknyamanan akan sebuah keadaan?

Di depan saya melintas seorang wanita tua yang menggenjot cepat sepeda kumbang berisi dua keranjang besar krupuk. Ya, sepertinya itu krupuk. Saya yakin itu krupuk. Makanan ringan dalam arti konotatif dan denotatif kesukaan satu teman saya. Yaitu teman saya orang Pekalongan yang sepengetahuan saya, tidak bisa makan tanpa krupuk. Sungguh krupuk dengan segala macam jenis dan rasanya itu menjadi keunikan dan keanehan tersendiri dalam budaya makan kita.

Saya jadi membayangkan renyahnya memakan krupuk dan sekaligus gondok karena teringat harus membayar satu bungkus krupuk dengan harga yang saya rasa kurang wajar. Kurang wajar untuk ukuran krupuk. Saya yakin semua tahu berapa harga standar satu bungkus krupuk ukuran warung makan. Ya, tidak sampai seharga satu potong kue donat dari sebuah bakery terkenal, apalagi yang tokonya impor dan berkelas internasional. Sungguh saya ikhlas lahir batin membayar mahal seratus kali lipat harga sebungkus krupuk. Dan, saya tidak merutuk. Walaupun, keduanya tetap tidak memberikan kekenyangan yang sama bukan? Dan saya lalu merasa konyol.

Wanita itu, wanita yang membawa dua keranjang besar krupuk itu, sesekali oleng ketika truk sampah berwarna kuning disampingnya berusaha mendahului wanita itu. Keranjangnya bercat hijau, dengan tulisan entah apa yang kurang jelas terbaca. Wanita tua itu memakai baju bermotif bunga berwarna coklat terang dan kuning tua. Memakai maksi panjang yang sesekali terangkat ketika mengayuh sepedanya. Tidak fashionable sama sekali. Apalagi ditambah krudung slup-nya. krudung slup, krudung yang bisa dipakai secara langsung masuk kepala dan rapi seketika. Tanpa bermacam peniti atau aksesoris yang ditempel melingkar dari depan dada hingga kepala bagian belakang.

Ia, barangkali adalah seorang ibu tua dengan tiga cucu yang dititipkan padanya. Sementara suaminya sudah meninggal dunia, dan kedua anaknya merantau entah dimana. Cucunya masih duduk di bangku SD, sehingga ia harus melakukan kegiatan yang menghasilkan uang. Setidaknya untuk tabungan piknik cucunya kelak. Atau, bisa saja ia seorang perempuan tua yang tak mau menghabiskan waktu hanya dengan menunggu suaminya pulang membawa segepok uang, atau anak-anaknya mentransfer uang tiap bulan. Bisa saja. Toh semuanya bisa menjadi cerita di pagi yang seharusnya segar ini.

Pemandangan selanjutnya adalah si wanita itu yang mulai tak terlihat dan saya yang tiba-tiba ingin makan krupuk. Diikuti oleh banyak kendaraan bergerak ke kanan dengan segala merk dan warna. Dengan segala bentuk dan dengan segala ekspektasi saya. Dan saya mulai menyipitkan mata, seraya menunggu mulut mulai merutuk. Lalu memalingkan muka pada sisi kanan saya.

Melihat sepasang siswa-siswi berseragam SMA yang sedari tadi tak berhenti tertawa bersama sambil sesekali berbicara, dan tak henti untuk mengencangkan pegangan tangan si siswi pada paha si siswa. Entah mereka berbicara tentang guru mereka yang membuat mereka tertawa, membicarakan teman mereka yang sering mereka perolok, atau bahkan menertawakan kekonyolan diri mereka sendiri. Mereka nampak bahagia. Dan tak perlu ada ekspektasi berlebihan selanjutnya.

Mulai memutar kepala, sambil tetap menyipitkan mata. Tanda tak menikmati udara yang ada, tanda pura-pura berfikir. Dan saya bergerak. Sekeliling, adalah sama. Pagi milik semua umat. Pekerja necis berdasi dan berhak tinggi yang nyaman berada di jok mobil masing-masing sambil mendengarkan radio atau melihat berita di televisi delapan inchi. Milik siswa-siswi yang harus menuntut ilmu dan diharuskan menjadi pelanggan setia pagi selama enam hari, dan akan memilih hari minggu untuk sesekali tak bercumbu dengan pagi. Mereka berdesakan dalam segala macam angkot, bus kota, sepeda motor, atau kursi belakang mobil orangtua. Mereka hanyalah satu contoh dari sekian ribu karakter lain yang berebut ruang dan cerita di pagi hari.

Meskipun pagi yang sama tak pernah terulang lagi, meskipun pagi di ruang yang berbeda bukanlah pagi yang sama. Dan pagi, bagi orang lain menjadi hanya sekedar pagi. Namun bagi sebagian yang lain adalah permulaan. Dan bagi sebagian yang lain lagi, adalah sebuah cerita.

Yang terpenting dari ruang dengan tembok waktu dan jarum jam yang semakin merapat di sebuah waktu yang disebut pagi ini, adalah sebuah tanda yang bermakan. Sekelompok tiga sekawan yang saling mengingatkan. Tiga tanda yang bijak, pemerhati, dan berkuasa. Bijak dan selalu ditunggu, ditunggu untuk memberikan waktu untuk bergerak. Untuk mengejar waktu atau apa saja yang tak bisa lagi diulang.

Pemerhati yang seringkali tak diperhatikan. Pemerhati yang hanya dianggap sebagai pelengkap meskipun memiliki kemampuan memberi isyarat. Isyarat bahwa ada kalanya untuk tidak memaksakan sesuatu atau lakukan yang ingin dilakukan untuk sebuah alasan. Bukankah manusia kini sering tak begitu peduli dengan isyarat, dengan intuisi. Sehingga hanya tahu untuk buru-buru mengejar sesuatu.

Ia yang berkuasa. Ia yang berkuasa memberhentikan semua. Dan saya disini karena dia. Karena kemampuannya memberhentikan waktu dan mengajak saya mulai belajar berfikir dan merespon. Dan saya merindukannya. Merindukan ketika saya tiba-tiba menjadi orang yang peka. Orang yang sadar bahwa ada perbaikan ketika berhenti. Ketika dalam waktu yang jika dihitung dengan tarif telepon akan berharga ribuan rupiah ini,  waktu berhenti. Jarum jam berhenti, kotak digital berhenti. Hanya plang angka merah yang berjalan. Dan hitungannya bukan merupakan hitungan waktu. Itu bagi saya. Dan saya menikmati ketika ditahan untuk berhenti. Bukankah di ruang ini jika lebih dari satu pintu terbuka bersama itu sama dengan celaka?

Untuk itu ia ada. Menahan untuk menghindari celaka. Percuma saja sirine dibunyikan sedemikian rupa. Ketika ia ingin kita berhenti, kau tak akan boleh melangkah sedikitpun. Jangan pernah bunyikan klakson tak sabar ketika ia belum mengijinkanmu berjalan. Atau mulutmu akan mulai mengeluarkan sumpah serapah yang hanya akan merusak semuanya, terutama suasana hatimu sendiri. Sudah saya bilang, ia yang berkuasa. Biarkan dia menyala merah. Ya, merah. Merah di pagi hari pada dua menit yang tak terdeteksi ukuran waktu.

Tapi sepertinya hanya saya yang peduli dengan cerita di ruang milik bersama ini. Bagi yang lainnya, hanya ada untuk segera bergegas. Dan, saya ingin segera makan krupuk.[*]

*cerita terakhir yang saya buat dan punya ending. saya buat buru-buru cuma dua jam akhir tahun lalu, demi sebuah buku antologi. yang lucunya, dapat nilai 52 dari skala 100. betapa jeleknya. saya posting, buat teman saya yang (katanya) pengen baca cerita buatan saya. semoga setelah ini kamu mengkritik saya yah... amin. semoga... :)