Saturday, September 22, 2012

...(how to) fall in love with Jakarta?



Akhirnya, saya mulai bisa menikmati Jakarta.


Starting a: cak, cak, cak, cak, caaak! *my fav pic*

Meski belum terbiasa dengan macetnya yang luar biasa, Jakarta sepertinya mulai membuat saya jatuh suka. Membuat saya penasaran dan mencari tahu ke dalam-dalamnya. Jakarta punya apa lagi ya? Jakarta bisa kasih saya apa lagi ya?

In its positive ways, indeed. 

Pertama, mulai dari mall dengan konsep yang, kata teman saya: urban. Tidak terlalu besar, tidak melulu berisi toko produk penghias majalah mahal. Desainnya menarik, dengan ornamen-ornamen yang membuat anak kampung seperti saya terkagum-kagum. Apalagi sering ada bazar label-label indie lokal yang beda, kata teman saya lagi: saya banget. hhhaaa. Dan, harganya juga tidak terlalu mahal. Bukankah ini penting? Tidak seperti salah satu mall high-end yang pernah saya datengin, emang terkenal sih, tapi saya terlalu capek buat jalan karena terlalu luas ditambah tidak ada barang yang layak ditaksir. Rasanya kayak bukan ke mall. Tapi mau bagaimana lagi? Di Jakarta, sepertinya mall memang bukan hanya untuk belanja, seperti yang saya tanamkan ke diri saya sebelumnya, ke mall kalau ada perlu aja. Tapi mall di sini lebih seperti public space, tempat orang berekreasi. 

Meski, sebenarnya berekreasi di dalam mall sepertinya bukan pilihan yang baik. Tapi apa daya, tidak ada ruang lainnya, atau memang saya yang belum mengenal Jakarta. Karena mall memang mudah dijangkau dan mereka berusaha menyediakan apa yang orang butuhkan. Misal saja, jika kawasan Kemang menjanjikan area rekreasi yang lebih ramah, tapi lokasinya sulit dijangkau. Sementara mall-mall berasa di tengah kota dan mudah dijangkau dari mana saja.

Tapi, kalau mau jeli. Kita bisa kok, tetap rekreasi tanpa harus ke mall.

Seperti halnya kota besar lainnya, Jakarta juga punya ruang-ruang kesenian, lebih dari satu malah. Begitupun perpustakaan umum. Dan, tentu saja, bakal nggak lengkap tanpa flea market, atau pasar barang bekas. Favorit saya.

Saya sangat bahagia ketika akhirnya bisa menginjak Pasar Senen, di lantai 3 tepatnya. Meski harus menahan bau yang kurang sedap, tapi pemandangan baju-baju vintage ala flea market cukup bisa menahan saya sekitar dua jam di sana. Meski tidak berhasil membawa pulang satu potong pun, tapi saya pasti akan ke sana lagi besok-besok lagi.

Perasaan sama juga saya rasakan ketika berada di lantai dasar Blok M, plaza yang sepertinya sangat padat dan tidak recommended bagi saya yang pusingan kalau lihat banyak orang berlalu lalang. Ingat film “Ada Apa Dengan Cinta?” dimana Rangga mengajak Cinta ke Kwitang? Nah, kompleks yang terkanal karena buku-buku bekasnya itu direlokasi tapi tidak terpusat. Para penjualnya menyebar ke berbagai titik, salah satunya di basement Blok M ini. Tanpa tanggung-tanggung, saya berhasil membawa pulang tiga buku karya penulis favorit saya cetakan awal asli yang masih rapi dan satu bendel versi tahunan majalah lokal favorit saya. Tempat melarikan diri selanjutnya sudah ditemukan.

Ada juga daerah Cikini, Taman Menteng, dan Taman Amir Hamzah. Jalan-jalan di sini nggak kayak lagi di Jakarta. Tapi kayak lagi di Batavia, Jakarta beberapa abad lalu. Di sana ada perpustakaan yang cocok buat ngadem dan taman dengan beberapa anak sekolah serta bapak penjual es yang ramah. Waktu saya ke sana si, nggak macet sama sekali. Dan, yang pasti, adeeeeeem. See? Not Jakarta in your mind, right?

Beberapa waktu lalu, saya mampir ke GKJ. Berdua kawan baik saya, kami menonton pentas tari. Seperti halnya pentas tari yang diselenggarakan sebuah sanggar tari, tarinya tari-tari tradisional yang belum banyak digubah. Dan, tentu saja, penonton didominasi para orang tua dari anak-anak yang pentas malam itu. Apalagi ada puluhan anak-anak yang naik panggung. Tapi bagi saya yang ingin kenalan dengan Jakarta, malam itu terasa sempurna. 

Kompleks GKJ di daerah Pasar Baru tidak terasa seperti Jakarta yang lainnya. Lukisan di pinggir jalan, pasar dengan gapura seperti layaknya pasar pecinan jaman dulu, kantor pos tinggi dengan bangunan gaya abad ke-19, dan jalanan yang sepi. Padahal sebelumnya jalanan macet, karena malam minggu. 

Banyak alasan untuk membenci Jakarta. Tapi mungkin masih banyak lagi alasan untuk mencoba mencintai Jakarta.

Terjebak macet di dalam Trans Jakarta dengan posisi berdiri itu tidak enak. Bisa memperbaiki bedak dan memakai parfum di dalam taksi memang nyaman, tapi argo yang terus berjalan ketika macet sehingga harus membayar tiga kali lipat harga tidak macet juga nggak enak. Mengendarai kendaraan sendiri juga bukan pilihan menyenangkan. Saya nggak kebayang harus jatuh berapa kali jika mengendarai motor sendiri di sini. Kalau naik mobil sendiri, ehm, mobil siapa yah maksudnya, maaf?

Tapi kalau mencoba lebih jeli dan sabar dan tetep positif thinking, akan banyak hal mengejutkan dari Jakarta. Dan saya sedang mulai mencari tahu.

CafĂ© Rolling Stone itu. Ke Aksara yang sudah dijanjikan, tapi belum kesampaian. Ke Salihara. Ke Ruang Rupa. Wauw…

Sudahlah, lupakan jeleknya Jakarta. (mungkin gubernur baru bisa membuat Jakarta lebih nyaman? Semoga)

Berikut, beberapa oleh-oleh dari pentas tari tempo hari. Agak buram? memang. :)


Tari Pembuka

"Anak-anak bersuka ria, bermain dalam dunianya," kurang lebih gitu narasinya :)

Inilah rahasia musik Bali yang indah itu...

The Kids Are All Right


Mereka mulai bermain

cakcakcakcaaak

cakcakcakcakkk

cakcakcakkkk

ini indah :)
 

Wednesday, September 12, 2012

...we' e' werk?



What a work?!

Sebelumnya, kalau boleh saya bercita-cita dan berkeinginan, gambaran pekerjaan (atau apapunlah istilahnya, dimana saya mendapatkan uang untuk hidup dan melakukan hal-hal lainnya serta bisa lebih berkembang di situ) yang saya inginkan adalah: saya bisa menabung dari hasilnya, saya nggak perlu pakai make-up yang terstandarisasi, saya enggak perlu diharuskan memakai rok pendek dan high-heels lebih dari tiga cm setiap hari, boleh pakai kaos dan baju longgar sesuka saya, boleh mengucir kuda rambut saya, boleh pakai celana jeans, ketemu orang-orang yang bisa becanda dan serius dalam waktu yang tepat sekaligus menerapkan sistem belajar bersama. Dan yang pasti, saya memang mampu mengerjakan pekerjaan itu.

Kurang lebih seperti itu.

Agak tidak rasional. Biarin. Kalau orang lain mungkin mematok besaran gaji atau apa. Saya yang baru lulus dan sadar tidak begitu pintar, hanya berfikiran bahwa yang penting saya bisa hidup dan sebisa mungkin harus bisa nabung. Mengenai hal lainnya, sebenarnya itu hanya teknis. Tapi kalau saya harus ber-make up tabal dan ber-high-heels, saya belum siap akan semua hal indah itu. Saya harus bangun jam berapa untuk dandan? Apakah saya bisa bangun pagi? Apakah saya kuat lari mengejar kopaja dengan mengenakan high-heels? Sebenarnya masalahnya itu.

Lalu, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong keinginan luhur untuk punya MacBook sendiri pasca laptop yang suka nge-hang ini, akhirnya saya resmi punya kerjaan yang tercatat dalam selembar kertas dengan kop surat berkepala burung pemangsa daging. Alurnya, tentu saja panjang. Dengan bantuan banyak teman, honorable mentions to: Mamad, aka Ahmad Arif Billah, desainer grafis semasa di LPM Kentingan yang membantu saya memvisualisasikan tes pertama bikin brand image produk cola ajaib rekayasa orang yang kemudian menjadi head on-air saya di kemudian hari. Mana ada cola isotonik rasa teh, dengan merek Coba Cola, cobaaaaa? Tolong bayangkan rasanya. Tapi bersama Mamad, dunia terasa lengkap. Sesiang-sesorean Mamad membantu saya membuat logo imut-imut dengan warna hijau dan kuning kecokelatan yang anggun. “Pokmen aku pengen sing imut mad… seger ning ijih ketok kolane. Warnane ijo, kekuning-kuningan. Bentukane ngene mad…,” ujar saya pada Mamad, memberikan oret-oretan najis saya. “Terus Mad, iklane ki ono kaleng mbukak metu percik-percikan seger ngunu Mad… ngene iki Mad…”. Dengan semangat ‘teman baru segarkan harimu’, sore itu juga kami menyelesaikan gambar-gambar unik itu sebelum saya kirim sepuluh menitan melebihi deadline yang ditentukan. Iyaaa, saya nggak bisa coloring dengan halussssss!; Teh Imeh, yang berbaik hati memberikan petunjuk ‘lalu saya harus ngapain dan ke mana setelah turun kereta di Jakarta?’. Menampung saya di rumahnya di Bogor. Bersama Riska membeli pia apel di sekitar IPB dan mengantarkan saya menunggu bus pulang kembali ke Solo untuk pindahan. Mungkin saya tidur di stasiun kalau nggak ada dia; Sinta dan Amin yang sudah duluan berkecimpung dan berkecipak dalam dunia media televisi Indonesia, berbaik hati menemani saya sebelum dan setelah tes aneh itu.  Dan tentu saja, ini teknis saya sampai aja. Kalau secara keseluruhan, mungkin karena orang-orang yang sayang sama saya mendoakan saya, atau semacamnya.

Singkat cerita, pasca keragu-raguan antara sebenernya diterima beneran apa bohongan, saya ke Jakarta.

Saya pikir, setelah tinggal di Jakarta, saya bisa kuat melek dari jam lima pagi sampai setidaknya jam dua belas malam. Sehingga nggak perlualah itu lari-lari dan muka awut-awutan karena bangun kesiangan. Apadaya, jarak kost ke you name it tempat kerja itu lebih dekat dari jarak pondok kemuning ke gedung III fisip uns. Jika sebelumnya saya harus melewati gang surya dua, gang surya satu, jalan surya utama, menyebrang jalan ki hajar dewantara, memasuki gerbang hukum, nyebrang di pertigaan hukum, lari di parkiran fisip, melewati jembatan asmara, naik tangga ke lantai tiga, dan malu-malu masuk ruang 14 (jauh banget ya, padahal cuma sekitar lima menit). Sekarang saya cuma perlu melewati jalan kampung, keluar gerbang perumahan, melewati pos satpam, lobi tiga, lobi dua setengah, masuk lobi dua, absen (sekitar empat setengah menit). Jadi saya tetep nggak bisa bangun pagi.

Impian saya untuk pakai jins dan kaos juga nggak kesampaian. Ya mungkin biar saya sekalian bisa mbedain, mana baju buat kerja dan mana baju buat tidur kali yah. Mungkin ini efek positif yang saya dapatkan.

Sebenarnya, masih banyak efek positif lainnya…. Tapi saya ntar dibilang sombong. Kata sinetron Ramadan yang saya tonton, sombong itu nggak baik.

Karena sebenarnya, saya malah jadi merasa bego.

Berada di antara orang-orang yang (bagi saya) senior, itu nggak mudah. 

Saya, mikirin konsep bisa seminggu nggak kelar. Mikiran konsep visual apalagi. Bisa rapat video seminggu berturut-turut. Si Herka rambutnya jadi kribo, si Ajik suranya jadi cempreng, terus Pusa jadi bedakan sampai lipstikan segala, bahkan si Sigit bisa jadian dan terus putus, belum lagi si Maul mungkin udah capek ceramah tentang Islam di Lebanon. Belum lagi si Dini bisa ganti pacar dua kali, si Lele sampe jadian sama Herka, Amal langsung jadi dosen, sampe Maya beres nari Matah Ati, si Rani motret sepuluh kawinan, Hafinya akhirnya nikah sama mas Agus, Ratna kucingnya nglahirin sepuluh kali, si Vicky sampe bikin album piano segala. Itu konsep baru ketemu kali. Terus kita berangkat ke Magelang.

Di sini, ide-ide kayak keluar dari AC terus ditangkep gitu aja. Slap, slap, slap!!! Tiba-tiba mereka bisa bicata tentang, politik itu bisa jadi masalah di tangan yang salah dan mengasosiasikannya dengan pistol!!!! Mereka ingin mengingatkan para calon gubernur Jakarta, bahwa Jakarta itu bukan mainan menjadi terasa begitu asyik dengan menggunakan lego dan anak-anak kecil yang lucu berpose kayak calon gubernur. 

Lalu saya harus bagaimana? Apa saya perlu memanjangkan rambut saya lagi?

Kenapa otak saya cuma nyandak ke: bikin pantun buat humor lebaranan. Kemajuan saya cuma sekedar berkurangnya abang presenter talk show dewa yang kribo itu kasih saya tanda menyilang besar. Dan bikin iklan radio cuma revisi tiga kali!!!!

What a work, then?
Learning. In my opinion.

Saya nggak bisa ngandelin Mamad lagi. Saya nggak boleh nunggu-nunggu Maul usul ide, sebelum berani kasih ide lainnya. Dan, saya nggak boleh iya-iya aja kayak peserta rapat tema majalah kentingan ketika udah mulai jam sepuluh malam padahal lagi bahas fokus utama. 

Meski hampir sama, ternyata ini bukan tugas kuliah yang udah, selesai di tangan dosen ketika dia memberi kita nilai B di akhir semester, padahal kita udah mati-matian bikin tugas akhir. Dan kemudian kita tahu bahwa dokumenter kita bukan kayak dokumenter yang sesungguhnya (di mata dosen). Lalu apa? Kita pengen memperbaikinya, dengan menambahi sedikit VO seperti halnya dokumenter klasik. Tapi semester delapan sudah selesai. Dan nilai kita sudah tercatat B. Atau berpuas hati dapat nilai terbaik, tapi ketika ditanyai adik kelas glagapan bukan karuan. Berhenti semesternya, berhenti belajarnya.

Ternyata ini juga bukan tentang membuat majalah kampus dengan sok idealis, kritis, tapi kebanyakan bermanis-manis. Memenuhi check list ‘terlaksana’ di laporan pertanggungjawaban tanpa ada pembelajaran yang lebih dalam. Satu hari baca Marxisme, kemudian hari pegang Elle. Besoknya lagi bilang, kalau nggak ada pabrik baju-baju mahal ini, para buruh itu nggak punya pekerjaan. Tapi nggak bisa jawab, kenapa para buruh itu nggak bisa beli apa yang mereka sendiri buat?

Ada semacam proses untuk terus belajar-belajar-belajar-dan belajar yang nggak ada hentinya. Yang entah dari mana, mengajak saya terus melompat untuk tahu A, B, C, D dan seterusnya…. Mengajak saya untuk punya alasan untuk setiap pernyataan.

Nggak bisa lagi dengan pede: enak aja dilihatnya. Asyik aja kebacanya. 

Meski saya percaya, kadang ada keajaiban kecil yang manis yang nggak perlu alasan.

Jadi, mungkin, kalau bekerja adalah mendapatkan uang bla, bla, blaaaaa…. Itu iya. Tapi, itu aja nggak cukup buat dijadiin alasan. Jika uang adalah alasan pertama, berarti saya butuh: belajar, sebagai alasan kedua.

Saya sendiri nggak tahu, apa saya akan terus berjalan di jalan yang sedang saya mulai sekarang. Terlalu banyak yang saya inginkan.

*Apa kabar kawan-kawan baik saya?