Tuesday, May 29, 2012

...mixtape #4


Let’s sing and dance together!

 

Lulu is kind a sweet little-girl who loves to watch local tv. She’s 7th, and she just beginner in English, she just learns to know about colors, fruits name, and some short conversations.

When she was 5th, she loves ST12. Yeya, the band has a lot of on-air-show in so many-many early-morning-music-show. It’s okay, no way, as long as she’s sings and still loves Spongebob and Patrick, and also loves to turn on the Dancow’s CD collection. She’s enjoying her childhood, like I was crazy about Westlife. That’s about which media you see, so you’ll get your ‘superhero’, in music too.

One day, she asked me about, “am I have ST12 songs?”. Ah, sadly, I wasn’t. But, hei, to comforted her, I played “Sing” from Mocca for her. Guess what, she likes it. Who wouldn’t love that song, anyway? Then I leave some Mocca’s to her, yeah, even she never listens again.

And, here we are, pillow-ing and blanket-ing every night. So, she has to listen for every song I’ve played. Happy to know that she loves any. Okai, she dislikes Coldplay, then I wouldn’t play them to Lulu. I try other-and-other-and-other songs to her. Choose some cheery tone, and wait for her reactions, ‘til get her favorite songs.

I name it as: The Lulu Mixtape (a fun mixtape)

Which songs she likes? Here we go:

I’d Rather Dance With You (KOC)

She very-very-loves this song. O, who wouldn’t? When she watched the VC for the first time, she wanted me to replay the VC, again and again. For what, she was dancing like the ballerina on the VC. Hhhaaa… she always offers me to play that VC for her, then we dance together. Move our legs and hands. The funniest thing came when she said to me, “Mbak, the VC was made on 2004, Lulu wasn’t yet birth”. Ahahhahaaaa… :D

Beautiful - Cantik (Cherry Belle)

Hey, come on, I bet that every girl who watch TV must know this song. “You’re beautiful, beautiful, kamu cantik, cantik, dari hatimuuu…”. A local K-pop-fever-girlband with nine (or seven?) dool-look-wanna-be who dance like a kindergarten students and love to say “chibby, chibby, chibby, hap-hap-hap”. A sarcastic term, uh. But no, they're sweet anyway. In my opinion, whose barely enjoy this song, the song is about being positive thinking, like one of my friend said about them in his review. That’s good for their fans, the little-girls (like Lulu) and teenager. A funny, cheery, and lovely song.

The Best Thing (Mocca)

Lulu loves to follows Arina’s gesture when she shakes her head. Ahaahah… she loves to humming too. Try to says: “I've got the best thing in the world, cause i got you in my heart, and this screw little world, let's hold hand together, we can share forever, maybe someday the sky will be colored with our love”. An another cheery and funny song.

Sing (Mocca)

This song is a first touch between Lulu and Mocca. The easy English phrase in this song is easy to followed by Lulu. Short and clean.  “Sing. Sng a song, sing aloud, sing out strong. Sing a good things, not bad. Sing of happy, not sad”. That sooo easy to her who barely learn English and in a fun way too, anyway.

Aksi Kucing (White Shoes and The Couples Company)

Ahhahaha, that’s was genius when Sari and friends added clause “meong, meong” in this song. That’s  iconic. Hear the intro, that’s make us dance. A funny song, uh? And listen for this: “Apa guna Bu, malu-malu kucing (meong-meong), meong-meong di belakang suaranya nyaring. Jangan suka Bu, diam-diam kucing (meong-meong), sudah menerkan sebelumnya berunding.” In the end of this song, Lulu asked me, “Mbak, is the song tell about kucing (cat)?”. Hhhaa, then I tell her, that, this song is about to, don’t be a ‘kucing’, don’t be a gossiper, ah here: “Jangan jahat sama temen, jangan suka ngomongin kejelekan-kejelekan temen ke orang-orang. Ntar kamu nggak punya temen, itu jahat. Kalau misal kamu nggak suka karena ada temen yang nakal, kamu ngomong langsung sama dia, biar dia nggak nakalin kamu lagi. Kalau ada temen yang nakal sama kamu, kamu juga nggak boleh balesin nakal.” Is that an advice? Uh!

Settle Down (Kimbra)

I just barely very-serious-to-know this song and sing it very loud, almost every day. Such a shame, uh? We watched the video together, and, yeah, she loved the VC. In other way, Lulu loves to dance in the end of the song. Okai, we love to dance together. The VC is telling about our childhood, I think. We wanna seem like our mom, who has a husband, our father. Then, we play a-wife-y thing with our doll. Did you ever? Of course I did. Hear this part: “I wanna raise a child, i wanna raise a child. Won't you raise a child with me? raise a child. We'll call her Nebraska, Nebraska Jones. She'll have your nose, just so you know.” Yes, Lulu knows about it and she loves it. I bet, if she knows what the lyric wanna tells about, she will love to sing it. But, you know, its kind a not-easy to sing it. Then, I wish you agree with me, that it’s an incredible song.
 

 -----

The conclusions:
Lulu is more interest on rhythm and video clip. She doesn’t care about lyric or song meaning. It shows the clause that, a child will interest in tone and visualization is true. :))))

Notabene:
She can’t spell English well, so, she just enjoy the music, humming, swinging and dancing. But, you know, that’s funny. Just maybe, kind like, if you’re boy and you have a little-bro, then you enjoy the match till midnight.  Anyway, she hates ERK’s “Cinta Melulu”, she hates phrase “lulu” over there. :))))

Post-script:
Let's sing and dance together with these songs:

1. I'd Rather Dance With You - KOC

Monday, May 28, 2012

...mendekat, banyak sekat.


-- tiba-tiba saya teringat obrolan dengan seorang kawan pada jauhhh hari lalu.


buat jatuh cinta aja gue takut. kata mereka tuhan kita beda.

Rasa-rasanya. Kayak, kalo kamu…
Kamu bakal tahu kalo kamu yang ngerasa."

Sunday, May 27, 2012

…before [20] after


Melihat adik terkecil saya, si Lulu yang baru berusia tujuh tahun dengan riang meminta gendong pada bapak dan lalu menjadi semakin riang ketika bapak pura-pura merasa keberatan dan tidak kuat, sehingga berpolah seakan terpleset membawa ingatan saya pada masa kecil saya.

Ketika saya masihlah si kecil berponi lurus yang jatuh tepat di garis alis, si gupis yang selalu minta gendong dan senang bukan main jika minum susu, makan donat, oreo, dan taro. Jika ibu ibarat seorang peri yang baik hati, maka ayah adalah superhero yang akan melindungi saya. Pun ketika saya punya seorang adik ketika usia saya sekitar empat tahun, kami tumbuh besar bersama. Menaiki motor Suzuki entah tipe apa, dengan tangki warna oranye,  dengan bapak di tengah, adik saya di depan, saya membonceng di belakang, kami memancing bersama. Pun ketika bermain-main dan meminta gendong, saya memeluk erat di punggung, adik saya menggantung erat di dada bapak.

Hingga kami tumbuh besar.

Bahkan adik jauh lebih tinggi dan besar dari bapak. Tentu kami tak akan berani meminta gendong seperti sepuluh tahunan lalu lagi. Mungkin saya tidak pernah melakukannya lagi setelah masuk SMP, dan tidak akan pernah lagi. Perasaan bukan lagi sebagai anak-anak memaksa saya meninggalkan hal-hal menyenangkan semacam itu, tapi tanpa sadar saya masih saja mengingkarinya dengan sikap manja yang mungkin belum hilang hingga sekarang. Manja ala anak yang sok-sokan menjadi remaja dan dewasa.

Akhirnya saya memahami kenapa ibu dan bapak tidak mempermasalahkan, justru tampak senang bukan main, ketika saya masuk SMA dan ibu hamil adik kedua saya. Alasannya, “Kalau nanti kamu dan adikmu sekolah atau kerja jauh dari rumah, ibu dan bapak masih punya teman.”

Mereka benar. Selama hampir lima tahun ini saya harus tinggal di Solo, konstan saya harus tak lagi tinggal dengan mereka. Tak terasa namun nyata, adik saya pun sepertinya tengah bersiap meninggalkan rumah, kalau-kalau dia harus belajar jauh dari rumah.

Kami senang, masih akan ada Lulu yang merajuk minta serutan baru karena serutan lamanya tumpul, dan dia hanya mau jika membeli serutannya bersama bapak. Lulu yang kadang menemani bapak tertidur di depan televisi. Lulu yang akan menemani mamah arisan atau menikmati sore, jikalah si bapak belum pulang.

Bahkan, melihatnya tumbuh besar seperti melihat diri saya sendiri menjadi besar. Mamah yang diam lalu mulai mengomel tentang makanan kalau-kalau Lulu mulai tidak mau makan adalah hal yang sama seperti yang saya terima ketika saya juga ogah makan. Mengajak gosok gigi, pipis, dan cuci kaki sebelum tidur. Membiasakan menabung setengah uang saku sekolah untuk jajan di hari minggu. Lebih senang membaca buku cerita daripada belajar buku-buku lainnya, serta mulai senang berkhayal lalu menuliskan petualangan-petualangan aneh. Dan, tentu saja, malas belajar mengaji bersama si mbah putri. Hhaaa.

Hanya sedikit hal yang bisa saya ingat dari masa-masa silam. Hanya sekilas-sekilas seperti mimpi hingga ternyata saya sudah setua ini. Sangat jauh lebih tua dari adik terakhir saya, tentu saja. Dan, mungkin, besok, saya ingin mengingatkan Lulu untuk menikmati masa kanak-kanaknya sesenang-senangnya…

Sebelum dia mengenal yang namanya tuntutan dan tanggungjawab pada orang lain dengan ribuan karakter yang kadang tak bisa kita mengerti juga. Sebelum mulai terbuai mimpi dan berusaha mati-matian mengejarnya namun kadang kita harus menerima kenyataan bahwa kita gagal. Sebelum mengenal pria, jatuh cinta dan lalu patah hati, jatuh cinta lagi, patah hati lagi, dan jatuh cinta lagiiii. Sebelum akhirnya meninggalkan rumah, dan hanya memiliki sedikit waktu untuk merasakan lagi apa yang ia bisa nikmati hari ini.

Ketika semua hal menjadi begitu menyenangkan. Ketika dia menerima banyak kebahagiaan, karena dia juga telah memberikan kebahagiaan yang sama untuk semua orang. Ketika gigi gupis justru terlihat manis. Bahkan, ketika ngompol setiap hari pun hanya sebuah hal biasa seperti halnya ganti baju dan mengganti seprai-nya…

Dan tentu saja, kini. Ketika saya tiba-tiba merasakan adanya perbedaan yang saya alami dari waktu ke waktu. Bahkan kadang terasa sangat drastis. Bahkan ada garis batas yang terasa sangaaat panjang antara saya ketika sebelum dan sesudah dua puluh tahun, yang entah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Antara lebih bahagia atau sebaliknya. Antara lebih bodoh atau sebaliknya. Saya tidak lagi memiliki waktu selebar Lulu untuk berbagi banyak hal di sini.

Sepertinya saya memiliki tugas dan tanggungjawab lain, yang entah apa.

Untuk membagi kebahagiaan lain, yang entah apa juga. Dan, diam-diam, lebih sibuk untuk memikirkan diri sendiri dan mengejar yang katanya mimpi.

Dan, saya, sudah tidak boleh pipis di celana.

Saturday, May 26, 2012

...analisis isi [] analisis diri


Tentang peran diri dalam sebuah relasi.



Tentang beberapa hal yang terasa janggal, namun diam-diam diamini. Tentang adat yang terasa menyekat dan berat namun terus melekat. Tentang banyak kesalahpahaman yang kadang perlu penjelasan panjang namun seakan tak ada yang mau mendengarkan. Tentang kendali diri dan kembali pada diri. Untuk bersiap dan bersikap sekaligus.

Seperti kebetulan yang terencana, beruntun beberapa hal agak mengajak diam. Barangkali tidak perlu diobrolkan karena memang demikian adanya. Tapi melihat sesuatu yang kecil daripada berkutat tentang banyak hal yang besar kadang lebih menyenangkan. Seperti kolase yang dari kejauhan membentuk gambar jelas, ketimbang dilihat dari dekat. Kita akan pahami maknanya setelah mengupumpulkan yang kecil, menyatukannya, dan kemudian menarik garis makna dari tiap kepingnya.

***

Pagi tadi, ada satu re-tweet menarik sekali.

Ini dia: “wadon sempurna kuwe ora matre, ora manja, ora seneng belanja, ora ana” (perempuan sempurna itu tidak matre, tidak manja, tidak senang belanja, tidak ada).

Saya retweet balik. Ada saya dan satu teman perempuan lain. Lalu, si pe-retweet pertama, yang notabene adalah seorang kawan laki-laki, me-mention kami, sederhana saja, “uhuk…”, menggoda. Ah, iya, tentu saja ini hanya sebatas tweet-tweet biasa, sebagaimana kami juga saling mengenal baik dan biasa bercanda.

Tapi sebentar, karena saya membalas twit tadi dengan kalimat ini: “makanya perempuan itu g sempurna sebelum disempurnakan laki-laki njul... :)))))))”. Kalimat ini bisa menjadi sangat multi-makna. Selain memang dalam sistem kita, laki-laki itu ya pasangannya perempuan. Oke, kecuali mereka yang memilih korelasi hubungan sejenis.

Dalam konteks tadi, kata “sempurna” itu merujuk pada seorang perempuan yang tidak matre, tidak manja, dan tidak senang belanja. Tapi dalam pikiran saya, maka tugas laki-lakilah menyempurnakan seorang perempuan: untuk memberikannya kebutuhan materi, memanjakan, dan terimalah bahwa perempuan sepertinya memang selalu suka belanja.

Sementara twit pertama yang saya tidak tahu, si admin itu perempuan atau laki-laki (tapi sepertinya laki-laki), mengajak keberatan. Seakan-akan, dia menginkan gambaran perempuan seperti itu, tapi ternyata, tidak ada.

---

Ah, jadi untuk apa menggugat yang memang sudah ditahu. Bukan dalam hal negatif yah.

Saya kira, kenapa perempuan senang belanja, itu karena memang naluriah karena harus terbiasa memilih yang terbaik. Makanya, biasanya, pengurus pasti menempati posisi “yang harus berbelanja memenuhi barang-barang kebutuhan”. Dalam beberapa hal, perempuan tahu mana yang lebih baik dan sesuai kebtuhan.

Tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang agak kejam adalah sebenarnya. Apalagi teringat cerita salah satu teman yang masih dalam garis keturunan orang asli Bali. Tentang adat setempat yang menempatkanperempuan dalam posisi lemah, sementara laki-laki menjadi seakan bebas tanggungjawab. Seakan terbolak-balik, di sini, laki-laki tak lagi menjadi pelindung yang lahir secara alami.

Apakah saya membela-bela perempuan, tentu saja, saya perempuan. Tapi saya tentu bukan ahli dalam hal feminisme, saya tidak sekeren itu, tentu saja. Tapi pada akhirnya, saya percaya tiap orang punya hak atas dirinya sendiri. Untuk menentukan sikap dan berbuat.

Terlepas anggapan wajar dan apa adanya, kadang memang ada perempuan yang sangat minus, begitupun laki-laki amat minus. Bahkan dalam diri, kita tetaplah seperti baterai dengan dua kutub, negatif dan positif. Nah, inilah pada akhirnya kekuatan kita untuk menentukan peran diri dalam sebuah relasi.

Saya perempuan macam apa sih? Apa yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Meski kadang tak selamanya dianggap baiiiik oleh semua. Kita punya kendali diri. Apalagi jika ternyata kita masih hidup dalam lingkaran dengan adat-kebiasaan yang begitu kuat, sementara di sisi lain kita telah menceburkan diri sebagai masyarakat dunia yang (merasa) bebas, dilematis sana-sini.

Bahkan kadang saya takut bicara karena bisa saja saya malah pada satu saat nanti, dengan kebutuhan tertentu, justru harus melakukan sesuatu yang sebelumnya saya anggap keliru.

Tentu saja kita tidak ada yang sempurna.

Tapi bukankah kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki.

Diri.

...mode-jalanan [] street-fashion


Terbayangkan?

Seseorang melintas di jalur pedestrian sebuah kota klasik dengan gedung berdinding batu peninggalan abad pertengahan sementara salju turun perlahan, memandang kaca jendela berpigura tinggi dimana di dalamnya sebuah bar memanjang dan beberapa orang bercakap sambil memagang segelas besar bir berwarna cokelat segar, di sebelahnya lagi berjejer rapi meja bulat dengan kursi-kursi kecil mengelilingi dan dua sejolo tua menghirup kopi ditemani sepotong tiramisu cake, sementara taksi-taksi kuning bergerak pelan mengikuti rambu lalu lintas, dan di seberang sana segerombolan anak muda berkostum warna-warni menyerupai tokoh dunia fantasi.

Di manakah?

Ya.



Itu random. Sambil membayangkan jalanan di kota Paris, London, Milan, New York, dan Tokyo. Ketika seorang biasa saja, bukan selebritas, bukan sosialita yang sering masuk majalah gaya hidup, tertangkap kamera dengan pakaian uniknya. Tak perlu embel-embel merek-merek tertentu, tak perlu harga-harga tertentu, tapi tetap memikat mata. Tidak seperti photo-spread yang memang menggunakan model dan diarahkan oleh seorang stylist, karakter si pemakai justru lebih terpancar kuat diatara bebat pakaian yang dipakainya. Menjadi diri sendiri? Barangkali. Atau mungkin, si penangkap gambar ingin bicara pada dunia, “everybody is stuning”, “everybody is a fashionista”, sambil memicingkan senyuman lurus nan dingin pada Anna Wintour. Mengacungkan jari tengah dan tersenyum manis sekaligus pada tatanan mode yang telah terlanjur mapan.

Saya teringat Bill Cunningham, seorang veteran yang kemudian menjadi pewarta foto dan digelari sebagai New York’s Kings of Street Style. Awalnya, ia adalah seorang reporter biasa, sebelum akhirnya ia tertarik mengambil fashion photo di jalanan New York sejak lima puluhan tahun lalu. Pria kelahiran tahun 1929 ini begitu identik dengan sepeda yang setia dikayuhnya dan kameranya ini biasa mengabadikan gaya para pejalan di seputar kawasan elit Manhattan. Ada anekdot, bahwa para the newyorker ini sengaja tampil semenarik mungkin demi tertangkap kameranya. Wauw!

Barangkali, sebelum street fashion se-mendunia sekarang, dialah orang yang pertama kali menemukan keasikan mengamati pakaian orang-orang yang dilihat di jalanan.

Lalu, saya tertarik ketika memasuki sebuah situs pamer-foto street fashion internasional dan menemukan opsi “JAKARTA” di antara Amsterdam, Berlin, Buenos Aries, Chicago, Los Angeles, Zurich, Sao Paulo dan beberapa kota lainnya. Walaupun font hurufnya tak sebesar London dan empat kota yang sudah saya sebutkan sebelumnya, saya cukup terkejut dan sedikit senang.

Tapi sayang. Jikalah street fashion misal kita artikan secara harfiah bahwa mereka adalah para pejalan yang benar-benar tertangkap kamera sedang berjalan kaki di trotoar, maka para street-fashion Jakarta ini adalah mereka yang sedang bergaya di depan wall of fame sebuah acara atau mall. Oke, saya emang belum baca lebih banyak dan lebih serius, tapi rasanya saya kurang puas, karena fotonya juga Cuma beberapa puluh. Dibandingkan dengan gambar-gambar dari beberapa negara lain yang memang benar-benar sedang berada di jalan, Oxford Street London, Fifth Avenue NY, atau Harajuku Street Tokyo.

Alasannya sebenernya sederhana, jalanan kota kita tentu bukan ‘catwalk’ nyaman bagi para fashionista, street-fashion-addict yang senang jalan kaki sekalipun. Tapi hasilnya, kita boleh bangga pada para street-fashion yang tertangkap kamera ini. Meski saya yakin sebenarnya mereka juga paham merek dan baca majalah mode, tapi gaya mereka berkarakter.

Terlepas dari itu semua, bukankah style itu milik setiap pribadi dan harus diapresiasi. Yah, inilah apresiasinya.