Thursday, April 28, 2011

... kalah

Ketika kita kalah. Kita harus tahu untuk bersikap. Untuk teman saya yang (merasa) kalah karena cinta. Semuanya belum berakhir.
Saya tidak begitu dekat secara pribadi. Dalam beberapa percakapan. Tentang belajar, tentang cita-cita, tentang komunikasi, tentang pemikiran-pemikiran, saya percaya dia akan menjadi orang hebat di masa depan.
Dia merasa menjadi satu yang cacat diantara beberapa orang hebat. Karena anggapan orang lain atas sikap-sikapnya. Sayangnya saya masih belum mengerti dan menerima pendapatnya. Atas dasar apa orang lain semena-mena menganggap kita kurang, sementara kita banyak berbuat?
Benar memang kalau semua orang mencari yang sempurna. Mencari yang terbaik. Tapi apa iya kita selalu berpura-pura mencoba sempurna atau berbuat terbaik? Naif sekali. Apa kita hidup selama-lamanya untuk membahagiakan orang lain?
Diam dan berbuat. Diam untuk tidak mempedulikan pendapat negative orang lain. Biar-biar saja oranglain mau melihat segala keburukan kita, setelanjang-telanjangnya. Lebih baik kita dikenal buruk, daripada dikenal baik tapi hanya kamuflase, ketidakberdayaan aktualisasi diri. Berbuat, lakukan semua yang bisa kita lakukan. Ingat kembali, apa tujuan kita. Misal, kita di satu pekerjaan untuk mencari uang, maka mari segiat mungkin mendapatkan uang itu. Kita di satu waktu untuk belajar, maka kejar ilmunya. Nggak kotor, nggak belajar. Sama saja, nggak salah, nggak belajar. Dengar dan lakukan, jika yang banyak orang omongkan itu memang dirasa benar. Cukup dengar lalu abaikan, jika  yang banyak orang omongkan itu dirasa keliru.
Pada akhirnya, karena apapun kita kalah. Seringkali hanya karena kita merasa kalah, lalu kalap. Seandainya kita tidak diajarkan untuk kalap setelah kalah. Tidak akan ada istilah kalah. Untuk teman saya, belajarlah dimana saja jika disini (kamu rasa) bukan tempatmu lagi …. []

... belajar menggambar (ng-blog lagi)

 
Saya yakin, tidak ada yang terlalu fanatik melihat halaman rumah saya ini.
Seperti halnya saya, yang juga tidak terlalu fanatik untuk merawat halaman rumah saya sendiri. Saya mau belajar membersihkan teras, memangkas rumput, dan menanam bunga dari nol lagi. semoga ada yang bersedia membantu. Dan tentu saja, melhat halaman saya kelak.
Kenapa menggambar, karena saya tidak bisa menggambar. Sungguh. Saya tidak bisa menggambar. Setidaknya, orang tidak akan cukup mengerti dengan apa yang saya gambar. Kemampuan menggambar saya berhenti ketika saya berusia lima tahun, kelas dua madrasah. Jadilah saya hanya bisa menggambar sebuah pot, dengan batang menjulang berisi satu bunga dengan satu lingkaran besar dan lingkaran kecil yang mengelilingi lingkaran besar, saya menganggapnya sebagai bunga mawar.  Lalu sebuah daun dengan serat sederhana menuju pangkal pohon. Itu bunga versi saya.
Ah, sungguh saya tidak bisa menggambar.
Pertanyaan berlanjut ketika, beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah ide besar. Ide besar yang saya anggap akan menjadi jalan menuju kejayaan saya jika saya menekuninya dengan benar. Sebuah gambaran masa depan cerah, ditambah khalayan akan sebuah manajemen yang sempurna.  Yaitu menjadi penjahit. Bahasa halusnya, perancang. Bahasa kerennya, desainer.
Pertanyaan tersebut adalah, gambar seperti apa yang akan saya buat untuk merancang sebuah baju? Ide saya terhenti sesaat. Bayangan masa depan cerah seketika tertutup awan, seperti langit Solo di jam dua beberapa hari ini.
Aha, saya teringat seorang teman yang bercerita, bahwa seorang desainer grafis di Amerika sono menjadi hebat karena konsepnya. Bahkan ia membuat outline-nya dengan gambar manusia yang terbuat dari lingkaran-lingkaran yang disatukan (kebayang?). Hm, itu kan saya banget. Mendung tak jadi datang, sepertinya Tuhan benar-benar sayang saya.
Sore harinya, saya bertemu si teman yang satu itu. Saya bertanya lagi prihal desainer grafis itu. Untuk meyakinkan diri, bahwa gambar-gambar bulatan bisa saja menjadi masterpiece.  Si teman pun meyakinkan saya sekali lagi. Saya semakin berbahagia. Lalu saya bertanya, “itu kan desainer grafis, kalau desainer baju?”. Teman saya terdiam, memandang saya. “Aku pengin mendesain baju”, saya percaya muka saya memelas sekali kala itu.
Sayang sekali, muka memelas saya tak membuat jawaban teman saya itu melegakan. Dia meyakinkan saya, bahwa lain perkara untuk desainer baju. Teman saya itu sedang bebicara tentang desainer grafis. Ah, baiklah. Graphic designer is about how make it real with other things, like software, colour, sense, and brilliant concept. Not at all on fashion designer, which is need details (cocept is a  must, too).
Jadi, saya menelan ludah saja. Berharap akan ada kesempatan belajar menjahit. Membuat pola, yang sama dengan menggambar. Atau, cara paling signifikan, segera melupakan khalayan saya itu. Biarlah menjadi kacung orang, asal senang dan banyak uang. Lupakan tentang menciptakan lapangan kerja dan menyiapkan modal.
Pencerahan terjadi hari ini. Sebagai bukan penggemar komik atau sejenisnya, saya tidak mengenal Gundala, sebuah karakter hero lokal dalam komik era 80-an. Hingga akhirnya hari ini, hujan siang tadi, mempertemukan saya pada si pembuat komik. Harya Suraminata, aka Pak Hasmi, aka Mas Nemo. Seorang bapak paruh baya yang riang gembira nan halus pembawaannya.
Saya mengantarkan majalah kampus yang memuat beliau dalam rubrik sosok, dulu saya yang mengusulkannya, karena terinspirasi temen yang ng-fans beliau. E, ternyata itu menimbulkan euphoria teman-teman yang kenal Gundala.
Singkat cerita, tadi saya melihat pak Hasmi membuat karakter Gundala. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit. Sebuah gambar berkarakter tercipta. Ah, Tuhan. Saya belajar menggambar sepotong celana tak berkarakter saja tak bisa. Dari sana saya belajar, Tuhan membagi bakat dalam berbagai kelompok. Saya tidak bakat menggambar. Benar adanya begitu.
Tapi sepertinya, saya masih punya kesempatan belajar menggambar. Selama ada pensil, drawpen, dan kertas. Bukan demikian?

Mengenang:
Ahmad Arif Billah (teman yang bercerita tentang desainer grafis. Pinter ndesain)
Titis Efrindu Bawono (teman yang bareng ke Pak Hasmi. Pinter gambar juga)
Dimanuga (teman yang pinter gambar, dan nge-fans Pak Hasmi)
Pak Hasmi (ah, speechless!. You, Bravo sir…)

...sisa



“Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang ‘anak gadis modern’, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnyapun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia… (Surat R.A. Kartini kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

Lebih dari satu abad lalu seorang perempuan golongan atas Jawa menuliskan kegelisahan tersebut pada seorang nona Belanda. Di masa kini, barangkali telah banyak ‘anak gadis modern’ yang Ia ingin kenal. Bahkan di tanah kelahirannya yang tak berkembang menjadi kota besar.
Dari mana saya (kita) mendapatkan ide tentang emansipasi? Dari guru di sekolah, dari ayah-ibu, dari buku-buku, atau dari media yang ‘heboh’ memperbincangkannya di tiap momen tertentu? Sebagian mungkin akan menjawab dari Kartini, siapa Kartini? Lalu terdiam sebentar. Apa yang Ia cita-citakan atas emansipasi? Apa yang Ia inginkan untuk perempuan setelahnya? Mari kita bicarakan bersama.
Emansipasi ditangkap oleh saya dan sebagian lainnya adalah ketika perempuan mempunyai kedudukan dan hak sama seperti laki-laki. Pada kala itu, Kartini mempermasalahkan keterbatasan perempuan akan pendidikan dan kedudukan dalam masyarakat. Sekarang ini, sudah tidak terhitung banyaknya perempuan di Indonesia mempunyai gelar profesor dan doktoral (meskipun secara kuantitatif masih kalah dengan laki-laki). Atau program sepertiga anggota dewan merupakan perempuan.
Adapula pengertian, emansipasi yaitu saat perempuan mampu melakukan pekerjaan laki-laki. Kalau demikian, sebelum adanya Kartini emansipasi yang demikan ini tentunya sudah ada. Lupakan sejenak perkara dokter, bupati, atau bepergian tanpa ajudan. Lihatlah perempuan yang turun ke medan perang (Cut Nyak Dhien) atau perempuan yang mencangkul, turut mengangkat kayu, mencari batu kali. Bahkan hingga kini perempuan yang bekerja di sektor marjinal masih banyak. Tapi terasa luput dari semangat emansipasi. Atau hanya karena mereka tak banyak bicara bahkan tak tahu tentang apa itu emansipasi? Bukankah itu pekerjaan laki-laki yang sesungguhnya?
Citra perempuan
Seorang perempuan masuk lift, disampingnya berdiri pria yang OK (dalam segala hal: tampan, atletis, terlihat baik dan kaya). Perempuan itu tersenyum, pria itu seakan tidak melihatnya. Selanjutnya, perempuan itu memakai krim sebuah produk kecantikan. Tujuh hari kemudian, perempuan dan pria itu berada dalam satu lift lagi, dan ajaib. Si perempuan yang  pura-pura cuek justru disapa terlebih dahulu oleh si pria. Dan si pria (terlihat) sungguh terpesona pada si perempuan.
Atau bagaiamana seorang pemain band terkenal begitu terperdaya oleh sorang perempuan karena aroma badannya. Perempuan dalam iklan-iklan tersebut dapat dilihat dari dua sisi, pertama, perempuan begitu mengikuti keinginan pria, sehingga ia harus merubah dirinya hanya untuk menarik perhatian si pria. Dalam kehidupan nyata, ini wajar. Di jaman siapapun, di masa siapapun. Bahkan untuk pria yang ingin menarik perhatian perempuan. Hanya saja dalam iklan, kekuatan sebuah produk tertentu tak terhindarkan untuk membentuk sebuah citra. Hanya perempuan yang memakai produk-produk itu (putih, tinggi, langsing, berambut panjang, wangi, dll) yang akan menaklukan pria.
Kedua, perempuan di media menunjukan bahwa perempuan mempunyai kekuatannya sendiri. Kekuatan alamiah itu. Kekuatan yang mungkin tak disadari dan harus ditunjukkan. Era 80-an, ketika foto Madonna untuk sebuah majalah dengan pandangan mata menantang lensa kamera dianggap menajdi momen bahwa tak akan selamanya perempuan menjadi makhluk lemah, terutama ditengah otoritas pria.
Emansipasi perempuan
Pada suatu saat, ada penghargaan kepada beberapa  perempuan atas semangatnya. Mereka adalah perempuan yang dianggap hebat (Kartini Masa Kini). Pendiri dan membesarkan sebuah perusahaan besar, pemilik jaringan media, desainer, penyanyi, dosen, praktisi, dan lain sebagainya. Barangkali mereka mewakili “anak gadis modern” angan-angan Kartini.
Pada suatu pagi, seorang teman merasa bahwa apa yang kita lakukan untuk “merayakan” semangat Kartini sekarang ini adalah (kurang lebih) keliru. Hanya menambah dosa Kartini, katanya. Saya tidak bisa mengerti, kenapa harus membawa dosa. Apa karena simbolisasi yang terlihat hanya itu-itu saja. Kebaya, berkain jarik, bersanggul? Apa karena alasan itu. Lalu saya pikir, Ia lupa akan semangatnya. Barangkali karena Ia bukan seorang perempuan.
Bagi saya, tidak penting siapa itu Kartini atau siapapun. Karena itu hanya masalah waktu dan kebutuhan. Seperti Soekarno, Sjahrir, dan teman-temannya yang dididik dengan cara Belanda dan pandai hingga mempunyai gagasan tentang bangsa dan negara. Begitupun Kartini, yang mungkin kalau saat itu dia tak ada. Pasti akan ada perempuan lain entah siapa yang sepemikiran dengannya. Karena ini adalah sebuah perubahan. Termasuk penyikapannya untuk masa sekarang. Dimana kajian perempuan (feminisme) berkembang sedemikian rupa mengangkat hak-hak perempuan. Bukankah yang terpenting adalah semangat menjadi perempuan “berharga”.
Mungkin masih banyak pandangan tentang perempuan, baik keberadaannya dalam media ataupun dunia nyata. Dari berbagai sudut pandang mungkin? Sialahkan saja.
Pada dasarnya, mengutip semangat Girl Power dari Spice Girl, “We all admire strong and independent. But I’m a romantic: I like a man who open a door for me, takes me out a dinner, buys me flower. I like man to treat women like women, and I think many other women to do”. Semua wanita di belahan bumi menginginkan penghargaan setinggi-tingginya sebagai perempuan dan kesempatan untuk menunjukan kekuatannya. Dan Kartini melihat “anak gadis modern” ada dimana-mana seperti keinginannya.[]

...untitled


Dua minggu lagi dia ulang tahun. Keduapuluh satu. Dia harus tahu tentang seorang perempuan yang suka, jatuh cinta, dan bahkan tergila-gila padanya. Tanpa perlu perempuan itu mengatakan di depan mukanya yang rambutnya berantakan itu.
Dia harus tahu. Atau dia tak kan pernah tahu. Ia, perempuan itu yang percaya bahwa ia sedang jatuh cinta, masih belum menemukan sesuatu untuk menunjukan bahwa ia suka padanya. Sudah kubilang tadi, bahkan ia tergila-gila padanya.
Pada rambutnya yang ikal dan terikat sebisanya. Pada wajahnya yang tetap memperhatikan dengan seksama ketika ia bicara panjang. Pada tawanya yang tertahan. Entah pada apalagi yang membuat perempuan itu diam tak bicara apa-apa jika sudah berbicara tentang hati, karena hatinya telah memilih. Dan entah pada apalagi yang membuatnya jatuh cinta dan tergila-gila padan laki-laki itu. Yang pasti, dia harus tahu semuanya di ulangtahunnya yang keduapuluh satu. Dua minggu lagi. Tanpa perempuan itu mengatakannya.
--------
Ia, perempuan itu, yang baru genap dua puluh tahun, masih mencari apa yang harus disampaikannya. Apa yang harus ia lakukan. Ia yakin ia menyukai, bahkan tergila-gila dengan lelakinya itu. Ia menangis kebingungan ketika tak mampu menemukan kalimat yang cukup masuk akal untuk menunjukan, bahwa ia jatuh cinta pada temannya itu.
Satu minggu berlalu tanpa penambahan paragraf yang berarti. Ia ingin mengirim semacam surat cinta atau sejenisnya. Ia ingin mengabarkan bahwa, detik ketika ia duduk di sampingnya, berfikir tentang sesuatu yang harus mereka selesaikan, beberapa tengah malam yang mereka lewati bersama, dan ketika dia harus pulang pada satu siang. Ia tersadar, ia jatuh cinta padanya.
Dia, laki-laki itu.

... ra-ha-sia


Secret make a woman being woman.
Katanya si begitu. Seperti saya ber-pesan-pesan ria dengan sorang teman membicarakan sebuah rahasia. Eh, bukannya rahasia itu harus selesai di pihak-pihak tertentu saja. Jadi, informasi berhenti.
Rahasia ada atas dasar kepercayaan. Saya yakin seyakin-yakinnya tidak ada yang perlu dipertanyakan tentang kepercayaan dalam sebuah pertemanan. Tapi tentang berhenti itu tadi. Misal gini deh, kita tahu sebuah rahasia tentang sesuatu hal di sekitar kita, apa iya kita akan tetap berperilaku biasa saja seperti sedia kala kita belum tahu tentang rahasia itu? Disini masalahnya.
Barangkali informasi berhenti. Kita nggak nulis macem-macem, kita nggak bicara macem-macem di depan umum. Tapi bagaimana dengan gesture kita, bagaimana dengan sikap kita? Saya meragukan diri saya sendiri ketika membaca kalimat, “Aku percaya kamu”.
Karena sesungguhnya, sepertinya ada yang terlampau jauh terlewati. Ada beberapa hal yang harusnya tidak terjadi. Karena saya menyimpan rahasia. Bukan karena saya mengatakannya ke orang lain. Tapi karena saya menjadi tahu tentang sesuatu hal dan saya harus membuat sikap atas semua itu.
Bukankah kadang orang menjadi semakin tidak stabil jika tahu keadaan yang sebenarnya? Meskipun itu rahasia. []

... impressing

“Youre (look) not impressing me today” – My ex-boyfriend
Should I impressing you? Not.
Saya rada males dan emosi deh kalau ada orang yang sok tau tentang saya, dan dia salah. Tolong ya. Apalagi dibumbui semacam judgement, seolah dia tahu segalanya tentang saya. Bilang saya nggak seru lagi, tapi tadi itu saya malas, makanya saya diam. Saya setuju jika pada sebuah hubungan yang pernah sangat buruk, perlu untuk diperbaiki. Maka dari itu, setelah obrolan cukup serius beberapa waktu lalu. Saya berdamai dengan perasaan saya sendiri, saya berteman kembali dengan mantan pacar tiga tahun lalu.
Nyatanya, setelah hampir tiga tahunan tidak pernah berkomunikasi, banyak hal berubah. Saya dan dia. Dan sepertinya ada yang salah dengan pertemuan saya dengan dia. Saya si tahu benar teman saya yang satu itu ahli banget kalau disuruh menilai penampilan orang. Dimulai dari tentang sepatu. Tentang pakaian. Tentang cowok melambai. Tentang make-up. Dan terakhir, tentang penampilan saya.
Oke, baiklah, saya adalah orang yang sangat percaya bahwa, “berpakaianlah senyaman mungkin dan sesuaikan kebutuhan”. Saya merasa tidak perlu untuk dress-up atau ber-make-up ria hanya untuk membeli tinta ke mall. Oke. Jadi, jangan salahkan saya kalau saya memakai celana jins, kaos, cardigan, menentang tas kanvas kecil, dan sandal teplek. Saya tidak perlu bertematis ria, mau retrolah, mau futuristiklah, etniklah, atau kejawen.
Apa karena saya tanya, “Kok aneh si, pilihanmu sepatu warna-warni gitu?”, waktu dia memilih sepatu. Ya gimana dong, semangat Coco Channel tentang something classic and everlasting sudah tertanam di benak saya. Jadi, kalau kamu cowok dan mencari sepatu, mau sneaker ya Converse, Vans, Airwalk, atau Macbeth dengan warna dominan hitam, cokelat, tanpa banyak motif-motif aneh.
Eh, malah dia mempertanyakan tentang style saya. He said about, being someone who will be following by other people. Kalau kata saya sih, I don’t need follower. Buat apa? Buat nunjukin kalau saya itu fashionable? Saya nggak fashioanable kok. “Terus, kalau misal kamu suka sepatu klasik kayak gitu, ya kamu pake baju klasik juga, rok hippies juga,” kata dia. Tentang fashion dari masa ke masa. Tentang how to dress-up. Tentang how to impresseing people. Tentang how to impressing him. Saya yang masih senyum-senyum nglihatin dia pasti langsung beku mukanya waktu dia ngomong gitu. Saya tanya, “For what? For what, I have to impressing you?”.
Saya tahu benar jika apa yang dipakai seseorang itu sesungguhnya mencerminkan siapa orang itu, atau setidaknya, seperti apa orang itu ingin dilihat. Tapi gini deh, kalau saya memaksakan diri harus terlihat, misal, retro atau fashionable itu, sementara saya sendiri ngrasa nggak butuh itu, bukankah itu sama dengan membohongi diri saya sendiri? Akhirnya, semangat fashion and me (identity)-nya hilang dong. Karena tidak berkarakter itu tadi. Karena mencoba menjadi yang lain. Dan saya kira itu nggak harus seperti itu.
Di akhir kalimat yang begitu panjang, saya bilang, skripsi saya tentang fashion. Semakin bersalah lah saya di mata dia. Karena bagi dia, sekali lagi, saya nggak fashionable. Okelah saya nggak fashionable, tapi apa salah kalau saya ambil tema tentang fashion. Karena saya sadar benar, bahwa to be called fashionable is nothing for me. Saya sudah bilang, saya berpakaian senyaman mungkin dan menyesuaikan kebutuhan. Misal, kalau saya sedang nggak enak badan, saya akan pakai jaket tebal di dalam kuliah sekalipun, karena saya butuh kehangatan.
Panjang lagi. Lalu saya tutup. “Karena saya tahu, maka saya nggak perlu menjadi fashionable. Kamu tahu, fashion is about system, how clothes made till you wear it. But style is about statements to show it, personal. Don’t make a judgement”. Selesai.
Satu yang pasti, he doesn’t learn about his fault before. Me too.[]

... a stress one in a perfect day

 
They were sitting, they were talking in the strawberry swing
And everybody was for fighting, wouldn't wanna waste a thing
Cold, cold water what you say?
It's such a perfect day… [Strawberry Swing-Coldplay]

Dalam beberapa hal. Saya cukup sentimentil. Apalagi menyangkut orang-orang tertentu yang kadang sedang tidak stabil. Seperti pesan seorang teman yang cukup membuat saya deg-degan. Sepertinya saya salah ngomong.
Saya bingung bersikap lagi. Menjelaskan tidak ada gunanya, apalagi minta maaf. Tidak digubris. Saya si percaya semuanya baik-baik saja. Masalahnya adalah, bagaimana jika keadaan dia berbanding terbalik dengan kita? Karena misal hari ini kita sedang bahagia. Dimana biasanya kita berbagi kebahagiaan dengan dia. Tapi sepertinya saat itu dia sedang dalam kondisi terburuk. Tega, membuat dia sirik setengah mati karena kita hari ini bahagia?
Tapi, di sisi lain, bagi nggak ya? Siapa tahu dia jadi ikut bahagia tau kita lagi bahagia. Teman pun butuh waktu buat sendiri bukan? Saya lupa. Saya aja malah kadang semakin ngamuk kalau sedang tidak stabil dan dinasihati baik atau dihibur, saya malah semakin meradang dan ngamuk. Kenapa ya?
Apa ego kita merasa tidak terima, sementara kita tertekan tapi ada orang lain yang baik-baik saja? Atau kita merasa bahwa sesungguhnya kita butuh bantuan tapi kita terlampau tinggi hati untuk minta bantuan orang lain dan mengeluh.
Kadang, kita memang perlu menyendiri untuk kemudian memperbaiki diri.[]

Saturday, April 23, 2011

... Tentang Jerapah dan Anak Penjaga Kebun Binatang

Are you my lady, are you? – The Zookeeper’s Boy (Mew)
Dua teman yang saya kenal gila MEW. Sayangnya, mereka sepertinya tidak nonton waktu MEW betandang ke Surabaya beberapa bulan lalu. Lagu pertama MEW yang saya dengar ya The Zookeeper’s Boy. Tadinya saya biasa saja, tapi setelah mendengar melodi di intro ketika si vocalis (entah siapalah namanya ), mulai bersuara galau, “Are you my lady, are you?”, saya jatuh hati. Beneran.
Maka saya mendengarnya lagi. Dan ternyata ia bercerita tentang Jerapah. “Tall just like a giraffe/You have to climb to find its head,” setidaknya lirik ini yang begitu mengena bagi saya. Bukan tentang Jerapah dalam artian hewan berlehar panjang dan bertotol yang sebenarnya, tapi tentang berusaha melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu.
Teman saya yang satu menjelaskan, bukan hanya tentang Jerapah, tapi juga tentang burung Ostrich, tentang angin topan, dan tentang jatuh hati pada seorang perempuan. Ah, betapa semuanya begitu indah, bahkan jatuh cinta pun bisa diasosiasikan dengan Jerapah.  Teman saya yang satunya lagi, yang dengan ikhlas hati memberikan lima album MEW, langsung bilang, “tentang anaknya penjaga kebun binatang Di,” jelasnya waktu saya bertanya dengan polos, “ini lagu tentang Jerapah?”
Kembali ke The Zookeeper’s Boy, satu lagi pada paragraf-paragraf terakhir, “Zookeeper hear me out/How dare you go?/ Cold in the rain//.” Saya sensitif. Seperti bertanya pada diri saya sendiri. Mempertanyakan, seberapa tinggi kepala Jerapah yang harus saya raih? Seberapa berani saya menerobos hujan?
Saya mempertanyakannya. Seberapa mampu saya melakukan sesuatu yang saya inginkan? Seberapa mampu saya membuat keputusan? Seberapa mampu saya memilih untuk diri saya sendiri? Ah, saya sentimentil sekali. Saya berasa apa aja…
So, are you my lady, are you?

... the social network

Ini bukan tentang sebuah film. Atau review sebuah film.
 Melainkan tentang sebuah kesadaran yang hampir terlambat. Pada satu titik tertentu, saya tertampar sekaligus tersadarkan. Bahwa pada satu statement dalam jejaring sosial, ada kebutuhan akan eksistensi yang bisa saja menjatuhkan.
Disana ada semacam pernyataan tanpa penjelasan yang diterima siapapun dan siapapun itu bebas mengartikannya sendiri. Bagaimana dengan pengartian yang keliru? Sulit untuk menjelaskan kebenarannya lagi, karena segala yang terekam dalam feed-feed itu sudah terbaca atau terlihat serta terinterpretasikan. Pun bisa dihapus, justru akan semakin meyakinkan akan sebuah kebenaran.
Dan ini adalah tentang status pada jejaring sosial facebook atau tweet pada twitter. Bukan berarti saya tidak akan update status atau nge-tweet lagi. Tapi tentang, mengurangi sesuatu yang terlalu pribadi atau menimbulkan tandatanya dan interpretasi berbeda dari siapapun yang membacanya. Bukan berarti pula, bahwa saya akan mengurangi update status dalam satu hari. Tapi perlahan menyadari bahwa, ada yang keliru dengan yang selama ini saya lakukan.
Bukan berarti pula saya menggugat mereka yang asik bermain dengan jejaring sosial itu. Bukankah kesadaran itu adalah sesuatu yang sangat personal. Seperti saya tertampar karena kelakuan yang saya perbuat sendiri. Karena, biar bagaimanapun, kita adalah bagian dari sebuah sistem sosial, dan dunia maya kini merupakan salah satu sistem sosial itu. Akan sulit memisahkannya dari kehidupan sehari-hari kita. Termasuk saya.
Dan di macro-blogging ini, dimana saya bisa memberikan penjelasan lebih panjang. Semoga dapat dimengerti. Pun, interpretasi adalah milik siapapun. Karena seperti halnya kesadaran, interpretasi adalah sesuatu yang personal. Bila dengan itu kita bisa menjadi diri kita sendiri seutuhnya. It’s personal, my self and I, kata Fergie.[]

...tidak pernah kalah


Siapa yang mau kalah? Siapa yang mau menjadi pengecut? Ada?
Tentu jawabannya adalah tidak.
Begitupun saya.

Sayangnya, sebagai manusia yang tentu saja masih harus banyak belajar, harus merasakan saatnya kalah. Menjadi gagal. Apakah karena bahwa hal tersebut adalah hal yang sangat manusiawi, saya kira hal tersebut tidak cukup dijadikan alasan. Jika ada kalanya menjadi pemenang, bukankah ada alasannya. Pun begitu dengan menjadi kalah, pasti ada alasannya. Mengetahui mengapa kita kalah. Itu lebih penting daripada menghibur diri dengan kalimat, bahwa sangat manusiawi menjadi kalah.
Sikap dan siap menjadi kalah pun tak kalah penting dalam menghadapi kekalahan itu. Apa kita pernah siap menjadi kalah? Seringkali harapan menjadi pemenang lebih dominan daripada kesiapan menghadapi kekalahan. Bagaimana menyikapinya, bagaimana menerima kekalahan itu? Tidak semuanya mampu.
Sekuat apapun orang, atau tepatnya adalah saya, menjadi orang yang kuat dan menerima kekalahan, atau setidaknya kegagalan. Pasti akan ada saat ketika harus tidak terima dan tidak akan pernah menerima kekalahan itu. Ketika harus menangis terisak sendirian tanpa harus tahu marah pada siapa, atau setidaknya bercerita pada siapa. Hanya karena alasan tidak mau orang lain tahu saya kalah, orang lain tahu saya tidak menerima kekalahan itu. Yang berarti saya semakin kalah. Sudah kalah, masih tidak mau menerima kekalahan pula.
Seperti bagaimana seseorang, atau contohnya saya lagi, berusaha menghibur diri sendiri sedemikian rupa untuk menutupi kekalahan itu. Tetap tersenyum lebar. Sampai hampir menangis ketika ada yang bilang, “Seneng deh, ngelihat kamu, ketawa terus. Ceria terus”. Saya kok malah bingung. Iya si, seringkali saya malas untuk terlalu memikirkan sesuatu yang kalau dipikirkan malah membuat saya menjadi seseorang yang kalah. Buat apa?
Tapi. Di satu waktu ketika saya benar-benar merasa pada kondisi tidak nyaman. Ditekan. Merasa tidak diterima. Merasa ada yang salah. Merasa ada yang harus diperbaiki. Merasa keliru. Saya kebingungan harus membenarkan dengan apa, siapa, bagaimana? Saya terlalu egois untuk menjadi orang yang kalah. Bukankah demikian?
Jika sudah demikian, yang ada hanya mengeluh dan menyalahkan diri sendiri. Sendiri dan kalah.[]

Thursday, April 14, 2011

...berkemas

dan kini saatnya berkemas

pagi-pagi,
pergilah ke sebelah sudut di bagian belakang
ada dua speaker menyalak bersamaan
kedua empunya tak peduli
lagu yang diputar sama kerasnya
lebih kacaunya,
kedua empunya itu, secara bersamaan teriak bersama
menyanyikan lagunya masing-masing

siang hari,
barangkali ada dua perempuan yang malas membeli makan...
yang satu memakan kentang instan
yang satu makan mie goreng instan
keduanya suka telur setengah matang
mereka tahu, keduanya tidak cukup sehat
tapi mereka juga tahu,
itu yang terbaik untuk saat itu

sore hari,
dan matahari yang hampir terbenam,
bersiap,
memulas muka sedemikian rupa,
mengepas baju-baju yang ada,
bertukar kebaya,
meminjam sepatu,
kemudian berfoto bersama

malamnya,
berebut modem,
saling meminjam account facebook untuk melihat profil seseorang
dan bercerita...
barangkali ada yang harus diperbaiki bersama...

dan kini saatnya berkemas.

.... untuk kakak yang sudah lulus dan harus pergi dari kostan

...warna

ada tiga warna

tempat pinsil yang berwarna biru
tempat minum yang berwarna biru
botol minuman mineral yang masih bersegel yang berwarna biru
toples roti nastar yang tak juga habis yang berwarna biru
tempat air minum yang berwarna hijau
gelas besar yang berwarna kuning
charger laptop dengan stiker yang berwarna kuning
chasing handphone yang berwarna kuning

katanya warna favorit saya putih?

ternyata saya butuh dari sekedar yang polos.

...de’ repertoire


Saya mau dong, dikasih penghargaan sebagai konsumen setia.
Kesadaran akan kesetiaan sebagai konsumen ini benar-benar saya rasakan ketika mandi tadi. Jadi, dalam salah satu metode survei konsumen ada istilah Brand Repertoire, yaitu untuk mengetahui merk-merk apa saja yang dipakai oleh konsumen dalam rentang waktu tertentu, biasanya untuk produk-produk konsumsi. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran perilaku konsumen atas suatu produk tertentu. Yah, mungkin boleh juga lah untuk barang mewah, siapa tahu ada yang ganti-ganti merk mobil tiap satu bulan, who knows?
Setelah dipikir dan diingat. Saya adalah pengguna produk yang jarang ganti-ganti merk. Bahkan ada beberapa produk yang sepertinya sudah saya konsumsi sejak delapan tahun lalu dan tak tergantikan, meskipun pernah berganti, tapi kembali ke merk itu lagi.
Di usia saya yang mulai masuk kepala dua, sempat terfikir untuk berganti pembersih muka yang lebih mature, yang lebih dewasa dengan masalah-masalah kulit yang lebih kompleks, atau setidaknya yang endorsernya udah mbak-mbak. Tapi, setelah bercermin, kok sepertinya saya belum butuh produk-produk demikian itu. Dan tadi, mengintip keranjang peralatan mandi saya. Sepenuhnya saya menyadari, saya konsumen yang begitu setia. Hingga detik ini.
Terakhir saya ganti sabun mandi, itu adalah karena tergiur promo dan potongan harga. Tapi, setelah mencoba sekitar satu minggu, sepertinya saya tidak begitu cocok menggunakan sabun kesehatan nomor satu di Indonesia itu. Dan mungkin akan kembali pada sabun lama saya dulu, yang wanginya kayak obat pembersih luka.
Facial care saya, sebuah merk pabrikan Amerika, Johnson&Johnson, menemani saya sejak awal masa amat labil antara kelas tigaan SMP. Dari facial foam, anti comedo, toner, moisturizer, dan anti acne cream. Sempat berganti beberapa merk, termasuk ketika pulang rumah dan malas beli lagi, jadi memakai pembersih muka adik saya, dasar kulit muka saya tidak kegenitan sehingga mengeluarkan banyak jerawat, jadi paling rada-rada kering. Dan nyatanya, tadi pembersih muka saya hampir habis, tinggal tiga kali pakai palingan, sempat terpikir untuk ganti pembersih muka asal Prancis, tapi, hm..? Yakin, produk lain akan mampu menjaga kulit mukamu seperti Clean&Clear menjaganya selama hampir delapan tahun?
Hair care saya, kombinasi unik antara dua pabrikan shampoo yang bersaing dikancah industri toiletries internasional, P&G dan Unilever. Meskipun begitu, rambut saya baik-baik saja, meskipun tidak begitu mempesona seperti di iklan televisi, tapi tidak ada masalah berarti. Begitupun untuk body-care saya, kebanyakan sudah saya pakai sejak bertahin-tahun lalu. Hinggai sempat kesal saat ke swalayan dekat kost, dan melihat tidak ada body lotion yang biasa saya pakai terpampang disana.
 Apa sebenarnya yang mendasari seseorang atau saya begitu percaya pada satu merk? Apakah yakin seratus persen itu karena kecocokan antara formula di produk-produk tersebut dengan kita? Atau hal-hal lain, macam keterikatan emosional tersendiri. Maksudnya, ada ikatan batin antara kita dan sebotol shampoo? Iya. Karena, pada sebuah merk ada hal-hal lain yang mampu menyentuh sisi psikologis penggunanya. Seperti misalnya sikap yang ditawarkan, prestise, atau factor penawaran produk tersebut.
Hal tersebut jelas sekali disampaikan melalui bermacam iklan yang kita lihat. Kita tahu itu bisa saja hanya strategi penjualan? Sadar? Saya sadar. Tapi saya tetap tergiur. Seperti ketika saya yang hampir fanatic pada satu sabun kesehatan, dan tergoda pada satu merk sabun lain hanya karena harga promo dan tagline “Sabun Kesehatan Nomor 1 di Indonesia”, padahal sabun saya yang dulu adalah “Sabun Kesehatan Nomor 1 di Dunia”.
Tapi, dalam beberapa hal, saya tidak bisa dirayu. Lihatlah pembersih muka saya yang baru saya beli dan berhadian bracelet kupu-kupu itu, saya sudah memakainya hampir delapan tahun.
Ih, saya setia deh…

Monday, April 11, 2011

...foolovesophy


Pada satu titik tertentu, saya sadar saya dibuat gila oleh satu kata, cinta.
Sesadar saya sepertinya tengah berada pada situasi bodoh tersebut. Dan, seperti tindakan bodoh lainnya. Kita sadar pada saat yang kurang tepat. Saat kita kehilangan. Saat kita merasa tidak memiliki. Saat kita merasa ditinggalkan. Dan, semuanya menjadi begitu sentimentil. Itulah, kenapa hal tersebut menjadi begitu bodoh.
Misal begini deh, kita sedang bermain-main dengan satu buah apel yang kita sukai, yang benar-benar kita sukai, dan buah apel itu ada di sebuah keranjang di depan mata. Tapi, diseberang meja, ada orang yang juga suka pada buah apel itu. Kita tahu kita bisa saja mendapatkan buah itu secepatnya kalau kita mengambilnya. Tapi, disisi lain, kita ragu-ragu untuk berebut buah apel yang tinggal satu itu. Ada pikiran-pikiran, bahwa kita bisa mendapatkan buah apel kesukaan di lain waktu. Kita ragu.
Pada saat ragu itu, ada orang lewat dan dengan niatnya bilang, “kalau kamu nggak mau apel itu, nanti kita kasih jeruk deh”. Disatu pihak, hm, jeruk, menarik juga. Nah, orang didepan kita yang sepertinya juga tertarik dengan apel didepan kita sekali-kali melirik siap merebut apel kita. Tapi kita pun sadar, dia, ataupun kita, bisa saja mendapatkan buah apel itu sekarang juga jika mau. Masalahnya, orang itu pun ragu-ragu untuk mengambil apel itu.
Apalagi kita [saya] yang sudah terlanjur diiming-imingi jeruk. Kita tahu bukan, keduanya buah yang nyummy…? Memilih apel yang ada didepan mata, atau merelakan apel itu diambil orang lain. Dan menunggu jeruk yang dijanjikan, jeruk yang pastinya tak kalah enak dari apel, dan kita akan mendapatkannya tanpa saingan, jeruk yang hanya untuk kita?
Saya percaya cinta tak sesederhana memilih buah atau serumit menimbang apel atau jeruk yang lebih manis. Tapi saya percaya, cuma orang bodoh dan kebingungan yang mengibaratkan cinta dengan apel dan jeruk. Yaitu saya.
Apel dan jeruk tak bisa memilih. Walaupun ia bisa busuk kapan saja. Ibarat kata apel atau jeruk itu adalah orang yang harus kita perjuangkan atau orang yang menunggu kita. Ada waktunya ia atau mereka berhenti dan pada akhirnya kita tidak bisa mendapatkan apel dan jeruk itu. Dan mereka, pun berhak memilih. Karena sejatinya mereka bukan buah-buahan yang ada untuk dipilih.
Oh, baiklah, banyak apel dan jeruk dimana saja. Tapi apel dan jeruk yang datang dengan sendirinya ke hadapan kita? Ada? Tidak bodoh, bentak bagian diri saya yang lain. Ternyata, saya hanya merasa bodoh dan dibuat bodoh dengan hal macam buah-buahan yang biasa dinamai cinta itu.[]

Sunday, April 10, 2011

...lupa

Barangkali kalimat sakti bin ajaib itu bisa menyelesaikan segala masalah.

Ditanya dosen, “kenapa belum mengerjakan tugas?”. Lupa. Ditanya teman, “eh, mana, bajuku dibawa?”. Aduh, lupa. Ditanya ibu, “nduk, kue pesenan ibu nggak lupa kan?”. Wah, lupa bu. Selesai sudah perkara.

Iya si, bukan selesai dalam artian semuanya selesai. Karena efek-efek setelahnya itu justru yang paling heboh. Mungkin bakal sebel, sesebel-sebelnya. Karena biasanya, sebelum kejadian lupa itu, ada pesan yang disampaikan berulang-ulang, agar tidak lupa. 

Selesainya masalah karena kata “lupa”, adalah, yaudah si, lha wong lupa. Lupa loh. Beneran lupa. Yang berarti tidak ingat. Benar-benar tidak ingat. Tahu bahwa itu tidak mungkin bisa diselesaikan karena ada momen yang terlewat. Momen apa, yaitu momen mengingat sebelum lupa.

Parahnya lagi, sudah sadar lupa, masih heboh menggerutu dan menyumpah-serapah. Seringkali pada diri sendiri. Ya, pada siapa lagi. Mau menyumpah serapah oranglain? Tidak mungkin dong. Pun itu kita yang dirugikan, pasti akan lebih memilih diam dalam menghadapi kata lupa. Kecuali tiba-tiba ayah kita lupa mengakakui kita sebagai anaknya, dan tidak mengirim uang bulanan.

Seperti saya tadi malam yang melupakan barang yang baru saya beli di foodcourt pusat perbelanjaan. Sudah dari lama niat ingin membeli itu barang. E, sudah dibeli. Malah ketinggalan. Meskipun sempat dicari, berarti ada usaha. Tetep aja, kenapa ketinggalan? Lupa jawabannya.

Menggerutu tidak ada hasilnya, walaupun dihati eneknya minta ampun. Sampai pada satu titik saya sadar, kata lupa tidak menjawab semuanya. Walaupun dibilang lupa itu wajar. Lupa itu manusiawi. Tapi membuat semuanya semakin buruk. Toh yang sering lupa itu diri kita sendiri.

Jangan pernah lupa . Kalau ingat dan tidak lupa [lagi] tentunya.

Friday, April 8, 2011

...the single one, and her boyfriends


Pada satu kondisi yang cukup tidak nyaman, saya nyolot. “Karena aku nggak punya pacar? Jadi dipaco’ke (dijodoh-jodohin) sama semua cowok? Gitu?,” teriak saya, dan semua (kebetulan) diam.
Lalu suasana mencair lagi. Tapi saya tidak. Saya nggak nyaman. Tentu ada alasan kenapa saya mengeluarkan kalimat yang kurang enak didengar. Bagaimana tidak? Beberapa minggu-minggu ini, rasanya kok saya sering dijodoh-jodohin sama beberapa cowok ya? Dan, berbeda-beda. Otak saya yang jarang mikir, lalu berfikir.
Oke, bilang saya ke-PD-an. Tapi saya kira masalahnya bukan antara ke-PD-an dan ke-GR-an. Walaupun barangkali ini hanya ada dipikiran saya, saya kira itu tidak wajar. Dalam artian, bagaimana jika orang (cowok) yang di-jieh-jieh-in sama saya itu ngrasa nggak nyaman? Bagaimana jika diantara lingkup pergaulan itu (kelas kuliah, UKM, atau pertemanan lain) ada pihak lain yang sebenarnya menyukai salah satu dari kami, entah saya atau cowok itu secara diam-diam, bagaimana perasaan mereka? Dan, ini yang paling tidak saya pahami, apa parameter yang digunakan sehingga saya harus di-jieh-jieh-in semacam itu?
Taruhlah begini, saya memang berteman baik dengan beberapa cowok itu. Paling mentok, saya memang punya urusan yang harus diselesaikan dengan mereka. Entah untuk urusan tugas, atau memang kami berteman saja. Terus kenapa? Bukankan hal demikian itu biasa saja? Ah, bilanglah saya ini ke-GR-an. tapi, terus terang saya malas. Saya pengen bilang deh, “Emang kalian tahu apa tentang saya?”.
Dan, seringkali saya akhirnya berada pada posisi serba salah. Jika guyonan itu didiamkan, dikiranya saya menikmati, dan memang punya perasaan seperti yang mereka guyonkan itu, padahal tidak. Jika saya menanggapi dengan tidak suka, juga dikira sama. Jika saya menanggapinya becanda, misal dengan “hum, baru tahu ya?”, tambah-tambah deh. Nah, masalahnya lagi, bagaimana dengan pihak kedua, atau cowok yang di-jieh-jieh-in sama saya itu? Seringkali kurang bersahabat juga. Ada yang malah kebingungan, ada yang bisa diajak becandaan juga (yang ini seringkali memang benar-benar becanda dan cara paling efektif dan menyenangkan), ada juga malah yang mengumpat-umpat nggak jelas (yang ini yang bikin malu).
Pada akhirnya, jika mood sedang baik, saya hanya akan diam dan senyum-senyum mengejek (ala saya). Dan jika sudah benar-benar tidak nyaman dan terjepit, saya nyolot seperti kejadian tadi sore itu. Memang kok, saya nggak suka dan nggak nyaman.
Kenapa, karena saya percaya, guyonan dan becandaan semacam itu tidak fair. Baik bagi pihak yang dijadikan bahan becandaan, dalam kasus saya adalah saya dan teman cowok saya, serta orang-orang disitu. Sekali lagi, bayangkan, bagaimana jika disitu ada mantan pacar, mantan orang yang suka, atau orang yang masih suka, atau orang yang diam-diam suka, atau orang yang disukai, atau orang yang diam-diam disukai pada dan oleh teman cowok saya tadi atau saya. Dalam beberapa hal, lebih banyak tidak fair-nya.
Dan saya. Ngapain saya menulis tentang ini. Karena pada dasarnya, saya teringat teman saya yang pada satu ketika men-jieh-jieh-in saya dengan seorang kakak tingkat, padahal saya cuma mbenerin komputer yang rusak, karena dia memang bisa. Dia bilang, “seorang cewek nggak punya pacar, wajar digodain ma cowok yang deket sama dia”. Huh? Realy? I think, not. Bukankah ini malah sedikit bitchy dan kegenitan ya?
Ah, tentang kegenitan, saya juga jadi teringat tingkah polah saya sendiri. Yang sering melakukan tindakan spontan dan kekanak-kanakan, dan barangkali, itu bisa digolongkan kegenitan juga. Tapi selama itu masih dalam lingkup pertemanan yang sehat, buktinya baik-baik saja. Bukankah akan beda ya, bagaimana berinteraksi dengan seseorang yang memang pure teman dan bukan?
Misal gini deh, saya punya teman yang, hebatnya, dia menjaga kontak dengan perempuan bukan muhrim, termasuk bersalaman dan memboncengkan di sepeda motor. Tapi, nyatanya, saya bisa bercanda-canda dengan baik dengan dia. Dan tidak ada pretensi. Beda kan? Dan, saya yakin seyakin-yakinnya, teman itu pun baik-baik saja. Entah mungkin di hatinya rada-rada konyol ngelihat saya, nggak ngerti juga.
Tapi, karena dalam keadaan ini, saya yang merasa tidak nyaman, dan berlaku di beberapa tempat berbeda dengan teman pria yang berbeda pula. Malah saya akhirnya mikir, sepertinya ada yang salah dengan saya. Tapi apa?
Pertama, bukankah semua orang, bisa saja ber-comment-comment-an atau saling me-retweet-retweet-an panjang-lebar bukan? Kedua, bukankah isi hati orang, ya, orang itu sendiri yang tahu bukan? Ketiga, bukankah masalah perasaan dan hati yang sesungguhnya itu sesuatu yang privat, yang tidak perlu diumbar dimana-mana? Keempat, percayalah, jika ada hubungan diantara beberapa orang, pasti aka nada kepastian selanjutnya, jangan percaya gosip.
Dan, saya bertanya pada diri saya sendiri, bukankah orang itu maunya memang mempunyai guyonan yang bisa ditertawakan bersama. Tidak peduli disitu ada yang tidak nyaman atau tersakiti? Bukankah orang-orang inginnya, mau tahu semua-mua-mua.
Dan saya. Jangan ke-Gran dulu. Lah wong lagi buat becandaan, kok marah. Marah tandanya suka loh, goda pikiran saya, me-reverse. Bener kan, ada yang salah dengan saya.[]