Monday, December 22, 2014

...fall in the stone and alone

“... inventing elaborate scenarios featuring myself as an adult, specifically an adult 24 years old, an age on which I settled because my mother had assured me that 24 was the best, her favorite year. Over those years during which I was determined to bypass childhood, she and I discussed this question of age at a length she must have found tedious, but perhaps she did not: We are talking here about a woman ...”
In Sable and Dark Glasses, Joan Didion

(young) Joan Didion


Mungkin hanya kebetulan, jika malam ini saya baru saja membaca esai itu. Membaca ingatan Didion akan perbincangan kecil dengan ibunya tentang menjadi 24 tahun. Membandingkan ide tantang menjadi 24 dalam kepala Didion kecil dan menjadi 24 bagi ibunya.
Menjadi 24 dalam benak Didion adalah mengenakan mantel bulu dan kacamata hitam, menghindari paparazzi di salah satu negara Amerika Selatan. “My own fantasies of what life would be like at 24 tended to the more spectacular. In these dramas of my own devise I was sometimes wearing a sable coat, although I had never seen one. I was wearing this sable coat in an urban setting that looks in retrospect not unlike Shubert Alley. I was at other times walking on a moor, although I had not yet read those English novels in which moors figured heavily. But here is how I most often preferred to visualize myself: not on a moor, not in Shubert Alley, but standing on the steps of a public building somewhere in South America (Argentina comes first to mind, although Argentina was like the sable coat, never actually seen, more concept than reality), wearing dark glasses and avoiding paparazzi.” Sedang 24 yang dilalui ibunya adalah tahun terbaiknya. “I once asked her what made 24 so memorable. It seemed that she had been married when she was 24. It seemed that I had been born when she was 24. It seemed that 24 was (I can hardly believe our discussions of age deteriorated to this, but possibly the lettuce cocktails had edged us both into a casino mode) her “lucky number.”
Ada kilatan kecil yang membuat saya terpejam dan keras mengingat, adakah gambaran spesifik bagi saya setahun atau dua tahun lalu, atau bahkan mungkin sepuluh tahun lalu, tentang saya pada usia 24 tahun?
Saya yang seperti apa?
Saya tak berhasil mengingatnya. Saya tak punya relfeksi detail tentang “siapa saya” pada usia yang lebih presisi: 24 tahun. Saya hanya menyimpan keinginan kecil dan acak, seperti misal tentang, lulus, bekerja dan belajar mandiri sebelum 25 tahun, atau keinginan-keinginan lainnya dengan bayangan tentang melakukannya atau telah melakukannya sebelum 30, sebelum 40, dan seterusnya yang belum pernah terpikirkan. Nanti akan seperti apa bahkan saya tidak tahu. Bekerja apa? Bekerja mandiri apa? Saya akan seperti apa?

Detail kecil tentang saya pada usia diantaranya tidak ada. Saya melompatinya. Menggabungkannya menjadi rentang dekade dalam klausa ide tentang seorang saya: seorang Diyah yang perlahan menua dengan gambar samar tesaput kabut waktu.
Tiba-tiba itu menjadi menakutkan. Karena pada akhirnya, memang hanya keberadaan kita di satu waktulah yang mampu menjawab semua ide-ide kita sebelumnya. Kenyataan-kenyataan yang tak selalu sama, atau bahkan tidak pernah sama dengan bayangan-bayangan yang pernah ada di kepala. Pun perasaan yang hadir dan yang ada ketika satu hal terjadi, berlangsung... semuanya adalah sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan dalam momen de javu atau satu momen yang membuat kita seperti merasakan hal yang sama di masa lalu (relational memory).
Bukan, bukan ide tentang menjadi tua yang menakutkan bagi saya. Saya rasa saya siap menjadi tua. Hanya saja, saya sedikit diajak berpikir sejenak tentang lompatan panjang yang saya buat tentang diri saya sendiri. Seperti misal di angka ini. Saya tidak pernah berpikir atau membayangkan tentang saya di usia 24. Atau mungkin karena saya tak pernah membicarakannya. Atau mungkin pernah membicarakannya dan tak terlalu mengingatnya karena dirasa tidak cukup penting dan signifikan untuk diingat. Pun saya pernah menyimpan keinginan, saya tak menuliskannya secara langsung dalam konteks usia. Saya hanya membayangkan tentang, tahun depan saya melakukan ini... saya melakukan hal itu dua tahun saja, tahun depan kalau bisa mencoba ini... dan seterusnya. Saya membawa keinginan-keinginan itu sebagai kotak-kotak kecil dalam satu keranjang ingatan yang saya tenteng ke mana-mana. Sementara keranjang usia saya tertinggal entah di mana, kosong tak terisi. Bahkan saya melupakannya...
Sebelum beberapa menit lalu ketika memulai menulis ini: saya menganggap bahwa keberadaan diri saya tidak terikat sama sekali dengan rentang usia yang ditandai angka per angka. Setidaknya saya menganggapnya demikian. Bahkan beberapa kali sempat terlupa. Ya, sebenarnya bukan terlupa, hanya memang benar-benar tidak sempat memikirkannya yang berujung pada kalimat bodoh ketika mengangkat telepon atau membuka pintu kamar, “Oia, hari ini aku ulang tahun.”  Atau pernah juga, sedikit menyemangati. Yaitu ketika ada momen wisuda tepat di hari ulang tahun ketika saya 21 dulu, yang lalu menjadi cambuk keras dan membuat saya menyelesaikan skripsi. Saat itu, saya sedikit marah pada diri sendiri, seandainya saya tidak terlalu malas dan bisa menyelesaikan skripsi dua bulan sebelum tanggal itu, saya pasti bisa wisuda di hari ulang tahun saya. Pun kesadaran itu muncul jauh, jauh sekali setelah hari itu berlalu.
Ketika bagi sebagian orang hari lahir menjadi momen untuk seakan lahir kembali atau bersyukur sedemikian rupa, seringkali saya melewatkannya. Saya ingin bilang, bukan saya tidak bersyukur, tapi memang, saya sering melewatkannya begitu saja. Saya menganggapnya sama seperti hari lainnya. Atau, kalaupun ada yang berbeda, saya akan melewatkannya dengan orang-orang, yang, mungkin saya anggap spesial dan banyak berpengaruh pada diri saya, sebelum atau bahkan setelahnya. Hingga jauh setelahnya.
Entah kebetulan entah bukan. Meski saya tidak terlalu percaya pada kebetulan. Keinginan kecil yang saya ucapkan setahun lalu menjadi kenyataan di hari ini. Bisa jadi ini merupakan konspirasi alam semesta yang didukung dengan daya dan upaya sedemikian rupa. Tapi saya masih meragukannya.
Saya ingat sore itu. Sehari sebelum tanggal lahir saya, saya menemui Teh Imeh di Stasiun Manggarai. Saya akan bermalam di rumahnya, memintanya menemani saya ke Kebun Raya Bogor. Linimasa di Twitter sedang ramai tentang berita penyair yang dilaporkan polisi karena menolak bertanggungjawab atas kehamilan seorang perempuan muda. Kami, saya dan Teteh membicarakannya sambil berdiri berhimpit di dalam KRL hingga Depok, atau mungkin lebih. Teteh membawa roast chicken Kenny Rogers. Kami memakannya kemudian setelah sampai rumah, saya tak menghabiskan bagian daging super besarnya. Teteh juga membuatkan air kunyit hangat. Teteh bercerita tentang orang-orang yang ditemuinya terkait pekerjaannya, saya membolak-balik buku Titik Nol, Agustinus Wibowo. Saya bilang, “Saya ingin ke Tibet.” Teteh bertanya kenapa, yang saya jawab pasti, ingin melihat Yak. Teteh bercerita tentang gambaran Tibet yang sama sekali lain dari Agustinus Wibowo dengan gambaran Tibet yang mungkin saya pernah tahu sebelumnya. Saya lalu tidak tertarik membaca buku itu, bahkan saya belum membacanya hingga sekarang.
Saya ingin ke Tibet. Lewat Xinjiang, bertemu suku Uighur. Dan mungkin pulangnya bisa lewat Khatmandu. Atau sebaliknya. Tapi saya ingin lewat keduanya. Kalau bisa. Saya juga tidak tahu. Saya ingin melihat Yak.
Saya belum ke Tibet. Jadi keinginan itu tidak ada sangkut pautnya dengan saya sekarang. Hanya saja, malam itu kami bercakap tentang menjadi pengajar muda. Saya bercakap tentang, “Eh, itu, saya ingin daftar... tapi masih ragu ini itu...” Lalu teteh bercerita banyak tentang yang ia tahu. Sebenarnya saya masih belum yakin juga. Tapi memang, beberapa hari setelahnya saya mengirim esai dan mendaftar. Menggunakan komputer kantor, dengan dilihat head section saya.
Meski demikian, saya menyadari keinginan saya ketika itu bukanlah gambaran ideal saya setahun sebelumnya, yaitu ketika saya 22 tahun. Saya melihat kejadian-kejadian yang berlalu tidak berhubungan secara langsung dengan ide tentang angka-angka yang menunjukkan jumlah usia. Itu semua terpisah. Dan saya baru menyadarinya sekarang. Bukan saya mengkultuskannya atau bagaimana. Hanya saja, sekarang saya melihatnya seperti dua aliran sungai yang bertemu dalam satu muara. Pada akhirnya, variabel yang terpisah itu akan bertemu dalam satu titik untuk kembali dilihat angka-angka persamaannya. Jawaban yang ditemukan tentu bukan asal jawaban jika tidak ada soal-soal dan pertanyaan atau pernyataan yang mendahuluinya. Dan titik itu, muara itu, bisa jadi akan berbeda bagi setiap orang. Dan bagi saya kini, titik itu adalah ketika saya membaca esai Joan Didion dan kesadaran kecil saya yang menyatakan bahwa saya baru saja menginjak usia 24 tahun.
Ada aliran panjang yang membawa saya melaju hingga sekarang. Membawa saya berada pada keberadaan saya sekarang. Menulis ini sejak satu jam lalu, hanya dengan memutar satu lagu, Hard to Live (In The City) dari Albert Hammond, Jr. yang sangat tidak cocok menggambarkan suasana saat ini: lampu sudah mati; hewan-hewan kecil mampir di layar monitor, satu-satunya benda menyala di kamar; tadi saya memutarnya asal, dari list penyanyi bernama depan A.
Aliran itu, adalah kepastian tentang saya yang akan terus bertambah usia. Tanpa harus menunggu tanggal 1 di tahun mana pun. Satunya lagi, adalah aliran dari kepala dan mungkin hati saya, tentang keinginan ini-itu, ini-itu, yang memaksa untuk diwujudkan. Seandainya saya bisa lebih peka dan mau sedikit bekerja keras untuk menjadikannya lebih sinkron dan seirama, barangkali saya bisa mencatatnya sebagai gambaran-gambaran keberhasilan, atau semacamnya. Tapi sepertinya saya bukan orang yang seperti itu. Menuliskannya, lalu menempelkannya di samping kaca, sehingga saya bisa membacanya setiap pagi, yang ada saya bisa panik setiap hari. Tapi mungkin, bisa jadi. Atau malah listnya akan menjadi sangat panjang sekali. Seperti misal, seperti yang pernah saya coba buat, dan lalu menjadi daftar belanjaan bulanan. Ya, saya impulsif, saya tahu, dan kadang ini menjadi sedikit buruk, dan saya harus memperbaikinya. Lalu, dengan bodohnya, saya menyadari, saya tak pernah punya bayangan apapun yang lebih detail tentang saya di usia saya sekarang. Pun di usia mendatang.
Barangkali hal inilah yang pada akhirnya membawa saya berada di sini. Siang itu, saya tiduran super santai membaca Oliver Twist. Hampir menuju tidur siang super nyenyak, ketika dibangunkan Umak karena Hanief, Pak Ep, dan Dian datang. Hanief membawa seamplop besar ucapan selamat dari murid-muridnya. Lalu kami pergi ke dusun, melewati jalanan licin membeli mie ayam yang sangat enak di kompleks transmigrasi. Saya mau nambah satu mangkuk lagi, tapi sayang sudah habis. Lalu menuju rumah pengawas dari UPTD, kepala sekolah, dan beremu pemuda-pemuda desa untuk membicarakan prihal forum pemuda kecamatan.... dan semacamnya, yang saya tinggalkan karena sudah terlalu malam. Di sini, tak pantas seorang gadis berkumpul dengan pemuda hingga larut malam. Besoknya, karena sedikit meleng dan teringat seorang kawan sepulang dari mencari sinyal untuk mengirim foto ucapan untuk seorang teman lain yang akan menikah, saya terpleset dari motor dan jatuh di bebatuan. Sudah urut dua kali dan badan masih tak karuan. Saya sedang berniat untuk membenci orang yang saya ingat itu.
Adakah hal ini pernah saya pikirkan sebelumnya? Ketika 24 nanti, saya akan jatuh di atas bebatuan dan sendirian. Tentu tidak.
Saya akan mencoba membayangkan tentang saya di usia 25 nanti. Meski saya belum tahu apa. Dari sekian doa, doa tentang selalu sehat yang sepertinya akan saya amini paling keras. Selain itu, masih saya amini juga, meski tidak terlalu. Atau mungkin, saya jadi teringat, saya melempar satu doa untuk bisa bertemu dengan seorang kawan untuk sekedar berterimakasih, dan mungkin sedikit bercerita. Entahlah.
Saya tahu benar, saya sangat tidak tahu pasti tentang hal-hal yang saya ingini. Saya hanya tahu tentang hal-hal yang tidak saya ingini.
Barangkali karena saya tahu, saya akan mendapat banyak kecewa ketika saya menyimpan terlalu banyak tumpukan harapan. Meski tetap saja, harapan datang seperti matahari pagi. Hampir pasti. Dan memang pasti. Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata. Sering saya melupakannya begitu saja dan menggantinya sedemikian rupa. Meski saya tahu apa yang tidak saya inginkan...
Saya tidak ingin membenci orang. Saya tidak ingin terlalu banyak merepotkan orang. Saya tidak ingin membuat orang sedih karena saya... Dan tentu saja, saya tidak ingin jatuh di atas batu lagi dan tersadar ternyata saya sendirian.
Sungguh. Kesadaran seperti ini menjadi sangat menyebalkan. Let that be the greatest worries.




---
5 Desember 2014