Tuesday, April 24, 2012

...random #8


Mellow yang agak bajingan ini, lebih bajingan dari pacar yang selingkuh , bermula ketika matahari sedang terik-teriknya dan saya memasuki salah satu gerai makanan yang dikenal menyajikan aneka pizza dan pasta di jalan protokol Solo (astaghfirulloh, apakah saya baru saja menggunakan kata ‘bajingan’?).

Duduk menunggu dua kawan baik, sangat baik malah, yang ternyata malah belum sampai padahal aturannya mereka harusnya sudah sampai duluan, lalu bersama mbak pramuniaga diantar memilih kursi, antara kursi untuk bertiga untuk orang yang merokok atau tidak, lalu saya memilih salah satu kursi melingkat berwarna merah. Dan duduk. Sendirian. Dua kawan baik saya itu belum datang. Membuka-buka menu makanan. Dan mengencim (bahasa indonesiane opo?) salah satu menu yang terasa sangat-amat-menggiurkan dengan taburan paprika hijau yang begitu banyak.

Kurang dari lima menit, mereka datang.

Tanpa perlu basa-basi, karena agak panas, kita berpindah ke meja yang lebih teduh menghindari kaca yang menghadap barat itu, agak menepi ke pojokan.

Lalu kita mulai bercerita. Banyak. Banyak sekali malah.

Ternyata lama sekali kita tidak bertemu, dua bulanan mungkin. Padahal kita satu kota, satu kampus (emang saya masih ngampus gitu? Plisss), walaupun tak henti saling sms-an, ya, meskipun nggak pernah saling ngingetin makan, tapi kita sering mengingatkan untuk berdoa sesuai kadar keimanan masing-masing, itu kalau sahabat saya yang cewek. Kalau sahabat saya yang cowok, agak sering ketemu dan saling curhat tentang TA, masa depan, dan warisan, dan pernikahan. Saya berdoa, semoga sahabat saya yang cowok ini kelak beneran bisa menikahi sahabat saya yang cewek ini. Iya, mereka bersama sejak dua atau tiga tahun, atau beberapa abad yang lalu mungkin, semoga hingga beberapa abad ke depan juga… amin.

Kenapa mellow.

Man?

Tadi siang sepertinya saya bilang, “Kapan lagi bisa ketemu kamu dan makan bareng gini? Kamu sibuk banget, aku juga ribet sendiri, belum lagi kalau abis ini….”

Bah.

Terus,

Mellow sesi kedua terjadi ketika saya harus melintasi tembok sebelah utara kostan saya, keluar dari rumah bude, yang menjaga kostan saya, membayar kostan. Lalu saya duduk di ruang tivi melihat taman di tengah kostan, agak aneh, tidak ada lagi pohon jambu yang empat tahunan lalu berdiri di situ, pohon jambu yang seketika membuat saya jatuh cinta pada kostan yang tiga kali menaikan harga sewa per bulan.

Dan, mellow, yang bajingan itu, yang lebih bajingan dari pacar yang punya slingkuhan, masih terasa sampai malam ini. Sementara air kostan mati, airnya mati ketika saya mandi sore tadi, ini sekarang saya belum gosok gigi, meminum secangkir kopi, dari radio ada Katy Perry menyanyi “part of me”.

...watching: praying


“Brother,
Mother,
It was they who led me to your door”



Where were you?
Help me not to sass my dad
Help me not to get dogs in fights
Help me be thankful for everything I’ve got
Where do you life?
Help me not to tell lies
Are you watching me?
I want to know what you are
I want to see what you see

To,
Help each other,
Love everyone, every leaf,
Every ray of light,
Our gift.

(the tree of life)

Monday, April 23, 2012

...berdamai dengan diri, berdamai dengan gigi


Penyebabnya kali ini adalah: makanan terlampau keras. Memakan terlampau cepat dan buru-buru.

Saya ingat sekali pagi dengan sebuah apel di awal minggu lalu. Saya melupakan gigi saya yang terlampau kropos dan sudah lama tidak sehat. Kenapa saya tidak memotongnya menjadi potongan kecil memanjang dari ujung satu ke ujung lainnya seperti sebelumnya saya memakan apel, kenapa saya langsung menggigit terburu-buru karena harus segera mandi dan pergi.

Jadi itulah kenapa ada sakit gigi, dalam rentang waktu hidup saya.

Selalu ada alasan lupa untuk ke dokter, mencabut sisa gigi yang rusak ketika tidak ada nyeri atau sekedar membersihkan karang gigi.

Selalu begitu.

Kali ini adalah cerita tentang gigi terselubung yang kekurangan tempat dalam rongga mulut saya. Terdengar mengerikan sekaligus agak menjijikan yah. Lalu saya membayangkan kemungkinan untuk memakai kawat gigi dan semacamnya. Terkesan tidak natural dan artifisial setelahnya. Tapi apalah artinya hidup tanpa gigi yang sehat. Lalu bagaimana saya akan melalui hari jika harus dibatasi makanan-makanan tertentu yang barangkali akan begitu nikmat jika gigi saya sehat. Lalu ketakutan akan pantangan-pantangan jikalah ada seutas benang kecil tak terlihat harus mengikat gigi saya. Sepertinya saya tidak sanggup.

Dan sakit gigi itu kejam. Dia mengajak tulang leher bersama syaraf mata dan kepala untuk merasakan ngilu. Capek kalau terlalu lama berdiri dan pusing berlebihan. Maka ada semacam obat peringan/penghilang sakit gigi yang bisa menidurkanmu selama kuranglebih 10jam. Lalu, kamu tidur sehari-semalaman dan memakan semacam lontong saja agar mereka bisa baikan.
Lalu mengakalinya dengan berpuasa dan kembali belajar makan dengan pelan.

Satu porsi ayam kluyuk sama dengan satu film berdurasi dua jam.

Memberi ruang untuk merasakan ngilunya tumbuh gigi bagi bayi enam bulan.

Agak riang karena jarum timbangan beberapa centimeter berbalik arah ke kiri lagi.

Sambil diam-diam menyiapkan kalimat sakti: saya tidak mau sakit gigi lagi.

Tuesday, April 10, 2012

...ketika, film bicara film


“Ketika kita menyadari eksistensinya, film sudah lama menjadi kebutuhan kita yang utama.” (Jean-Paul Sartre)

Saya marah pada Martin Scorsese. Bagaimana tidak, dia berhasil membodohi saya, atau sebut saya yang lalu menjadi tidak terima karena menjadi merasa sangat bodoh, setelah selesai melihat “Shutter Island”. Iya, saya baru menonton film rilisan 2010 malam kemarin, dan sangat marah karena tidak terima dengan pencucian pikiran yang juga berhasil Scorsese lakukan pada saya. Saya kehilangan orientasi atas realitas tokoh Teddy si polisi yang kemudian sempat mengaku menjadi Andrew yang menembak mati istrinya.

Ini hanya permulaan, bagaimana praktik menonton film menjadi begitu serius hingga membuat saya marah dan diam bodoh cukup lama. Bertanya pada diri sendiri tentang bagaimana saya menginterpretasikan pesan yang saya terima. Ketika itu, film tidak hanya sekedar rangkaian gambar bergerak dan bercerita selama beberapa menit yang menyengankan, ia menjadi semacam realitas yang harus saya ketahui cerita sebenarnya agar saya tidak kebingungan. Walaupun kebingungan semacam itu pada akhirnya adalah sebuah rasa salut tersendiri pada Scorsese.

Inilah titik dimana eksistensi film berhasil mengambil sebagian ingatan kita untuk menyimpannya, tidak sekedar menontonnya. Apalagi di tengah begitu banyaknya judul film panjang dan serbuan film amat pendek dalam bentuk iklan.

Menonton film kemudian menjadi kegiatan melihat kembali penafsiran realitas ke dalam pita seluloid dalam kacamata orang lain, sutradara, penulis naskah, kameramen, dan editor (screenplay). Kenapa “penafsiran realitas”, karena, seringnya, ide yang tertuang adalah apa yang sebenar-benarnya terjadi atau terpikirkan dari ide awal cerita. Maka sebuah film itu fiksi, science fiction, atau apalah, sebutlah itu setengah fiksi jika itu diangkat dari sebuah kisah nyata, tapi yang jelas, film bukanlah realitas yang sebenarnya. Namun demikian, kita tetap bisa menonton realitas yang ada, realitas dari kacamata yang berbeda.

Seperti ketika mencoba mengerti penafsiran realitas yang dilakukan dua film yang kebetulan sama-sama bercerita tentang sepenggal kisah tentang sejarah film itu sendiri, “The Artist” dan “Hugo”.

The Artist

Hugo

Saya teringat bagaimana laporan satu harian nasional tentang cara pintar Mark Bridges menata kostum Peppy Miller (Berenice Bejjo) dalam “The Artist”. Karena ini adalah film hitam-putih, maka ia tidak bisa menggunakan pakaian warna-warni indah yang bisa saja menjadi ikon jika itu adalah seri film “Sex and The City”. Kemudian dia mengakalinya dengan detail yang akan menunjukan metamorfosis Miller sebagai gadis biasa menjadi bintang melalui ruffles, kilau batuan, bulu, dan aksesoris gemerlap.

Saya kemudian membayangkan, jika “The Artist” benar-benar dibuat pada tahun 1927, sepertinya ini adalah hanya sekedar film dengan cerita happy ending. Untungnya ini adalah film tahun 2011, ketika semua orang (termasuk saya, mungkin) semakin mencintai film digital dengan efek fantastis, atau entahlah, karena saya sebenarnya bukan penggemar fanatik film. Menjadikan kita kembali merasakan sensasi menonton film bisu dalam versi yang lebih hidup dan bercerita. “The Artist” memberikan “penafsiran realitas” sejelas-jelasnya tentang metamorfosis versi film yang kita tonton sekarang, sebuah pengalaman audio-visual, melalui kacamata Michael Hazanaficius.

Bagaimana tetap saja ada yang (sempat) terkalahkan ketika film menemukan bentuk barunya menjadi gambar bergerak dan bersuara. Hal tersebut tergambarkan jelas dari karakter Goerge Valentin (Jean Dujardin), sang bintang film “bisu” yang kehilangan segalanya ketika ia menolak untuk mengikuti perkembangan film itu sendiri. Sementara pemenangnya adalah Peppy Miller, si junior penggemar Goerge Valentin yang menjadi bintang baru dan mendapatkan semua yang pernah dimiliki Valentin. Di sisi lain, realitas bentukannya adalah ketika film menjadi lebih menarik karena ia tak lagi bisu.

Maka “The Artist” pun terasa memiliki pesannya sendiri. Bahwa, di era ketika penonton bisa merasakan apa yang terlihat dalam film dengan kacamata 3D (walaupun saya belum pernah mencobanya, cupu!), mampu menarik hati dan menyimpan sedikit tentangnya. Film bisu di masa 3D. Sebuah sensasi sekaligus cara untuk mengingatkan kembali tentang eksistensi.

Sensasi untuk mencoba menebak perasaan yang sempat diungkapkan Sartre tentang film-film di masa kecilnya, ketika film menjadi hiburan yang lebih egaliter di masyarakat Prancis awal abad 20-an. “Di atas segalanya, aku menyukai kebisuan tak tersembuhkan dari tokoh-tokoh favoritku. Atau lebih tepat, tidak: mereka tidak bisa, sebab mereka tahu harus berbuat apa untuk dimengerti orang lain. Kami berkomunikasi melalui musik, yang merupakan bunyi batin tokoh-tokoh itu.”

Nyatanya saya tidak bosan melihat sekitar sembilan puluh menit film hitam putih nan bisu itu sambil mencoba mengerti, dahulu, dahulu sekali, sekelompok orang menciptakan film dan secara serius memikirkan keberlanjutannya dari pada menciptakan alat peledak baru. Bersyukurlah saya yang kini bisa bebas men-copy film dengan flashdisk (*ups) dan sesekali (sesekali) ke bioskop, atau bahkan mengarang-ngarang cerita dan sok-sokan membuat film.

Eksistensi film lebih personal dan lebih mendalam lagi ditampilkan dalam “Hugo”.

Adrian Jonathan Pasaribu, seorang penulis dalam salah satu situs film (yang oke menurut saya), menulis bahwa: “Sinema adalah medium artifisial yang tunduk pada keinginan operatornya, dan artifisialitas medium film inilah yang ditekankan Scorsese dalam Hugo.” “Hugo” sebagai film menjadi pesan itu sendiri, tentang eksistensi film sebagai dunia artifisial. Atau kalau saya tadi mengoceh tentang “penafsiran realitas” (bdw, serius saya nggak berpegang buku, kalau nggak setuju atau saya keliru, ingatkan saya yuk aja mari).

Saya sendiri agak terkecoh dengan film fantasi yang dikomentari sinis oleh Si Potter, karena “Hugo” menang  Oscar, dan Daniel Radchliffe beranggapan bahwa hanya film fantasi garapan Martin Scorsese (dia lagi!) yang bisa masuk Oscar. Atau emang saya aja yang agak terlambat ketika memahami film. Karena saya menanyakan, adakah di masa itu sudah ada robot?

Ketika merawat si automaton, Hugo hidup di Paris era 40-an, yang berarti si automaton dibuat beberapa puluh tahun sebelumnya, atau ketika Georges Méliès membuat “A Trip to The Moon” di tahun 1902, yang ternyata menjadi pesan dari automaton. Lalu bukankah Méliès seperti halnya Lumière bersaudara juga menjadi salah satu yang mengawali sejarah film itu sendiri. Lumière mendokumentasikan realitas dari perjalanan kereta dalam sinema, Méliès menciptakan dunianya sendiri, sebuah dunia dengan karakter fantasi yang berkembang dari realitas pikirannya, perjalanan ke bulan itu salah satunya. Meskipun perjalanan ke bulan syukurnya terjadi beberapa dekade sesudahnya, tapi sepertinya cerita tentang alien masih berada di titik semu antara ide dan realitas.

Tentu saja saya awalnya mengira “Hugo” akan hanya bercerita tentang si bocah yatim-piatu dan jam-jam besar di Paris. Tanpa mengira bahwa ia akan mengajak kita mencari tahu tentang ayahnya yang berujung pada sepenggal cerita tentang sejarah film dan segala eksistensinya. Film bagi almarhum ayah Hugo, dimana ia merupakan salah satu generasi pertama penikmat film. Film bagi Hugo akan kenangan tentang ayahnya, dimana ia selalu menonton film bersama ayahnya. Film bagi George Méliès sebagai sebuah cinta yang berujung keputusasaan dan sakit hati. Tentang seluloid film yang dijadikan bahan untuk membuat hak sepatu pasca PD I (serius, ini menyedihkan). Tentang mereka semua dalam film ini, yang pada akhirnya tersatukan melalui film. Dan, terlebih lagi, tentang penonton film yang tanpa sadar sudah menjadikan film sebagai kebutuhan. Seperti halnya pemulas bibir dan bedak bagi seorang perempuan, kebutuhan yang terbentuk entah karena apa, atau bisa jadi, terbentuk dengan terlalu banyak alasan.

Jika “The Artist” mengajak mencoba sensasi dalam salah satu loncatan dalam sejarah film, “Hugo” terang-terangan mengajak kita mencari awal esensial tujuan kenapa film dibuat, yaitu untuk menciptakan realitasnya sendiri, realitas dalam film. Kesamaanya, dua-duanya mengajak menikmati sensasi mencari realitas dalam sejarah film itu sendiri, meskipun, tentu saja, belum tamat di detik akhir kedua film ini.

Begitulah. Inilah cerocos dari orang yang selalu telat nonton film karena pelit mengeluarkan uang untuk menonton bioskop lalu tergerak ingin menulis tentang film karena kalimat Sartre di atas. Terlepas dari keduanya sebagai pemenang Oscar tahun ini.

Beruntunglah yang masih sempat menonton film.

Terimakasih untuk Bang Bokir, aka, Ajik, atas puluhan film barunya. Saya jadi punya kegiatan berarti sambil makan pagi.

...mixtape #3






a Chaos Mixtape
Did you ever break-up, or, kind a something like that?

Speechless? Feel free? Have no idea? Angry? Confused?  Or, just be grateful?

I name it: chaos.

We’re not okay, but feel free. Angry but just grateful. Quite. Silent. Off for just few day. Hear these songs, maybe you’ll cry, or something. Or just mix your own mixtape. No hard feeling, just for fun, just to make you laugh after that tearsy time. Lalalalaaaa…. :D

Stand by Me – Oasis
Whatever. We just can’t stand by someone’s side again. Enough. He/she doesn’t give us something new.

Better That We Break – Maroon 5
Nothing wrong about break-up, he said. That better, than didn’t doing something more right.

What If – Coldplay
Sometime, we just talk about “what if-what if-what if- and what if”. But we should decide. We should realize that something going wrong. Sometime we get mistake and take the risk, right? “Let’s take a breath and jump over the side”.

Warwick Avenue – Duffy
I do love this song since I’ve heard it for the first time. It’s Duffy. Send this song for your boyfriend-who-you-just-want-break-up-but-you-don’t-know-how-to-say. He’ll know. “You think you’re loving, but you don’t love my, baby you hurt me.”

Best Thing I Never Had – Beyonce
“When I think that there was a time that I almost loved you/ You showed your ass and I saw the real you/ Thank God you blew it/ Thank God I dodged the bullet/ I'm so over you/ Baby good lookin' out/ I wanted you bad/ I'm so through with it/ Cause honestly you turned out to be the best thing I never had/ I said, you turned out to be the best thing I never had/ And I'll never be the best thing you never had/ Oh baby I bet sucks to be you right now…/ Lord knows that it would take another place, another time, another world, another life/ Thank God I found the good in goodbye//. He/she just not even better enough for us.

Belle of The Boulevard – Dashboard Confessional
Just crying. Crying. And crying. Call your friend, then crying. Then: “Dry your eyes, dry your eyes. Life is always hard, for the belle of the boulevard….”. As life as usual, you’ll be fine.

Lover’s Spit – Broken Social Scene
“You know it’s time that we grow old and do some shit”. Grow up.


Sunday, April 8, 2012

...mr. right


Sebelum menemukan seorang Mr. Right, seorang perempuan akan menumakan banyak Mr. Wrong.

Perpisahan, bisa jadi menyenangkan dan atau agak menyedihkan. Tapi yang pasti, membawa pada satu perubahan. Kenangan, instropeksi, dan melakukan sesuatu yang lebih baik, atau sebaliknya, lebih buruk. Dengan satu harapan baru, menemukan mr.-mr. selanjutnya, atau sebaliknya juga, terdiam dan ketakutan untuk membuka diri lagi.

Atau justru Mr. Right datang di saat tidak tepat. Menggoncang sesuatu yang sebelumnya sudah kita anggap stabil. Kemudian menjadi tidak stabil. Karena kemudian tidak bisa menerima yang kurang (padahal sebelumnya kita anggap biasa), lalu menganggap kita perlu menggantinya dengan yang lebih baik (padahal belum tentu baik).

Tapi, hei, bukankah itu siklus? Semacam pencarian.

Sampai akhirnya, pada satu waktu, seorang perempuan akan bertemu Mr. Right yang bisa membuat seorang perempuan kembali jatuh cinta dan menemukan “apa” yang dicarinya. Yang menjadikannya kembali percaya kalau cinta itu ada, yang memberikan kenyamanan, yang memberi jawaban, yang menyeimbangkan.

Seperti Elizabeth Gilbert bertemu Fillipe dalam “Eat, Pray, Love”. Seperti Izzie Stephen mencintai Donny Duquette bahkan hingga Donny meninggal dalam “Greys Anatomy”. Seperti Vicky dan Cristina menganggap Juan Antonio sebagai laki-laki yang mengetuk perasaan mereka dalam “Vicky, Cristina Barcelona”. Atau Holly bertemu William, dalam “PS. I Love You”.
Apa kesamaannya?

Satu, Mr. Right mereka adalah Javier Bardem.

Entah kebetulan, entah tidak. Satu minggu ini, saya melihat film dengan Javier Bardem sebagai seorang Mr. Right. Muncul di akhir, memberi harapan dan kebahagiaan bagi perempuan-perempuan itu.

Seorang laki-laki yang, tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata, yasudahlah, pokoknya Mr. Right aja.

Hanya kebetulan saja sebenarnya ketika saya menonton kembali “Eat, Pray, Love” karena waktu itu kebetulan sedang menginap di tempat teman, dan kita menonton itu. Tapi, pesona Javier Bardem sebagai sosok sempurna sebagai jawaban atas pencarian Julia Robert memang bisa dibilang, terlalu sempurna. Bagaimana tidak, bagaimana bisa, dan kenapa bisa begitu? Apakah hal itu juga yang didapatkan Elizabeth Gilbert dalam pencariannya yang sebenarnya?

Saya mempertanyakan pertanyaan ini setelah selesai menonton film yang juga diproduseri Brad Pitt itu. Si Gilbert itu bukannya masih hidup sampai sekarang? Bagaimana jika dalam dua atau tiga tahun ke depan dia merasakan kekosongan yang sama seperti yang dia rasakan dengan mantan suaminya, dan mengharuskan dia untuk melakukan perjalanan ulang lagi? Tapi ini hanya pertanyaan bodoh saya saja.

Karena sesungguhnya film adalah ruang imaji yang dibuat sedemikian rupa, melampaui realitas yang sesungguhunya. Saya nggak bisa mencantumkan sumber, saya percaya ada seseorang yang menyatakan kalimat saya sebelumnya, tapi saya juga tidak yakin siapa yang mengatakannya.

Selanjutnya, Javier Bardem dalam “Vicky, Cristina Barcelona”. Saya menontonnya kembali dalam rangka ingin menonton film-film Woody Allen. Kembali lagi, Javier Bardem, lengkap, berdampingan dengan sang istri, Penelope Cruz, yang juga berperan sebagai mantan istri dengan hubungan cinta agak absurd. Kembali dia menjadi the Mr. Right, menjawab pertanyaan Scarlett Johansson dan memberi sedikit sensasi bagi Rebecca Hall selama perjalanan mereka di Barcelona. Ya, meskipun agak tidak begitu right, karena toh pada akhirnya, ketiga perempuan itu juga pada akhirnya meninggalkannya.

Kenapa Javier Bardem?

Apakah karena dia seorang latin? (kenapa saya rasis?)

Tentu kita agak ingat bahwa citra pria latin itu seksi dan romantis.

Kenapa saya mempertanyakan ini? Karena saya agak sebal. Karena saya sebal, kenapa Javier Bardem hanya keluar di saat akhir film? Dia tidak mengikuti ketegangan dan alur permasalahan dari karakter Liz. Dia muncul begitu saja ke depan Vicky dan Cristina, tapi dia masih sempat memuja-muja mantan istrinya yang agak nyentrik, Maria Elena.

Dalam “Eat, Pray, Love” dia hanya sekedar penyelesaian. Sekedar muncul sebagai semacam peredam konflik yang juga datang dengan semacam masalahnya sendiri, rasa sakit hati karena percerainnya. Apakah seorang Mr. Right muncul tiba-tiba seperti itu?

Untungnya, dalam “Vicky, Cristina Barcelona” dia hanya menjadi Mr. Right yang tidak sempurna. Meskpiun alurnya hampir sama, dia memberi semacam jawaban bagi Vicky dan Cristina, tapi tidak kemudian dia menjadi “the answer”. Dia datang sebagai “trouble maker”. Orang yang telihat melengkapi tapi sesungguhnya jauh dari sempurna, seperti, semacam dia tidak memiliki semua yang tidak kita inginkan tapi juga tidak memiliki sesuatu yang kita inginkan. Memporak-porandakan dan memberi permasalahan baru bagi hidup Vicky dan Cristina, walaupun di akhir cerita, kedunya menganggap bahwa semua yang terjadi di Barcelona, termasuk karakter Juan Antonio ini hanya bagian yang harus mereka lupakan selamanya, sekaligus mereka ingat diam-diam. Tentu kita percaya dengan Woody Allen dan kisah-kisah tak terduganya.

Dan Javier Bardem layak menjadi Mr. Right, setidaknya dalam dua film itu.  Karena, tanpa senapan atau harus bisa terbang, dia mampu memberi jawaban pada perempuan-perempuan yang mencari jawaban.

Tapi saya kira bukan hanya itu jawabannya, karena entah mengapa, Javier Bardem memang begitu right sebagai seorang Mr. Right. Ingat “Love in the Time of Cholera”? Meskipun agak naif, tapi dia menunggu Giovanna Mezzogiorno sejak mereka remaja hingga menjadi seorang nenek tua. That’s a real Mr. Right, right? Someone who in love with same person, all the time.

Mungkin hanya Penelope Cruz yang tau bagaimana Javier Bardem sebenarnya.

Apakah ada yang merasa salah dengan tulisan saya di awal paragraf? (kalau ada orang lain yang baca?)

Harusnya sadar, tapi boleh juga enggak. Tapi saya akan membenarkannya sekarang.

Tadinya saya mau bilang bahwa William dalam “PS. I Love You” juga sama mempesonanya, begitupun Donny Duquette dalam serial “Greys Anatomy”, lalu saya akan memuji-muji Javier Bardem sedemikan rupa. Tapi mohon maaf, karena hanya memperhatikan wajah tanpa memperhatikan credit tittle, ternyata mereka bukan Javier Bardem, mereka adalah Jeffrey Dean Morgan. Husialalalalaaaa…
Javier Bardem
Jeffrey Dean Morgan

Sialnya, muka mereka mirip sekali.