Monday, March 25, 2013

...PARADOKS





Siapa duga, rasa yakin datang pada saat-saat yang sedikit tak pada tempatnya. 

Bukannya saya tidak percaya agama dan tuhan, tapi kadang saya belum terlalu yakin dengan kekuatan iman saya sendiri. Maksud saya, meski saya percaya, saya selalu bertanya pada diri sendiri: adakah saya adalah seorang penganut yang baik? Dan saya tak pernah punya jawaban. Tentu saja, karena saya bukanlah manusia yang baik. Terlebih ketika melihat diri saya sendiri ke tahun-tahun sebelum sekarang. 

Pagi itu sudah saya tunggu-tunggu sejak lama. Pagi di hari Senin, ketika saya rehat dari kebiasaan di hari-hari biasanya. Kadang, saya senang ketika mendapat working order cukup banyak untuk mengejar momen-momen tertentu. Karena, meski klabakan dan harus pulang agak lebih malam dan tetap bekerja di akhir pekan, itu berarti saya akan mendapatkan kesempatan untuk memilih satu hari yang saya inginkan untuk tidak bekerja dan melakukan hal yang saya suka.

Seperti Senin yang sudah saya tunggu-tunggu ini. Hingga saya mengalami hal yang sangat paradoks ini.

Saya selalu mengagumi bangunan-bangunan lama yang masih tegak berdiri hingga sekarang. Jika melihat bangunan-bangunan semacam ini, pikiran saya akan melayang pada tahun-tahun ketika bangunan didirikan. Siapa yang merancangnya dan dari mana ia mendapatkan idenya. Siapa saja orang-orang yang membangunnya. Bagaimana mereka mendapatkan bahan-bahannya. Seperti apa orang-orang yang tinggal atau beraktifitas di dalamnya. Siapa yang merawatnya hingga sekarang? Apakah dulu ini adalah yang terindah?

Untuk melakukan ini semua, saya sering harus berdiam agak cukup lama. 

Seperti ketika saya mengagumi satu bangunan rumah bergaya peranakan di sekitar Pasar Kutoarjo, tidak jauh dari Stasiun Kutoarjo. Saya dan Diah, kawan baik saya, kami berjalan mengelilingi pasar lama itu untuk mencari sebuah warung bakso yang namanya melegenda di sana. Ketika berjalan pulang, lalu kami tersadar, kami seperti sedang berjalan di masa yang seperti bukan sekarang.

Jalan panjang itu dikelilingi toko-toko dengan papan nama yang catnya telah luntur. Beberapa menggunakan huruf China, saya tak bisa membacanya. Baunya seperti lemari almarhum nenek saya, campuran antara kapur barus, ngengat, dan lembab. Baunya tua dan tajam. Bahkan saya bisa mencium bau sebuah kompleks pertokoan. Mungkin karena saya melihat etalase-etalase yang berisikan kardus-kardus dengan warna-warna pudar dan lembab. Atau gambar-gambar pada botol kemasan kosmetik yang pernah saya temui ketika kecil masih saja menantang mata saya di sana. 

“Mereka mungkin masih saya membuka toko mereka karena mereka tak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain menunggu pembeli di kursi mereka seperti berpuluh-puluh tahun lalu,” kata saya hampir putus asa. Atau bahagia. Karena berarti cici-cici dan koko-koko sepuh di sana masih punya semangat untuk hidup. Bayangkan, jika tiga bulan tanpa profit berarti dengan toko di sebuah mall itu berarti tanda untuk segera beralih pada merek atau konsep selanjutnya. Mereka yang memiliki toko di dekat Stasiun Kutoarjo itu tetap membuka tokonya setiap hari sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tanpa ada pembeli baru, tanpa ada penjaga toko baru, bahkan tanpa ada produk baru.

Tapi tentu tidak semuanya begitu. Di sana ada Indomaret yang riuh, tentu saja. Dan sebuah toko obat Cina yang sempit, dan semakin terlihat sempit karena pembeli yang bejubel. Dan, puluhan kios lain yang tak lagi dibuka. Mungkin pemiliknya telah tiada. Seperti halnya bangunan dua lantai bercat hijau yang membuat saya seperti orang bego, karena dengan bodohnya, saya melihat-lihat rumah itu seperti maling yang sedang mencari celah untuk masuk. Kalau saja hari tak semakin panas dan saya harus mengejar kereta saya, mungkin saya akan menemukan celah kecil dan masuk ke rumah itu. Rumah itu sangat cantik. Dengan kayu-kayu seperti rumah-rumah Jawa, bercat cerah seperti rumah-rumah orang peranakan, dan berkaca patri warna-warni seperti kantor-kantor orang Belanda. Saya agak lupa, tapi sepertinya itu adalah sebuah penginapan, karena ada semacam papan nama kecil di pojokan pintu yang tak lagi terbuka. Saya agak lupa, karena di sana juga ada sebuah penginapan bertingkat dua yang masih buka, tapi dengan bangunan yang lebih kekinian: menggunakan batu bata.

Dalam sisa perjalanan kami menuju stasiun, perasaan janggal itu masih saya ada, bahkan hingga sekarang. Kami mencoba menerka-nerka: di masa lalu, di sana tak ada toko yang sepi. Tak ada cat yang luntur. Dan baunya segar mempesona siapa saja. Delman berlalu lalang dan orang-orang yang sibuk memilih barang. Pada saat yang sama, kami seperti melihat ke masa entah kapan yang sekarang tak lagi ada. 

Paradoks yang hampir sama saya rasakan Senin itu.

Berjalan di bawah rimbunan pohon di Jakarta itu katanya doa yang tak mungkin dikabulkan. Mungkin itu benar. Tapi tidak di sepanjang Gedung Kesenian Jakarta, memutar ke Kantor Pos, hingga Gereja Katedral. Pohon-pohon besar menyimpan panas matahari di tubuhnya yang menjulang tinggi. Tak ada macet, tak ada klakson bersahutan, meski masih ada mobil-mobil yang parkir di pinggiran jalan dan supir-supir yang duduk-duduk di trotoar sementara menunggu tuan-tuannya pulang sekolah di salah satu sekolah katolik di sana. 

Tujuan saya pagi itu satu: ke gereja. 

Saya ingin ke museumnya. Dan mungkin saya juga akan berdoa di sana. Kesempatan saya ke sana sangat terbatas. Hanya pada hari Senin, Rabu, dan Jumat setiap pukul 10.00 hingga 12.00 siang. Dan kali ini, saya tak akan melewatkannya. Saya sudah melewatkan kesempatan bertemu adik-adik saya, maka saya tak akan melewatkan kesempatan berdoa di gereja.

Sepertinya ini kali kedua atau ketiga saya mengunjungi gereja. Kali pertama dan kedua itu untuk keperluan shooting yang sebenarnya agak tidak mengindahkan gereja dan isinya. Sementara, yang ada di kepala saya ketika kecil hingga ketika sedikit lebih dewasa, bahwa ke gereja itu dosa. Dan ketika sedikit lebih dewasa, karena saya tak lagi paham mana dosa mana pahala, saya kira ke gereja, pura, candi, atau segala rumah ibadah adalah biasa saja. Semuanya tergantung apa yang ada di hati dan kepala. Hampir sama dengan ketika mengunjungi klub malam, karaoke keluarga, atau menginap di hotel dengan harga 60.000/malam di hotel dekat terminal di pinggiran Kota Klaten. 

Hingga saya berdiam di salah satu kursi panjang menghadap altar dan bertanya pada diri sendiri: tuhan, adakah kita semua selama ini sebenarnya berdoa pada Kau, yang sama di hati kita semua? 

Sebelum saya disapa bapak yang tadinya ngobrol dengan saya, seorang bapak yang sedang mengelap lantai gereja dan memiliki senyum yang sangat ramah. Ia mempersilahkan saya ke lantai dua gereja, karena museum telah dibuka.

Dalam perjalanan menaiki anak-anak tangga kayu itu saya terdiam cukup lama. Paradoks yang sama yang biasa dengan secara tiba-tiba memenuhi diri saya. Saya merasa tidak berada di masa sekarang saya berada, tapi saya tahu saya masih berada di tempat saya bediri sebelumnya. Dan saat itulah tiba, ketika tanpa diduga, kepada ibu yang menatap saya dengan tajam saya berkata: Saya seorang muslim. Saya menjawab tanpa ibu itu bertanya. Ia hanya menanyakan saya berasal dari mana dan meminta saya menulis di buku tamu. Sepertinya ia tahu saya gentar melihat raut mukanya yang tajam, ekspresi galaknya memudar. Ia mempersilahkan saya masuk ke dalam museum.

Museum selalu bercerita tentang apa yang pernah ada dan apa-apa saja yang tertinggal dari sana. Mengajak kita menghormati sejarah. Atau minimal mengenalnya dan cukup tahu saja. Begitupun dengan yang tampak pada Museum Gereja Katedral Jakarta ini. Sekaligus saya menemukan jawaban untuk tiap pertanyaan yang terlontar ketika melihat bangunan yang menakjubkan. 

Sebelum menjelma bangunan dengan denah berbentuk salib dan memiliki tiga menara, Menara Angelus Dei di bagian tengah; Menara Benteng Daud di sisi kiri, dan Menara gading di sisi pintu utama, Gereja Katedral pernah runtuh pada tahun 1890. Hingga dilakukanlah pembangunan ulang dengan fasad hingga seperti sekarang sejak tahun 1891, Pastor Antonius Dijkmans SJ yang merancangnya. Hampir sepuluh tahun ntuk merancang hingga gereja di resmikan pada 1901. 

Dan, siapa yang membangunnya, tentu saja pemerintah Belanda kala itu. Siapa pekerjanya, tentu saja tenaga pribumi kala itu. Siapa yang pada mulanya beribadah di sana, tentu saja para pembesar Belanda yang beragama Katolik. Tapi bukankah setiap bangunan besar yang dibangun di masa itu memiliki pola yang hampir sama. Karen mungkin, pada saat itu, Belanda tak pernah menduga jika mereka akan meninggalkan Hindia-nya tercinta. 

Saya melihat-lihat tiap sudut museum yang membentang di sayap kiri dan kanan bangunan utama gereja itu. Mencoba mengerti makna tiap-tiap benda yang ada di sana: Stola, Biretta, Soledo, Roman Kasula, Kasula Pontifikal rangkap tiga, dan lain sebagainya. 

Setelah hampir sekitar satu jam berkeliling dan sedikit ngobrol dengan beberapa pengunjung lain, saya turun. Ingin segera pulang.

Meski saya akhirnya terduduk di barisan kursi-kursi di mana para jamaah duduk dan berdoa. Kali itu saya memandang-mandang saja semua yang ada di sana. Betapa indah manusia bisa merancang semua ini. Saya membayangkan Nindya, kawan saya yang ingin menikah di gereja katolik, berjalan menuju altar. Saya membayangkan kawan saya seorang katolik, yang begitu rajin ke gereja meski kacau sekali tampilan luar dan omongannya. Saya juga masih mendapati bapak yang tadi mengepel lantai kini tengah mengelap satu per satu kursi di sudut lainnya. 

Saat itu, sepertinya saya masih agak gemetaran, karena saya baru saja mengaku saya adalah seorang muslim. Tidakkah aneh, saya begitu yakin dengan jawaban saya ketika saya berada di bangunan gereja. Apakah saya mengatakannya karena saya ingin si ibu penjaga museum tahu. Atau saya menyatakannya pada diri saya sendiri: bahwa saya seorang muslim. Bahwa saya sebelumnya bertanya di depan altar utama dari sebuah gereja di Groningen sana: tidakkah kita berdoa padaMu yang sama di hati kita semua?. Saya diam hingga agak lama. Masih melihat-lihat altar dan seisi gereja. Saya menanyakannya lagi: tidakkah Engkau adalah yang Esa yang berada di sana? Mungkin saya menemukan jawabannya ketika bapak yang membersihkan kursi itu tersenyum pada saya.

Sebelumnya, ketika saya baru datang, ketika pintu museum belum dibuka, dan saya bingung harus bagaimana. Saya bertanya pada bapak itu, apakah museum hari ini buka, karena ini sudah jam 10 lewat. Si bapak mempersilahkan saya menunggu, karena penjaganya belum datang. Ada yang bergejolak di kepala saya, mungkin memori kanak-kanak saya. Hingga saya berkata: saya bukan seorang katolik, apakah saya tetap boleh duduk di sini. Dan bapak itu mempersilahkan saya. 

Menjadi seorang umat adalah pengabdian. Sementara menjadi percaya adalah kesediaan yang tumbuh dengan sendirinya di dalam sana. Dan ibadah adalah sebuah momen untuk bertemu tuhan yang begitu unik, dengan caranya masing-masing. Ia adalah yang Esa. 

Sebuah pesan mengejutkan saya. Saya harus membuat twit untuk pekerjaan saya. Ya, saya juga membuat twit untuk pekerjaan, saudara-saudara. Mungkin bos saya lupa kalau saya hari ini sedang libur untuk sekedar bertemu tuhan. Saya meninggalkan senyum pamit pada si bapak yang masih saja membersihkan jejeran kursi di sana. Saya menuju taman dengan burung-burung merpati yang sibuk mencari makan di antara kursi-kursi beton. Membuat twit. Dan lalu pulang.

Setelah terseret entah ke mana. Setelah paradoks aneh, yang tak hanya membawa saya ke masa seperti bukan sekarang. Tapi juga pada, apakah saya masih saya yang sama dengan saya yang dulu, sementara saya tahu saya masihlah orang yang sama. Saya kembali pada jalanan di antara rimbun pohon yang tinggi menjulang. Supir-supir yang masih menunggu anak-anak tuannya. Hanya saja matahari sudah semakin terang memanggang siang. 

Tujuan selanjutnya: pasar baru. Dan tebak, di sana saya kembali bertemu bau lembab dan kapur barus seperti ketika saya dan ibu saya merapikan lemari almarhum nenek saya dulu. 

...coretcoretan




Satu hal yang baru saya sadari beberapa tahun belakangan ini adalah: tangan saya tak bisa diam. 

Itu juga karena seorang kawan, dari mbak-mbak kost saya, yang hingga kini saya anggap seperti kakak-kakak sendiri mengatakannya tanpa sengaja. “Atun tangannya kalau gue kasih kayu udah jadi kursi kali yah?” 

Waktu itu kami sedang makan malam rame-rame di sebuah warung bebek goreng, yang sekarang begitu saya rindukan. Saya rindu bebeeeek. Karena saya merasa agak out of space, karena saya baru di lingkungan mereka, dan saya bingung harus ngomong apa, saya meremas-remas tisu agak banyak. Jiwa awalnya saya pikir itu tangan saya tak bisa diam ketika saya kehabisan ide, kemudian saya tahu kalau tangan saya memang tak bisa diam. Terutama berkaitan dengan kertas dan tisu dan alat tulis dan plastikdan kain dan semuanya. 

Tapi kebanyakan memang ketika saya kehabisan ide. Dulu mungkin saya melampiaskannya dengan membuat status facebook dan twit sebanyak mungkin, sepertinya. Tapi akhirnya bosan sendiri. Jadi bayangkan, saya ternyata bikin status di jejaring sosial ketika kehabisan ide. Tidakkah itu mengerikan? Atau malah menyenangkan?

Tapi, hal yang paling sering yang saya lakukan adalah menggambar dan membuat bundaran-bundaran ruwet menjadi apa saja yang mungkin. Entahlah apa itu maksudnya. 

Dan jika berhubungan dengan pelajaran atau sekarang berarti pekerjaan, saya akan membuat bagan-bagan dari kata-kata yang mungkin ada. Saya tak pernah benar-benar hafal dengan apa yang harusnya saya hafal. Sejak dulu. Itulah mungkin kenapa saya selalu menjawab bertele-tele pertanyaan yang seharusnya bisa dijawab singkat di lembar ulangan. Saya lupa pada apa yang seharusnya saya hafal, saya hanya ingat kata-kata kuncinya, saya harus membuat guru saya tetap mendapatkan poin yang saya maksud, makanya saya menjelaskannya dengan panjang. Termasuk ketika menulis, mungkin. Saya selalu kehilangan fokus tulisan saya, dan menjelaskannya panjang lebar, sampai orang bosan membacanya. 

Beruntung, sangat beruntung, saya kini harus membuat penjelasan-penejelasan panjang menjadi kalimat-kalimat pendek. Disertai penjelasan panjang lagi, pada saat presentasi dan pitching. Saya jadi harus belajar lebih fokus.

Dan untuk menjadi fokus, saya tetap perlu bulatan-bulatan ini. Oh, tidak.
Hhhaa….

menjadi bunga

menjadi tangan kiri saya dan kincir plastik di meja
kadang-kadang: melihat case study copywriter seniorrr banget dan pengen bikin project seperti mereka, idealis tapi juga komunikatif.

Monday, March 18, 2013

...bukan kalah

Berikut adalah tulisan saya, yang saya kirim pada salah satu website, em, cukup oke, walau kadang saya agak-agak pusing ketika membaca tulisan-tulisan di sana. Tapi memang beberapa, sebagian besar, tulisan-tulisan di sana sangat menyenangkan. Dan diam-diam saya ingin melihat tulisan saya di sana, entahlah, mungkin biar terlihat keren. Atau saya ingin kembal menulis dengan agak lebih serius, agak lebih panjang, agak lebih berusaha. Ketika kamu sudah terlalu sering menulis kalimat-kalimat pendek, ada kalanya kamu ingin menulis tulisan panjang, yang baik. Ya, meski mungkin belum baik. Sudah hampir sebulan, dan tulisan ini teronggok di Bank Naskah terus. Sepertinya tidak akan terbit, toh sudah ada tulisan yang membahas hal yang sama. Dan tulisan itu baik, sangat baik, saya senang membaca tulisan itu. Maka dari itu, saya ingin menyimpannya di sini. Biar besok-besok saya bisa lebih objektif dan kritis lagi kalau menulis. Tidak lagi emosional. Iya, saya menulis ini dengan jutaan perasaan sentimentil. Ya, saya harus belajar lagi. Penulis yang baik, kata mentor saya dulu, tahu apa yang dia tulis. Tidak menyerahkan semuanya kepada pembaca, harus ada gagasannya, toh ini bukan reportase, dan, yah, reportase pun harus punya gagasan. Dan, saya tidak punya itu, saya cuma punya emosi-emosi yang berlebihan setelah melihat si objek tulisan. How this sentimentil fool can be? Saya cuma kurang disiplin, sepertinya. Karena katanya, setiap orang itu pada dasarnya bisa menulis. :)


_____________________________________________________



Cinta dan Kehilangan di Keping Ketiga Rectoverso


Mendengar kabar hadirnya film “Rectoverso”, membuat saya membongkar kembali satu dus kecil berisi beberapa buku yang saya masukan sembarangan ke dalam kolong kamar tidur kost baru saya. Membaca kembali buku berjudul sama dengan halaman sampul berwarna hijau dengan sedikit pendar kuning warna pagi, atau kalau bukan senja, dan sepasang sosok gelap yang saling ragu bertatap.

Lima dari sebelas kisah dalam buku kumpulan cerita berjudul sama karya penulis Dewi “Dee” Lestari ini diadaptasi oleh, tak tanggung-tanggung, lima sutradara perempuan menjadi satu film omnibus berdurasi sekitar 110 menit. Pemersatu lima kisah ini, jika bukan karena semua cerita aslinya ditulis oleh satu penulis sama, maka adalah tentang kehilangan. Bukan tentang perjuangan yang sama. Bukan tentang momen-momen yang terjadi pada satu waktu yang sama. Bukan tentang kisah-kisah pada satu kota yang sama. Juga bukan tentang satu ritual pada satu perayaan yang sama. Atau setidaknya, itu menurut saya.

Cerita tanpa nama

Tampaknya, kelima sutradara, Marcela Zalianty (Malaikat Juga Tahu); Rachel Maryam (Firasat); Caty Sharon (Cicak di Dinding); Olga Lidya (Curhat Buat Sahabat); Happy Salma (Hanya Isyarat), tidak ingin merubah banyak hal dari setiap kisah dalam tiap cerita pendek Dee. Kecuali satu hal, tentang nama. Setelah membacanya lagi, saya tersadar satu hal. Di dalam buknya, Dee menuliskan kisahnya tanpa nama. Hanya ada aku, kamu, dia, si Abang, Bunda, laki-laki itu, perempuan itu, atau kata ganti –nya. Tak heran kita akan merasa dekat saat membacanya, seperti mendengar seorang kawan dekat bercerita dan lalu terbahak atau menangis bersama. Bukan sekedar menjadi penonton diam yang menerka-nerka, apa yang akan terjadi setelah ini atau, ini kisah apa lagi?

Mungkin, kita memang selalu butuh identifikasi akan berbagai hal yang kita temui. Termasuk karakter-karakter dalam film ini. Karakter-karakter bernama dan memiliki alasan atas semua akhir cerita yang akan terjawab kemudian. Mungkin, karena pada awalnya, kita adalah penonton. Kita datang, mencoba memahami apa yang terjadi, dan barulah mengerti.

Mengerti kenapa Abang (Lukman Sardi) memakai celana longgar kebesaran dan terlihat begitu bodoh. Mengerti kenapa Amanda (Acha Septriyasa) berdandan cantik untuk merayakan kebebasannya. Mengerti alasan Al (Amanda Soekasah) lebih senang duduk sendiri dari pada bergabung dengan yang lain. Mengerti mengapa Taja (Yama Carlos) begitu mengagumi Saras (Sophia Mueller). Dan mengerti kenapa Senja (Asmirandah) selalu terlihat gelisah. Meski mungkin tak sepenuhnya.

Atau mungkin karena, daripada memisahkan satu kisah dengan kisah lainnya melalui jeda gelap beberapa detik di layar untuk masuk ke cerita selanjutnya, kelima sutradara lebih memilih untuk menyatukan semua kisah dalam satu kesatuan gambar berurutan. Maka, kita akan mengerti sendiri dengan mengenal tiap karakter dan wajah, lengkap dengan nama-nama mereka. Bergulir perlahan dari perkenalan hingga akhir yang harusnya kian menyesakkan beriring suara sendu Glen Fredly.

Tentang kehilangan

Karena ini adalah tentang kehilangan, maka kita akan bertemu lima kehilangan secara bersamaan. Tidak semunya mengharukan, meski semuanya bisa saja begitu menyesakkan. Atau sebaliknya, untuk melepaskan dan merelakan. “Untuk belajar menerima,” seperti kata Panca (Dwi Sasono), seorang tetua Klub Firasat, klub bagi mereka yang memiliki kelebihan untuk merasakan pertanda-pertanda dari alam saling bertukar cerita dan pengalaman.

Kita tak harus merasa sama, atau merasakan apa yang si tokoh rasakan, seperti pada banyak film seseorang kemudian bercermin, karena memang, bisa dibilang, dari awalnya memang kisah-kisah ini secara brilian mengambil sudut pandang yang jarang ditemukan. Meski tak bisa seperti kawan baik yang mendengar keluh kesah kawannya, setidaknya, kita menyimpan simpati dan sudut pandang baru dalam melihat berbagai hal yang bisa saja terjadi.

Tentang si Abang, seorang pengidap autis di usia akhir 30-an yang kehilangan satu kepastian yang biasa dalam hidupnya. Baginya, kehilangan satu hal yang biasa ada berarti kekacauan, termasuk bagi orang-orang di dekatnya. Kita akan melihat Bunda (Dewi Irawan), ibu Abang, meminta Leia (Prisa Nasution),  perempuan muda yang kost di rumahnya untuk tetap tinggal dan pura-pura tidak terjadi apa-apa, meski Bunda tahu, perempuan itu adalah kekasih putra bungsunya yang normal dan tampan. Karena Bunda tahu, Abang mencintai Liea, dan jika Leia pergi, itu berarti Abang akan kehilangan satu “kepastian” yang biasa ada dan tak akan mendapatkan gantinya lagi. Karena Leia bukan kotak sabun, komik, atau segala mainan koleksi Abang.

Atau bagaimana seorang Amanda yang tak juga menyadari kasih sayang tulus Reggie (Indra Birowo), sahabat baiknya yang selalu ada tapi tak pernah dipedulikannya, hingga Reggie tak lagi menemukan cinta yang pernah dimilikinya. Sampai hanya ada diam yang panjang di antara keduanya. Atau kasih tak sampai antara dua orang yang saling mengagumi dan terpisah begitu saja hingga dipertemukan lagi pada waktu dan masa yang telah merubah keduanya. Serta bagaimana orang-orang dengan firasat yang tajam mampu merasakan berbagai pertanda alam, termasuk tentang kematian yang tak dapat dicegah dan diduga kapan, bagaimana, dan pada siapa dia akan datang. Atau tentang kesadaran yang sudah dulu ada, bahkan ketika kita tahu kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi tetap berbesar hati dan kembali pada apa yang seharusnya kita lakukan, karena kita tahu, kita akan menjadi semakin menyedihkan dengan terus memaksakan.

Dan pada akhirnya, entah terpaksa atau dipaksa, karena dihadapkan pada lima cerita berbeda, kita akan memilih dan memilah, kisah mana lebih bagus dari kisah lainnya. Meski semuanya akan kembali pada selera.

Jika sebelumnya saya bilang bagaimana rasanya bertemu seorang kawan ketika membaca cerita pendeknya, maka saya juga seperti bertemu kawan yang sama ketika melihat “Hanya Isyarat”. Tanpa sederet aktor dan aktris terkenal, kecuali Fauzi Baadila yang mencoba menyemarakkan suasana, kita akan menemukan intensitas dan rasa seperti mendengar seorang kawan tegar berbicara, “Saya adalah orang yang paling bersedih, karena mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki,” dengan tawa dan tanpa sedikitpun air mata.

Dan, oiya, tentu saja, kita akan menemukan gambar-gambar indah yang, bahkan ketika mereka harusnya bersedih, gambarnya tetap terlihat indah. Dan sepertinya kita harus berterimakasih pada penata kamera Yadi Sugandi, untuk semua gambar-gambar indah dan urutan frame demi frame yang terlalu manis untuk dinikmati di tiap pergantiannya. Dan tentu saja, lima aktris yang berevolusi menjadi sutradara, dan hasilnya tak mengecewakan. Menyenangkan malah. Meski, sejujurnya, agak menyebalkan untuk melihat mereka secara terang-terangan masuk pada salah satu adegan untuk sekedar lewat dan tertawa-tawa tanpa makna apa-apa.

Jika rectoverso merupakan pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan dan saling melengkapi. Seperti sepasang buku dan album “Rectoverso” karya Dee lima tahun lalu, barangkali film ini menjadi semacam anaknya. Karya lainnya yang lahir dan akan tumbuh dengan caranya sendiri. Sama, tapi tak persis sama, atau bahkan berbeda. Seperti sisi lain dari cinta, barangkali, adalah kehilangan.

Dan, satu pertanyaan lagi, apa kelahirannya tak bisa tidak untuk tak terlalu kentara memperlihatkan berbagai citra? Saya masih boleh protes tentang merek-merek tertentu yang terlihat terlalu jelas masuk layar, tidak sih?