Sunday, August 28, 2011

...new (baru)


“Diyah, kamu lagi jatuh cinta?” Tanya satu teman saya di tengah malam. Ngek-ngok. Nggak lah. Kalo ibaratnya jatuh cinta itu berbunga-bunga, kayaknya jatuh cinta saya sih udah jadi pohon. Berbuah. Tapi akarnya rapuh. Kena angin dikit, tumbanglah itu pohon.

Saya heran kenapa teman saya itu bisa berfikiran semacam itu. Lalu, sambil kebingungan, saya tanya dia, kok dia bisa mikir kayak gitu. Katanya si ya, beberaoa hari ini saya berubah, semacam jadi lebih bersemangat. Hah? Kok?

Yah, baiklah. Nyatanya, memang iya. Tapi semua ini bukan karena saya jatuh cinta, atau apa. Tapi justru karena saya sadar, sesadar-sadarnya, saya sempat bener-bener feel guilty sama yang namanya jatuh cinta. Lalu, mari sebut saya sakit hati. Bener-bener nyesek. Jadilah momen tersungkur itu, kalau pinjem kalimat teman saya, menjadi titik balik tersendiri bagi hidup saya. Hadeh, deh.

Ketika tersungkur itu, kita jadi ngrasain lagi baunya tanah. Kembali ke titik nol hidup. Titik dimana kita sadar, banyak sekali yang belum kita dapatin. Tersungkur itu kembali ngrasain sakit. Kembali mensyukuri ketika nggak sakit. Tersungkur itu barangkali bakal bikin luka yang meninggalkan jejak, semacam kenangan yang bakal diinget kapan nanti. Dan bakal mengenang sambil ketawa bodoh, “Ini nih, aku pernah jatuh”. Dan dari tersungkur itu, hendaknya bakal belajar jalan dan lari dengan lebih baik.

Dan titik balik itu adalah detik dimana akumulasi dari banyak hal yang sangat panjang karena satu hal. Akumulasi yang banyak sekali dari hidup saya beberapa tahun ini. Tentang tujuan hidup, tentang cinta, tentang cita-cita, tentang mengambil sikap, dan tentang menjadi dewasa.

Saya pernah mengalami momen pembaruan, halah, yang sama Agustus 2008 lalu. Ketika saya merasa benar-benar down dan kebingungan serta tak punya tujuan, saya iseng ikut kontes-kontesan yang pada awalnya, bagi saya, “nggak banget”. Bukan karena saya menang atau apa, toh ya nyatanya cuma lima besar. Tapi proses dan pelajaran kecil dari situnya yang bikin saya kembali memiliki kehidupan. Yaitu menjadi lebih baik. Berfikir positif. Inget lagi yang namanya tujuan. Dan berusaha mendapatkannya.

Dan titik balik sekarang adalah dengan jatuh terlabih dahulu. Ketika ngrasain bangun di pagi yang sama dengan perasaan berbeda. Dari yakin dan optimis, kemudian mikir dan masih nggak percaya tapi legowo, kemudian siap, yakin, dan optimis lagi. Yah. Begitulah yang saya rasakan. Walaupun rada terkesan menghibur diri.

Dan ketika teman saya menanyakan tentang jatuh cinta. Haih. Saya sih nggak punya nama buat disebut. Sama saya nggak punya nama buat disebut, kalau sekarang saya ditanya, “Kamu suka siapa si?”. Eh, itu si dari lama ding ya. Tapi, tentang masalah ginian, yang pasti nih ya, kalau berbulan-bulan lalu saya dihadapkan pada berbagai pilihan dan pertanyaan dan saya kebingungan serta plin-plan. Saya sekarang sudah mendapat jawaban dari semua kebingungan itu. Bahwa saya, hendaknya, bisa membuka diri untuk masalah hati. Bukan ketakutan terhadap hal-hal tak beralasan.

Saya nggak lagi jatuh cinta. Cuma lagi menikmati hidup.

Ternyata, saya beruntung banget. Saya punya keluarga yang sayang saya. Teman-teman yang selalu mendukung. Dan kesempatan yang tidak pernah habis.

Tentang menjadi sesuatu yang baru. Yah, tentu bukan yang baru, baru, BARU yah. Bukan juga sesuatu yang benar-benar baru. Saya tetap pecicilan, senang ketawa dan mendzolimi orang, tetap nggak mudengan, tetap sembarangan dan kadang-kadan plin-plan, dan mungkin juga, masih suka sama orang yang sama.

Tapi saya bisa bilang: di sini nih, yang baru. Sambil nunjuk dada dan jenong. Hati dan pikiran. Haih, saya seneng deh baca tulisan ini. Seseneng saya sadar banyak banget kesempatan di luar sana.

Termasuk kesempatan aye buat suka ama abang. Iye, bang, ama bang Jamal... *malu

Saturday, August 27, 2011

...biasa aja (still about #YP)

Sangat biasa aja, kali ya, kita ngefans artis. Dan akan sangat biasa aja juga kali ya, kita ngefans orang. Sudahlah, mari jangan didramatisir.

Jika pada akhirnya orang itu tahu. Jika pada akhirnya kok rasanya ng-mention di twitter adalah sebuah tindakan konyol. Tapi percayalah, wahai seseorang di luar sana yang catatan tentangnya ada di bawah catatan ini, kita ngefans dalam porsi yang wajar saja.

Begitulah kami, semcam ngefans sama Afgan dan Rio Dewanto. Mungkin kamu memang mempunyai kualitas idola. Yang entah karena apa dan dengan apa, Tuhan nggak kasih itu ke semua manusia. Mungkin kamu bukan orang paling guanteng se-jagat raya atau se-angkatan, tapi percayalah, harusnya kamu sadar –dan mungkin sudah sadar, kalau kamu bisa aja membuat orang yang nggak kenal kamu, bikin pengen kenal kamu. Yah, begitulah barangkali kualitas idola itu.

Tapi ini bukan semacam obsessed. Tanya kami satu-satu, kami punya satu nama yang dengan segenap hati kami cintai.

Cheer-up. Sukses untuk kamu selalu, hei…

Yah, ini sangat biasa sebenarnya.

Friday, August 26, 2011

...home


Kerasa banget bedanya, antara di rumah dan tidak di rumah. Di rumah, tanpa tugas, tanpa deadline.

Terus, di sore yang tenang dan dingin, sambil ngelihat ke luar jendela. Ya ampun, perasaannya enak banget si. Rasanya, berdiam di pojokan kamar dan slimutan aja udah sempurna banget. Sambil smsan dengan beberapa orang dan ngirim sms yang sama ke beberapa teman tercinta:

“Di rumah: juga bisa menenangkan hati. Berasa lebih slow. Mendekatkan diri sama keluarga dan Tuhan. Asal, jangan lupa skripsi dan bersiap membuka hati lagi. Hihihi…”

Yah, gimana dong. Galau, galau deh. Tapi emang begitu adanya. Kami, saya dan teman-teman saya itu, masalahnya kurang lebih sama, masalah terbesar kita adalah skripsi. Aduh, bukan masalah kali ya. Tapi tanggungjawab yang lumayan berat. Yang kedua, baru deh, masalah hati. Kesiapan kita buat membuka hati dan membuka diri lagi.

Kayaknya si ya, buat tiga teman yang tadi saya smsi, semuanya memang sedang pada tahap menata hati, dan bersiap membuka diri. Membuka diri bukan berarti ngasal mbuka, lalu asal comot. Dari kami semua, kok rasanya terlalu pemilih gitu deh. Pemilih, kalau nggak mau disebut egois dan kebanyakan mau. Kata temen saya Dini, jomblo terhormat. Aih, kayak prinsip perempuan terhormat aja. Pake ada istilah jomblo terhormat pula.  Dibilang ngeles, ngeles deh. Ngeles dari nggak punya pacar, ya, nggak punya pacar aja. Pake nambah-nambahin kata “terhormat” segala. Ya mau gimana lagi, itu kata temen saya si. Tapi lucu juga.

Nah, apa hubungannya dengan di rumah? Nah, belum ada yang nyebelin dari di rumah. Itu aja si.

Home. Sweet. Home.

Wednesday, August 24, 2011

...for #YP


Jadi, perlu juga kali ya, melakukan hal gila sedunia (lagi).

Ini adalah tentang kita dan seseorang. Yang udah bikin kita kayak anak SMP baru bertama kalinya suka ama kakak kelas.

Siapa orang berinisial itu, tidak penting.

Siapa kita, ini yang penting. Adalah saya dan beberapa teman saya, yang kerasukan setan pohon jambu atau pohon asem depan kostan, sehingga di tengah malam itu, menasbihkan diri untuk, kita nge-faaans orang itu. Yipi. Yipi. Yipi.

Kebayang nggak si? Betapa nggak pentingnya kehidupan ini? Yang nyata-nyatanya kita ini udah gede. Udah punya pacar dan berani teriak cinta mati ama orang-orang tertentu, tapi berani teriak juga, kalau, “Yee… Kita ngefaaans mas ituuuuu…” Yey.

Dan, jangan salahkan saya, kalau tiba-tiba, saya sms teman saya yang temannya orang itu, sambil bilang, “Salam ya, buat ehm,ehm… “. Aduh, jadilah saya korban kenistaan ini. Atau tiba-tiba, ng-mention di twitter dan heboh sendiri, ketika OL bareng-bareng.

Aih, najong banget si kalau dipikir-pikir. Dan kemudian, waktu habis ketemu orangnya, teriak-teriak dan senyum-senyum nggak jelas. Sambil bilang, “Aduuuuh, nggak bisa berenti senyuuuum…”. Hoh. Hoh. Hoh.

Tapi, emang si, nyatanya, ketemu mas itu, bisa bikin kita, ehm… nggak berenti senyum sampe malamnya… bener kata temen saya, “Seru kali, punya orang yang kita sukai. Yang bikin kita senyum-senyum sendiri sampe nggak tahu alasan kenapa kita senyum-senyum terus”.

Duar… hidup mas berinisial rahasia!!!

...not lost

Saya kira, saya bakal nendang-nendang dan meledak. Nyatanya, ketika saya harus dihadapkan pada situasi yang bagi saya, cukup sulit, saya masih mempunyai ketenangan, yang sempat saya ragukan, apakah masih saya punyai. Nyatanya, saya masih punya.

Barangkali orang akan ragu, apakah saya bisa menyelesaikan masalah, dengan karakter saya yang terlalu banyak omong dan kadang kurang peka. Tapi, percayalah, hasil didikan entah siapa, sepertinya hasil didikan banyak orang, saya tahu harus bersikap apa, untuk setiap masalah yang kadang ada-ada saja.

Sesadar saya tahu diri, harus memakai baju apa, untuk acara apa. Seperti misal, saya selalu bilang, baju favorit saya adalah kaus, muka cukup pakai bedak dan lip-gloss tipis, bersendal jepit coklat bata kesukaan saya dan rambut diikat kucir kuda. Tapi, saya juga senang, dan merasa sangat cantik ketika harus memakai kebaya, kain, sedikit memakain pinsil alis dan mempertebal bedak, memakai lipstick warna merah muda, dan berselop (tapi masih belum percaya dengan high-heels) ketika harus pergi ke acara yang memang harus begitu. Atau kadang-kadang, kalau diajak pengajian ibu saya, saya dikrudungin sedemikian rupa, sumpah, ini saya ngrasa cantik banget. Atau, kesadaran saya, harus mengumpulkan kemeja-kemaja lagi, untuk ke kampus bertemu dosen. Setelah empat tahun cukup puas kuliah memakai kaos.

Maka, sesadar itulah kita harus menjaga sikap. Saya pernah denger satu kalimat, “Seberontak apapun kita, jangan pernah menjadikan diri sendiri tidak terhormat”. Sangar. Mungkin karena itulah, ada harakiri. Sesakit apapun kita, apa orang lain akan peduli kita bakal sesakit apa? Terus kita mendramatisir suasana, biar orang-orang kasihan sama kita? Terus melakukan apa saja sama kita? Enggak. Jawabannya, adalah enggak.

Saya juga suka dan bangga sekali dengan teman-teman saya. Yang walaupun muka-mukanya tidak seperti muka-muka sering ngadep Tuhan (kenyataannya rajin sholat, puasa sunat, dan ke greja), teman-teman saya bukan tipe orang yang mengasihani saya. Seperti saya yang tidak pernah mengasihani mereka kalau mereka lagi sakit hati. Mereka salalu bilang, “Sakit nggak?”, “Oke, mau nangis nggak?”, “Yakin, nggak mau nangis?”, “Yaudah, sini kalau mau nangis”, “Pengen teriak apa?”. Dan setelah itu, mereka juga bakal bilang, “Hei, gue pernah ngalamin kayak lo sekarang, tapi gue sekarang baik-baik aja. Udah, nyesek-nyesek pasti. Pasti, apalagi gue tahu lo selama ini berkejaran sama rasa bersalah sama perasaan lo sendiri, selama ini lo mikir antara salah dan benar, antara yakin dan enggak, sampai akhirnya lo yakin. Lo bisa ninggalin semua yang buruk, lo mencoba memperbaiki kesalahan lo, dan akhirnya lo nggak dapet apa-apa. Yaudah, lo kalah”. Dan semuanya di akhir cerita bakal bilang, “Ceritain semuanya ke kita. Sampai kamu capek cerita. Sampe kamu kehabisan kata-kata”, dan “Hei, orang kayak aku dengan masalahku aja bisa, apalagi kayak kamu. Orang paling cuek sedunia”.

Yah, walaupun kalimatnya tetep aja nggak enak dan terkesan jahat, tapi begitulah kami menyikapi semua kekurangan, kesalahan, dan kesakit-hatian. Jangan teralalu diambil hati. Malah dijadikan bahan ketawaan. Walaupun sambil nyesek juga ketawanya.

Kalau malah beberapa waktu lalu saya ngerasa nggak bisa tenang. Saya over-reactive, saya kebanyakan bingung. Sekarang justru malah seperti mendapat jawaban atas pertanyaan saya yang bikin saya over-reactive itu. Ketika dulu saya masih mencari tahu, “Ini bener nggak? Ini salah nggak? Saya yakin nggak? Saya kok ragu terus?”, nah, kemarin, saya bisa ketawa (tetep sambil nyesek si), bahwa ini belum waktunya. Kalau ragu, jangan melangkah. Kalau ngerasa salah, jangan pernah mencari pembenaran. Kalau kamu udah yakin dan ngerasa benar, baru berjalan.

Maka sekarang saya beristirahat. Sambil senyum-senyum sendiri ngrasa bodoh. What the hell?? Saya ngapain aja selama ini? Yah, walaupun dalam beberapa hal kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tapi, satu hal yang pasti, kita nggak akan pernah bisa nglakuin sesuatu yang kita sendiri ngrasa ragu dan salah. Sampai sesuatu itu menjadi benar dan pasti, setidaknya di diri kita sendiri aja dulu.

Dan, ehm, saya. Sekarang. Bohong banget kalau bilang nggak berasa berbeda. Tapi, bohong banget juga kalau saya bilang, saya nggak baik-baik aja. Karena nyatanya, saya baik-baik aja.