Saturday, November 24, 2012

...naira



Naira menatap hamparan luas di depannya. Mata bulatnya berkaca-kaca, menatap awas semua gerakan di sekelilingnya. Rambut ikalnya terseret bersama hembusan pelan angin selatan. Mengurai dari kumpulan ikatan kencang karet berwarna biru terang, tergantung seperti pucuk-pucuk daun berpegang pada tangkai kecil kecokelatan.

Ia diam tak bergerak. Seperti tersihir ke dunia di mana hanya ada ia. Sore itu, memang hanya ada dia dan keajaiban kecil di kepalanya. Desir hangat menggulung hingga ke dasar hatinya. Membuatnya tak membutuhkan siapa-siapa untuk merasakan keindahan di depan matanya.

Kecuali pemilik tangan besar dan sedikit kasar di pergelangan tangan kanannya. Tangan itu terus menggenggam erat. Hingga ia sampai pada rasa takjub tak terdefinisikan dengan kalimat-kalimat panjang dari sekolahan ketika pelajaran mengarang.

“Apa ini surga?” tanya Naira terbata.

Pemilik tangan itu bergeming. Kepalanya bolak-balik antara menatap wajah Naira di sebelah kirinya dan pandangan lurus di depannya. Mengagumi raut takjub dan tulus seperti malaikat di buku dongeng Romawi. Tanpa dosa, tanpa prasangka, jujur apa adanya. Setelah empat kali menatap Naira dan menangkap sinarnya, ia memilih menatap lurus saja. Mencoba mencari apa temuan Naira.

Ia diam. Menghela nafas perlahan. Menutup matanya pelan-pelan. Semua indranya menangkap tanpa tertahan. 

Tak ada kalimat keluar sama sekali selama sepersekian detik. 

“Apa ini surga Papa?” Naira bertanya sekali lagi.

“Bukan sayang…” Papanya menjawab hangat. Memberi kerlingan tanda mengajak Naira berlari menyambut ombak.

“Surga itu seperti apa Papa? Apa lebih indah?” Naira bertanya sekali lagi, diantara lari-lari kecilnya.

“Mungkin. Dan pastinya, di sana ada mama.”

Ombak kecil menyambut genggaman tangan mereka. Naira dan ayahnya balas menyambut dengan tawa.







Nb:
Banda Naira. Merupakan pulau utama di gugusan Kepulauan Banda, Maluku. Beberapa hari kemarin saya mendapat video preview sebuah perjalanan petualangan ke sana. Saya percaya surga akan lebih indah dari itu. Tapi hei, apakah ada yang pernah ke surga dan kembali untuk menceritakannya? Hm, tapi Banda Naira ini benar-benar membuat jatuh hati dan berucap pelan di dalam hati: saya nanti akan menceritakan keindahannya.
Lalu saya teringat sebuah foto indah salah seorang teman yang pernah saya lihat . Meski bukan di Naira,  foto itu benar-benar membuat saya seperti melihat keindahan yang sama ketika pertama kali melihatnya, satu tahunan lalu.

Thursday, November 22, 2012

...#SahabatLokananta #Sukses



Lokananta (sebuah cover piringan hitam)

“Lokananta akan tetap mati suri jika tidak ada ide kreatif yang penuh dengan gebrakan”


Itu kalimat Soedarmono, seorang budayawan Solo yang menjadi narasumber tulisan di Majalah Kentingan, majalah kampus saya (UNS), pada tahun 2010.  Dua tahun setelahnya, sekarang, sepertinya “ide kreatif yang penuh dengan gebrakan” itu tengah dipersiapkan. 

***

Awalnya saya tertarik tagar #SahabatLokananta di twitter Rolling Stone Indonesia hingga blogwalking nggak jelas diantara hari Senin yang sangat tidak sibuk, sampailah saya pada “Menyelamatkan Musik Indonesia”-nya Mas Ayos dan Mas Jaki diblog seseorang bernama Intan. Oke, saya tidak kenal semuanya. Tapi nama Ayos dan Jaki sudah cukup familiar, mereka adalah kawan dari kawan lain yang pernah bercerita tentang mereka, mungkin seharusnya saya berkenalan kapan-kapan. Dan Mbak Intan ini, saya juga nggak kenal, tapi jelas terbaca pastilah pecinta musik, kayaknya di salah satu tulisannya dia pernah menjadi manager-nya Float dan juga suka Zeke. Em, they’re wauwwwwww. Dan sampailah saya ke sana.

Tiga tahunan lalu, awal saya berkenalan dengan Lokananta. Iseng-iseng ikut melahirkan satu majalah lokal (yang kemudian gagal), saya mendapat kesempatan menulis tentang Lokananta. Apa itu Lokananta? Saya bukan warga asli Solo dan saya benar-benar tidak tahu apa itu. Mas Aris, sang kepala bidan kala itu hanya bilang, “Kamu coba cari infonya dulu, nanti pasti kamu bakal tertarik banget,” dengan senyum meyakinkan. 

Dia benar, setelah mendapat beberapa info dari internet, saya langsung semangat menuju salah satu bangunan yang kelak akan menjadi salah satu keping penting sejarak musik tanah air. 

Bangunan luas itu tak terlalu menarik perhatian. Maklum, ada sebuah hotel cukup hip di Solo berdiri megah di depannya. Waktu itu, kalau tidak salah, warna catnya kuning tua pudar. Lengkap dengan halaman depan berumput panjang.

Membaca tulisan Mas Ayos dan Mas Jaki membuat saya agak gundah (uopoh?) beberapa saat. Saya tidak akan menuliskan lagi tentang Lokananta di sini, deskripsi dan penjelasan mereka di sini saya rasa cukup menggambarkan kenapa perlu ada gerakan #SahabatLokananta.

Alasan saya gundah ada dua, pertama: kenapa dulu kami yang di Solo tidak bisa begitu saja melakukan sesuatu? (Oke, mungkin beberapa sudah, tapi memang gaunya mungkin belum sehebat sekarang). Kedua: adakah yang bisa saya lakukan saat ini? 

Atau baiklah, setelah ngobrol panjang dengan Chrisna, kawan dekat saya yang masih di Solo yang juga terlibat saat membuat tulisan yang saya kutip di atas, mungkin kapasitas kita bukan untuk melakukan hal itu. Lagipula kita tidak melakukannya, kita hanya menuliskannya lalu berharap akan ada orang yang membacanya. Kemudian mereka yang mampu dan mau melakukannya, akan benar-benar melakukannya dengan hati dan pasti. Waktu itu saya belajar jadi pemimpin redaksi dan Chrisna pemimpin umumnya, saya ingat sekali, saya sempat minta revisi beberapa kali untuk tulisan yang ditulis Uud dan Rina itu, karena awalnya mereka melulu membahas masalah hukum Lokananta sebagai Lembaga. Saya berharap akan banyak membahas masalah Lokananta sebagai bagian sejarah musik itu sendiri. Tapi Chrisna, yang juga editor kala itu, lebih bisa berkompromi. Sampai tulisan naik, ada beberapa hal yang memang akhirnya tidak dibahas. Dan saya bangga saya membacanya kembali di majalah versi flip page-nya barusan. 

***

Itulah tentang “mau dan mampu”. Jika misal dulu saya ingin berbuat sesuatu untuk Lokananta, selain menuliskannya, saya memang tidak mau dan tidak mampu. Justru si Uud dan Rina itu, yang akhirnya melakukan sebuah aksi kecil untuk Lokananta. Mereka mengajak anak-anak SD untuk berkunjung ke sana dan melakukan rekaman. Ya, seharusnya anak-anak kecil mengenalnya. Atau mungkin dua kawan baik saya yang lain, Herka dan Maulana, yang memang fotografer, mereka sengaja mendokumentasikannya dengan apik.

Dan sekarang, saya sepertinya melihat beberapa orang yang benar-benar mau dan mampu melakukan “ide kreatif penuh gebrakan” untuk Lokananta. Dan saya masih mencari jawaban untuk kegundahan kedua saya. 

Masih ngobrol dengan Chrisna, kami berbicara tentang beberapa nama musisi luar negeri yang akan datang ke Indonesia akhir tahun ini dan awal tahun depan. Berlagak menimbang-nimbang mana yang mau didatangi jika memungkinkan. Setelah obrolan selesai, entah kenapa saya merasa aneh dengan diri saya sendiri. Apa tidak sebaiknya saya ke Solo saja ya? Toh saya juga kangen dengan Solo dan orang-orangnya. 

Oke, saya nggak punya apa-apa untuk hal-hal semacam ini. Mungkin saya hanya akan membantu dengan kata “Semoga Sukses”. Atau entahlah…. 

Hei, apakah kedatangan merupakan contoh aksi nyata? *lalu cek kalender*

Saya tertarik ketika membuka laman profil Mbak Intan, dan dia dengan getol menyebar link tulisan dia tentang #SahabatLokananta, dan memang benar, gebrakan itu bisa jadi berasal dari sana. Bersama para musisi, bersama para pecinta musik dengan gerakan banyak orang dan tentu saja, semangat yang pastinya lebih besar. Meski orang-orang lainnya hanya terketuk atau sebentar menoleh, seperti saya misalnya, pada akhirnya, nanti, gebrakan besar itu pasti akan terasa gaunya. Semoga…

Sedikit mengingat, di antara tembok-tembok lembabnya, Lokananta memang menyimpan sebuah bukti sejarah. Sejarah betapa kita tak begitu menghargai sejarah itu sendiri dan bukti betapa kita kaya akan ragam musik. 

Hei, semua orang tahu, semua orang mencintai musik. Apapun itu.

Indonesia Raya tiga stanza di salah satu sudut Lokananta
Mixer dari era 60-an
Lokananta di balik kaca
Iyes, pita master rekaman ( foto-foto saya ambil pada tahun 2010)

Monday, November 19, 2012

...viva




Di sana, ada perempuan yang selalu menghapus kembali warna merah dari bibirnya setelah dengan sumringah mengoleskan lipstik berwarna merah nomor empat belas. 

“Warna merahnya hanya untuk dia seorang saja.”

Perempuan itu mulai mengoceh sendiri seperti gila. Ia melakukannya sejak kekasihnya meninggalkannya sebelas bulan lalu. O, bukan, ia melakukannya sejak kekasihnya diam membeku diantara kecelakaan kopaja di hari seharusnya mereka bertemu. Mengunjungi pantai dikala senja dan ia akan mendapatkan ciuman pertamanya.

“Dia tak bisa bangun lagi.” Kata seorang perawat berwajah galak dari satu rumah sakit negeri dengan bangunan masa Belanda yang tak lagi terawat.

Ia menyukai warna lipstiknya. Dibeli dengan harga diskon di swalayan tempatnya bekerja. Mereknya Viva.

Saturday, November 17, 2012

...not so serious







Kota ini di akhir pekan panjang adalah surga bagi mereka yang sehari sebelumnya merutuki jalanan sempit yang harus memaksa kendaraan roda empat bermain ular-ularan. Membuat garis panjang mengikuti kelokan jalannya.

Tapi mungkin, bukan surga bagi seorang supir taksi. Mungkin.

Terlebih bagi orang yang belum begitu mengenal garis-garis jalan yang saling berhubungan satu sama lain. Kita akan diajaknya memutari kota itu sampai kita tak bisa berkata apa pun. Kontemplasi panjang yang tak enak untuk diutarakan.

Ah, sudahlah.
Mungkin saya tidak akan naik taksi dulu seminggu ini. 

Biar bagaimanapun, akan selalu ada trauma dan kesan mendalam akan sebuah kekecewaan. Sekaligus pelajaran, kalau mau mengambil hal positifnya. Ah tapi, jalanan di sini benar-benar seperti benang kusut saling bertaut. Neraka bagi mereka yang diburu waktu tapi diajak keliling kota oleh sang supir taksi. 

Blue Bird Taxi didn’t come to rescue me.