Saturday, July 28, 2012

...hai, Laila


“Gambar-gambar ini perlu,” ucap Laila. Mengenakan kebaya kutubaru dengan corak bunga-bunga besar, Laila, seorang pelacur yang tinggal di semacam rumah bordil itu sumringah perlahan-lahan menggunting lembaran iklan dari halaman majalah. Sesekali dia menyanyikan satu lagu yang diulang-ulangnya terus menerus padahal matanya lekat memandangi guntingan-guntingan iklan. Dan, tentu saja, Laila juga punya lembaran-lembaran rapi serupa selain potongan gambar yang dipasang tak beraturan di dinding rumah itu.



***

Kalimat di pertengahan film Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail itu bagi saya sangat menarik. Paling menarik bahkan. Setidaknya dari sekitar tigapuluh menit awal yang saya lewatkan karena datang terlambat ke bioskop padahal saya sudah dibelikan tiket. Tapi, tenang saja, saya sudah membaca sinopsis film yang disebut-sebut sebagai film terbaik Indonesia sepanjang masa oleh banyak kritikus. Hingga akhirnya saya beruntung menonton pun karena film ini diputar pada ajang bergengsi Festival Film Cannes ke-65 dalam program Cannes Classics pada Juni lalu. Jika tidak diputar di sana, saya kurang yakin apa jaringan bioskop yang sama dengan angka umur saya sekarang itu mau memutar di salah satu studionya dan masyarakat awam seperti saya akhirnya dapat menikmati film yang, baiklah, memang bagus.

Cerita bagaimana karya bapak perfilman nasional ini hingga ke Cannes sendiri merupakan perjalanan panjang. Dalam buku Lewat Djam Malam Diselamatkan dijelaskan bahwa hasil resotrasi ini merupakan kerja bersama para pecinta film yang tergabung dalam Kineforum DKJ, Yayasan Konfiden, Sinematek Indonesia, keluarga Usmar Ismail, National Museum of Singapore, World Cinema Foundation, dan tentu saja L’Immagine Ritrovata.

Tentu saja, ini adalah film dengan kritik yang (bagi saya) harus terlebih dahulu mencoba memahami konteks sosial kala itu. Karena pada awalnya saya tentu saja tidak tahu bahwa di era itu (awal dekade 50-an) sempat diberlakukan jam malam dengan puluhan polisi patroli berkeliling. Selanjutnya adalah proses (mencoba) mengerti. Konflik batin Iskandar, seorang mantan pejuang yang tak lagi berjuang dan kembali ke kehidupan masyarakat. Perang telah usai, negara telah merdeka. Tapi tidak dengan apa yang dirasakannya. Saya diajak Iskandar untuk melihat bahwa meski telah merdeka dari penjajah (Belanda, Jepang, dsb) itu, kita kembali bertemu dengan penjajah lainnya. Teman kita sendiri. Sebagian dari mereka yang tadinya bergelora mengusir penjajah atas nama kemerdekaan dan rakyat pada akhirnya hanya memerdekakan dirinya sendiri. 

Sedikit politis? Memang. Agak sama dengan para pejuang “kemerdekaan” dan “atas nama rakyat” yang kemudian pada suatu hari mereka malah semena-mena dan mementingkan diri dan kelompok mereka sendiri seperti yang kita lihat setiap hari di televisi atau koran pagi? Masih relevan. Saya menangkap pesan kritis itu. Seperti yang beberapa kritikus sampaikan di sini.

***

Kembali ke “Gambar-gambar ini perlu.”

Laila, janda yang ditinggalkan suaminya itu ceritanya tengah bersiap. Dulu, ketika mantan suaminya menanyakan apa yang Laila inginkan, ia tak punya jawaban. Dan kini, ia menyiapkan segala gambar itu untuk memberi jawaban jikalah suatu hari nanti akan ada pria menanyakan apa yang ia inginkan, Laila akan menunjukan gambar-gambar itu. Benda-benda dalam gambar yang Laila saja tak tahu namanya. Sepatu, gaun terusan, dan bahkan sendok-garpu. Ia dianggap sinting karena fantasi tentang kehidupan indah ala gambar-gambar pada klipingnya.
Tapi Laila punya alasan, “Gambar-gambar ini perlu.” Bagi Laila, itulah gambar yang ingin ia tuju bersama pria pujaannya nanti, nanti entah kapan. 

Kemudian pada satu scene, Laila dipertemukan dengan sosok Norma, perempuan kelas menengah atas dengan gambaran seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Norma mengenakan gaun indah, dan, bersepatu. Saya sangat suka ekspresi Laila pada adegan itu. Adakah benar barang-barang dalam gambar-gambar yang kemudian kita kenal sebagai iklan itu sebenarnya perlu? Saya akhirnya bertanya.

Mungkin saja Usmar Ismail dan Asrul Sani sebagai penulis naskah ingin berkisah tentang perbedaan kelas. Tapi saya menangkap tentang iklan itu sendiri. Apakah perlu? Lalu saya menjawabnya sendiri sambil menikmati duduk diantara toko-toko yang menyajikan berbagai produk yang pernah saya lihat iklannya di berbagai majalah, televisi, dan billboard. Perlu.

Perlu tanpa harus memaksa. Seperti kata Iskandar membela Laila, bahwa ada baiknya kita memiliki fantasi, kita memiliki harapan, dan memiliki tujuan. Kenapa perlu tanpa harus memaksa, karena ketika kita memaksakan diri itulah kita tak lagi menjadi diri kita. Perlu karena pada akhirnya, kita memang menyadari bahwa kita membutuhkannya.

Sayangnya, kita seringkali hanya tak berdaya di antara gambar-gambar itu. Bertindak gegabah.
Padahal, di akhir film Lewat Djam Malam sendiri digambarkan Iskandar pada akhirnya hanya menjadi yang terkalahkan karena langkah gegabahnya. Tertembak mati oleh polisi patroli jam malam sebelum sempat melakukan langkah berarti kecuali melampiaskan marah dan dendamnya daripada mengusahakan harapan dan tujuannya sejak semula.

Dan baiklah. Saya beruntung sempat menyaksikan film ini. Dan bertemu dengan Laila.

*foto dari buku Lewat Djam Malam Diselamatkan