Monday, April 21, 2014

...april dua satu

Tentang Kartini yang saya tahu, untuk Syauqi.



Kartini meninggal di usia begitu muda. Belum juga ia bisa menggamit lengan anaknya, menatihnya mengeja kata dan belajar membaca. Aku mengingat wajahnya, diam di antara kaca, dipenjara pigura. Kar, adakah kau dulu bahagia?

***

Jika ini adalah tanggal 21, maka tepat setahun lalu, kami, saya dan Syauqi, berdua turun dari bus Semarang-Surabaya, kepanasan, memicingkan hidung menepis rasa amis, berjalan mencari plang bertuliskan "Pasar Ikan", dipanggang teriknya Rembang. 

Ini Rembang? Duh, lengketnya!

Beruntung, setelah berjalan sekian meter, mungkin 300 meter... nampak terpampang nama hotel yang kami cari. Amis yang seperti menggantung di udara itu digantikan bau pengharum ruangan segar, empuk sofa, dan lukisan panjang yang menantang mata. Menunggu kamar kami siap, kami mengisi perut yang mulai menagih jatahnya... tertegun dengan harganya... lebih tertegun lagi ketika makanan tiba di depan mata... ya Tuhan, ini surga. Saya lupa, saya sedang tak di Jakarta. Kami makan sampai kekenyangan. Dan lalu hujan datang. Rembang berubah menjadi atap-atap bangunan khas Tionghoa di abad pertengahan, dinding tinggi di sana-sini, halaman persegi berplester kasar, dan pintu keluar kecil menuju jalan di setiap bangunan yang samar-samar nampak dari kaca kamar kami, tempias, bersaing dengan titik-titik air hujan yang ingin berteduh dan tak mau jatuh. Seperti di puri pada sinetron China yang sering saya tonton dulu. Seperti terbang ke masa lalu. Apalagi matahari minggat pergi entah ke mana lagi. Padahal baru jam dua belas siang. Sejak itu, waktu berjalan lambat di sana. Sangat lambat. Lambat sekali.

Selepas hujan reda, kami mencari becak menuju rumah Kartini. Sisa-sisa air hujan yang masih sesekali menetes menggantikan hawa panas yang menyambut kedatangan kami tadi. Perlahan-lahan, becak kami melewati beberapa gang dan pertokoan. Cat-cat putih kehitaman mengelupas di sana-sini, nampak pada dinding-dinding tinggi yang kami lewati. Khas pusat kota yang tak terlalu besar dan ramai. Hal yang sangat saya suka ketika mengunjungi satu tempat. 

Sampai akhirnya kami sampai di depan gerbang kayu besar bercatkan warna hijau tua. Berjalan masuk ke dalamnya, nampak tenda-tenda bekas acara yang telah selesai. Kursi-kursi dinaikan ke atas meja, beberapa barang tertinggal sembarangan. Sepertinya orang-orang ini langsung berlari meninggalkan acara ketika hujan datang. 

Kami langsung saja menuju bagian belakang pendopo, bertamu ke rumah Kartini. Bangunan joglo beratap rendah, dengan tembok bercat putih dan kayu bercat hijau senada. Kami sempat berbicara dengan kuncen (penjaga) di sana, tapi saya lupa namanya. Ia bercerita tentang perayaan Hari Kartini yang sedianya didatangi menteri pemberdayaan perempuan, tapi batal karena hujang keburu datang. Ada-ada saja, pikir saya.

Kami lalu melihat-lihat ke dalam rumah Kartini, yang kini telah menjadi museum. Sedikit lebih dekat, mengenal Kartini.

Hanya sedikit yang saya tahu tentang Kartini. Sekilas, mungkin hanya bayangannya tentang putri sejati. Putri macam apa itu, saya juga tidak tahu. Selebihnya, Kartini yang saya tahu adalah nama majalah perempuan, yang lebih spesifik lagi diperuntukan bagi mereka yang berusia lebih dari 25 tahun. Dan lainnya, Kartini tak lebih dari sekedar perayaan tahunan. Mengingatkan kembali akan emansipasi dan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Dan tentu saja, berbagai program diskon di pusat perbelanjaan dan berbagai kalimat-kalimat slogan. Ya, saya pernah membuatnya. Tentu tujuannya bagus, saya dulu merasa itu bagus, tapi di satu sisi lain, ketika saya membaca bebagai bahan dan mengerjakan satu image Hari Kartini, saya sadar, saya tak mengenalnya sama sekali. Saya hanya seorang copywriter yang akan membuat beberapa kalimat untuk dijadikan script iklan 30 detik. Biar pun saya membaca surat-suratnya ataupun buku tentangnya. Saya tetap merasa tidak mengenal Kartini. 

Baru pada sore itu, sepertinya kami berkenalan. 

Saya selalu menganggap, fenomena "hero" semacam Kartini ini, adalah soal waktu. Pada satu waktu, akan ada sosok-sosok yang akan bergerak menyuarakan sesuatu. Nah, jika itu tentang Kartini, bisa jadi ada anak bupati lain yang juga seperti Kartini, bahkan tak perlu anak bupati, setiap perempuan saat itu adalah penggerak, minimal dalam keluarganya sendiri. Setiap ibu wajib memberi palajaran pada anak-anaknya, meski bukan pelajaran membaca dan menulis dalam Bahasa Belanda, melainkan prihal keterampilan, seperti membatik misalnya. Menurut saya kala itu, beruntung Kartini berbalasan surat dengan seorang Belanda yang peduli betul atas citra bangsanya. Menunjukkan bahwa Kartini adalah "hasil" didikan Belanda yang bersinar. Pemikirannya jauh dibanding perempuan Indonesia pada umumnya, kala itu. 

Meski hal itu memang benar. Jika standar yang digunakan adalah standar barat, tentu Kartini bersinar. Karena Kartini memiliki akses yang lebih baik dan lebih banyak atas pelajaran-pelajaran dan gaya hidup yang Belanda buat. Bahkan sampai sekarang, saya kira ketimpangan dalam mendapatkan ilmu atau bahan serta keberanian menyuarakan gagasan, adalah karena adanya perbedaan akses dan kesempatan pada standar yang terlanjur dibikin itu.

Meski dalam hal Kartini, berbagai hal baru yang ia terima dari barat dijadikannya cermin bagi apa yang ia lihat dan temui di sekitarnya.

Sayangnya, Kartini tak bisa apa-apa dan tak punya daya besar utuk melakukan satu hal dan merubahnya. Setidaknya, untuk dirinya sendiri. Itu yang saya tangkap...oke, tepatnya, itu persepsi saya.

Saya tak bisa membayangkan rasanya menjadi dia. Bukan lagi tentang seorang Kartini yang dipuja-puji seantero negeri, tapi sebagai seorang perempuan muda... yang harus berbagi suami, dengan empat atau lima perempuan lainnya. Tinggal dipayungi atap yang sama, dan hanya berjarak beberapa meter.

Kartini seorang permaisuri, tentu saja, dengan dipan kayu berukir dan cermin besar dari kayu jati. Kamar mandi di samping kamarnya, tentu sangat mewah pada jamannya, lengkap dengan bathtub dan shower dan pemanas air. Sedikit berjalan ke samping, hanya dibatasi teras, slasar, dan taman, berjajar lima kamar selir. Tak semewah kamarnya, tak sebesar kamarnya.

Meski Kartini dilahirkan juga bukan oleh seorang permaisuri, atau disebut istri utama, sebatas yang saya tangkap dari bahan-bahan yang saya dapat, Kartini tidak terlalu setuju dengan konsep patrilinear yang hidup dalam budaya bangsawan Jawa, tempat di mana dia lahir dan besar. Termasuk poligami.

Saya membayangkan seperti apa konstelasi pemikiran dia dan juga, mungkin, perasaan dia, ketika akhirnya harus menikah sebagai istri utama yang kedua (istri utama yang pertama meninggal dunia, Kartini menggantikannya), tapi juga berbagi dengan perempuan yang sama-sama tak berdaya untuk menolak kondisi mereka.

Saya tahu itu terlalu sentimentil. Saya sadar. Mungkin ini karena memang sampai saat ini saya belum menemukan titik-titik persetujuan atas konsep poligami. Dan lalu, ketika itu saya tak dapat membayangkan, apa rasanya menjadi Kartini. Sebagai seorang diri.

Lalu, ketika sebelumnya saya menganggap lahirnya Kartini sebagai sebuah kondisi "yang terberi", maka setelahnya saya menafsirkannya sebagai sebuah kondisi yang "membebaskan". Ia ingin perempuan-perempuan lain tak mengalami satu "penjara sosial" seperti yang dia alami. Dan, kebebasan itu, saya tangkap, ia menggambarkannya dengan mendapatkan hak-hak perempuan untuk berpendapat dan juga mendapatkan hak belajar formal, yang ketika itu hanya terbatas pada anak laki-laki. Dan cermin yang ia gunakan adalah kebebasan ala Belanda, yang ia lihat pada kawan-kawannya.

Tapi, lebih dari itu, satu hal yang ia suarakan adalah hak terbesar sebagai seorang manusia, tak hanya hak sebagai perempuan, yaitu hak menjadi diri sendiri. 

***

Itu adalah salah satu perjalanan yang sangat saya ingat dan, tentu saja, seperti biasa, sentimentil. 

Sayang saya baru bisa menuliskannya sekarang. Sayang juga saya tak dapat menuliskannya dengan panjang. 

Sore itu kami melanjutkan perjalanan ke Lasem, melihat-lihat batik khasnya yang super cantik. Batik pesisiran dengan perpaduan warna kaya, yang itu berarti adalah dicelup berkali-kali. Lalu siang berikutnya kami menuju makam Kartini di Blora. Bermobil dengan saudara Syauqi, yang telah sangat berbaik hati mengantar kami. Lalu kami kembali ke Semarang. Dan saya kembali ke Jakarta. Satu hal lagi yang saya ingat, saya sempat menangis ketika di dalam kereta. Tidak tahu kenapa. Hhhi.

Hari ini menjadi seperti Hari Kartini lainnya. Saya menyiapkan tulisan ini sejak seminggu lalu, tapi terus terpotong. Saya sempat melanjutkannya semalam. Mengetik di ponsel saya yang berlayar kecil, karena tak lagi memiliki komputer jinjing. Saya baru menyelesaikannya sekarang. Untuk Syauqi, salah satu sahabat terbaik saya.

Saya ingat, kami banyak berbagi banyak hal. Hal-hal besar, hal-hal kecil, yang menyedihkan, juga tentu yang membahagiakan. Saya belum sempat bertanya apa yang ada di pikiran dia tentang Kartini. Ketika itu kami lebih banyak bercerita tentang diri kita, ke sana ke mari. Tapi saya kira, dia adalah salah sati perempuan hebat yang saya kenal, karena dia tahu apa yang dia lakukan. Dari dia, saya juga banyak belajar.

Saya sedang di bus sekarang. Sepertinya tak bisa lagi melanjutkan tulisan ini menjadi lebih panjang. Dan di tanggal ini, sekarang, saya ingin mengamini beberapa pemikiran Kartini. 

Saya tak ingin seperti dia. Saya juga masih tak mendewakan dia, karena ada beberapa hal dalam dirinya yang belum saya pahami sepenuhnya. Saya juga tak mengerti, apa-apa saja yang harus dilanjutkan dari perjuangan dia. Karena, saya kira, melihat kondisi saat itu, jika pun tak ada seorang Kartini, akan ada perempuan Indonesia lain yang akan menyuarakan hal-hal seperti yang diutarakan Kartini. 

Demikian. Melakukan apa yang bisa kita lakukan sebaik-baiknya.








*tulisan ini adalah janji saya untuk Syauqi bundo... Maaf baru kubikin setahun kemudian. :)



Monday, April 14, 2014

...consciousness

Jadi, setelah membaca kembali catatan panjang tentang resign yang diposting menggunakan Bahasa Inggris beberapa hari lalu, saya tersadar bahwa: Bahasa Inggris saya kacau sekali. Ya Tuhan.

Lalu saya tersadar. Nampaknya saya akan mikir berkali-kali, atau edit berkali-kali sebelum posting. Hhha. Nggak asal templok dan lempar aja. Atau malah memperbaiki tata bahasa dalam Bahasa Indonesia aja.

Haduh, duh!

*tepok-tepokin jidat!

Saturday, April 12, 2014

...farewell


Today… no, actually, yesterday, was my last day on my (last) office. 

camera/producer/editor: theodoruzs yahya :D

I was doing clearance. Farewell, little bit speech, said thanks and sorry… copied several work I’ve done, hugging and listened for some advices. And it was great. I mean, I don’t know, but it just feel very good. My boss, he gave us, me and Mas Patrick (our promo web designer, we’re off on same day), a great farewell and generous speech. All of my friend on our department, they did the same thing too. Even, some of our best team-mate, Mas Ucup and Al, they can't join us (Mas Ucup’s son, Abirama is sick, may Abi get well soon. Al, the soon to be groom, is sick too). Or Mas Fahmi, Mas Klos, Mas Topik, the best intern ever Atet Lukendra, and our head-dept Mbak Dina couldn’t come to had dinner together, they had deadline to be done.
But, it just perfect to be there. I think I’m leaving in a good time. Hhhi.
Sad, yes, it was. It was like,  I won’t shutting-down the computer and I want to sat there forever. I want to stay there little longer… hhhi. I hate to leave something I love. But I have to. I know.

And, talk about work. Two days ago, I wrote some, I don’t know what it was. Sort of thing, about, how I feel so proud, blah, about being a copywriter on metro tv promo dept, I guess. Yah, kind a like that. here they are:


Is there any amazing thing about my work? Yes, it is. It was amazing. Especially, it goes to these two things: election and Jokowi.
When I started my first day at work, about 23 months ago, my boss took me to a meeting.  It was Ramadan meeting, Ramadan 2012. Me, my boss, our senior copywriter Om Ef, and Mas Firdaus, a new promo producer too. Talk about theme and image. And I just kept my mouth closed. I didn’t know what to say. But, they asked about my opinion. Showed me some references, Om Ef talked about some films he ever watched too. He’s so great, as so you know. Om Ef talks fast, he could make a voice like the way Don Corleone talks, he asked me did I ever watched Star Wars, and I said not yet. Mas Daus shows us some dramatic TVC from Thailand, I've watched it before. After they asked me, I talked. Fast and stammering, I was so nervous. I didn’t even know what I just said. I talked about the way Djarum did with their TVC, the one about a family when prepared to go somewhere; when the wife fussed a lot to her mother-in law who moved so slow; and in the end of its 30 seconds ads, they realized how human their mother-in-law on her age. It’s like a slap. Told us, how we always want people do like the way we're doing something, but we closed our eyes to see that maybe others just didn't have something like we have. Energy, time, and even chance. A slap, we need a slap. A slapped TVC.
But, made a Ramadan and Idulfitri image is not that easy. Made a slapping tvc is not that easy. Here, in Indonesia, maybe we could count on to agency who hold Djarum account. I don’t know what it is, Dentsu, I guess. But, when you asked me, I could choose Malaysia’s Petronas ads to be one of the good Ramadan or Idulfitri ads that slapped me softly. It was Yasmin Ahmad, creative director from Leo Burnett KL, who opened my eyes about that beautiful creation. Genius yet stay humble. It feels like home. Capturing people with no pretentions. The copy still stay simple, but they make it rich. In my mind, I want to make something like that. Hhhe… and then, as my first project, I made a copy for our Ramadan and Idulfitri image, at that time. I don’t remember what I wrote. Something about being nice to others, I think. To remember God, family, and yah, something like that. It was a series and I don’t really remember that ads.
But yes, what I just remember this time is this, that I came and go with these two things: election and Jokowi.
When I came, it was on June. Jakarta just prepared to held governor election. I was moved from Solo… and yah, Jokowi moved from Solo too and declared that he ready to run on Jakarta’s election. Oh, just a good path, I guessed. But I didn’t really care about what he did. I think I’m a little bit anti-politic. And, yah, the good thing is… when I had to join to made an image tvc about Jakarta election. 
I didn’t write the copy. But it was my first big-shooting. The concept just so great, I remember. One of the best concepts I ever know, as I worked here. It was about “Jakarta Bukan Kota Mainan – Pilih yang Paling Tepat untuk Memimpin Jakarta”. I just love the big idea, Jakarta Bukan Kota Mainan. The insight was simple, as we know, that Jakarta is like little Indonesia, so Jakarta is not a toy, Jakarta has a lot of problems to be solved soon! 30% of our country problems maybe just played on Jakarta. Corruption, bad transportation, employment, poverty, and so on… Then we realized that big idea to a video-audio art based. Hhha, fak! What I just write, art based? Hhhi. Oke, forget it. Oke, back then, our producer-director, Bang Aso, he made this little town made from lego. Streets, buildings, factories, gas station, houses, and a railway too. At the first, the town was running well. A kid’s fingers played it good. He build this and those, here and there. But then we know, there was a lot of cars on traffic light, policeman just went crazy, siren sounds made more madness, and in the end come this flood… swallowed the town. At the end page, five kids portrayed with the image of five governor candidates for Jakarta. It was sooo, good.
It was two years ago. And Jokowi won the race. He made it to be Jakarta’s governor. And now, just about a month ago, he declared to run another race, the biggest race: presidential race.
And I still anti-politic. But, since I was part of this news-station, I had to know all the things about these political things. Oh, of course I know, there a big TV on my back, rolling news all the time. Hohoooo… but, one thing I should tell you, I was so happy to be a part of this thing. Made an image to election day. Searched a name for a mascot. Made a big plan to gain people attentions. Made a copy and storyline for a 15, 30, or 60 seconds tvc or print-ad page, even I know most people didn’t notice. Made a loooong script for some presentations, image, company, programs, or marketing. How to make it shorter, less than 3 minutes. Have a long talk and joke with the producers and art-designer. How to make this looks like that, how to make that with this material, or how to deal with the budget. Which one should more stand-out, the copy or the picture, or the acting, or the expression… or how to combine it.  And above all: I know, people never really noticed ads.
But… who cares?
I remember Nat Whitten. You can get him, here… clickclick . He made the campaign for The New York Times website, as here... clickclick nytimesexperience. In this free get-and-use world of internet, New York Times asked people to subscribe. How come? But he made it great. Soft and elegant. With his “The New York Times - Subscribe to the Experience” campaign. I love the campaign… the big idea to feels and get the experiences, and the ads itself. And I love the copy…  of course. But, the great thing about him, is: that, in his youth age, he was an editor in chief of a campus magazine. But, his life path leads him to be a copywriter. When he got nytimes account, he feels like got his youth dream. Work for a news-company. And his work was gaining good responses: a lot of subscriber to nytimes.com; and he got some public compliment. Oh, how great, isn’t it? I want to be like him. Ameen! Maybe that kind of thing that I feel… I used to dreaming and die about to be a journalist, before I know, I love this thing to be a copywriter. And it was just feels so good, when i started my long-and-winding journey to be here, a tv station. It was like a good starting point… a bridge… to took me to another step and level. I, still, want to be a copywriter, someday. Yah… something like that… I don’t know. Sometimes, I change my mind.
And election, this election, this could be my last piece of work here. This, is, little bit sentimental. I just watched our live event - 48 hours non-stop, while I scroll down my twitter timeline… and people talked about it. People said it just going good. I wrote some twit about it too… rare thing, tweeting for Metro TV. Hhha, even I made some of promotional tweet, I rarely made it on my own twitter account. But not for this night. I just, I don’t know, maybe I just feel proud to be the part, of this thing. I know, our images couldn't have any space to appears, because there are a lot of spaces for advertisement. But, you know, I just feel good to say goodbye. This is a good time.
I remember, it’s about one and a half year ago, when I started to join election meeting. It’s a long journey. Even I couldn’t make it till the presidential race, I think I get the point. Even it’s not perfect. Even our work is countless… I mean, production and people on newsroom has rating/share to commited into, but we’re on promotion didn’t have any standard to hold on into. A citra pariwara sounds good, of course. But, after all, reading people tweeting about how good our company did, that’s enough. A biggest feedback a promotion team need. Building awarness and knowledge about our product.
That what I feel this night. Election, and Jokowi, they made my work.
This Friday is my last day. Maybe I’ll continue to write about something tomorrow. But I don’t know what. So… yah, this night is just good.


___
Then,
I know, I just a beginner. There will be a, looong and winding road…. jrengjreng…. awaiting me. May god, may universe, may my parents, may myself, may my future, let me doing something… something not bad. 


Here are the fun:

there are two paintings, two nude paintings, hanging on our slasar... (nggak ngarti bahasa inggrisnya apaan), to our room. here, me and the nude girl.

again, in the other side. me and tante LS, our single-fighter copywriter. yes, i left her. i'm sorry tanteee...gogogo! :*

me and Mas Patrick after finished the clearance thing. we're not an eagle anymore. Mas Pat is going to Arcade Indonesia, so cool!! good luck mas, see you when i see you...thanks for every films and cool stuff!!

our producer Mas Theodor, Mbak Corry, and me... we're hungry!

bang, satenya bang...

Bang Berry Ganteng, Mas Pat, Tante LS, Om Hendro, Mas Klaus, Mas Theodore, Dinan, and Me.

Me and Om Sigit. Kangkung...'___'

there, the bald-headed photobomber, is Kang Kiki, our Promo Manager, who made this very-very great farewell for us. thankss kang... sukses selalu... terimakasih, terimakasih...:))

keep playing, keep going. antirevisi. respect 30 seconds! :))


Thursday, April 10, 2014

...HER








HER adalah melankolia berlebihan, namun terasa manusiawi dan lalu jadi wajar, di satu dunia antah barantah, yang seperti pernah kita semua lalui akhir-akhir ini. Terasa seperti di sini, tapi kita tahu itu bukan di sini. Seperti saat ini, tapi kita tahu itu tidak sedang terjadi sekarang.





Spike Jonze mengajak kita berhayal di sana. Bersama Theodore… bertemu Samantha. Dalam kesepian. Sendirian. Dan mereka-mereka yang di sana. Film favorit saya, di tahun kemarin.  





HER Trailer:

...yellow






A pillow on yellow
No sorrow

If only I could wish:
Is to get your wrist 



Jakarta, 21 Januari 2014

Wednesday, April 9, 2014

...where the mind is without fear






“Haloo…” Gwen menjawab dering telpon genggamnya. Malas.
“Mbak Gwenda, ini Dita front-desk Mbak…” ujar suara di ujung sana.
“Oh, iya Dita. Ada apa?”
“Ada paket buat Mbak Gwenda. Ini baru dateng, mau Mbak ambil sore ini atau besok pagi aja?”
“Oh, besok pagi aja Dita. Ini masih di meeting di luar. Paket apaan emang? Saya nggak lagi pesen barang…”
“Kurang tahu mbak, kecil tapi agak berat. Kalau gitu saya simpenin buat besok ya mbak. Udah mau jam pulang kantor soalnya…”
“Oh, oke. Thanksss yah…”
“Sama-sama mbak…”
“Oia, Dita, ngomong-ngomong paketnya dari siapa ya?”
“Oh, ini, paketnya dari… Dari Benitez Bayu Mbak…”
“Oh…”
“Saya simpenin ya mbak. Jangan lupa besok diambil.”
“Oh… iya, iya… makasih ya Dita…”
“Sama-sama Mbak Gwenda…”

Klik.
Ben. Paket apaan? Dan, dari Ben?

Paginya, Gwen menuju meja resepsionis di kantornya. Mengambil paket yang ditujukan untuknya. Meneken di buku pengambilan paket. Menuju mejanya di pojokan, menghadap kaca dan pemandangan Jakarta. Menyalakan komputernya. Melihat bungkusan kertas kado warna-warni berlapis plastik berlogo merek si jasa pengirim. Dari Benitez Bayu, di Banda Aceh. Ngapain Ben di sana?
Dan Ben, ada apa dia mengiriminya paket segala? Sudah lebih dari tiga tahun, sejak Gwen terakhir bertemu Ben. Di teras depan. Melihat pohon mangga tersiram hujan. Ah, Ben…
Gwen mulai membukanya. Pertama-tama, mengupas habis si plastik pembungkus dengan cara menariknya agak keras, si plastik memuai menjadi sedikit lebih panjang, sebelum akhirnya menipis dan kuku Gwen bisa dengan mudah untuk membuat satu lubang kecil, dan lalu merobeknya, memaksa si kotak warna-warni keluar. Gwen sedikit tertawa. Pasti Ben nggak bisa nemuin kertas kado yang lebih serius agar bisa dijadikan kertas pembungkus. Sejak kapan Ben jadi warna-warni pastel gini? Gwen tertawa lagi. Membaca kembali nama di pojok bagian pengirim, “Benitez Bayu – Banda Aceh”. Tulisan tangan Ben. Kecil rapi, sedikit miring ke kanan, memanjang di tiap kaki huruf. Seperti pohon bamboo jika dilihat terbalik. Memutar kotak tak terlalu besar itu. Membaca namanya di sana: Gwenda Rahman, nama kantornya, Sentral Senayan III Lt. 11. Jalan Asia-Afrika No. 8, Senayan. Dan lalu nomor telponnya. Ini juga tulisan tangan Ben. Lalu Gwen membuka tiap isolasi dengan rapi. Pasti Ben membungkusnya sendiri, duga Gwen. Karena lem menempel di sana-sini, tak rapi.
Isinya sebuah buku. “Tagore dan Masa Kanak” oleh Rabindranath Tagore. Sebuah kumpulan cerita pendek.
Selembar kertas yang dilipat jadi dua menyempil di balik sampul buku berwarna cokelat yang memiliki jumlah halaman tak lebih dari 200 itu.

Hai, Gew..
Kudengar kau akan jadi guru, Gew? Benar? Kudengar juga, kau akan mengajar di satu daerah pedalaman? Atau semacam terpencil? Benar?
Aku ingin bertanya, “Kenapa?” Ada apa di sana, di balik alasanmu itu? Meninggalkan kursi yang pasti sangat kau cintai yang kau datangi hampir tiap pagi itu? Kursi yang juga kadang kau benci. Tapi kutahu, selembar-dua lembar-tiga lembar jawabanmu tidak akan cukup untuk menampung semua alasanmu. Maka aku tidak akan bertanya “Kenapa?”.
Bolehkah kuucapkan selamat? Selamat, Gew…
Karena mungkin ini hal yang sangat kau inginkan saat ini… aku hanya menebak. Aku tidak tahu. Karena kau yang selama ini kukenal akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, bahkan ketika kau sadar kau tidak akan mendapatkannya, sampai kau lelah sendiri dan lalu mencari satu hal lagi yang pantas kau ingini. Aku tahu kau tidak akan memilih dan melakukan hal-hal yang tidak kau inginkan. Kau selalu memikirkan banyak hal. Mulai dari tujuan, rencana, hingga kemungkinan-kemungkinan dan cara menyelesaikannya. Kebiasaan membuat analisis SWOT-mu kukira belum hilang hingga sekarang. Mungkin malah semakin terasah. Jadi, kusimpulkan saja sendiri, kau pasti telah berfikir panjang, jikalah benar kau akan berangkat untuk menjadi guru, meski sebentar, di satu tempat jauh entah di mana. Aku turut senang. Aku senang, karena dengan dunia belajar-mengajar ini, kamu akan belajar. Mungkin jawabanmu akan seperti itu. Sejauh ini aku mengenalmu, biasanya jawabanmu akan seperti itu. “Minimal aku mendapatkan pelajarannya…” adalah kalimat andalanmu.
Ini buku Tagore. Di sini ada cerita lucu tentang calon guru dan murid-muridnya. Bacalah. Aku yakin kau akan suka…
Semoga nanti aku bisa berjumpa denganmu Gew. Dan mungkin kita bisa bercakap panjang lebar… bicara sangat panjang sampai kau ngantuk tertidur. Ya, semacam itu. Bercakap-cakap saja, bercerita tentang hal-hal tak penting dan keseharian yang membosankan. Melihat seberapa kuat kita melawannya setiap hari. Semoga waktu itu akan datang, Gew.
Dan, panjangkan lagi rambutmu, Gew. Karena di sana, orang memotong rambut tidak dengan gunting cukur dan mereka merapal mantra. Jangan potong rambutmu di luar sana, hhha…  pesanku itu saja.

Banda Aceh, 6 April
Ben

Gwen tersenyum. Mengingat surat pengunduran dirinya yang sudah seminggu ia simpan di laci meja. Menguatkan lagi niatnya.


“Where the mind is without fear and the head is held high
Where knowledge is free
Where the world has not been broken up into fragments
By narrow domestic walls
Where words come out from the depth of truth
Where tireless striving stretches its arms towards perfection
Where the clear stream of reason has not lost its way
Into the dreary desert sand of dead habit
Where the mind is led forward by thee
Into ever-widening thought and action
Into that heaven of freedom, my Father, let my country awake

Where the Mind is Without Fear – Rabindranath Tagore.