Wednesday, April 9, 2014

...where the mind is without fear






“Haloo…” Gwen menjawab dering telpon genggamnya. Malas.
“Mbak Gwenda, ini Dita front-desk Mbak…” ujar suara di ujung sana.
“Oh, iya Dita. Ada apa?”
“Ada paket buat Mbak Gwenda. Ini baru dateng, mau Mbak ambil sore ini atau besok pagi aja?”
“Oh, besok pagi aja Dita. Ini masih di meeting di luar. Paket apaan emang? Saya nggak lagi pesen barang…”
“Kurang tahu mbak, kecil tapi agak berat. Kalau gitu saya simpenin buat besok ya mbak. Udah mau jam pulang kantor soalnya…”
“Oh, oke. Thanksss yah…”
“Sama-sama mbak…”
“Oia, Dita, ngomong-ngomong paketnya dari siapa ya?”
“Oh, ini, paketnya dari… Dari Benitez Bayu Mbak…”
“Oh…”
“Saya simpenin ya mbak. Jangan lupa besok diambil.”
“Oh… iya, iya… makasih ya Dita…”
“Sama-sama Mbak Gwenda…”

Klik.
Ben. Paket apaan? Dan, dari Ben?

Paginya, Gwen menuju meja resepsionis di kantornya. Mengambil paket yang ditujukan untuknya. Meneken di buku pengambilan paket. Menuju mejanya di pojokan, menghadap kaca dan pemandangan Jakarta. Menyalakan komputernya. Melihat bungkusan kertas kado warna-warni berlapis plastik berlogo merek si jasa pengirim. Dari Benitez Bayu, di Banda Aceh. Ngapain Ben di sana?
Dan Ben, ada apa dia mengiriminya paket segala? Sudah lebih dari tiga tahun, sejak Gwen terakhir bertemu Ben. Di teras depan. Melihat pohon mangga tersiram hujan. Ah, Ben…
Gwen mulai membukanya. Pertama-tama, mengupas habis si plastik pembungkus dengan cara menariknya agak keras, si plastik memuai menjadi sedikit lebih panjang, sebelum akhirnya menipis dan kuku Gwen bisa dengan mudah untuk membuat satu lubang kecil, dan lalu merobeknya, memaksa si kotak warna-warni keluar. Gwen sedikit tertawa. Pasti Ben nggak bisa nemuin kertas kado yang lebih serius agar bisa dijadikan kertas pembungkus. Sejak kapan Ben jadi warna-warni pastel gini? Gwen tertawa lagi. Membaca kembali nama di pojok bagian pengirim, “Benitez Bayu – Banda Aceh”. Tulisan tangan Ben. Kecil rapi, sedikit miring ke kanan, memanjang di tiap kaki huruf. Seperti pohon bamboo jika dilihat terbalik. Memutar kotak tak terlalu besar itu. Membaca namanya di sana: Gwenda Rahman, nama kantornya, Sentral Senayan III Lt. 11. Jalan Asia-Afrika No. 8, Senayan. Dan lalu nomor telponnya. Ini juga tulisan tangan Ben. Lalu Gwen membuka tiap isolasi dengan rapi. Pasti Ben membungkusnya sendiri, duga Gwen. Karena lem menempel di sana-sini, tak rapi.
Isinya sebuah buku. “Tagore dan Masa Kanak” oleh Rabindranath Tagore. Sebuah kumpulan cerita pendek.
Selembar kertas yang dilipat jadi dua menyempil di balik sampul buku berwarna cokelat yang memiliki jumlah halaman tak lebih dari 200 itu.

Hai, Gew..
Kudengar kau akan jadi guru, Gew? Benar? Kudengar juga, kau akan mengajar di satu daerah pedalaman? Atau semacam terpencil? Benar?
Aku ingin bertanya, “Kenapa?” Ada apa di sana, di balik alasanmu itu? Meninggalkan kursi yang pasti sangat kau cintai yang kau datangi hampir tiap pagi itu? Kursi yang juga kadang kau benci. Tapi kutahu, selembar-dua lembar-tiga lembar jawabanmu tidak akan cukup untuk menampung semua alasanmu. Maka aku tidak akan bertanya “Kenapa?”.
Bolehkah kuucapkan selamat? Selamat, Gew…
Karena mungkin ini hal yang sangat kau inginkan saat ini… aku hanya menebak. Aku tidak tahu. Karena kau yang selama ini kukenal akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, bahkan ketika kau sadar kau tidak akan mendapatkannya, sampai kau lelah sendiri dan lalu mencari satu hal lagi yang pantas kau ingini. Aku tahu kau tidak akan memilih dan melakukan hal-hal yang tidak kau inginkan. Kau selalu memikirkan banyak hal. Mulai dari tujuan, rencana, hingga kemungkinan-kemungkinan dan cara menyelesaikannya. Kebiasaan membuat analisis SWOT-mu kukira belum hilang hingga sekarang. Mungkin malah semakin terasah. Jadi, kusimpulkan saja sendiri, kau pasti telah berfikir panjang, jikalah benar kau akan berangkat untuk menjadi guru, meski sebentar, di satu tempat jauh entah di mana. Aku turut senang. Aku senang, karena dengan dunia belajar-mengajar ini, kamu akan belajar. Mungkin jawabanmu akan seperti itu. Sejauh ini aku mengenalmu, biasanya jawabanmu akan seperti itu. “Minimal aku mendapatkan pelajarannya…” adalah kalimat andalanmu.
Ini buku Tagore. Di sini ada cerita lucu tentang calon guru dan murid-muridnya. Bacalah. Aku yakin kau akan suka…
Semoga nanti aku bisa berjumpa denganmu Gew. Dan mungkin kita bisa bercakap panjang lebar… bicara sangat panjang sampai kau ngantuk tertidur. Ya, semacam itu. Bercakap-cakap saja, bercerita tentang hal-hal tak penting dan keseharian yang membosankan. Melihat seberapa kuat kita melawannya setiap hari. Semoga waktu itu akan datang, Gew.
Dan, panjangkan lagi rambutmu, Gew. Karena di sana, orang memotong rambut tidak dengan gunting cukur dan mereka merapal mantra. Jangan potong rambutmu di luar sana, hhha…  pesanku itu saja.

Banda Aceh, 6 April
Ben

Gwen tersenyum. Mengingat surat pengunduran dirinya yang sudah seminggu ia simpan di laci meja. Menguatkan lagi niatnya.


“Where the mind is without fear and the head is held high
Where knowledge is free
Where the world has not been broken up into fragments
By narrow domestic walls
Where words come out from the depth of truth
Where tireless striving stretches its arms towards perfection
Where the clear stream of reason has not lost its way
Into the dreary desert sand of dead habit
Where the mind is led forward by thee
Into ever-widening thought and action
Into that heaven of freedom, my Father, let my country awake

Where the Mind is Without Fear – Rabindranath Tagore.

No comments:

Post a Comment