Friday, June 29, 2012

...bertemu manusia


“A secret makes woman, woman” seperti dalam seri Detective Conan.

Dan, sepertinya, sedikit mencontoh rima kalimat hebat tersebut, “Human makes human, human”.

Bertemu dan melihat orang (manusia) lain yang berbeda-beda ternyata benar bisa menjadikan kita manusia. Setidaknya, manusia yang (belajar) mengerti manusia lain.

Saya teringat seorang kerabat yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di daerah. Jujur, saya tidak terlalu bersimpati dengan praktik politik praktis. Apapun itu. Mau presiden, wakil rakyat, kepala desa, hingga kadus, hingga RT. Walau tak memungkiri, bahwa praktik tersebut yang justru menjadikan saya hidup hingga sekarang. Kita semua hidup, hingga sekarang.

Kenapa saya tidak simpatik? Alasannya sederhana, begitu mencoba memahami dan merasakan sendiri, rasa-rasanya praktik semacam itu terasa ‘palsu’. Kalau kata tivi pencitraan, ‘manis di depan, sepah di belakang’. Apalagi ketika melihat sendiri bahwa praktik korupsi benar-benar nyata ada di depan mata. Sekali lagi, tidak perlu membicarakan korupsi di partainya Pak Presiden, bahkan mungkin itu ada di kelurahan kita.

Tapi pada satu waktu, satu tahunan lalu, mata saya lebih terbuka terhadap istilah ‘wakil rakyat’, ‘mengemban amanah rakyat’ atau lain-lainnya yang demi rakyat. “Kalau bukan kamu yang berfikiran positif dan lalu melakukan hal-hal positif, siapa lagi?” ajak ayah saya kala itu. Tentu saja saya tidak sedang mencalonkan diri untuk menjadi semacam wakil rakyat, rumongso gak patut. Pada satu titik, saya menyadari, “Iya, benar.”

Jika kita terlalu dilenakan dengan segala yang hal-hal negatif yang sejujurnya berimbas menyenangkan (setuju kan, kalau hidup mewah macam koruptor yang di tivi itu menggiurkan?), bisa jadi kita akan terarah ke situ. Maka kadang saya sampai terharu jika di tivi ada tayangan sosok-sosok guru di pedalaman. Sosok-sosok mereka yang katanya kurang mampu, tapi justru berprestasi dan pantang menyerah.

Merekalah manusia.

Manusia yang menjadikan orang lain manusia.

Merekalah harapan untuk masa depan. Setidaknya, ketika semua hal terlihat begitu buruk, mereka memberikan pemandangan baru yang menyejukan mata. 

Mereka yang menjadikan saya, belajar menjadi manusia. Meski entah sekali sebenarnya.

Dalam hadist atau mungkin hanya kalimat bijak, sepertinya kita pernah tahu, bahwa: sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang berguna bagi manusia lainnya.

Ruang belajar menjadi manusia yang sesungguhnya adalah berada di antaranya.

Di mana? Bagi saya adalah di ruang yang belum pernah saya singgahi. Bersama orang-orang yang belum pernah saya temui. Di tengah suasana yang belum pernah saya rasakan. Dan perpisahan yang membuat saya berucap “Oooo…” tanpa pernah menyesal pernah berada di antaranya.

Oke, saya tidak memungkiri bahwa banyak orang-orang yang pernah kita kenal adalah orang-orang yang arogan, bahkan terasa lebih arogan dari diri saya sendiri (nah?). Tipe orang yang mungkin kita tidak ingin lama-lama berurusan lagi dengannya. Tapi, lebih dari itu, sepertinya akan lebih banyak tipe orang yang membuat kita memahami lebih banyak. Meski mereka tanpa nama.

Seperti pagi tadi.

Sebagai orang yang ingin memperketat ikat pinggang agar bisa memperkincolong telapak kaki (hasyeh!), sudah sejak lama saya ingin kembali merasakan sumuknya kereta rakyat, kereta ekonomi. Saling berhadapan dengan entah, bertemu dengan embuh. Meski agak kacau, jujur, saya sangat tertantang dan berjanji akan mencobanya lagi ketika pertama kali menaiki Senja Bengawan, Solo – Jakarta tiga tiga tahunan lalu. Saat itu, belum diberlakukan sistem satu kursi satu tiket. Pengalaman diberi jatah kursi seromobongan keluarga membuat saya mengerti, inilah yang namanya menjadi “rakyat”. Saya kurang yakin akan ada orang merelakan kursinya di kereta eksekutif, oke, saya mengacau, ya manaaa adaaa kaleee kereta eksekutif beridiriiiii? Plis deh… kita bayar mahal cuin!

Jika saya berani sendirian dari ujung Jawa Timur hingga Solo, tentu saya berani, dari Jakarta menuju Solo. Dengan taktik dan strategi, saya pun menjadi bagian dari tradisi mengantri ketimbang tradisi memesan secara online. Toh saya sudah cek di intergggnet, bahwa kereta bisnis dan eksekutip menuju Solo sudah ludes di tanggal target saya, tanggal di mana saya sudah mengantongi ijin pulang tepat waktu. Seperti halnya calo tiket dalam bayangan saya, sehabis subuh, saya bersiap.

Pada jam yang sama di hari-hari sebelumnya, tentunya saya masih tertidur lelap. Tapi pagi tadi, saya harus berkumpul dengan ratusan orang mengantri. Dan saya entah berada di baris ke berapa. Rasanya, inilah kali pertama pengalaman mengantri tiket kereta dengan antrian yang begitu panjang. Selama kurang lebih dua setengah jam. Dan tentu saja, tanpa hasil tepat di antrian kedua dari depan saya.

Dan herannya, saya tidak menyesal sama sekali. Meski agak kecewa, karena satu-satunya angkutan umum yang prakiraan waktunya terjadwal dan murah ini tiketnya sudah ludes terjual di tanggal yang saya ingin pesan.

Entah kenapa, berada di angkutan umum membuat saya menjadi hidup. Menjadi yang sedikit merasa lebih beruntung dan kadang juga merasa kurang hebat. Sekarang saya juga tahu, menjadi pengantri juga membuat saya menjadi hidup. Saya tidak membayangkan jika sekarang tiket ekonomi juga bisa dipesan H-90 secara online. Oke, itu sangat menguntungkan bagi saya. Sama halnya dengan membayar calo untuk mengantri sejak pagi buta, tiket online (tanpa sisa yang banyak) akan menghilangkan interaksi menjadi manusia.

Ketika mengantri bersama di ujung pagi. Menuliskan nama kereta bersama. Saling bertanya arah tujuan. Atau ketika seorang ibu ramai bercerita tentang anaknya yang antusias pulang ke Jogja. Kehabisan tiket bersama. Mengganti jalur kereta selanjutnya. Mengatur strategi pulang rumah. Memaki calo yang membeli puluhan tiket. Mamaki satpam yang membelikan tiket untuk orang-orang di luar antrian. Dan kehabisan tiket selanjutnya, benar-benar habis.

Kampungan sekali? Mungkin satu hari yang lalu saya akan bilang “Iya”.

Bagaimana jika mereka yang mungkin belum kenal internet harus datang di hari min tujuh keberangkatan, sementara tiket yang ada sudah terjual? Ah, sepanjang jalan pulang saya memikirkan strategi membeli tiket kereta. Hidup calo pasar senen! Hidup calo tanah abang!

Tadi, seorang kawan tercengang-cengang ketika saya bercerita bahwa saya ke stasiun pasar senen (lagi) di pagi-pagi buta. Oke, ternyata di sana terkenal dengan perampokan dan pencopetan. Saya juga tidak percaya saya seberani tadi pagi. Beruntunglah saya yang sudah dilepas oleh orang tua saya. Ya meski kebegoan sering kumat. Mungkin benar kata ibu saya entah kapan, kita harus pernah merasakan banyak hal. Biar bisa merasakan, biar nggak gumunan. Maka kita tidak akan pernah merasa takut.

Pada satu pemilu, ada satu calon wakil rakyat selama hampir enam bulan rutin mengunjungi berbagai kegiatan warga dan membangun fasilitas bersama. Dia kalah, hanya gara-gara satu calon lain yang sudah bertahun-tahun jadi wakil rakyat melakukan serangan fajar senilai duapuluh lima ribu rupiah di pagi hari.

Pagi tadi saya antri tiket ekonomi bersama ratusaaaaan orang, mereka yang berseragam kantoran rapi sementara tangan kanan memegang bb dan tangan kiri memgang i-phone (saya juga agak nggak yakin dia mau beli tiket ekonomi), mahasiswa kucel, mahasiswa ganteng, mbak-mbak berjilbab rapi, ibu-ibu yang akan mengambil rapot anaknya, tukang ojek di perempatan mana, bapak yang jualan mie ayam keliling, mas-mas manajer pabrik. Sama-sama memandang penuh sebal pada calo-calo yang membeli tiket puluhan lembar. Dan tak ada sisa lagi bagi kami. Sebagian tertawa, sebagian kecewa. 

Lalu saya jadi benci calon wakil rakyat yang bagi-bagi uang untuk serangan fajar. Ya mbok kalau-kalau situ punya uang banyak apa ya nggak buat memperbanyak gerbong kereta api saja? Amankan calo.

Kenapa stasiun senen dan tanah abang terkenal banyak pencopet dan rampoknya dan kurang nyaman? Mungkin karena uang yang harusnya untuk menata dua fasilitas publik menjadi nyaman itu buat bikin nyaman sendiri mereka yang katanya wakil rakyat itu.

Sepertinya, pelajaran menjadi manusia pertama saya dimulai dari sebuah stasiun kotor dan bau. Belajar pada orang-orangnya yang legowo keluar antrian setelah segala tiket alternatif tujuan habis diborong calo. “Yowis ki, numpak bis wae. Yoben larang tur olehe tekan mbuh kapan mbak…”. Nah!

Sunday, June 24, 2012

...lovable worker

Waktu itu, malam tahun baru di Maliboro. Perut lapar dan jam menunjukan sekitar pukul dua dini hari. Melihat sekeliling, mencari makanan yang bisa mengganjal perut yang belum terisi dari sore demi melihat kembang api di pusat kota Jogja itu. KFC menjadi pilihan kami. Waralaba yang beberapa gerainya memang benar-benar buka selama dua puluh empat jam. Walaupun bukan penyuka ayam, ayam KFC yang masih hangat emang beneran crispy.

Pun begitu dengan kawan senegara, McD. (e, Pizza Hut itu dari amerika juga bukan?). 

Yang diharapkan dari tempat makan cepat saji macam itu tentu saja adalah pelayanan yang cepat dan cekatan. Para pramuniaga benar-benar cepat melayani. Ibaratnya, jangan sampai konsumen merasa dikibuli dengan imej yang sudah kelanjur melekat akan kecepatannya. Nah, berbanding lurus dengan anggapan akan imejnya, tidak sedikit diantara kita yang memilih makan di waralaba macam itu (mulai dari karena ayamnya, burgernya, pizanya, kopinya, es krimnya), karena kecepatannya, kepraktisannya. Maka, jangan heran, antri panjang bisa dilihat di beberapa gerainya.

Apalagi jika itu adalah gerai-gerai strategis dan di jam makan. Apalagi jika keduanya bertemu di hari libur. Selamat main ular-ularan dengan beberapa orang yang tiba-tiba berubah tidak sabar.

Selamat bertemu dengan para mbak-mbak dan mas-mas yang tangannya bergerak cepat. Menyiapkan makanan, minuman, membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan, mengepel lantai di sekitaran wastafel, atau membungkus, pun mungkin ada kehebohan yang sama di dapurnya. Dan tak lupa, mereka tetap tersenyum.

Ya, kesibukan yang sama memang tidak hanya terlihat di tempat makan cepat saji sih. Pemandangan yang sama akan kita temukan juga di semuaaa tempat makan yang sedang ramai.

Tapi, dari pengalaman saya yang tak seberapa, waralaba cepat saji sepertinya memiliki standar yang hampir sama. Tersenyum, meminta maaf jika ada ketidaknyamanan, dan berterimakasih. Mulai dari satpam, mbak-mbaknya, dan bahkan, manajer.

Sebenarnya ini  adalah rasa ketidakenakan saya pada salah satu manajer waralaba yang baru saja saya datangi sore tadi, dan, ingatan atas satu tulisan seorang presenter kondang.

Sore tadi, selepas sore yang agak mengesalkan karena (lagi-lagi) tak kebagian tiket kereta untuk bepergian padahal dari tempat saya menuju stasiun itu lumayan jauh. Nggak cuma lumayan, emang jauh! Kehabisan tiket untuk semua kelas. Beruntung tidak harus terjebak di terminal busway terlalu lama dan harus berdiri sepanjang perjalanan antara Jakarta Timur hingga Barat. 

Meski sudah makan sup rumput laut dengan porsi super banyak hingga kenyang, tapi sepertinya energi saya sudah terkuras karena sedikit jalan-jalan di mall yang arsitekturnya adalah yang paling keren sepanjang pengalaman bepergian saya melihat mall, maklum, pengalaman saya sedikit. Di fx. Dan iya, itu, sop rumput lautnya enak banget juga. Dan, yah, lemes selemes-lemesnya atas kisah kehabisan tiket. Beruntung si Mayang menenangkan saya, bahwa ada bus yang berangkat malam hari dari sini. 

Keluar dari halte terdekat dengan tempat saya tinggal, ada gerai McD. Saya sudah merencanakan untuk belie s krimnya dulu setelah turun dan sebelum menyetop angkot. Masuk McD, dua konternya masih antri. Saya memilih antrian yang terlihat lebih sedikit. Hanya ada sekitar empat orang di depan saya.

Nah, ketika tinggal ada dua orang di depan saya. Tanpa sengaja saya menghela nafas cukup panjang sekali dan, ehm, sepertinya keras. Iya, saya capek. Tapi sumpah, ini bukan karena masalah antri. Toh saya cum antri empat orang yang dilayani cepat juga. Saya belum berdiri lebih dari lima menit kok. Nah, tanpa saya sadari, di samping saya berdiri sang manajer. Tebak apa, karena (pastinya) dia mendengar saya menarik nafas. Tiba-tiba beliau meminta maaf pada saya. Tentu saya jawab tidak apa-apa sambil tersenyum manis. Lagipula raut muka bapaknya terlihat tulus.

Dan, ini dia. Ketidakenakan kedua terjadi. Tanpa diduga, si bapak menuju belakang konter, beliau melayani saya langsung. Beliau yang membuat Sunday Strawberry saya (dan buahnya banyak sekali, seriusss). Dan waktu saya menunggu minuman yang saya pesan, beliau mengingatkan seorang pelayannya untuk segera menyiapkan cola pesenan saya juga. Hah?

Selesai pesanan saya (yang adalah minuman semua), tak lupa saya bertrimakasih pada bapak manajer berperawakan kecil itu. Ah, saya agak-agak tidak enak sebenarnya. 

Bilang saya kepedean. Tapi entah kenapa, saya yakin bapaknya tadi mendengar saya menghela nafas cukup panjang ketika menatap daftar menu.

Lalu saya teringat tulisan di blog salah satu pembawa acara talk show yang cukup keren acaranya. Beliau bercerita, pada satu hari, beliau bertemu dengan seorang laki-laki muda di Starbucks yang sedang mengepel lantai gerai waralaba kopi super mahal itu. Dia terenyuh, terharu, sekaligus bangga. Kenapa? Karena pemuda itu adalah anaknya sendiri.

Tentu saja mereka adalah keluarga berada. Si bapak yang mencoret dengan silang besar di copy-an yang saya buat untuk promo acaranya ini saja bisa dibilang cukup senior di dunia jurnalistik dan tivi. Tapi, dalam catatannya, dia bilang, memang dia sendiri yang menyuruh si sulung untuk sekali-kali merasakan bagaimana rasanya berada di posisi “pelayan” agar kita tak semau sendiri ketika menjadi “orang yang dilayani”. Ternyata si anak benar-benar melakukannya. Yah, dan, ketika pada satu kesempatan mereka bertemu dan si anak berada pada posisi “pelayan” dan keluarganya sendiri yang harus “dilayani”, si bapak benar-benar merasa terharu. Toh si anak tidak terlihat kikuk dan tetap tersenyum-senyum senang. Justru yang pontang-panting adalah perasaan si bapak itu.

Iya, obrolan yang sama yang pernah saya dan dua orang kawan saya bicarakan di sebuah waralaba pizza. Waktu itu, kita tertarik untuk mencoba bekerja paruh di sana. Tujuannya, hampir sama. Karena waktu itu kita merasa sangat nyaman dan terkesan dengan pelayanan mereka, lalu teman saya bilang, “Hal semacam itu, melayani orang lain secara langsung, pasti benar-benar bisa melatih kesabaran kita menjadi manusia…”

Apa kabar saya?
Apa kabar kesabaran saya?
Apa pulalah itu pekerjaan saya yang hanya melamun-lamun?
Apa pulalah saya yang tidak bisa melihat dan menarik nafas panjang di waktu yang tepat?

Boro-boro minta maaf, berucap terimakasih aja sering lupa.
Ah,

Selama menulis ini, tiba-tiba saya merasa, mereka adalah para pekerja yang layak dicintai. Lovable worker. Mereka yang senyumnya, walaupun mungkin artifisial dan hanya sekedar prosedural, tapi mereka melakukannya dan tetap berusaha melayani kita sebaik-baiknya. Yang, ya, malah kita sambut dengan menarik nafas panjang. Eh, saya ding itu mah…

Ayo,
Mari besok kita membalasnya dengan terimakasih dan senyum yang manis.

Friday, June 22, 2012

...bertemu legenda


“Ke Monas kita tamasya, lalu keliling kota
Putar sebentar ke arah Veteran, di sana ada es krim kesukaan
Ragusa namanya…”

Kalaulah saya anak SD beberapa puluh tahun lalu, mungkin saya akan membuat catatan demikian dan mengirimkannya ke majalah anak-anak demi uang seribu rupiah atau sebuah buku cerita terbaru. Atau kalau saya anggota WSATCC, bolehlah besok saya membuat lagu tentang makanan-makanan tua di Jakarta, maka saya akan mencantumkan kata ‘ragusa’ di salah satu liriknya…

Ragusa, Es Italia.

Ragusa (pertama-tama)

***

Unilever, raksasa yang bermarkas di Belanda itu bilang, bahwa mereka menciptakan es krim bagi para pencari kebahagiaan, “for pleasure seekers”. Resep rahasianya akan mengantarkan siapapun yang menikmatinya menjadi apaaaa saja yang dia inginkan dan bayangkan. Sebagai penyuka es krim amatiran, magnum mengajak saya menjadi seorang perempuan, setelah sebelumnya hanya menjadi anak-anak dengan mengunyah paddle pop magnum.

Es krim, cokelat, dan yang enak-enak lainnya, memang dipercaya sebagai penetralisir ketidaknyamanan. Sedang stres? Makan es krim saja. Setidaknya formula itu cukup manjur, pun bagi saya.

Lalu, apa jadinya ketika menyantap es krim ternyata juga bisa menciptakan stres baru?

Efek menenangkan yang dihasilkan dari proses makan es krim sepertinya memang berasal dari cecap demi cecap yang dinikimati pelan-pelan. Ketika krim lumer di lidah dan seketika rasa serta dinginnya turut menyebar dari otot mulut ke seluruh bagian tubuh, utamanya kepala. Seketika sel syaraf menjadi lebih kendor, lalu jantung memompa darah lebih normal dan perasaan kembali tenang. Barangkali. Karena, cobalah, menikmati es krim dengan buru-buru, rasanya pasti tidak lagi enak.

Itulah juga kenapa es krim di taruh sebagai penutup acara makan. 

Sepertinya.

Termasuk menikmati Ragusa, Es Italia.

Namanya yang sudah tersohor menjadi jaminan akan kualitas dan rasa yang tiada duanya. Apalagi ada embel-embel Italia. Elizabeth Gilbert saja memilih negara ini sebagai destinasi untuk menuntaskan hasratnya akan “eat” diantara ratusan negara lain di peta dunia sebelum memulai “pray” dan “love”. Terlebih cerita tentang legenda kemahsyurannya sejak jaman Pasar Malam Gambir yang didominasi borjuis Belanda dan sosialita. Ini legenda, dan kita harus sesekali mencobanya.

Letaknya pun berada di daerah kawasan pusat kota. Menyebrang sebentar dari pintu timur monas. Menyempil di tengah bersama beberapa kios yang mengajak kita mengingat kota Jakarta satu abad yang lalu. Hanya saja dengan merek warung kopi, restoran, dan warung empek-empek kenamaan menggantung  di tiap kaca kios.

Jika baskin robbins mengajak kita berteduh di dalam dinginnya pendingin ruangan mall, lalu kita akan memesan setangkup burger jikalah perut juga mulai merasa lapar. Di kios minim warna dan cat yang mulai memudar ini kita disuguhi pilihan sate ayam, asinan, otak-otak, dan gado-gado sebagai kawan minum (atau makan) es krim. Hawa panas karena nihilnya ac bertambah panas ketika ternyata kita harus turut membuat rangkaian antrian menjadi semakin panjang. Kemudian barangkali, akan sedikit kesal, ketika ternyata kita tidak kebagian meja untuk menghabiskan es krim yang sudah di tangan. 

Sampai di sini saya agak kebingungan untuk menentukan arah tulisan, akan sinis atau justru akan bangga pada Ragusa.

***

Waktu itu sekitar jam satu siang. “Kita akan mencoba es krim Ragusa,” ujar Mbak Dilla, seorang kakak yang saya lupa kapan terakhir bertemu dengan dia. Harusnya siang itu Teh Imeh menjadi bagian rombongan, tapi sebagai penulis yang semakin oke kariernya, doi sibuk sekali, pun di hari Minggu. 

Nama Ragusa sudah tidak asing lagi di kepala, rasa-rasanya pernah mendengarnya berkali-kali dari acara kuliner di tivi atau membacanya di rubrik kuliner majalah wanita. Menaiki bajaj bahan bakar gas berawarna biru, kami menuju jalan Veteran, agak bersebelahan dengan Istiqlal. Berdiri di pintu masuknya, saya tercengang.

Saya akan makan es krim di mana?? Kok ono sate mbarang? Benar-benar terasa Batavia.

Bayangan bisa selonjor-selonjor di kursi empuk seperti di gerai j-co, menjadi seperti anak gaul seperti anak muda yang nongkrong di sevel yang duduk di antara kursi-kursi besi dan meja berpayung (?), atau kursi warna-warni mcd, hilang. Oke, ini lebai. Saya hanya membayangkan sebuah bangunan gaya Belanda dengan cat putih memudar dan jendela-jendela besar, dengan kursi panjang berhadap-hadapan  serta suara kereta yang lewat di kejauhan (karena ternyata di seberang sana tidak terlalu jauh terdapat jalur rel kereta api), serta iringan irama bosanova. Kombinasi sempurna yang pernah saya rasakan di solopucino, sebuah warung kopi (dan es krim juga) di solo, yang sayangnya sudah tutup dua tahunan lalu. 

Orang benar, masalah rasa juga termasuk masalah percaya. Karena namanya yang sudah menjadi legenda, Ragusa menjadi pilihan untuk menikmati cita rasa es krim, (italia).

Pengalaman berebut meja (dan kalah) tentulah bukan pengalaman indah yang layak diceritakan di sini. Saya harap gambaran ini menunjukan bahwa Ragusa benar-benar ramai. Mulai dari serombongan keluarga besar, keluarga kecil, pasangan yang lagi jatuh cinta hingga tega menyered meja yang berisi es krim kami dengan sedikit galak, atau sekedar orang yang ingin mencoba Ragusa seperti saya. Sebagai newbie, tentu saya tidak tahu tata tertib di sana. Mengagumi sekaligus tak mengerti, “O, jadi kayak gini.”

Kami memesan banana split. Soal rasa, saya kasih sembilan puluh lima. Dapat A.

Banana Split
Tapi, karena saya tidak dapat meja, saya memberi nilai untuk kenyamanannya sebesar minus seratus duapuluh satu. Jadilah nilainya menjadi tujuh puluh sembilan. Dapat B.

Karena, jujur, suasana ramai dan penuh semacam itu membuat saya tidak nyaman menikmati es krimnya. Masak saya enak-enak duduk sementara puluha orang lainnya jelas-jelas menenteng es krim penuh dan butuh duduk. 

Sebagai legenda, Ragusa mungkin masih juara.

Tapi sebagai pilihan untuk menyecap habis hingga jilatan terakhir lelehan es krim sambil cerita tentang sore indah di Jakarta, rasanya bukan di sana tempatnya. Saya juga kurang tahu, kapan Ragusa tak sepi pembeli. Maka saya kira, sepertinya lebih baik membungkusnya dan memakannya di sebuah taman kota yang sepi dan rumput yang hijau.

Malah-malah saya kangen es krim lima ribuan om Ronald yang datang dari amerika.

Saya jadi ingat perkataan seorang kawan yang pernah bersama-sama mencobai hampir semua makanan khas Solo, ketika akan membuat direktori tentang kuliner, mungkin sebaiknya kita membedakannya dengan lebih spesifik lagi, misal “makanan enak”, “makanan khas”, “tempat makan legenda”, dan atau “tempat makan nyaman/unik”. Kurang lebih demikian. 

Makanan enak, ya yang enak dan semuaaa orang suka dan mengakuinya itu enak. Entah makannya sambil berdiri atau mengantri hingga tiga jam. Makanan khas, tentu saja, adalah yang (sebisa mungkin) hanya bisa ditemui di satu kota/ daerah, ya emang adanya cuma di situ atau memang sudah diakui bahwa satu jenis makanan tertentu itu asli, ASLI daerah tersebut. Tempat makan legenda, bisanya si karena umur berdirinya, efeknya, mungkin seperti Ragusa yang terasa kurang nyaman (ya karena memang banyak yang suka, dan kedai yang tak besar) atau justru rasa yang tak lagi terasa nendang, karena semakin banyaknya jenis menu yang lebih terasa enak, ini pernah saya rasakan ketika mencoba warung bakso legenda, tapi rasanya (menurut saya) tidak enaaak. Tempat makan nyaman, cari saja di direktori majalah gaya hidup, sekarang semakin banyak tempat yang menyajikan “suasana” dari pada rasa, kan? :D

Tapi, tentu saja, lain waktu, saya ingin kembali ke sana. 

Mungkin setelah mencari tahu, kapan waktu yang pas untuk mendapatkan meja dan sedikit berleha-leha.

Dan sepertinya juga, bagi yang belum pernah ke sana, ada baiknya untuk merasakan sensasinya.

*
Foto saya ambil dari sini dan sini.

... mengenal peradaban


Gambarkan gambar pohon.

Gambarkan gambar pemandangan.

Pohon. Maka saya akan menggambar dua garis vertikal dengan tidak terlalu lurus, sebagai batang. Lalu bulatan dengan ujung cembung mengelilingi si batang tadi dari ujung satu ke ujung lainnya. Saya menganggapnya itu pohon. Pohon beringin mungkin, pohon randu mungkin, pohon angsana mungkin. Walaupun sebenarnya itu lebih mirip rambut Si Kribo di kartun mingguan Harian Kompas.

Pemandangan. Maka saya akan menggambar dua buah gundukan segitiga, yang saya maksudkan sebagai gunung. Lalu di tengahnya, saya akan membuat dua garis diagonal, saya tarik sejajar dan semakin melebar hingga bagian bawah kertas gambar. Sungai. Lalu bulatan-bulatan kecil di dalamnya yang saya maksudkan sebagai batu. Di samping kiri-kanannya, saya akan membuat garis horizontal dan vertikal saling menyilang, hingga membetuk kotakan-kotakan lalu mengisinya dengan semacam cek “V” di dalamnya. Sawah dan padinya. Tidak lupa, tentu saja, bulatan indah di atas gunung, dengan warna kuning menyala, matahari. Tak lupa, iringan awan berarak dalam bulatan cembung-cembung menggumpal.

Standar? Banget!

Tapi saya percaya, dan berani taruhan, mereka yang notabene tidak jago gambar atau sekurang-kurangnya, tidak cukup kreatif, pasti akan menggambar hal demikian itu…

Sampai suatu hari, pada sebuah kesempatan di mana saya harus menggambarkannya, ada ketentuan, “menggambar pohon bukan dengan semacam ini (lalu si pengarah menggambarkan pohon versi “saya” sebelumnya)”. Saya pun menggambar entah pohon apa. Dan lalu menggambarkan suasan perkampungan dengan banyak (pura-puranya) rumah untuk menggantikan gambar gunung-gunung dan sawah.

***

Bagaimana menerjemahkan sesuatu yang pernah kita lihat, atau justru hanya pernah kita bayangkan menjadi sebuah gambar realis? Jangan tanya saya. Karena saya tentu saja tidak bisa. Tanyakan pada saya seperti apa maestro lukis realis yang pernah Indonesia punya merealisasikan ide dan visualisasinya pada karya lukis yang benar-benar realis. Benar-benar detail.

Beruntunglah kita, setidaknya saya, pernah punya kesempatan langka untuk mendatangi salah satu pameran, yang bisa jadi akan diadakan beberapa tahun lagi, atau bahkan puluhan tahun lagi. Bahkan, kabarnya, ini adalah pameran pertama karya maestro lukis asli Indonesia ini di tanah airnya sendiri, pun ternyata diprakarsai oleh lembaga kebudayaan Jerman (plus korporasi Jerman sebagai rekanan). 

Melihat lebih dekat, hingga dekat sekali, detail goresan tangan Raden Saleh mengajak saya mengambil kesimpulan: “Setidaknya, dari Raden Saleh, pelukis-pelukis setelahnya memiliki acuan akan sebuah ‘lukisan’. Dan tentu saja, acuan belajar bagi para perupa setelah-setelahnya.” Kenapa saya menggunakan kata “setidaknya”. Karena, kalaulah bukan Sang Pangeran dari Semarang ini yang memang sudah dari sananya memiliki bakat cemerlang dan mendapatkan kesempatan mendalami seni lukis di Eropa (Belanda, Jerman, Prancis, bahkan hingga Aljazair), lalu membuat semacam “kurikulum” (ada istilah yang digunakan saat itu, tapi saya lupa) untuk pendidikan seni rupa (menggambar) di Hindia Belanda, pastilah akan ada Raden Entah Siapa, yang akan memiliki kesempatan itu. Hingga menjadikan hidup dunia seni rupa di Indonesia hingga kini.

Saya luruskan, oke, saya percaya tidak ada acuan tetap dalam membuat karya.

Tapi, melihat deretan semacam ‘acuan belajar’ untuk pendidikan menggambar (ini ada istilah Belanda-nya, tapi sumpah saya lupa namanya apa), ingatan saya memang langsung melayang pada masa-masa belajar saya. Man? Jangan-jangan, kurikulum (atau anggapan) yang sama akan pemandangan dari abad ke-18 hingga abat 21 ini ternyata masih sama. Atau memang seperti itulah lansekap negeri kita, hingga para orientalis menamakan tanah air kita ini dengan sebutan mooi indische, Hindia Belanda yang Cantik. Gunung, sungai yang mengaliri sawah-sawah. Terasa sangat Magelang atau Temanggung sekali, yang kebetulan memiliki pemandangan dua gunung berjejeran.

Raden Saleh menghabiskan sekitar dua puluh tahun di Eropa untuk sebuah “penemuan jati diri” atas karya-karyanya. Dunia mengaku kehebatannya dalam menciptakan detail dan menjadikah hidup sosok-sosok dalam karyanya yang utamanya didominasi oleh lukisan binatang, pertempuran (manusia-manusia, binatang-manusia), lansekap, dan portrait. Setelah habis masa menempuh ‘beasiswa’ belajar dari kerajaan Belanda, ia ditarik pulang ke Hindia Belanda untuk mengurus lukisan-lukisan pemerintah Belanda dan membuat semacam kurikulum itu tadi. Tak lupa, tentu saja ia tetap melukis, umumnya adalah lukisan portrait pejabat Belanda.

Sebenarnya saya tertarik tentang proses pembuatan (semacam) kurikulum itu tadi.

Apa saja yang dilakukannya?

Karya-karya realis menggambarkan berbagai macam benda perabotan, berbagai jenis pohon (dengan bentuk daun berbeda-beda tentu saja), dan pemandangan alam. Ya, kehalusan semacam itu di abad itu, tahun 18-sekian-sekian, tentu saja luar biasa. Pertanyaan saya kembali melanglang buana, siapa yang belajar? Anak-anak keturunan Belanda? Anak-anak Bupati? Ahh…

Sebenarnya saya kehabisan pertanyaan. Sekaligus kehabisan kata-kata.

Termasuk ketika berdiri diam di dua lukisannya.

Bukan, bukan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang terkenal itu. Saya tidak kebagian ruang untuk menikmati lukisan besar itu karena banyak pengunjung yang ramai berfoto di depannya. Saat itu, diam-diam saya bersyukur, tiga tahunan lalu ditegur keras bahwa karya lukisan (atau karya apa saja) tidak selayaknya untuk dipegang atau (hanya) dijadikan latar untuk berfoto. Kecuali jika sepi, saya membuat pembelaan diri. Tapi memang benar, agak membuat kehilangan minat bagi pengunjung lain, ternyata.

Saya terpesona dengan dua karya: “Mengintai” dan “Harimau Minum”.

Keduanya melibatkan Harimau, yang bagi saya, terasa hidup. Membuat saya ingin lari sambil menahan kencing sekaligus merinding. Seakan-akan, sedetik saja Harimau itu menyadari keberadaan saya, maka dia akan mendekat dan menatap tajam di mata saya. Lalu, mungkin, memangsa saya.

“Mengintai”, mengajak saya menjadi salah satu harimau di dalamnya. Ketika di sebuah sore yang agak terik, di antara rerumputan dan bebatuan, telah lama menahan lapar, lewatlah satu keluarga manusia. Lalu apa lagi? Saya bersiap dari jauh untuk, barangkali, menerkam. Dan atau, hei, ternyata si keluarga itu membawa anjing pemburu. Maka saya harus bersiap, untuk lari secepat-cepatnya. Tapi hei, saya ini harimau. Adalah konyol jika saya lari menahan lapar hanya karena seekor anjing yang bertuan. Maka saya menimbang dan bersiap. Saya mengintai dari jauh.

Kita, atau saya, sebenarnya bisa jadi si manusia juga. Meski penuh persiapan, kita tak pernah tahu, akan ada bencana apa yang menanti kita di depan. Atau, mungkin, kenapa kita teralalu mudah menuduh bahwa harimau-harimau itu akan memangsa kita? Kenapa selalu ada prasangka yang buruk pada mereka?

Mengintai

“Harimau Minum” membaut saya kaget dan terdiam cukup lama. Paling lama. Sebesar inikah, rimba itu? Sehebat itukah, seekor harimau? Hingga ditakuti manusia. Ia tak ubahnya seekor lebah di sebuah tangkai bunga. Ternyata harimau tidak semenyeramkan itu. Ia, sama seperti halnya manusia bagi kampung atau kota, adalah warga belantara. Ia hidup di sana. Mengisi perutnya ketika fajar datang, dia meminum air telaga di pinggirannya. Berteduh di bawah pohon-pohonnya yang besar. Fak, fak, fak, pada mereka yang tega membunuhnya. Apapun alasannya. Entah karena dianggap mengancam ataupun hanya demi kulitnya (uh, apalagi yang ini!). Butuh berapa tahun untuk menjadikan sebatang pohon menjadi sekokoh itu? Dan juga, indahnya hutan tropis dan matahari pagi yang sinarnya menyesap malu-malu di pagi hari. Satu kata: proporsional, pas.

Harimau Minum

Yang membuat lama sebenarnya adalah ingatan yang membawa saya pada tegalan, semacam kebun kering, yang berbatasan langsung dengan hutan kepunyaan almarhum eyang saya. Di pojokannya ada semacam mata air dengan rimbunan pohon-pohon besar di samping kiri-kanannya, plus cerita bahwa, di sana biasanya macan minum. Saya yang kecil tentu saja berjanji tidak akan menginjak tegalan itu lagi, bahkan hingga sekarang. Ingatan melayang pada ibu saya, yang ketika itu mengajak saya turut serta ke sana. Pada almarhum eyang putri saya. Pada bayangan almarhum bapak kaki (eyang kakung), yang tidak sempat saya kenal. Jika benar dia itu adalah polisi hutan di masa itu, maka pasti dia banyak bertemu dengan harimau. Apakah dia pernah melihat secara langsung harimau minum? Apakah terlihat seindah ini? Karena saya hanya pernah melihat harimau di kebun binatang dan taman safari. Pasti rasanya tidak seindah melihat harimau hutan di hutan. Apalagi pengalaman melihat harimau di kebun binatang Jurug, mereka layak diberi 100kg daging koruptor agar matanya kembali bersinar.

Lukisan seperti apa  yang mampu menghidupkan imaji semacam itu? Selain faktor saya yang lebai, itu juga karena kehalusan detail san pelukis hingga menjadikan lukisan mampu bercerita. Mampu mengajak tiap-tiap yang melihat menciptakan ceritanya sendiri.

***

Kami, saya dan Mbak Dilla, yang berbaik hati mengajak saya mengenal “peradaban” yang sebenarnya di minggu pertama saya di Ibu Kota, puas berputar siang itu. Ada banyak pertanyaan berputar yang saya tidak tahu harus menanyakan pada siapa, atau memang saya saja yang bego, karena terlalu banyak tidak tahu. Tapi sudahlah, kesimpulan saya kala itu: “Setidaknya, kamu yang memulainya. Terimakasih, Raden Saleh…”

Dan, lalu, kami berbincang. “Mbak, tapi kok, agak ironis yah, kalimat terakhir di film dokumenter tadi…” Ternyata Mbak Dilla setuju dengan saya. Dalam film pendek yang mengisahkan kehidupan Raden Saleh, diceritakan bahwa ia meninggal dalam kondisi yang cukup tragis. Saya lupa tiga kata yang diucapkan (aduh), yang pasti ia merasa sakit hati karena dianggap memberontak Belanda, dan miskin.

Ah,

Miskin. Kata ini.

Ia hanya miskin cacian. Saya yakin.

Bahkan dia berhasil membawa saya mengenal peradaban. Sebuah peradaban yang sepertinya harus saya kenali tahap-demi-tahap. Kembali ke abad ketika semuanya bermula dari pertama-tama. Seperti hidup saya hari itu juga kembali pada bagian yang pertama-tama...

Tuesday, June 19, 2012

...undangan pernikahan


Waktu itu, setelah isya.

Malam itu, sepertinya kami bertemu setelah syukuran ulang tahun organisasi yang mempertemukan saya dengan dia, kami. Sebagai kawan baru. Sebagai anak magang. Sebagai orang yang sama-sama belajar dari awal, tentang pers (whatdefak! Hell, tidak satupun diantara kita meneruskannya menjadi semacam pekerjaan hingga sekarang), dan tentu saja tentang organisasi. Akhirnya sebagai pengurus, dan lalu juga menjadi semacam orang yang lebih dianggap tahu karena mengenal organisasi lebih lama, meski belum tentu lebih tahu dan lebih pintar.

Kali itu kami tidak bicara tentang organisasi lagi. Buat apa? Ini bukan waktu kita lagi. Kami berdua percaya itu, sudah habis waktu kami untuk terlalu banyak omong ini-itu yang katanya demi organisasi atau apalah. Waktu kami memperjuangkannya sudah lewat, sekarang saatnya mereka yang lebih muda dan lebih bersemangat untuk melanjutkan atau bisa juga membuat perubahan bila diperlukan. Bukan, bukan kita tak peduli, tapi di sistem organisasi semacam ini, rasa-rasanya bukan saatnya lagi orang tua terlalu banyak omong. Apalagi jika tidak diminta.  Kan kami, eh, saya sudah tidak diperlukan lagi, tho?

Tebak apa, dia mengajak saya bicara tentang pernikahan.

Apalagi yang kita cari setelah lulus, dan bekarja? Menikah pun salah satu dari ibadah. Kalaulah memang telah siap, kenapa tidak? Kurang lebih semacam itu analogi dan apologi dia tentang pernikahan. Dan iya, catat, usianya jauh lebih tua dari saya sekitar dua atau tiga setengah tahun. Usia, yang baginya, sudah cukup matang untuk menghadapi pernikahan.

Terbayangkan? Ya, pernikahan. Dalam benak saya kala itu, apa ya? Sepertinya waktu itu saya membayangkan pernikahan dengan pacar saya kala itu. “Aduh, kok jauh sekali yah?” ujar saya, dan lalu tertawa seperti biasa. Mungkin karena saya baru saja merayakan ulangtahun ke-21, dan saya merasa masih agak terlalu jauuuuh untuk memikirkannya. Catat, waktu itu kami memulai pembicaraan prihal pernikahan ketika dia bilang usianya sudah cukup matang. Lalu saya menghitung usia saya, saya kira bayangan saya tentang pernikahan baru saja bertunas. Jauh, hingga masa matang.

Panjang kami mengurainya satu per satu.

Dari mulai usia. Dengan siapa, dan atau tepatnya, orang yang seperti apa. Akan bagaimana nanti menjalaninya. Tentang prosesi dan kepercayaan. Tentang orang tua dan keluarga kami dan hidup mereka selanjutnya pasca pernikahan. Hingga tentang memiliki anak, menghitung biaya hidup, atau hal-hal pelik dan remeh lainnya.

Satu hal yang pasti, dengan segala kelebihan dan kekurangannya kala itu, sepertinya dia memandang menikah adalah satu hal yang akan dilakukannya dalam waktu dekat.

***

Bukan awal pertama dia menukar ceritanya tentang pernikahan dengan saya. Meski, mungkin, banyak hal di antara saya terlalu berbeda dengan dia atau bahkan berbeda pendapat. Tapi di sisi lain, hal tersebut memberi saya pemahaman tentang makna pernikahan sebelumnya. Termasuk merubah pandangan saya tentang pernikahan sebelumnya. O, tidak, saya tidak pernah berfikiran buruk tentang pernikahan kok. Saya sedari dulu selalu merasa bahwa pernikahan itu adalah hal membahagiakan yang akan dirasakan tiap orang, dengan caranya masing-masing. Titik balik untuk menjadi lebih baik dan bahagia. Dengan caranya masing-masing.

Hanya saja, ada beberapa pertanyaan yang sebelumnya tidak bisa saya jawab atau saya jawab dengan terlalu arogan akan beberapa hal tentang pernikahan akhirnya bisa saya jawab atau saya jawab dengan lebih masuk akal, dan atau, bijak. Apa itu? Tentu bukan hal yang layak diceritakan di sini.

Karena ini adalah tentang dia.

Tentang kawan saya dan pandangan dia tentang pernikahan.

Tentang kawan saya dengan alur hidupnya, yang bagi saya, terasa sangat sempurna bagi dia. Jarang saya menemukan dia terlalu bersusah hati menjalani hidup. Meski kadang saya merasa dia kurang cepat, cekat, dan tidak terlalu banyak tahu, hhhaaa… dia adalah salah satu orang yang terlihat menikmati hidupnya. Se-ada-adanya dia. Polos. Menerima apa yang ada dengan santai. Tekun menjalani apa yang seyogianya harus ia jalani dengan sebaik-baiknya.

Kebetulan, dalam beberapa hal tentang menghadapi beberapa hal dalam hidup, kami sering sependapat. Mungkin karena pada dasarnya kami sama-sama dibesarkan di lingkungan pedesaan yang terbuka dan sama-sama mencintai keluarga.

Saya sering bilang kepada kawan-kawan yang lain: hidup dia itu lurusss banget, nyenengin liatnya.

Pun dengan kisah cintanya.

Kisah cinta yang kembali membawa rasa percaya saya pada kekuatan cinta. Bukan, bukan saya nggak percaya cinta. Tapi, setidaknya, kisahnya membuat saya merasa bahwa akan ada balasan stimpal bagi mereka yang setia dan kukuh dengan pilihannya. Masih banyak kisah cinta luar biasa diantara kisah kacangan dalam drama hipnotis Uya Kuya dan lagu cengeng yang penuh perslingkuhan.

Tentang seorang spesial yang akhirnya mampu memaksanya membelikan sebuah hadiah untuk pertama kalinya. Tentang usahanya membungkus si kado, dan meminta saya mengajarinya cara membungkus kado. Dan jujur, serius yah, karena itu benda modelnya nggak tipe saya, kok rada aneh saya ngelihatnya. Hhaaa… Tapi, tentu saja saya bilang, “Iya, hadiahnya bagus. Dia pasti suka kok, udah cepet dibungkus gih…”. Demi melihat raut bahagianya dan menikmati aura jatuh cinta, yang jarang sekali saya lihat.

Saya percaya dia adalah pasangan yang baik.

Seperti saya percaya, dia adalah seorang pemimpin yang baik.

Meski kadang gampang terpojok, tapi dia selalu membuka ruang untuk berdiskusi. Lebih memilih diam jika tidak tahu, untuk selanjutnya bertanya. Tidak terlalu senang mendramatisir berbagai hal. Dan selalu berfikiran positif.

Saya tahu dia akan menikahi perempuannya ini. Waktu itu, di malam syukuran itu. Kami bercerita cukup banyak. Seperti saya juga tahu, saya sepertinya tidak akan menikah dengan pacar saya kala itu. Makanya saya bingung untuk memberikan pendapat tentang masa depan hubungan saya kala itu, toh akhirnya memang berakhir. See? Saya belajar sama kamu, San.

Setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik. Apalagi orang kayak saya, iya kan?

Dua minggu yang lalu kami sempat bercerita panjang di YM. Yang anehnya dia salah menuliskan tanggal rencana pernikahannya. Mungkin waktu itu masih agak rahasia. Meskipun kemudian saya koar-koar mengabarkan ke beberapa kawan lain untuk segara bersiap, siapa tahu ingin meluangkan waktu untuk datang atau membeli kondom sebanyak-banyaknya.

Hari ini, Hasan, resmi meminta doa restu untuk pernikahannya esok, di bulan depan.

Saya menuliskannya sekarang saja, selamatnya, toh saya yakin, nggak ada pamali-pamalian di perkara kasih selamat. Iya, saya pasti menyusul kok.

Karena entah mengapa, saya benar-benar turut berbahagia. Sekali.

Untuk Hasan, kawan saya itu…

Yang tidak berhenti beceloteh tentang pernikahan, sejak setahunan lalu. Dia akan menikah.

Semoga saya bisa datang dan membungkuskan kado untuk kamu dan istrimu nanti.

Dan iya,
Mengenalkanku sama ibukmu… hhaaaa…
Pemret-mu sing paling ayu. Yihi!