Friday, June 22, 2012

... mengenal peradaban


Gambarkan gambar pohon.

Gambarkan gambar pemandangan.

Pohon. Maka saya akan menggambar dua garis vertikal dengan tidak terlalu lurus, sebagai batang. Lalu bulatan dengan ujung cembung mengelilingi si batang tadi dari ujung satu ke ujung lainnya. Saya menganggapnya itu pohon. Pohon beringin mungkin, pohon randu mungkin, pohon angsana mungkin. Walaupun sebenarnya itu lebih mirip rambut Si Kribo di kartun mingguan Harian Kompas.

Pemandangan. Maka saya akan menggambar dua buah gundukan segitiga, yang saya maksudkan sebagai gunung. Lalu di tengahnya, saya akan membuat dua garis diagonal, saya tarik sejajar dan semakin melebar hingga bagian bawah kertas gambar. Sungai. Lalu bulatan-bulatan kecil di dalamnya yang saya maksudkan sebagai batu. Di samping kiri-kanannya, saya akan membuat garis horizontal dan vertikal saling menyilang, hingga membetuk kotakan-kotakan lalu mengisinya dengan semacam cek “V” di dalamnya. Sawah dan padinya. Tidak lupa, tentu saja, bulatan indah di atas gunung, dengan warna kuning menyala, matahari. Tak lupa, iringan awan berarak dalam bulatan cembung-cembung menggumpal.

Standar? Banget!

Tapi saya percaya, dan berani taruhan, mereka yang notabene tidak jago gambar atau sekurang-kurangnya, tidak cukup kreatif, pasti akan menggambar hal demikian itu…

Sampai suatu hari, pada sebuah kesempatan di mana saya harus menggambarkannya, ada ketentuan, “menggambar pohon bukan dengan semacam ini (lalu si pengarah menggambarkan pohon versi “saya” sebelumnya)”. Saya pun menggambar entah pohon apa. Dan lalu menggambarkan suasan perkampungan dengan banyak (pura-puranya) rumah untuk menggantikan gambar gunung-gunung dan sawah.

***

Bagaimana menerjemahkan sesuatu yang pernah kita lihat, atau justru hanya pernah kita bayangkan menjadi sebuah gambar realis? Jangan tanya saya. Karena saya tentu saja tidak bisa. Tanyakan pada saya seperti apa maestro lukis realis yang pernah Indonesia punya merealisasikan ide dan visualisasinya pada karya lukis yang benar-benar realis. Benar-benar detail.

Beruntunglah kita, setidaknya saya, pernah punya kesempatan langka untuk mendatangi salah satu pameran, yang bisa jadi akan diadakan beberapa tahun lagi, atau bahkan puluhan tahun lagi. Bahkan, kabarnya, ini adalah pameran pertama karya maestro lukis asli Indonesia ini di tanah airnya sendiri, pun ternyata diprakarsai oleh lembaga kebudayaan Jerman (plus korporasi Jerman sebagai rekanan). 

Melihat lebih dekat, hingga dekat sekali, detail goresan tangan Raden Saleh mengajak saya mengambil kesimpulan: “Setidaknya, dari Raden Saleh, pelukis-pelukis setelahnya memiliki acuan akan sebuah ‘lukisan’. Dan tentu saja, acuan belajar bagi para perupa setelah-setelahnya.” Kenapa saya menggunakan kata “setidaknya”. Karena, kalaulah bukan Sang Pangeran dari Semarang ini yang memang sudah dari sananya memiliki bakat cemerlang dan mendapatkan kesempatan mendalami seni lukis di Eropa (Belanda, Jerman, Prancis, bahkan hingga Aljazair), lalu membuat semacam “kurikulum” (ada istilah yang digunakan saat itu, tapi saya lupa) untuk pendidikan seni rupa (menggambar) di Hindia Belanda, pastilah akan ada Raden Entah Siapa, yang akan memiliki kesempatan itu. Hingga menjadikan hidup dunia seni rupa di Indonesia hingga kini.

Saya luruskan, oke, saya percaya tidak ada acuan tetap dalam membuat karya.

Tapi, melihat deretan semacam ‘acuan belajar’ untuk pendidikan menggambar (ini ada istilah Belanda-nya, tapi sumpah saya lupa namanya apa), ingatan saya memang langsung melayang pada masa-masa belajar saya. Man? Jangan-jangan, kurikulum (atau anggapan) yang sama akan pemandangan dari abad ke-18 hingga abat 21 ini ternyata masih sama. Atau memang seperti itulah lansekap negeri kita, hingga para orientalis menamakan tanah air kita ini dengan sebutan mooi indische, Hindia Belanda yang Cantik. Gunung, sungai yang mengaliri sawah-sawah. Terasa sangat Magelang atau Temanggung sekali, yang kebetulan memiliki pemandangan dua gunung berjejeran.

Raden Saleh menghabiskan sekitar dua puluh tahun di Eropa untuk sebuah “penemuan jati diri” atas karya-karyanya. Dunia mengaku kehebatannya dalam menciptakan detail dan menjadikah hidup sosok-sosok dalam karyanya yang utamanya didominasi oleh lukisan binatang, pertempuran (manusia-manusia, binatang-manusia), lansekap, dan portrait. Setelah habis masa menempuh ‘beasiswa’ belajar dari kerajaan Belanda, ia ditarik pulang ke Hindia Belanda untuk mengurus lukisan-lukisan pemerintah Belanda dan membuat semacam kurikulum itu tadi. Tak lupa, tentu saja ia tetap melukis, umumnya adalah lukisan portrait pejabat Belanda.

Sebenarnya saya tertarik tentang proses pembuatan (semacam) kurikulum itu tadi.

Apa saja yang dilakukannya?

Karya-karya realis menggambarkan berbagai macam benda perabotan, berbagai jenis pohon (dengan bentuk daun berbeda-beda tentu saja), dan pemandangan alam. Ya, kehalusan semacam itu di abad itu, tahun 18-sekian-sekian, tentu saja luar biasa. Pertanyaan saya kembali melanglang buana, siapa yang belajar? Anak-anak keturunan Belanda? Anak-anak Bupati? Ahh…

Sebenarnya saya kehabisan pertanyaan. Sekaligus kehabisan kata-kata.

Termasuk ketika berdiri diam di dua lukisannya.

Bukan, bukan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang terkenal itu. Saya tidak kebagian ruang untuk menikmati lukisan besar itu karena banyak pengunjung yang ramai berfoto di depannya. Saat itu, diam-diam saya bersyukur, tiga tahunan lalu ditegur keras bahwa karya lukisan (atau karya apa saja) tidak selayaknya untuk dipegang atau (hanya) dijadikan latar untuk berfoto. Kecuali jika sepi, saya membuat pembelaan diri. Tapi memang benar, agak membuat kehilangan minat bagi pengunjung lain, ternyata.

Saya terpesona dengan dua karya: “Mengintai” dan “Harimau Minum”.

Keduanya melibatkan Harimau, yang bagi saya, terasa hidup. Membuat saya ingin lari sambil menahan kencing sekaligus merinding. Seakan-akan, sedetik saja Harimau itu menyadari keberadaan saya, maka dia akan mendekat dan menatap tajam di mata saya. Lalu, mungkin, memangsa saya.

“Mengintai”, mengajak saya menjadi salah satu harimau di dalamnya. Ketika di sebuah sore yang agak terik, di antara rerumputan dan bebatuan, telah lama menahan lapar, lewatlah satu keluarga manusia. Lalu apa lagi? Saya bersiap dari jauh untuk, barangkali, menerkam. Dan atau, hei, ternyata si keluarga itu membawa anjing pemburu. Maka saya harus bersiap, untuk lari secepat-cepatnya. Tapi hei, saya ini harimau. Adalah konyol jika saya lari menahan lapar hanya karena seekor anjing yang bertuan. Maka saya menimbang dan bersiap. Saya mengintai dari jauh.

Kita, atau saya, sebenarnya bisa jadi si manusia juga. Meski penuh persiapan, kita tak pernah tahu, akan ada bencana apa yang menanti kita di depan. Atau, mungkin, kenapa kita teralalu mudah menuduh bahwa harimau-harimau itu akan memangsa kita? Kenapa selalu ada prasangka yang buruk pada mereka?

Mengintai

“Harimau Minum” membaut saya kaget dan terdiam cukup lama. Paling lama. Sebesar inikah, rimba itu? Sehebat itukah, seekor harimau? Hingga ditakuti manusia. Ia tak ubahnya seekor lebah di sebuah tangkai bunga. Ternyata harimau tidak semenyeramkan itu. Ia, sama seperti halnya manusia bagi kampung atau kota, adalah warga belantara. Ia hidup di sana. Mengisi perutnya ketika fajar datang, dia meminum air telaga di pinggirannya. Berteduh di bawah pohon-pohonnya yang besar. Fak, fak, fak, pada mereka yang tega membunuhnya. Apapun alasannya. Entah karena dianggap mengancam ataupun hanya demi kulitnya (uh, apalagi yang ini!). Butuh berapa tahun untuk menjadikan sebatang pohon menjadi sekokoh itu? Dan juga, indahnya hutan tropis dan matahari pagi yang sinarnya menyesap malu-malu di pagi hari. Satu kata: proporsional, pas.

Harimau Minum

Yang membuat lama sebenarnya adalah ingatan yang membawa saya pada tegalan, semacam kebun kering, yang berbatasan langsung dengan hutan kepunyaan almarhum eyang saya. Di pojokannya ada semacam mata air dengan rimbunan pohon-pohon besar di samping kiri-kanannya, plus cerita bahwa, di sana biasanya macan minum. Saya yang kecil tentu saja berjanji tidak akan menginjak tegalan itu lagi, bahkan hingga sekarang. Ingatan melayang pada ibu saya, yang ketika itu mengajak saya turut serta ke sana. Pada almarhum eyang putri saya. Pada bayangan almarhum bapak kaki (eyang kakung), yang tidak sempat saya kenal. Jika benar dia itu adalah polisi hutan di masa itu, maka pasti dia banyak bertemu dengan harimau. Apakah dia pernah melihat secara langsung harimau minum? Apakah terlihat seindah ini? Karena saya hanya pernah melihat harimau di kebun binatang dan taman safari. Pasti rasanya tidak seindah melihat harimau hutan di hutan. Apalagi pengalaman melihat harimau di kebun binatang Jurug, mereka layak diberi 100kg daging koruptor agar matanya kembali bersinar.

Lukisan seperti apa  yang mampu menghidupkan imaji semacam itu? Selain faktor saya yang lebai, itu juga karena kehalusan detail san pelukis hingga menjadikan lukisan mampu bercerita. Mampu mengajak tiap-tiap yang melihat menciptakan ceritanya sendiri.

***

Kami, saya dan Mbak Dilla, yang berbaik hati mengajak saya mengenal “peradaban” yang sebenarnya di minggu pertama saya di Ibu Kota, puas berputar siang itu. Ada banyak pertanyaan berputar yang saya tidak tahu harus menanyakan pada siapa, atau memang saya saja yang bego, karena terlalu banyak tidak tahu. Tapi sudahlah, kesimpulan saya kala itu: “Setidaknya, kamu yang memulainya. Terimakasih, Raden Saleh…”

Dan, lalu, kami berbincang. “Mbak, tapi kok, agak ironis yah, kalimat terakhir di film dokumenter tadi…” Ternyata Mbak Dilla setuju dengan saya. Dalam film pendek yang mengisahkan kehidupan Raden Saleh, diceritakan bahwa ia meninggal dalam kondisi yang cukup tragis. Saya lupa tiga kata yang diucapkan (aduh), yang pasti ia merasa sakit hati karena dianggap memberontak Belanda, dan miskin.

Ah,

Miskin. Kata ini.

Ia hanya miskin cacian. Saya yakin.

Bahkan dia berhasil membawa saya mengenal peradaban. Sebuah peradaban yang sepertinya harus saya kenali tahap-demi-tahap. Kembali ke abad ketika semuanya bermula dari pertama-tama. Seperti hidup saya hari itu juga kembali pada bagian yang pertama-tama...

1 comment:

  1. wooooowww... tulisannya bagus sekali.. kritis, enak dibaca, dan membuat pemabacanya berpikir.
    jdi teringat tulisan Sartika Dian yang juga menulis tentang Raden Saleh. tp kali ini, perspektif yang diambil berbeda sekali.

    hmm.. setelah membaca tulisan di atas, bisa diambil suatu kesimpulan bahwa memang lukisan bisa jadi saksi sejarah suatu peradaban/era. dan dari lukisan Raden Saleh lah kita bisa melihat peradaban/era Indonesia masa silam.

    ReplyDelete