Tuesday, June 19, 2012

...undangan pernikahan


Waktu itu, setelah isya.

Malam itu, sepertinya kami bertemu setelah syukuran ulang tahun organisasi yang mempertemukan saya dengan dia, kami. Sebagai kawan baru. Sebagai anak magang. Sebagai orang yang sama-sama belajar dari awal, tentang pers (whatdefak! Hell, tidak satupun diantara kita meneruskannya menjadi semacam pekerjaan hingga sekarang), dan tentu saja tentang organisasi. Akhirnya sebagai pengurus, dan lalu juga menjadi semacam orang yang lebih dianggap tahu karena mengenal organisasi lebih lama, meski belum tentu lebih tahu dan lebih pintar.

Kali itu kami tidak bicara tentang organisasi lagi. Buat apa? Ini bukan waktu kita lagi. Kami berdua percaya itu, sudah habis waktu kami untuk terlalu banyak omong ini-itu yang katanya demi organisasi atau apalah. Waktu kami memperjuangkannya sudah lewat, sekarang saatnya mereka yang lebih muda dan lebih bersemangat untuk melanjutkan atau bisa juga membuat perubahan bila diperlukan. Bukan, bukan kita tak peduli, tapi di sistem organisasi semacam ini, rasa-rasanya bukan saatnya lagi orang tua terlalu banyak omong. Apalagi jika tidak diminta.  Kan kami, eh, saya sudah tidak diperlukan lagi, tho?

Tebak apa, dia mengajak saya bicara tentang pernikahan.

Apalagi yang kita cari setelah lulus, dan bekarja? Menikah pun salah satu dari ibadah. Kalaulah memang telah siap, kenapa tidak? Kurang lebih semacam itu analogi dan apologi dia tentang pernikahan. Dan iya, catat, usianya jauh lebih tua dari saya sekitar dua atau tiga setengah tahun. Usia, yang baginya, sudah cukup matang untuk menghadapi pernikahan.

Terbayangkan? Ya, pernikahan. Dalam benak saya kala itu, apa ya? Sepertinya waktu itu saya membayangkan pernikahan dengan pacar saya kala itu. “Aduh, kok jauh sekali yah?” ujar saya, dan lalu tertawa seperti biasa. Mungkin karena saya baru saja merayakan ulangtahun ke-21, dan saya merasa masih agak terlalu jauuuuh untuk memikirkannya. Catat, waktu itu kami memulai pembicaraan prihal pernikahan ketika dia bilang usianya sudah cukup matang. Lalu saya menghitung usia saya, saya kira bayangan saya tentang pernikahan baru saja bertunas. Jauh, hingga masa matang.

Panjang kami mengurainya satu per satu.

Dari mulai usia. Dengan siapa, dan atau tepatnya, orang yang seperti apa. Akan bagaimana nanti menjalaninya. Tentang prosesi dan kepercayaan. Tentang orang tua dan keluarga kami dan hidup mereka selanjutnya pasca pernikahan. Hingga tentang memiliki anak, menghitung biaya hidup, atau hal-hal pelik dan remeh lainnya.

Satu hal yang pasti, dengan segala kelebihan dan kekurangannya kala itu, sepertinya dia memandang menikah adalah satu hal yang akan dilakukannya dalam waktu dekat.

***

Bukan awal pertama dia menukar ceritanya tentang pernikahan dengan saya. Meski, mungkin, banyak hal di antara saya terlalu berbeda dengan dia atau bahkan berbeda pendapat. Tapi di sisi lain, hal tersebut memberi saya pemahaman tentang makna pernikahan sebelumnya. Termasuk merubah pandangan saya tentang pernikahan sebelumnya. O, tidak, saya tidak pernah berfikiran buruk tentang pernikahan kok. Saya sedari dulu selalu merasa bahwa pernikahan itu adalah hal membahagiakan yang akan dirasakan tiap orang, dengan caranya masing-masing. Titik balik untuk menjadi lebih baik dan bahagia. Dengan caranya masing-masing.

Hanya saja, ada beberapa pertanyaan yang sebelumnya tidak bisa saya jawab atau saya jawab dengan terlalu arogan akan beberapa hal tentang pernikahan akhirnya bisa saya jawab atau saya jawab dengan lebih masuk akal, dan atau, bijak. Apa itu? Tentu bukan hal yang layak diceritakan di sini.

Karena ini adalah tentang dia.

Tentang kawan saya dan pandangan dia tentang pernikahan.

Tentang kawan saya dengan alur hidupnya, yang bagi saya, terasa sangat sempurna bagi dia. Jarang saya menemukan dia terlalu bersusah hati menjalani hidup. Meski kadang saya merasa dia kurang cepat, cekat, dan tidak terlalu banyak tahu, hhhaaa… dia adalah salah satu orang yang terlihat menikmati hidupnya. Se-ada-adanya dia. Polos. Menerima apa yang ada dengan santai. Tekun menjalani apa yang seyogianya harus ia jalani dengan sebaik-baiknya.

Kebetulan, dalam beberapa hal tentang menghadapi beberapa hal dalam hidup, kami sering sependapat. Mungkin karena pada dasarnya kami sama-sama dibesarkan di lingkungan pedesaan yang terbuka dan sama-sama mencintai keluarga.

Saya sering bilang kepada kawan-kawan yang lain: hidup dia itu lurusss banget, nyenengin liatnya.

Pun dengan kisah cintanya.

Kisah cinta yang kembali membawa rasa percaya saya pada kekuatan cinta. Bukan, bukan saya nggak percaya cinta. Tapi, setidaknya, kisahnya membuat saya merasa bahwa akan ada balasan stimpal bagi mereka yang setia dan kukuh dengan pilihannya. Masih banyak kisah cinta luar biasa diantara kisah kacangan dalam drama hipnotis Uya Kuya dan lagu cengeng yang penuh perslingkuhan.

Tentang seorang spesial yang akhirnya mampu memaksanya membelikan sebuah hadiah untuk pertama kalinya. Tentang usahanya membungkus si kado, dan meminta saya mengajarinya cara membungkus kado. Dan jujur, serius yah, karena itu benda modelnya nggak tipe saya, kok rada aneh saya ngelihatnya. Hhaaa… Tapi, tentu saja saya bilang, “Iya, hadiahnya bagus. Dia pasti suka kok, udah cepet dibungkus gih…”. Demi melihat raut bahagianya dan menikmati aura jatuh cinta, yang jarang sekali saya lihat.

Saya percaya dia adalah pasangan yang baik.

Seperti saya percaya, dia adalah seorang pemimpin yang baik.

Meski kadang gampang terpojok, tapi dia selalu membuka ruang untuk berdiskusi. Lebih memilih diam jika tidak tahu, untuk selanjutnya bertanya. Tidak terlalu senang mendramatisir berbagai hal. Dan selalu berfikiran positif.

Saya tahu dia akan menikahi perempuannya ini. Waktu itu, di malam syukuran itu. Kami bercerita cukup banyak. Seperti saya juga tahu, saya sepertinya tidak akan menikah dengan pacar saya kala itu. Makanya saya bingung untuk memberikan pendapat tentang masa depan hubungan saya kala itu, toh akhirnya memang berakhir. See? Saya belajar sama kamu, San.

Setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik. Apalagi orang kayak saya, iya kan?

Dua minggu yang lalu kami sempat bercerita panjang di YM. Yang anehnya dia salah menuliskan tanggal rencana pernikahannya. Mungkin waktu itu masih agak rahasia. Meskipun kemudian saya koar-koar mengabarkan ke beberapa kawan lain untuk segara bersiap, siapa tahu ingin meluangkan waktu untuk datang atau membeli kondom sebanyak-banyaknya.

Hari ini, Hasan, resmi meminta doa restu untuk pernikahannya esok, di bulan depan.

Saya menuliskannya sekarang saja, selamatnya, toh saya yakin, nggak ada pamali-pamalian di perkara kasih selamat. Iya, saya pasti menyusul kok.

Karena entah mengapa, saya benar-benar turut berbahagia. Sekali.

Untuk Hasan, kawan saya itu…

Yang tidak berhenti beceloteh tentang pernikahan, sejak setahunan lalu. Dia akan menikah.

Semoga saya bisa datang dan membungkuskan kado untuk kamu dan istrimu nanti.

Dan iya,
Mengenalkanku sama ibukmu… hhaaaa…
Pemret-mu sing paling ayu. Yihi!

2 comments:

  1. jadi aku harus bungkus kado pernikahanmu kapan di?
    hihihihi :D

    ReplyDelete
  2. carikan aku satu pemuda, maka kamu akan segera bungkus kado alin... :D *halah*

    aku nyiapin kado buatmu dulu lah lin... :)

    ReplyDelete