Sunday, June 24, 2012

...lovable worker

Waktu itu, malam tahun baru di Maliboro. Perut lapar dan jam menunjukan sekitar pukul dua dini hari. Melihat sekeliling, mencari makanan yang bisa mengganjal perut yang belum terisi dari sore demi melihat kembang api di pusat kota Jogja itu. KFC menjadi pilihan kami. Waralaba yang beberapa gerainya memang benar-benar buka selama dua puluh empat jam. Walaupun bukan penyuka ayam, ayam KFC yang masih hangat emang beneran crispy.

Pun begitu dengan kawan senegara, McD. (e, Pizza Hut itu dari amerika juga bukan?). 

Yang diharapkan dari tempat makan cepat saji macam itu tentu saja adalah pelayanan yang cepat dan cekatan. Para pramuniaga benar-benar cepat melayani. Ibaratnya, jangan sampai konsumen merasa dikibuli dengan imej yang sudah kelanjur melekat akan kecepatannya. Nah, berbanding lurus dengan anggapan akan imejnya, tidak sedikit diantara kita yang memilih makan di waralaba macam itu (mulai dari karena ayamnya, burgernya, pizanya, kopinya, es krimnya), karena kecepatannya, kepraktisannya. Maka, jangan heran, antri panjang bisa dilihat di beberapa gerainya.

Apalagi jika itu adalah gerai-gerai strategis dan di jam makan. Apalagi jika keduanya bertemu di hari libur. Selamat main ular-ularan dengan beberapa orang yang tiba-tiba berubah tidak sabar.

Selamat bertemu dengan para mbak-mbak dan mas-mas yang tangannya bergerak cepat. Menyiapkan makanan, minuman, membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan, mengepel lantai di sekitaran wastafel, atau membungkus, pun mungkin ada kehebohan yang sama di dapurnya. Dan tak lupa, mereka tetap tersenyum.

Ya, kesibukan yang sama memang tidak hanya terlihat di tempat makan cepat saji sih. Pemandangan yang sama akan kita temukan juga di semuaaa tempat makan yang sedang ramai.

Tapi, dari pengalaman saya yang tak seberapa, waralaba cepat saji sepertinya memiliki standar yang hampir sama. Tersenyum, meminta maaf jika ada ketidaknyamanan, dan berterimakasih. Mulai dari satpam, mbak-mbaknya, dan bahkan, manajer.

Sebenarnya ini  adalah rasa ketidakenakan saya pada salah satu manajer waralaba yang baru saja saya datangi sore tadi, dan, ingatan atas satu tulisan seorang presenter kondang.

Sore tadi, selepas sore yang agak mengesalkan karena (lagi-lagi) tak kebagian tiket kereta untuk bepergian padahal dari tempat saya menuju stasiun itu lumayan jauh. Nggak cuma lumayan, emang jauh! Kehabisan tiket untuk semua kelas. Beruntung tidak harus terjebak di terminal busway terlalu lama dan harus berdiri sepanjang perjalanan antara Jakarta Timur hingga Barat. 

Meski sudah makan sup rumput laut dengan porsi super banyak hingga kenyang, tapi sepertinya energi saya sudah terkuras karena sedikit jalan-jalan di mall yang arsitekturnya adalah yang paling keren sepanjang pengalaman bepergian saya melihat mall, maklum, pengalaman saya sedikit. Di fx. Dan iya, itu, sop rumput lautnya enak banget juga. Dan, yah, lemes selemes-lemesnya atas kisah kehabisan tiket. Beruntung si Mayang menenangkan saya, bahwa ada bus yang berangkat malam hari dari sini. 

Keluar dari halte terdekat dengan tempat saya tinggal, ada gerai McD. Saya sudah merencanakan untuk belie s krimnya dulu setelah turun dan sebelum menyetop angkot. Masuk McD, dua konternya masih antri. Saya memilih antrian yang terlihat lebih sedikit. Hanya ada sekitar empat orang di depan saya.

Nah, ketika tinggal ada dua orang di depan saya. Tanpa sengaja saya menghela nafas cukup panjang sekali dan, ehm, sepertinya keras. Iya, saya capek. Tapi sumpah, ini bukan karena masalah antri. Toh saya cum antri empat orang yang dilayani cepat juga. Saya belum berdiri lebih dari lima menit kok. Nah, tanpa saya sadari, di samping saya berdiri sang manajer. Tebak apa, karena (pastinya) dia mendengar saya menarik nafas. Tiba-tiba beliau meminta maaf pada saya. Tentu saya jawab tidak apa-apa sambil tersenyum manis. Lagipula raut muka bapaknya terlihat tulus.

Dan, ini dia. Ketidakenakan kedua terjadi. Tanpa diduga, si bapak menuju belakang konter, beliau melayani saya langsung. Beliau yang membuat Sunday Strawberry saya (dan buahnya banyak sekali, seriusss). Dan waktu saya menunggu minuman yang saya pesan, beliau mengingatkan seorang pelayannya untuk segera menyiapkan cola pesenan saya juga. Hah?

Selesai pesanan saya (yang adalah minuman semua), tak lupa saya bertrimakasih pada bapak manajer berperawakan kecil itu. Ah, saya agak-agak tidak enak sebenarnya. 

Bilang saya kepedean. Tapi entah kenapa, saya yakin bapaknya tadi mendengar saya menghela nafas cukup panjang ketika menatap daftar menu.

Lalu saya teringat tulisan di blog salah satu pembawa acara talk show yang cukup keren acaranya. Beliau bercerita, pada satu hari, beliau bertemu dengan seorang laki-laki muda di Starbucks yang sedang mengepel lantai gerai waralaba kopi super mahal itu. Dia terenyuh, terharu, sekaligus bangga. Kenapa? Karena pemuda itu adalah anaknya sendiri.

Tentu saja mereka adalah keluarga berada. Si bapak yang mencoret dengan silang besar di copy-an yang saya buat untuk promo acaranya ini saja bisa dibilang cukup senior di dunia jurnalistik dan tivi. Tapi, dalam catatannya, dia bilang, memang dia sendiri yang menyuruh si sulung untuk sekali-kali merasakan bagaimana rasanya berada di posisi “pelayan” agar kita tak semau sendiri ketika menjadi “orang yang dilayani”. Ternyata si anak benar-benar melakukannya. Yah, dan, ketika pada satu kesempatan mereka bertemu dan si anak berada pada posisi “pelayan” dan keluarganya sendiri yang harus “dilayani”, si bapak benar-benar merasa terharu. Toh si anak tidak terlihat kikuk dan tetap tersenyum-senyum senang. Justru yang pontang-panting adalah perasaan si bapak itu.

Iya, obrolan yang sama yang pernah saya dan dua orang kawan saya bicarakan di sebuah waralaba pizza. Waktu itu, kita tertarik untuk mencoba bekerja paruh di sana. Tujuannya, hampir sama. Karena waktu itu kita merasa sangat nyaman dan terkesan dengan pelayanan mereka, lalu teman saya bilang, “Hal semacam itu, melayani orang lain secara langsung, pasti benar-benar bisa melatih kesabaran kita menjadi manusia…”

Apa kabar saya?
Apa kabar kesabaran saya?
Apa pulalah itu pekerjaan saya yang hanya melamun-lamun?
Apa pulalah saya yang tidak bisa melihat dan menarik nafas panjang di waktu yang tepat?

Boro-boro minta maaf, berucap terimakasih aja sering lupa.
Ah,

Selama menulis ini, tiba-tiba saya merasa, mereka adalah para pekerja yang layak dicintai. Lovable worker. Mereka yang senyumnya, walaupun mungkin artifisial dan hanya sekedar prosedural, tapi mereka melakukannya dan tetap berusaha melayani kita sebaik-baiknya. Yang, ya, malah kita sambut dengan menarik nafas panjang. Eh, saya ding itu mah…

Ayo,
Mari besok kita membalasnya dengan terimakasih dan senyum yang manis.

1 comment: