Monday, February 27, 2012

...solo, o, solo, ooooo... #2

Happy, happy, syalalalaaaaa…

I will not leaving Solo, for a while.

---



Saya seneng deh, pas tahu, kalau saya tidak perlu buru-buru mengepak barang-barang saya dan meninggalkan kamar kost saya, teman kost saya, atau teman-teman yang lain. Setidaknya, sampai bulan-bulan depan. Dan lalu, saya mungkin akan meninggalkan Solo untuk sesuatu hal lainnya yang sepertinya, saya sulit mendapatkannya di Solo. Atau, entahlah.

Kata orang, ini jodoh. Termasuk jodoh saya dengan Solo barangkali harus segera diakhiri dalam waktu dekat.

Tapi, diam-diam, saya merasa Solo merupakan salah satu kota pilihan untuk tinggal. Iya, tinggal. Berharap suatu hari nanti saya akan berucap dengan yakin, kata “Pulang” dengan tujuan Solo, tidak hanya Banjar. Mungkin saya akan semakin “dianggap” keluarga oleh sahabat baik saya, Vicky, mungkin, jadi saya punya alasan untuk menyebut ke Solo sebagai “pulang”. Atau mengunjungi Bude, yang mengurusi kostan saya. Atau apa kek…

Tralalalaaaaaa….

Saya akan memiliki waktu lebih untuk sekedar melewati malam bersama Nindya di kamar kostan sampai pagi sambil ngelihatin Nindya lihat serial korea. Sementara saya googling atau baca majalah atau baca entahlah atau guling-guling…

Nemenin Syauqi ujian… yang sementara masih pending, karena prof. Totok sakit.

Menyemangati Vicky menyelesaikan skripsinya. Sementara saya belum bisa banyak membantu bbb, tak bantu nyemangatin dulu, hukyah, hukyah, syalalalabumbuuuuum…

Menunggu Leila ujian… juga Dini, juga semuaaaa…

Menyelesaikan yang harus diselesaikan. Sementara menunggu sambil mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lebih “sesuatu”. Semacam menunggu Centro apa Metro yang bakalan ada di Solo Paragon… (penting yah???)

Atau mungkin, sekedar mengulur waktu dan menyiapkan diri sambil mempersilahkan beberapa hal mengisi beberapa ruang yang harus diisi di sini… :) :) :)

...mixtape #2



I had no idea when the MC asked me about “My love song”.

Oh, mai… I fling around my eyes to Vicky, wishes have a clue. She has a boyfriend and love to sing Diana Rose’s song, so I think she has love song. Hheee… But, anyway, yah, I don’t have love song. Is love song is kind a, ehm, song for a couple? Or?

But, by the way, if you asked me about, which song I would play when I’m in love or just feel full of love. I’ll recommend these songs… Maybe, if you sing it in front of the girl/boy you want into, she/he will melt at the same time and want to be with you forever and ever, life happily ever-after. Hhhi… :D

So, this mixtape is: (full of) love mixtape. :D

 Yellow – Coldplay
Yellow is a poem. It’s enough.


Dia – Maliq&D’Essentials
The ambience of this song is just about a woman whose fall in love. Sweet and swinging. 


You – Mocca
“You, yes, is you, there I adore…”. Ah, just, sweet, you know? Sweet.


Mighty Love – Zeke And The Popo
Cheer up and so boyish. Honest and straight. “I guess it’s time to let love…”. And Zeke Khaseli with his “strange” sounds and effects.


 Jikalau – The Adams (cover version from Naif)
“Jikalau tlah datang, waktu yang dinanti, ku pasti bahagiakan, dirimu seorang. Ku harap dikau sabar…”. I’d prefer choose The Adams version than NAIF version. More powerful but stay lovable.


Kisah Romantis – Glenn Fredly
Hhhaaa… every woman do love this song, I think. I used to make this song as my ringtone for a loooong time… the intro is just, lovable.


Oh, Is It Love – Hellogoodbye
Oh, is it love? Ask to yourself while think about her/him.


The Zookeepers Boy – MEW
“Are you my lady, are you? My lady, are you? My lady, are you?” Magical intro, strange lyric, but unique arrangement. Even this song is talk about a zookeeper and giraffe. Hhhaaa. Just an another love song for me.



So, hey, try to listen for those songs if you fall in love. Yayeyaaaaao…

Wednesday, February 22, 2012

...untuk #meandmaliq




Pada awalnya, tulisan ini berisi seratus persen curhat, betapa satu album terakhir mereka benar-benar “saya banget”, semacam mengikuti apa yang ada di perasaan dan pikiran saya, atau mungkin sebaliknya, pikiran dan perasaan saya mengikuti lagu-lagu mereka yang terlalu sering saya dengarkan. Di akhir cerita, saya percaya dengan kalimat dalam lirik-lirik mereka.

Khususnya, pada single yang sedang sering diputar di radio-radio, “Penasaran”. Ah, padahal itu lagu udah bikin semacam pencerahan bagi saya dari akhir tahun kemarin. Gara-gara saya agak tidak yakin dengan judul ini, karena macam lagunya Rhoma Irama. Tapi, ternyata lagunya ‘sesuatu’ sekali. Tapi itu tidak penting.

Karena yang lebih penting, dan, menjadi alasan bagi saya untuk mencari dan membuka lagi bakal tulisan ini adalah karena ternyata bukan hanya saya yang memiliki semacam “kebetulan” yang sama. Jika ternyata lagu-lagu mereka pernah begitu mengena bagi banyak orang lain. Melalui #meandmaliq, ratusan orang mengaku: iya, lagu Maliq&D’Essentials punya makna di hidup saya.

Pada satu siang tanpa sengaja saya melihat lini masa dan menemukan hastag #meandmaliq. “Waaahhhh, ternyataa…,” pikir saya kala itu. Kemudian, saya bertekad menyelesaikan tulisan ini.

---

Diantara playlist radio yang memutar lagu-lagu pop dari band-band yang booming kala itu, “Terdiam” mampu menarik telinga saya yang cukup tergila-gila dengan Peterpan dan Nidji. Lebih kalem, lebih elegan, nyaman di telinga saya. Enak di dengernya, sederhana tapi kaya. Kalau diingat-ingat, karena referensi musik saya hanya radio top40, lagu dengan irama sejenis juga berasal dari Tompi (kala itu). Referensi musik saya memang terbatas.

Susul menyusul, “Kangen” dan “Untitled”, membuat kita semakin jatuh cinta pada kelompok unik ini.  Ketika kelompok musik lain berupaya menjadi yang terganteng diantara yang ganteng (kalo sekarang sedang booming boyband-girlband-kekorea-koreaan, dulu sedang booming band macam Peterpan, Nidji, Samson, Kerispatih, Letto, dan sebelumnya sudah ada Gigi dan Padi). Yup, uniknya berasal dari adanya Indah dan Dimi di vokal menemani Angga yang (saat itu) kribo. Mereka bukan backing vocal, mereka vocalist, dan sepertinya konsep ini kemudian dicontek oleh Ecoutez.

Beberapa kali berganti personil, termasuk keluarnya Dimi (belakangan dia punya album jazz sendiri) dan Satrio. Hingga munculah si ganteng Lale, yang menggantikan Satrio sejak 2009 (dan, ini, dianggap memberi banyak pengaruh pada musik Maliq). Jadilah formasi lengkap hingga sekarang adalah Angga dan Indah (vocal), Widi (drums), Jawa (bass), Ifa (keyboards), Lale (guitar) dan Amar (horns). Merekalah esensi dari Music And Live Instrument Quality (MALIQ).

Bagaimana dengan genre? Gara-gara langganan manggung di Java Jazz dan adanya unsur saksofon yang kental pada lagu-lagunya, banyak orang mengira mereka adalah musisi jazz. Tapi, sepertinya mereka lebih senang jika mereka dianggap sebagai musisi yang memainkan musik-musik soul, dengan ciri vokal yang penuh improvisasi, sedikit nge-blues, agak r&b, jazzy, dan tentu saja funk. Dalam satu wawancara, seingat saya, Indah pernah bilang bahwa mereka adalah kelompok pop-kreatif, daripada disebut sebagai kelompok jazz. Salah satunya adalah karena mereka memang memasukan banyak unsur musik selain jazz ke dalam ramuan lagu-lagu mereka.

Tapi Maliq (saya akan menuliskan Maliq saja ya…) bagi saya memang awal untuk lebih bisa menikmati saksofon dalam racikan yang jazzy. Jika harus memilih beberapa musisi lokal yang memasukan bebunyian dari horns dalam lagu-lagunya, saya memilih Maliq. Bisa dibilang, dalam waktu bersamaan lagu-lagu dengan unsure jazzy memang mulai keluar dan banyak diterima. Tak heran, beberapa event musik ataupun gelaran kampus dengan embel-embel jazz pasti memasang antara Maliq, Tompi, Andien, Ecoutez, atau belakangan juga Sandy Shandoro.

Dan saya kira, semua ini berkat “Terdiam”. Album 1st (First) membuka kesempatan bagi Maliq untuk menjadi salah satu kelompok yang harus mulai dicintai. Khususnya bagi saya.

Kembali di album ketiga (album kedua mereka adalah First Repackage), Free Your Mind, berisikan duabelas lagu (dan dua lagu versi remix) lebih kental dengan irama funk yang rancak. Terdengar macam Jamiroquai. Dan, sepertinya hanya single “Heaven” yang cukup banyak dikenal. Padahal, kalau boleh memilih, favorit saya di album ini adalah “Yang Pertama”, mungkin karena pada dasarnya saya lebih menyukai gaya Maliq di album sebelumnya yang terdapat di lagu ini.

Tapi, sepertinya, seperti ribuan fans Maliq lainnya, lagu “Dia” yang mampu membuat saya menyatakan diri sebagai penggemar Maliq. Apa yah? Lagu “Dia” itu ternyata mampu memberikan gambaran yang sangat-sangat-sangat menyenangkan tentang jatuh cinta.

Sebenarnya ini bisa-bisanya saya aja, yang entah kenapa selalu lebih senang lagu menyenangkan daripada lagu sedih-mendayu-memaksa-menyerah-putusasa-dsb. Single “Dia” dan “Kau Yang Bisa” kemudian dimasukan dalam album Free Your Mind Repacked. Dua single tersebut merupakan soundtrack film “Claudia/Jasmine”, kalau yang udah pernah nonton film-nya, itu salah satu film sederhana yang bagus. Film ringan yang bagus, macam “Hari Untuk Amanda”.

Sesederhana lagu “Dia”. Saya memang fans pada umumnya kok, yang menyukai lagu karena liriknya. Seperti saya benar-benar tersihir lirik “Yellow” milik Coldplay, atau lirik “You” milik Mocca, saya benar-benar tersihir lirik pada “Dia”. Polos dan jujur. Bagian ini deh, “Tanpa buah kata, dia curi hatiku. Dia tunjukan dengan tulus cintanya. Terasa berbeda, saat bersamanya. Aku jatuh cinta….”  (khusus bagian ini:“Tanpa buah kata, dia curi hatiku,” saya nggak apa yang ada di pikiran orang yang nyiptain kalimat itu pas nemu kalimat itu…)

Ya emang kalau lagi jatuh cinta, atau apalah isitilahnya, ya emang gitu adanya, apalagi kalau ternyata dia adalah orang selama ini kita inginkan. Pernah kan, satu hari, kita ketemu orang, e, nggak ketemu deh, kenal orang dan ada semacam feeling aneh macam “Nah, ini nih, orangnya…”. Atau mungkin, pada satu waktu kita  akhirnya menyadari perasaan macam itu ke orang yang udah lama kita kenal, “Sebenernya nyari yang kayak gini nih…”. Semacam itulah pokoknya. Tanpa banyak kata-kata gombal, tanpa banyak basa-basi, ada aja perasaan kayak gitu setelah kita semacam lamaaaa banget nggak ngerasa kayak gitu. Dan, ternyata, orang itu juga merasakan yang sama, semacam juga suka sama kita gitu. Abis itu, tinggal gimana selanjutnya deh... Nah, lagu “Dia” ini mampu membungukus perasaan itu, perasaan jatuh cinta itu. Ah, saya apaan banget sih yah? Cupu gitu yah. “Give me your love, give me your love now, so come and love me, come on and love me….”

Saya menduga, seperti halnya saya, sepertinya orang-orang yang suka sama Maliq adalah karena lagu-lagu mereka yang menyenangkan. Satu teman pernah bilang kalau lagu-lagu mereka ini mengawang-awang, melenakan. Tapi ya apa deh? Ya emang di situ enaknya. Atau macam ada yang bilang juga, yang suka Maliq pasti cewek-cewek, tapi, ehm…saya yakin banyak cowok yang juga dengerin mereka. Atau bakal nggak sengaja diem dan mikir pas denger lagu mereka. Temen saya, gandrung banget sama lagu “The One” dan “Untitiled” terus keasyikan pas, “Lady I know you’re the one for me, lady you’re the one I need…” dan bagian “Adakah diriku, o, singgah di hatimu, dan bilakah kau tahu, kau yang ada di hatiku…”. See?

Jika kelompok lain mungkin akan mengalami semacam penurunan kualitas di album selanjutnya, seperti misalnya Nidji (saya mengenal mereka dalam waktu yang bersamaan), yang album Top Up-nya jauuuuuuh banget sama album Breakthrough, Maliq rasanya semakin oke saja di album keempat mereka, Mata Hati Telinga.

Single pertama, “Pilihanku” bagi saya adalah Maliq banget, sekaligus agak lebih segar. Nah, ini dia, efek masuknya Lale, yang berhasil memasukan “distorsi”-nya sekaligus membuat Maliq terasa lebih “MALIQ”. Lirik manis, musik rancak, menyenangkan.  Lima lagu lainnya di album ini boleh dibilang sama matangnya dengan “Pilihanku”. Kalau favorit saya, tentu saja “Luluh”, walaupun Kenyo –mantan teman kost saya yang suka banget Maliq lebih suka “Coba Katakan”, atau Titis –teman cowok yang juga ngefans mereka lebih senang dengan “Mata Hati Telinga”. Mungkin karena Kenyo udah pengen nikah, sementara Titis sedang mencoba move-on dari kapan tahun, dan saya yang labil, benci ketidakpastian tapi gampang luluh, hloh?? Cupu!

Padatnya jadwal manggung dan produktifitas manajemen mereka melahirkan band-band oke lain (misal: Tweentyfirstnight dan Soulvibe) tidak begitu saja menjadikan Maliq diam. Pada tahun 2010, mereka melaunching album terbaru mereka The Beginning of a Beautiful Life. Saya kira, tujuh lagu di album ini boleh dibilang matang. Setidaknya, album ini tidak menjatuhkan mereka, tapi justru semakin mengokohkan mereka sebagai kelompok yang tidak ‘ecek-ecek’, tidak ‘kebawa arus’, dan punya karakter yang bagi saya si ya, menyenangkan tanpa melenakan tapi mempertanyakan dan mencari jawaban.

Inilah kenapa, saya kira, pada akhirnya, lagu-lagu mereka banyak disukai karena “kedekatan” psikologis dengan kita semua. Semacam kegalaun (yah, walaupun saya benci kata “galau”). Kalau memang galau itu semacam perasaan tidak menentu karena masalah cinta-cintaan. Ya mungkin inilah, lagu-lagu mereka agakanya tepat dijadikan kawan mikir saat bergalau. Begini, dalam galau itu saya kira juga bukan hanya tentang mengikuti perasaan berlebih-lebihan, tapi juga memikirkan yang lebih baik setelahnya. Bolehlah nangis dan nggak makan seharian, tapi bolehlah juga merasa beruntung memiliki satu kesempatan lebih baik setelahnya. Jadi, “mikir” bersama lagu-lagu Maliq itu adalah pilihan yang sangat tepat.

Ya, begitulah.

Dalam album terakhir mereka, lagu “Menari” itu agaknya paling menari-narikan perasaan. Tentang pasangan (ya, saya menginterpretasikannya sebagai pasangan) yang sedang bahagia-bahagianya, melupakan banyak hal yang buruk, membangun banyak hal yang menyenangkan di masa depan, menari aja mah pokoknya. Tapi, ehm, emang yakin, bakal gitu terus? Enggak kan? Nah, lagu-lagu lain di album ini bisa menjadi cerita yang indah-nggak indah-indaaaaaaah, the beginning of a beautiful life…

Seperti ini deh cerita yang ada dalam bayangan saya:
Dalam “Terlalu”, merupakan keadaan yang ingin melupakan ikatan-ikatan masa lalu. Mungkin karena sakit hati atau macam masih berharap pada orang di masa lalu atau menunggu tapi kita sendiri udah nggak bisa di posisi itu. Ingin move on, tapi belum bisa…
Lalu, dalam “Get Down and Slide”, nah, ini dia, ketika kita udah mulai bisa move-on. Mungkin, ehm, akhirnya kita semacam mulai bisa membuka hati gitu… Tapi masih santai, mencari-cari, mungkin juga memilih…. Oia, single ini paling rancak dan menyenangkan sekali loh, macam “Heaven”…

Mungkin akhirnya kita menemukan satu yang kita anggap paling baik diantara yang baik. “Maybe You”, mencoba menimbang… “Jangan tanya ke mana, kita akan terbawa, mungkin akan ke sana, atau hanya di sini. Akupun tak ingin kau salah, menebak apa yang kumau. Akupun tak tahu ke mana, ku ingin menikmati saja. Maybe it’s you, I wish I knew… Ku tak tahu jawabnya, hingga datang saatnya, biarkan esok tiba, dengan semua rahasiaaaaa…” Iya kan yah? Kadang kita suka atau semacam itulah dengan orang, tapi kita ada semacam “eh, yakin nih?” tapi yakin, tapi juga sadar ada yang keliru. Mungkin kamu… tapi, mungkin…

Dan, ketika akhirnya bersama seseorang itu, mungkin karena yakin atau kekuatan entah dari mana ketika memutuskan bersama. Lagu “Menari” dijamin bakal sering diputar pas baru jadian deh… atau ngelihatin video klipnya sambil diem lamaaaa sama pacar kalian, dan senyum aneh waktu videonya habis sambil bilang, videonya bagus yah... “O, lihat bintang, bertaburan. Bunga-bunga, kupu-kupu saling menyapa, mengajak kita, terbang bersama ke sana, menari-nari asmara…”

Tapi, ehm, tapi… nggak semua hubungan itu akan menyenangkan kali yah. “Mengisi lautan, menggapai khayalan, bahagiaaaa…”-nya mungkin bukan sama orang itu. Mungkin bukan dia, mungkin bukan kamu, mungkin bukaaaan… pernah kan, mikir kayak gitu. Ragu, nggak yakin, pengen pergi, tapi luluh lagi, pengen pergi tapi juga nggak bisa… Apa iya cinta, tapi kok rasanya nggak bisa ngaku kalau itu cinta, mau pergi, tapi rasanya ada yang harus dijaga… pernah kan?

Nah, perasaan macam itu, dan, bagi saya, itu adalah momen paling “galau” sepanjang pengalaman cinta-cintaan. Kita cinta nggak sih, sama orang yang katanya pacar kita itu? Orang yang katanya pacar kita itu, cinta nggak sih sama kita? Dan, ini, perasaan galau (yang lebih galau dari “Someone Like You”-nya Adele), ada di lagu “Penasaran”. “Kau bertanya, mengapa kita pernah berjalan. Mencoba pertahankan, meskipun tahu ada yang salah. Benarkah ini hanyalah, penasaran cintaaa… Aku denganmu, selalu jadi pertanyaan, tanpa sebuah jawaban tentang cinta. Dirimu dan aku, tlah banyak buang waktu, terus mencari jawaban, mencari alasan cinta…”

Inilah kenapa, bagi saya “Someone Like You”-nya Adele itu biasa aja. Toh yah, orang yang udah pergi, kenapa harus di “Don’t forget me, I beg…” Masihkan penting?
Forget itu proses, by the time, bakal bisa dengan sendirinya, asalkan udah forgive. Nah, rasanya Adele itu belum forgive. Ups, e, kan ya terserah orang lain ding.

Nah, ketika pada akhirnya, tidak ada jawaban tentang cinta. Apa lagi sih yang penting dari sebuah hubungan? Menunggu berantem atau saling membenci? Tidak perlu. Karena pada akhirnya, jika kedua-duanya sadar ada yang salah, entah apa itu, mungkin perbedaan pandangan di masa depan, keyakinan, hilangnya rasa percaya, suka pada pihak lain, tidak bisa sayang, atau sekedar hal kecil yang berpotensi membentuk pandangan masa depan yang jauuuh berbeda, atau memang dari awalnya sudah keliru, atau ternyata adanya kebohongan-kobohongan nggak penting yang memicu nggak percaya dan nggak yakin itu, apa yang perlu dipertahankan? Mungkin memang benar, itu semua adalah tentang penasaran. Penasaran untuk saling menaklukan dan saling mengalahkan. Sebelum lebih rumit, mungkin lebih baik sebuah hubungan itu diselesaikan.

Pada “Berbeda”, berpisah adalah sesuatu yang ringan. Menjadi sangat ringan. Memang tidak lagi ada alasan yang harus dipertankan, perbedaannya terlalu besar. Daripada saling menyakiti, menyiksa, memberatkan satu sama lain. “Rasa ini tak kan berdusta, semua ini mungkin berubah. Kali ini, memang tak akan terjadi, tak ada yang pasti, meskipun terjadi, tiada yang sempurna…”

Dan, nyatanya, hidup tidak menjadi lebih buruk setelah perpisahan karena banyaknya perbedaan atau memang tidak adanya cinta itu. Karena, itu semua, bisa saja adalah awal untuk menuju “Beautiful Life”. Sebuah lagu yang mengajak survive dan bersyukur. Dan, hei, rasa-rasanya, baru di lagu ini suara Indah dominan dari awal hingga akhir lagu. Saya suka tipe suarnya yang soulful itu. Dan dia improve habis-habisan di lagu ini. “it’s a new beginning of a beautiful life…. It’s a beautiful life when you survive, and everything is all right…”


Dan, yang paling penting sebenarnya, terlepas dari analisis aneh tentang album terakhir mereka, bagi saya, Maliq menjadi semacam tanda adanya musisi lokal yang masih memiliki idealisme. Mempertahankan karakter mereka. Dan, meskipun saya nggak ngerti musik, nggak ngerti sejarah musik dari kapan tahun, bagi saya, musik mereka itu ya bagus. Apa yah? Beda aja. Beda, kaya, lirik mereka sederhana tapi ngajak mikir. Saya percaya, musisi hebat itu selain bisa menciptakan irama yang hebat juga harus bisa menciptakan lirik yang hebat. Sekaligus, ini yang boleh dicontoh banyak musisi lain, merekrut penggemar dan bertahan di industri musik.

Saya kira, Maliq adalaha satu diantara beberapa musisi yang punya “pasar” yang stabil dan memiliki banyak penggemar setia. Saya percaya ada orang yang sudah nonton konsernya puluhan kali. Karena kalau boleh dituruti, saya juga mau nonton mereka terus kalau mereka konser di tempat yang bisa dengan mudah saya jangkau. Percaya nggak percaya, performance mereka itu maksimal. Saya sangat nggak menduga, waktu nonton konser mereka dan di lagu “Funk Flow” mereka melakukan semacam tarian yang kompak dan rancak.

Mungkin karena, ehm, mereka itu juga indie kali yah. Dalam artian, meskipun ternyata mereka awalnya berada di bawah label Warner Music, kini mereka memproduksi sendiri album mereka dan memiliki manajemen sendiri. Sekaligus memproduseri beberapa musisi yang memiliki garis musik yang hampir sama. “Tergila”-nya 21night itu berasa “Pilihanku” sekali.

Oke, panjang ternyata…

Setahu saya, Maliq masih sangat sering manggung, termasuk di Java Jazz besok. Terakhir mereka sepertinya membuat single bersama 21night, tapi saya belum mendengarkannya. Dan, paling terakhir, sepertinya mereka memiliki semacam project “Radio Killed the Video TV”, aduh saya lupa kalimatnya…

Kalau ditanya momen #meandmaliq saya, mungkin saya akan menjawab, kalau lagu-lagu mereka ngajak saya terus survive dan bersyukur. Survive dan bersyukur tentang banyak hal bahagia tentang cinta-cinta itu…

Dan, lagu-lagu semacam itu yang membuat saya biasanya bakal bikin saya suka. Walaupun saya ragu untuk menyebut diri saya “D’essentials” macam, saya juga ragu menyebut diri saya “Coldplayers”.

November 2011 – Februari 2012.

Tuesday, February 21, 2012

...brand equity???


Mungkin, yang juga bikin addict, selain narkoba (e, katanya deh yah…) dan rokok atau cokelat atau es krim, atau Oreo, adalah merek-merek toiletris.

Gara-gara ganti shampoo dan berhenti menggunakan semacam serum, rambut saya kacau. Maka saya potong rambut sependek-pendeknya yang saya mau. Agak berlebihan kali yah. Tapi, e, serius deh, selain saya emang udah niat potong rambut, tapi kemarin masih sempat ragu, terus kemarin jadi yakin. Tapi, shampoo itu sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan keindahan rambut. Yakinnya itu ya salah satunya karena, rambut saya sebenernya udah nggak sehat sekali. Selain ada misi khusus tentang memiliki rambut pendek, misi khusus menghindari hal yang saya hindari beberapa waktu ke depan *senyum sinissss.

Percaya nggak percaya, hal tersebut juga terjadi pada puluhan benda dengan merek tertentu yang biasa kita pakai.

Dan, akhirnya saya semakin percaya, kenapa ada yang namanya Brand Equity. Brand Equity atau ekuitas merek, yaitu, semacam kekuatan merek yang terbangun dari kepercayaan konsumen dari manfaat satu merek. Ini deh, kan kadang merek-merek menawarkn manfaat tertentu kan, nah, seberapa jauh si merek mampu memenuhi janjinya itu sampai dirasa manfaatnya sama konsumen. Kurang lebih gitu.

Misal ini, shampoo, shampoo anti ketombe, apa yang pertama kali terlintas di pikiran kita? Kalau saya sih Clear, tapi, bisa jadi, untuk mengatasi masalah ketombe, saya tidak menggunakan merek tersebut. Bisa jadi, saya memakai Head&Shoulders. Nah, ini, bedanya antara  Brand Equity dan Brand Awareness. Kalau spontanitas menyebut Clear sebagai shampoo anti ketombe di ingatan kita itu berarti Brand Awareness. Kalau kepercayaan kita akan merek, kita memakainya dalam waktu yang lama dan kita merasakan manfaatnya, itulah Brand Equity.

Termasuk ketika saya ditanya tentang, merek facial foam? Saya akan menjawab Ponds, karena merek itu yang pertama kali terlintas di ingatan saya. Padahal saya bukan pemakai Ponds, sejak pertama-tama bisa cuci muka, saya pakai Clean and Clear. Pernah pakai coba pakai Ponds teman, dan, serius, di muka saya perih.

Kenapa saya memilih Ponds dan juga Clear? Itu adalah karena berhasilnya dua merek tersebut dalam membangun merek (brand building) di kategori “facial foam” dan “shampoo anti ketombe”. Terus, karena apa dong? Bisa jadi, dan seringkali, adalah karena iklan di media massa. Sadar, nggak sadar, kedua merek tersebut sangat gencar beriklan di televisi dalam sepuluh tahun terakhir ini. Sebenernya nggak cuma dua produk itu sih, kalau mau tahu, kayaknya semua produknya Unilever, hhheee. Kalau mau bikin list, dari shampoo sampai kecap, yang paling rajin beriklan adalah produk pabrikan asal Belanda ini. Dan, tahu dong yah, berapa jumlah pemirsa televisi di antara kita, lebih besar dari pembaca koran dong yah? Dan, kalau mau merhatiin lagi, traffic di televisi penuh banget kan iklannya? Sadar nggak? Sampai semua iklan itu kerasa “biasa” banget. Nah, meskipun biasa, karena efek “berulang” itu, jadi udah masuk gitu aja di ingatan kita. Tanpa sadar, kesadaran merek kita sudah ter-setting dengan sendirinya.

Dan, mungkin akan begitu juga responnya terhadap beberapa merek lain. Tidak hanya merek-merek produk konsumsi.

Sebenarnya ini ada hubungannya dengan masalah best brand. Pernah kan, kita tahu adanya Indonesia Best Brand Award (IBBA)-nya SWA dan Mars Research. Saya tu suka iseng ngumpulin majalahnya, dan ngelihat-ngelihat, merek apa sih yang katanya paling Best Brand di benak konsumen Indonesia. Dan, siang tadi, saya semakin tertarik dengan masalah best brand-best brand-an ini waktu saya sedikit bersinggungan dengan Solo Best Brand Index (SBBI), semacam untuk mengukur kekuatan merek di tingkat lokal Solo dan masalah rambut saya, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya.

Ukuran yang digunakan dalam IBBA, antara lain awareness (popularitas merek) yang diukur dari Top Of Mind (TOM) ad dan TOM brand, kesadaran akan iklan dan merek itu sendiri; satisfaction and loyalty (tingkat kepuasan dan loyalitas); market share (pangsa pasar); dan gain index (potensi pertumbuhan merek di masa mendatang). Saya kira ukuran yang digunakan juga hampir sama dengan ukuran di SBBI.

Jadi, pada dasarnya, beberapa hal yang dapat saya tarik dari singgungan-singgungan ini adalah, tentang:

Pertama, perilaku kita sebagai konsumen, consumer behavior. Saya sadar sekali, kenapa saya ganti shampoo, itu adalah karena terpengaruh iklan. Lalu meninggalkan shampoo yang sudah saya pakai bertahun-tahun. Dan, nyatanya, hasilnya adalah tidak memuaskan. Tapi, anehnya, masih saja, saya yah, suka lama di swalayan untuk memilih produk hanya karena bujukan bonus-bonus. Hhaaa. Nah kan? Padahal saya ngakunya mau belajar iklan dengan serius. Tapi, peristiwa ke swalayan sore tadi agak sedikit ajaib, yaitu saya memilih barang dengan sangat cepat. Dari shampoo sampai kopi instan. Mungkin agak tidak kreatif, karena memakai produk yang sama terus, tapi saya percaya sama merek-merek itu. Kenapa deh? Kecuali tadi saya sadar, sepertinya krim pelembab muka saya sekarang harganya naik hampir setengah harga dari tiga atau empat bulanan lalu. Sial, saya tidak mengecek harga-harga.

Kedua, kekuatan iklan. Ini dia, misteri yang harus segera dipecahkan walaupun jawabannya akan sangat beragam. Besok-besok saya tulis ah…

Ketiga, ini, tau nggak sih, kalau merek dalam riset best brand nasional dan lokal itu bisa jadi berbeda. Sangat berbeda. Percaya nggak percaya, merek mie instan yang menang di SBBI tahun lalu adalah Mie Sedap, padahal, di IBBA yang tingkat nasional (dan di hati saya), Indomie masih berjaya. Atau Teh Gopek yang lebih berjaya di Solo dibanding Sariwangi. Kalau ini, pasti orang Solo sudah membuktikannya kali yah, di mana-mana emang ada teh ini…

Keempat, jangan gitu aja percaya iklan dan jangan gitu aja percaya lembaga survey. Percayai benefit dari produk dan merek tersebut, barulah, mencoba percaya iklan dan percaya lembaga survey.

Kelima, ayo bikin strategi iklan yang semakin bikin orang percaya sama iklan. Nah loh?

Keenam, setelah itu, kita akan lebih efisien waktu di dalam swalayan tanpa merasa tidak nyaman dengan rambut. Percayalah…

Ketujuh, jangan gitu aja percaya sama saya.