Wednesday, September 25, 2013

...mengigau



Demam tinggi dan lalu pingsan menyadarkanku bahwa mengingatmu menjadi hal yang tak terlalu sia-sia 

Kau selalu bertanya tentang lima tahun lagi kita akan seperti apa
Dulu kujawab, sarapan bersama bayi kecil kita di minggu pagi
Atau menuju toko roti kesukaan dan menunggu roti isi daging begitu keluar dari mesin pemanggang di senja hari
Meski lima tahun terlampau cepat, kupikir tak apa, jika harus menyelesaikan sisa hariku hingga berpuluh-puluh tahun lagi bersamamu

Melakukan hal yang sama dan tak akan pernah bosan
Ya, aku tak pernah bosan mengulang hal yang sama bersamamu
Membagi setengah porsi nasi padangku
Mengambil seluruh sayur dan sambel ijomu
Menyibak ikal rambutmu
Sedikit memejamkan mata demi kecupan selamat malam di antara dua alisku
Tertawa terbahak karena kacamata kita bertabrakan ketika kita buru-buru berciuman

Tapi banyak hal tak pernah sama lagi
Kita berubah dan tak lagi mampu menyesuaikan
Bahkan ada satu waktu di mana mengingat namamu saja membuatku mual
Juga satu waktu di mana kita saling bermusuhan
Kita menemukan bahasa baru yang mewujud dalam diam
Hingga satu malam kita sadar, pada akhirnya kita akan saling melupakan

Kapan terkahir kita bertemu?
Di teras, di depan kita ada pohon mangga, kau mengenakan kemeja kotak-kotak coklat yang membuatmu nampak lebih tampan berkali-kali lipat
Apakah aku pernah bilang kau sebenarnya sangat tampan waktu kita bersama? Maafkan aku jika dulu pelit pujian...sama seperti kau yang lebih sering mengumbar makian, terlebih ketika membaca koran pagi seribuan.

Kemarin aku membaca satu novel yang agak membosankan, tapi memiliki bagian depan yang sangat menarik

Kisahnya sederhana...
Tentang perempuan yang menunggu kekasihnya datang hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, tapi sang kekasih tak pernah datang, yang datang justru sepucuk undangan, lalu si perempuan membuat surat begitu panjang untuk kekasihnya itu: mengingatkannya akan kisah-kisah yang terlewatkan

Aku tidak akan melakukannya, tenang saja
Aku tidak lagi mengenangmu sebagai orang yang, akan kutunggu-tunggu hingga aku menua
Kupikir aku tak sedramatis itu

Aku hanya sedang berpikir-pikir saja
Aku tidak akan lagi menyia-nyiakan laki-laki yang berbaik hati mau bersamaku dan aku tak mau lagi melakukan hal-hal bodoh, mengorbankan waktu, tenaga, dan perasaanku bagi hal-hal yang...aku bahkan tidak tahu untuk apa.

Apakah kau masih menyimpan ini di kepalamu?
Ide tentang bertemu seseorang, lalu jatuh cinta, dan saling tergila-gila. Lalu jatuh cinta lagi, berkali-kali, tak pernah berhenti, berulang setiap pagi, setiap hari: dengan orang yang sama.

Apakah kita pernah merasakannya? Kita pasti hanya akan tertawa. Aku bahkan sudah agak lupa tentang apa saja yang kita lalui bersama. Saling membacakan cerita. Memasakkan sarapan. Bertukar film romantis. Berkirim puisi dan lagu-lagu. Atau kalimat-kalimat nyinyir dan pembelaan-pembelaan panjang yang selalu berakhir diam. Tak pernah ada kata maaf, dan tak pernah saling memaafkan. Kita hanya pernah saling jatuh cinta. Kemudian itu semua hilang, karena diam-diam aku membencimu. Sangat membencimu. 

Bagaimana mungkin seseorang yang tadinya begitu kita cintai bahkan mungkin kita akan rela melakukan apa saja untuknya....tiba-tiba menjadi begitu kita benci?
Apa setelah itu kita masih akan percaya jika cinta memang benar-benar ada?
Atau mungkin mencoba belajar apa yang kata orang realistis: menikahlah ketika usiamu sudah cukup matang, mapankanlah pekerjaanmu...memiliki anak, dan lain, dan lainnya.

Tapi kau pasti tahu, aku orang yang paling tidak realistis yang pernah kau kenal.
Aku bahkan mau mengajakmu ke luar angkasa, jikalah saja pada satu pagi dini hari kita bertemu UFO, tak apa kita tak kembali ke bumi, asalkan bersamamu.

Aku kaget aku kuat hidup tanpamu. Tanpa puisi-puisi genit kawannya kawanku yang sering kau tertawakan dan sengaja kau baca keras-keras. Tanpa siapa pun. Aku kaget aku mampu menjadi manusia biasa. Ah, kita lama tak bercerita. Coba saja kau tahu bagaimana aku melewati 8 bulan di tahun sialan ini. Kau akan percaya aku telah benar-benar belajar untuk menjadi manusia biasa. 

Banyak hal terjadi, banyak hal berubah.

Kadang aku mengira, adakah lelaki sebaik kau di sana yang akan bilang padaku, "Tidur, jangan berpikir lagi. Hiduplah di mimpimu"
Kadang aku menduga, tidak ada lagi. Aku terlalu lama bermimpi soalnya, jadi aku melewatkan banyak gegap gempita dunia nyata.
Tapi aku sering berharap masih ada, yang jangan kau tapi, aku sudah tak bisa lagi jatuh hati lagi padamu. Dia yang dengan caranya sendiri merobohkan dinding-dinding tebal yang perlahan kubangun sejak kita saling meninggalkan. 

Tapi aku takut, kehadiran seseorang atau siapapun hanya akan membuatku kembai menjadi sosok manja yang tak punya pegangan. Mengeluhkan segala hal, merepotkan banyak hal, memikirkan terlalu banyak hal, kau tahu hal-hal seperti itu? Ya, bahkan aku lupa bagaimana caranya tersenyum manis dan menjawab pertanyaan tanpa muka menyelidik. Aku telah terbiasa awas untuk tak mudah tersesat ke dalam mata seseorang demi dapat tetap kembali berpijak dengan kakiku sendiri. 

Mungkin sekarang wajahku berubah persegi. Dan aku tak pernah tahu kau sekarang di mana...

Banyak hal terjadi. Bahkan aku belum bercerita tentang rutinitas harianku yang...mulai membosankan. Seperti menyelesaikan tiga tugas yang biasanya harus dikerjakan selama satu semester hanya dalam satu minggu. Kau tahu, pasti aku akan berlari padamu dan menangis terisak hingga tertidur sebelum kau ajak makan dan kau antar pulang.

Hidup memang berat, katamu. Dont turn away, dry your eyes, mengutip satu lirik lagu.

Ya, hidup memang, agak, berat.

Kukira, itulah kenapa akhirnya aku demam tinggi dan lalu pingsan. Dan anehnya, aku mengingatmu. Entahlah, sepertinya kau hadir di salah satu mimpiku.

Friday, September 20, 2013

...pack up song

Cut open my heart, right at the scars, and listen up...
Gonna do what i'm told, go where i'm told, and listen up...
Take a shot in the rain, walk for the pain, and listen up...

Gonna summon the blow, soften the blow, and give it up...
I saw the surprise, the look in your eyes, i gave it up...
Gonna be who i am, be who i am, and give it up.

I tried all the way. It's all better, now.






Wait For Me - Kings of Leon




Kings of Leon

...:)



I don't know, why this thing happen.
Like any other surprise that pop up to your life and all of those smile after.
Relieved.











Monday, September 16, 2013

...dari balik selimut dan lampu tidur yang masih menyala terang, untuk bapak.


Bapak...

Bapak pasti sudah tidur. Mungkin berselimut sarung bergaris cokelat dan hijau, terlelap hangat di depan tivi. Memeluk Lulu di kursi panjang, hingga Subuh nanti datang.

Diyah selalu tahu, hampir setiap malam bapak mengecek satu per satu kamar di rumah. Membuka sedikit pintu kamar, mematikan lampu yg masih menyala terang, mengecilkan suara radio yang sengaja dibiarkan hingga esok pagi menggantikan kokok ayam, memastikan gorden tertutup rapat dan jendela terkunci benar, dan tentu saja: merapatkan selimut biar kita tidak kedinginan dan tak memberi kesempatan nyamuk makan. Meski sudah sempat terlelap, sebenarnya Diyah kadang sadar bapak datang, tapi pura-pura tidak tahu. Selimutnya malah sengaja Diyah tendang-tendang, karena pasti bapak yang akan merapatkannya lagi. Hhhi. 

Karena pasti bapak tahu benar, bapak punya anak-anak yang doyan tidur. Dan tidur merupakan bagian yang penting dalam keseharian kita. Bapak selalu mengingatkan untuk tidur cukup. Kalau malam kurang tidur, harus dibayar tidur siang. Atau kalau memang benar-benar sibuk, berati besoknya harus meluangkan waktu tambahan untuk tidur lebih banyak. Mempersiapkan tenaga lebih untuk hari esoknya lagi.

Bapak akan bilang, kalau kita tidur malam bergerak tidak karuan, itu berarti karena kita kecapekan atau karena tidak tidur siang. Gara-gara efek dibiasakan tidur siang dari kecil, sampai sekarang bahkan Diyah selalu ngantuk di sekitar jam-jam duaan. Beda ketika kuliah Bapak, dulu bisa banget pulang kapan aja dan tidur, sekarang tidak. Tapi beruntung ruangan Diyah memungkinkan untuk tidur siang, barang 10 atau 15 menit.

Dari dulu, bapak tak pernah berhenti mengingatkan untuk tidur siang dan mengecek kamar kita setiap malam. Sekarang bahkan bapak selalu memastikan Lulu ke kamar mandi tiap tengah malam, biar dia tak ngompol terus. Kadang Diyah mengira, apakah itu adalah ganti karena bapak tak pernah bersama kami sepanjang hari. Mungkin tidak, Bapak?

Diyah sering terbangun tengah malam, Bapak. Kadang, saking capeknya, Diyah tertidur masih dengan seragam dan tanpa cuci muka. Kalau bapak tahu pasti bapak akan berulang kali membangunkan. Kalau sudah terbangun, malamnya susah tidur sampai pagi. Diyah nonton film. Salah satu hal yang tidak bapak suka, jika dulu kita nonton film di tivi sampai pagi. Karena bapak hafal benar, kami sulit bangun pagi. Diyah, Japra, dan bahkan Lulu selalu langganan telat masuk kelas. Maaf ya, Bapak.

Sampai sekarang, Diyah masih menendang apa saja yang bisa ditendang ketika tidur. Berantakan. Untungnya kost sekarang dipannya kecil. Jadi tidak terlalu kacau-kacau amat. Walaupun kadang rasanya terlalu sempit, terus Diyah akhirnya tidur di lantai. Dan besoknya masuk angin, hha. Kadang lampu baca, pemutar musik, kipas angin, juga laptop masih menyala hingga pagi. Diyah juga sering lupa mengunci pintu, dan harus diingatkan teman kost berulang kali. Tidak ada bapak yang mematikan benda-benca penyedot daya listrik itu, tapi biarin lah, si ibu kost galak juga. Tapi entah kenapa malam ini Diyah ingat semuanya...

Karena, kalau selama ini yang ada dalam kepala Diyah adalah: bapak itu orang galak dan butuh keberanian ekstra untuk sekedar berbicara tentang sesuatu...atau bahkan untuk ngobrol santai pun butuh persiapan tambahan. Malam ini rasanya Diyah mengingat Bapak sebagai orang yang selalu memastikan lampu mati, dan kita semua tidur dalam gelap yang tenang.

Kapan terakhir kita ngobrol si Bapak? Oia, Lebaran kemarin. Tentang tiket bus yang super mahal dan kenapa aku lebih senang PO yang baru beroperasi daripada PO bus andalan bapak kalau ke Jakarta. Iya sih, lebih cepat sampai PO bus bapak, tapi nggak nyaman. Dan lebih mahal PO bus Diyah, sampai Jakarta agak kesiangan dikit, tapi super nyaman. Lagian PO bus bapak harus rebutan tiket bgt kalau mau turun di Lebak Bulus, mana pernah eksekutifnya tiba-tiba diganti dengan bus biasa. Sejak itu diyah nggak mau pake PO bus itu lagi. Lalu bapak becanda, ya nggak papa ding mbak, kan sudah punya duit sendiri kan ya sekarang. Hmmm...sial bapak.

Dan tetep, bapak itu galak.

Tapi tadi, pas Diyah bersiap tidur. Sedikit merapikan kamar, memakai kaus kaki, dan mau mematikan lampu tidur, Diyah seketika ingat Bapak. Bapak yang selalu memastikan kita tidur nyenyak, hangat, dan tak terbangun karena gigitan nyamuk.

Bagaimana kalau nanti tak lagi ada bapak yang mematikan lampu dan memastikan selimut terpasang rapat?

Mungkin bapak semakin menua, dan itu pasti, dan bapak sudah terlalu lelah untuk bangun lebih malam demi memastikan lampu tidur kami benar-benar gelap padam. Mungkin kami tak lagi di rumah dan memang lampu kamar kami tak pernah menyala di malam hari. Dan mungkin juga, bisa jadi, nanti bapak tak lagi berani membuka kamar kami, bukan karena tak mau, tapi mungkin bapak tak lagi perlu mematikan lampu kamar kami lagi, karena bapak kira tidak perlu, tapi mungkin bisa jadi itu tetap perlu. 

Bapak, kenapa waktu begitu cepat berlalu yah, Bapak?

Rasanya baru kemarin Bapak menegur Diyah, agar tidak tidur meringkuk karena nanti kalau besar badan jadi bungkuk. Bapak, sekarang Diyah sudah besar dan benar diyah agak sedikit membungkuk. Dan masih bisa tidur meringkuk di kursi kecil, lho ;)

Bapak jangan cepat tua ya...bapak boleh tetap galak. Boleh. Bapak boleh masih membentak Diyah, yang Diyah balas bentak, yang bapak balas lagi, lalu Diyah banting pintu masuk kamar, demi boleh pacaran. Hhha. Tapi itu kayaknya nggak mungkin terjadi lagi si... 

Bapak masih boleh membentak Diyah pak. Masih. Makanya, bapak harus sehat terus Pak...dan mulai lebih rajin bersepeda pak. Mengingatkan kami untuk jangan terlalu banyak makan micin dan jajan di luar, mending masak tengah malam tapi sehat, kata bapak. Bapak yang sehat. Bapak yang sehat... Selamat ulang tahun Bapak. 

Semoga bapak tidur nyenyak malam ini. Tanpa mimpi apapun, karena semoga mimpi-mimpi bapak sudah berkurang satu per satu, dan malam ini bapak tenang tak menginginkan apa pun. Tidur bapak lelap sampai pagi, tak ada satu pun nyamuk berani hinggap karena toh darah bapak tak enak, tak ada gulanya. Semoga yah bapak. Amin.

Diyah sudah bisa mematikan lampu sendiri kok, Bapak. Seperti diyah juga pasti bisa jaga diri sendiri, seperti pesan bapak berkali-kali. Cuma memang masih suka lupa dan agak ceroboh. Tapi pasti bisa...:)

Selamat malam, Bapak.


Sunday, September 8, 2013

...untuk teteh. :)


Teteh, selamat yah.
Hhha, Atuna keinget pagi di ulangtahun kemarin, ketemu teteh di Gambir, lalu kita ke Cirebon. Seneng dan terkejut banget sebelumnya, waktu teteh ngajakin Atuna ikut ke Cirebon. Cirebon udah masuk list kota yang harus dikunjungi tahun kemarin. Mau lihat batik. Hhhi.
Oke, lalu ingetan Atuna melayang ke, ehm, ehm, dua tahun lalu. Waktu Atuna nelpon teteh pagi-pagi, dan nangis sesenggukan. Udah nahan banget dari malemnya, tapi nggak ngerti caranya nangis gimana. Sampai akhirnya ngobrol sama teteh lewat telepon, dan lalu terjadilah. Teteh ngebiarin Atuna nangis sampai hampir setengah jam. Lega. Lega banget. Sampai ketawa-ketawa nangisnya. Saking ngrasa bodohnya. Thanks teteh…
Terus, Atuna keinget sore-sore random nggak jelas waktu aku sama Intan teteh dandanin. Lalu foto-foto ala model di tempat jemuran kostan. Hhha. Kain-kain ketiup angin. Ketawa-ketawa nggak jelas biar bisa difoto candid. Muka-muka sok cool najis banget. Slonjoran di atas atep. Hhha, pokoknya malu banget kalo tu foto-foto ketahuan orangPengennya kayak model yang lagi meragain bajunya Priyo Oktaviano, tapi jatuhnya malah jadi kayak penyanyi dangdut pantura yang terkesan norak. Hhha. . Bukannya macam isi halaman majalah Elle, tapi malah kayak majalah cover Varia.
Mana sore-sore random-nya sering terjadi pulak. Hhhha.
Tapi teteh mah emang paling juara kalau masalah ginian! Hhha.
Mungkin Atuna nggak akan ngerti fungsinya maskara dan eye liner kalau nggak ada teteh. Mamah di rumah makenya celak arab soalnya. Yang kalau kecolok mata, itu pasti sakit bgt. Sekarang udah ada yang lebih simple, meski agak serem makenya. Beda garis dikit, jadi beda banget hasilnya. Ah, sayang kemarin aku nggak sempet nyoba dandan karena bangun kesiangan. Atuna juga sukaaak banget gaya teteh yang seru. Seneng banget kalu udah ngeliatin teteh dandan. Nyoba-nyoba baju, bawahan, sepatu, kalung, dan lain-lain. Walaupun kita beda selera, halah, tapi seru aja ngelihat teteh mix-n-match gitu.
Thanks juga teh, Atuna udah ngopi empat album Incognito. Walaupun udah jarang banget didengerin lagi sekarang. Masih tetep lebih suka Jamiroquai yang agak-agak acid (padahal nggak ngerti juga apa bedanya jazz, acid jazz, dll).
Nggak tahu yah teh, nggak tahu ini sentimentalnya aku aja, atau emang yagitulah. Beruntung banget aku, (dan Intan, Dinar juga si kayaknya), bisa dapet saudara-saudara baru di Kemuning. Saling ngebantu kalau ada perlu bantuan, saling support, saling ngingetin, dan, paling kerasa banget, saling ngejagain kalau pas sakit.
Dengerin dan tahu banyak cerita dari teteh. Belajar juga, dikit-dikit. Bahkan terus ngobrol sampai teteh lulus dan balik, dan sampai sekarang.
Yang paling surprise tentu saja adalah: pagi di Gambir dulu. Waktu aku dikenali sama Mas Zaki, rasanya kayak lega. Hha, lebai. Di antara banyaknya mantan-mantan teteh, yang, macem-macem bentuk dan rupanya, auranya Mas Zaki ini deh udah yang paling bener teh. Mungkin sama kayak teteh waktu ngingetin aku tentang seseorang yang kayaknya nggak baik buat aku, tapi ini sebaliknya. Apalagi pas selama di Cirebon, ih, aku aja seneng banget, apalagi teteh. Bener kan? hhi…
Sampai dapat kabar itu. Lalu pas aku main ke Bogor, ternyata kalian udah mau foto pre-wedding aja. Hhha. Dan, yeaaay, kalian menikah. Hore!
Atuna tahu, nggak akan ada cerita yang seindah dongeng. Dari banyaknya cerita yang teteh bagi dulu. Ternyata aku juga harus mengalami beberapa. Sedih, bodoh, dan agak nggak masuk akal emang. Dan emang harus banget ada semacam masa tenang, masa diam, biar nggak keburu-buru terus kalau mau ngambil keputusan. Gitu kan teh? :D
Atuna lega, teteh menikah sama Mas Zaki. Dan nggak sama mas-mas aneh yang ngabisin satu lembar halaman persembahan skripsi itu. hhha. ups.
Ehmm…
Selamat Teh Aliet. Promise for better and worse, kata kamu. Semoga yang terbaik dari banyaknya hal baik teh. Selamat melanjutkan cerita…selamat berbahagia.


Kita semua, empat tahunan lalu inih. :)