Monday, December 30, 2013

...kembang api: dalam merah, hitam, dan biru


Tujuan perjalanan singkatku kali ini agak padat.


Mendarat sekitar jam delapan dengan penerbangan pertama, lalu bertemu orang dari kantor pusat, memberikan beberapa draft baru untuk rencana tahun depan dan membicarakan laporan progres pekerjaan di cabang. Sorenya bertemu Maria, lalu melewati malam tahun baru bersama keluarga besarnya. Kebetulan mereka sedang berkumpul di kota ini. Makan malam bersama dan melihat pesta kembang api. Sebelum kembali pulang dengan kereta api jam lima sore, siangnya aku berjanji untuk bertemu Gwen. “Siangnya saja Bri, aku sedang tidak ingin berpesta,” kilahnya ketika kuajak sekalian untuk merayakan malam tahun baru bersama keluarga Maria. Sedang tidak ingin berpesta, katanya. Kukira Gwen memang sudah cukup kenyang melewatkan pesta demi pesta. Apalagi sekedar melihat kembang api warna-warni dan minum segelas dua gelas wine. Tapi sebenarnya Gwen hanya kuat minum segelas wine. Dia gampang mabuk. Minum sebotol kecil bir saja Gwen sudah teler. Kalau tidak bolak-balik ke kamar mandi dan bicara terlalu banyak, ya ketiduran dan mulai mengigau tak jelas. Tapi Gwen memang banyak bicara. Kelihatannya saja pendiam dan pemalu. Berikan satu pertanyaan padanya, Gwen akan menjelaskan panjang lebar seperti tak ada waktu lain untuk sekedar bercerita karena sebentar lagi dunia akan hancur lebur. Meski pada orang yang tak dikenalnya, atau baru dikenalnya, Gwen memang nampak tak mampu bicara banyak selain menjawab “iya,” “tidak,” atau “tidak tahu.” “Aku tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang tak kukenal,” katanya. “Lagi pula aku tak tahu maunya semua orang. Kukira, secerewet-cerewetnya kita, tidak semua orang akan menerima juga. Katanya kalau bicara dengan orang baru harus hati-hati. Bukan?” lanjutnya. Terakhir bertemu Gwen sebenarnya tiga minggu lalu. Tapi sayang tak sempat banyak bercerita. Gwen diburu waktu karena harus menyelesaikan urusan pekerjaannya. Kami hanya sempat bertemu sebentar, tak ada juga setengah jam. Kami hanya sempat bertanya kabar dan aku memberikan buku yang sudah kujanjikan untuknya. Buku lawas kumpulan surat Kartini dan dua buku yang baru kuedit, untuk kado ulang tahunnya. “Untuk Gwen, yang ingin jadi guru,” kataku. Gwen tertawa seperti hantu pemakan bayi dalam dongeng orang Jawa seperti biasa. “Aku masih punya beberapa buku yang belum kubaca, tapi aku janji aku akan segera membacanya,” jawabnya setelah berterimakasih. “Mana satu buku lagi yang mau kau pinjamkan?” Ah, dia ingat rupanya. Aku berjanji untuk meminjaminya satu buku klasik, setelah pada satu siang dia mengirimiku pesan singkat, “Buku Boris Pasternak terbitan Djambatan 200rb-an itu mahal tidak?”, yang kujawab, “Kemahalan. Di sini 70 ribu. Tak usah beli kalo merasa kemahalan, nanti kupinjami punyaku.” Gwen tahu buku itu dari seseorang, entah siapa,  yang membuat lagu mendayu karena salah satu tokoh di buku itu. Siang itu, dia bercerita tentang seseorang itu. Seorang laki-laki, tentu saja. Anehnya, aku tidak khawatir. Laki-laki ini, aku yakin, tidak akan membuatku merasa khawatir, setidaknya sampai siang itu. Karena jika tentang seorang laki-laki dan Gwen, ada yang lebih membuatku khawatir. “Oke, terus bagaimana kabar orang yang ingin kau kenalkan padaku itu?” wajah Gwen berubah drastis. Ada huruf “O” seperti menggantung di wajahnya, mulutnya menganga karena kaget kalimatnya kupotong, sementara bola matanya bergerak mencari jawaban, menjelajah segala benda yang ada di meja. Lalu Gwen tersenyum manis. Bertanya “Yang mana?” Pura-pura lupa. Kusambut dengan tertawa saja dan beruntung karena akhirnya Gwen benar-benar lupa. “Bri, aku jarang sekali ketemu kamu. Setahun sekali saja sudah sangat beruntung. Aku tidak akan bercerita tentang hal-hal tak menyenangkan. Tapi mungkin kamu harus tahu, laki-laki yang ingin kukenalkan padamu itu, mungkin tak akan pernah kukenalkan padamu…” ucap Gwen akhirnya, sebelum pamit. Ternyata dia tidak lupa. Dia sedari tadi menata kata-kata. “Kenapa?” kutanya. “Karena dia tak menyukaiku. Mana mungkin kukenalkan padamu.” “Kenapa dia tak  menyukaimu? Dan, apa dia harus menyukaimu untuk sekedar kaukenalkan padaku?” Aku agak penasaran. “Aku tidak tahu. Mungkin aku menakutkan… Dan ya, dia harus menyukaiku terlebih dahulu sebelum kukenalkan padamu…“ Gwen tertawa. “Kenapa?” aku masih bertanya. “Berhenti bertanya kenapa, Bri…” Gwen mulai malas. “Karena kamu akan membencinya, jika tahu dia tak menyukaiku, Bri…” lanjutnya. “Karena kamu menyukainya?” tanyaku lagi. Gwen hanya tersenyum seperti biasa, ketika ia ingin menjawab “Ya” tapi dia tak ingin menjawabnya. “Bri, antar aku ke depan…” pembicaraan selesai. Selama ini aku selalu awas, jika Gwen mulai bercerita tentang orang-orang di sekitarnya, terutama jika itu adalah tentang seorang laki-laki. Meski aku tak selalu mengingat nama-namanya, akan selalu ada beberapa detil cerita yang mengusik. Bukan hal mudah untuk melihatnya menatap nanar ke sekitar dan mulai menangis. Tak selamanya tentang laki-laki, tentu saja. Hanya satu nama yang pernah membuatnya menangis di pagi buta. Tak bisa tidur dua malam. Dan setelah hari itu, hari-harinya perlahan berubah. Sejak itu, ada bulan-bulan di mana Gwen tak terkendali, begitu istilahnya dulu. Terbang ke sana ke mari seperti kain tipis terlepas dari lipatan dan tertiup angin bulan Oktober yang kering dan kencang. Meski bagiku, justru itulah waktu di mana Gwen benar-benar memegang sendiri keinginan-keinginannya. Hidup Gwen, hiduplah. Hidup seperti yang selalu kau inginkan. Dan jangan jatuh cinta lagi. Tapi aku tak pernah mengatakan yang terakhir. Siapa aku melarang Gwen jatuh cinta lagi? Kukira pun Tuhan, tak ingin Gwen tak jatuh cinta lagi. Gwen mempercayai Tuhan, jadi kupikir pertimbangan Tuhan yang tak akan melarang hambanya jatuh cinta akan menjadi jawaban Gwen jika aku bilang padanya, “Gwen, jangan jatuh cinta lagi.” Kadang aku berharap, bahkan pernah berdoa juga, agar Gwen jatuh cinta saja pada laki-laki yang juga menyukainya. Bukan malah mengejar-ngejar laki-laki entah siapa, yang ujung-ujungnya tetap tak akan memilihnya. Bukan apa-apa, hanya saja, bukan hal mudah untuk melihatnya menatap nanar ke mana saja dan lalu mulai menangis. Termasuk ketika ia bersama dengan laki-laki yang mencintainya tapi Gwen tak bisa jatuh cinta setelah sekian waktu bersama. Ujung-ujungnya sama saja, ternyata. Alasan lain kenapa aku tak berani mengatakannya, juga karena hal ini. Karena sesungguhnya, siapa pun tak akan mampu menahan gembira yang sama ketika Gwen jatuh cinta. Matanya bercahaya. Detil kecil tentang roti hangat isi daging pun rasanya seperti kau memakan hidangan dari surga. Rasanya tak lekas hilang dari lidah. Gwen memiliki kemampuan untuk menularkan keriangan semacam itu. Jadi kupikir, kenapa ada seorang lelaki yang tak menyukainya? Ada yang mampu untuk tak menyukainya? Yah, meski, tentu saja, Gwen kadang menyebalkan. Apa mungkin karena itu? Bisa jadi. Tapi, kukira, ada lebih banyak alasan untuk menyukainya daripada untuk tidak menyukainya. Bahkan jatuh sayang padanya. Kukira… dalam perkiraanku saja. Bukan dalam perkiraan laki-laki itu, atau siapa pun. Gwen, Gwen...
Ah, sudah hampir mendarat. Meski Gwen sedang tak ingin berpesta, sepertinya dia harus ikut aku malam ini. Aku harus bilang padanya, “Gwen, bangun! Hidup Gwen, hiduplah. Jangan jatuh cinta lagi. Ini yang terakhir.” Aku tak harus menunggu hingga tahun depan dan membiarkan adikku itu merana sendirian nanti malam.  

Thursday, December 5, 2013

...ode for the 22yo girl


Do you still feel younger than you thought you would by now?



Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik.
Or darling have you started feeling old yet?
Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.
Don't worry,  I'm sure that you're still breaking hearts, with the efficiency that only youth can harness…
Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan.
And do you still think love is a laserquest?
Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca – suka atau tidak suka pada hasilnya.
Or do you take it all more seriously?
Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti.
I've tried to ask you this in some daydreams that I've had, but you're always busy being make believe…
Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah.
And do you look into the mirror to remind yourself you're there? Or has somebody's goodnight kisses got that covered?
Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah.
When I'm not being honest, I pretend that you were just some lover…
Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus.
Now I can't think of her without thinking of you. I doubt that comes as a surprise. And I can't think of anything to dream about. I can't find anywhere to hide. And when I'm hanging on by the rings around my eyes. And I convince myself I need another. For a minute it gets easier to pretend that you were just some lover…


When I'm pipe and slippers and rocking chair, singing dreadful songs about summer…
Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.
Well, I've found a better method of pretending you were just some lover.
Berbahagilah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.





*****
lilin merah - dewi lestari, dan
love is a laserquest - alex turner, arctic monkeys.