Thursday, January 31, 2013

...di antara doa



Apa yang paling seseorang ingat ketika bertemu seseorang lainnya?
Mengenal seseorang lainnya?
Mungkin, itu pulalah yang akan seseorang ingat ketika seseorang lainnya meninggal.

Maka, jangan pernah menangis di depan orang lain
Menangislah ketika malam tak lagi menyisakan sinarnya, dan kau sendirian terjaga di sana

Di antara gelap yang berjelaga
Di antara doa kepada tuhan yang tak bernama
Di antara senyap yang menyembuhkan tiap inci luka
Di antara pagi yang tak pernah malu menyapa dunia

Dan kau tahu,
Tak ada orang yang ingin dikenang karena luka-lukanya
Setidaknya aku.
Dan aku mau, kau pun begitu.

Tak menjadikan orang-orang iba
Lalu menuntunmu berjalan tanpa kau tahu kau akan dibawa ke mana
Tak menjadikan orang-orang turut berduka
Meneteskan air mata yang lebih banyak dari kita hanya untuk terlihat ikut merasa padahal kita sama sekali tak membutuhkannya

Lalu menjadikanmu lupa, tiap jalan memang sepantasnya menyimpan luka
Menjadikanmu lupa, bahwa tak ada orang bernasib persis sama
Menjadikanmu lupa, ada rumah kecil menunggumu di ujung sana

Kau hanya perlu berjalan perlahan
Biar setiap orang mengenangmu dengan caranya yang biasa

Bukan kau yang selalu tertawa
Tapi juga bukan kau yang menyimpan luka

Monday, January 21, 2013

...kata raja kata-kata


Laki-laki itu raja kata-kata. Baginya, kata-kata adalah segala-galanya. Seperti rakyat yang setia membayar pajak dan memperkaya dirinya. Hingga akhirnya ia bisa memainkan kata-kata selayaknya serdadu yang siap mati dalam perang dan menjadi kebanggaan. Di atas kepalanya, terhias indah dan sedikit angkuh sebuah mahkota, terbuat dari kata-kata.
 
Kata-kata menjelma menjadi sepiring nasi lengkap dengan telur dadar setengah matang dan segelas susu putih kental manis, serta segelas lagi air putih. Juga menjadi sebuah apel merah setengah termakan, tak pernah habis, seperti Adam barangkali kemudian melempar apel yang baru setengah termakan, ketika ia sadar bahwa apel itu akan membuatnya tak kembali ke surga.

Setiap pagi kata-kata tertata rapi dalam sebuah meja bundar berkursi lima. Dari situlah kata-kata memulai hari untuk berkelana dan menjadikan semuanya berakhir kacau, hancur, dan indah bersamaan. Laki-laki itu menjadi satu-satunya orang yang duduk diantara empat kursi lain yang dibiarkan kosong, karena memang tak ada satupun orang lain yang mau menemaninya sarapan dengan kata-kata. Laki-laki itu, sebentar lagi akan menguasai dunia dengan kata-kata. Dengan jas berwarna hitam, dasi biru bergaris-garis biru tua, serta pantofel buatan Itali, ia bersumpah akan menguasai dunia dengan kata-kata.

Ialah si raja kata, si raja yang hanya senang menguntai kalimat, tak peduli itu dosa atau pahala. Baginya, membuat jutaan rakyatnya percaya adalah segalanya. Menjadikannya daulat sebagai raja. Satu-satunya raja. Yang akan membawa negara bangsanya pada masa depan bercahaya. Cukup dengan huruf-huruf yang tertulis pada lembaran surat kabar yang tak lebih hanya akan menjadi alas tidur pengemis di malam hari yang basah pada sebuah emperan toko. Majalah mahal yang hanya dibeli karena si empunya merasa tak cukup elit  jika tak berlangganan, tiap tahun ia akan mengepak kumpulan majalahnya dan meloaknya, hingga seorang mahasiswa tak berdompet tebal membelinya kembali lalu bersumpah serapah atas segala kata-kata tak berguna di dunia.

Si kotak empat yang mampu berkata-kata itu juga menyiarkannya. Dihantarkan oleh seorang pembaca berita yang tak lebih seperti biduan, berbaju merah dan mengenakan rok pendek. Tak lupa gincu merah, semerah darah. Kurang seksi apa dia di layar kaca? Ia, si pembaca berita yang jelita, bercerita tentang rajanya yang baru saja membuat rangkaian kata dan menyisipinya dengan nada-nada dari tuts piano, petikan gitar, dentuman halus drum, dan sesekali tiupan saksofon. Si raja tak sadar, ia baru saja merusak nada dan irama. Tapi si jelita tak mau mengatakan yang sebenarnya, ia tak mau merusak wibawa si raja, ia terus-terus saja memuji dan memuja. Ia bahkan tak tahu jika air ludahnya sedikit demi sedikit muncrat dan mengotori bross berbentuk setangkai bunga mawar di dadanya.

Di satu warung internet, seorang pemuda membuka sebuah situs berita. Si raja mau menikahkan putri bontotnya. Di mesin pencari semua tentang nya. Lagi-lagi si raja berkata, bahwa ini perkawinan agung untuk negara. Kelak, si putri dan calon suaminya akan turut membangun negara. Mereka akan turut merumuskan kebijakan ekonomi negara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Si putri berjanji tak hanya akan menjadi bintang iklan shampoo berambut indah, tapi juga memikirkan bagaimana menyelamatkan jutaan anak di negerinya agar tak lagi kelaparan, selain dia akan mencoba untuk melahirkan anak-anaknya tepat di hari kemerdekaan.

Raja kata terus berbicara. Ia keluar di mana saja. Ia mengeja A hingga habis semua huruf disusun menjadi sebuah kata untuk dijadikannya pidato esok lusa. Pelan-pelan, kata-kata menjadi makanan yang setiap hari dimakan semua orang. Entah nutrisi entah racunnya, kata-kata terus mengikuti laju darah menuju hati serta otak. Di otak, kata-kata turut membangun rencana. Di hati, kata-kata disaring racunnya.

Terlalu sering kata-kata beterbangan tak berguna. Semua orang turut berkata-kata saja. Tak mau lagi memahami makna. Lagi dan lagi, kata-kata menjelma menjadi udara yang diam-diam dihirup semua warga. Dari penjagal sapi, hingga pengawal raja. Tak tahulah apakah rakyat mencintai si raja yang suka berkata-kata. Belakangan, beberapa orang mulai gerah dengan hantaman kata-kata. Mereka berkata bahwa kata-kata hanya citra. Mereka membrondong balik dengan kata-kata. Turut serta menyesaki lembaran berita dan gambar bergerak yang bisa bicara. Dunia semakin penuh dengan kata-kata. Si raja hampir menguasai dunia…

***

Seorang gadis tuli dan buta hari ini akan belajar tentang matematika. Ia meraba-raba rangkaian titik-titik timbul dan tertawa-tawa. Seorang guru yang hampir gila karena kata-kata memperhatikannya sembari berdoa: semoga dia tak pernah sembuh dari tuli dan buta, biar dia tidak ikut gila. Dia yang akan menyelamatkan dunia…

Si raja tak akan mampu menguasai dunia, seutuhnya.

[]
(Solo, Februari-November 2011)

...ESAI (kayaknya esai)


print screen dari nytimes.com

 
Entah dalam rangka apa, saya menemukan tulisan ini. Esai (Kayaknya Esai) untuk mengikuti workshop penulisan kritik film di Indonesia Buku (Yogyakarta), sekitar September 2011. Kalau tidak salah, saya ditawari oleh kawan saya Mas Yandri, yang ketika itu menjadi program director di situ, sekarang dia jadi wartawan di Jakarta.


Sihir Resensi Bagi Kami yang Nggak Ngerti Film

Jika orang ‘ngerti’ film bicara tentang Quentin Tarantino atau Nazi dalam “Inglorious Bastards”, maka saya lebih senang bicara tentang Brad Pitt. Atau ketika mereka bicara tentang bagaimana rumitnya Chris Nolan membuat “Inception” hidup, saya lebih senang membicarakan betapa tampannya Leonardo DiCaprio dan Joseph Gordon-Levitt. Saya nggak ‘ngerti’ film.

Saya menonton film karena ada ‘resensi’ dari pihak lain. Entah itu dari sebuah artikel ataupun rekomendasi teman. Pun bisa memilih sendiri film yang akan saya tonton, saya akan membaca sinopsis pendek di belakang tempat dvd/vcd-nya atau bertanya pada si mbak penjaga rental. Pada akhirnya, saya memilih film yang saya tonton berdasarkan info-info kecil tentang film itu. Saya dan kebanyakan dari kita pasti tidak akan mau menonton film tidak bagus.
Karena saya cuma paham tentang beberapa pemainnya –itu pun tak paham-paham amat, jadi seringkali saya memilih film hanya karena pemainnya. Dalam pikiran saya, “si A oke di film X, maka dia pasti oke di film Y ini”. Tapi, pengetahuan yang tak seberapa itu bisa saja menjebak. Tahun kemarin kita pasti sangat terpesona dengan Nat Portman ketika ia menjadi Black Swan, maka saya menonton sebuah romcom  dimana Nat bermain bersama Aston Kutcher. Dan, yah, saya kecewa, untungnya tertolong kenyataan kecil bahwa Kutcher itu ganteng.
Pada akhirnya, saya banyak terbantu dengan adanya ‘resensi’ dari pihak lain tentang sebuah film bagus. Setidaknya, ketika oranglain bilang bahwa film X ini bagus, maka saya sedikit percaya, lalu menonton untuk membuktikannya. Dan, ‘buummm’, seringkali ‘resensi’ itu benar adanya. Pun, ketika saya harus membaca ulasan tentang sebuah film atau sekedar mengobrolkannya kembali setelah menonton, kadang banyak benarnya dan lantas setuju dengan pembahasan itu.
Sempat saya berfikir bahwa sebuah tulisan tentang film, atau album atau pertunjukan, ajaib sekali. Karena mampu mempengaruhi pembaca sedemikian rupa dan kemudian setuju (atau sedikit setuju) dengan pembahasannya. Meskipun, sampai detik ini, saya masih mempertanyakan perbedaan atau persamaan antara tulisan resensi dan review film. Entahlah, rasanya ada yang berbeda, tapi sekaligus sama. Atau saya saja yang tidak begitu mengerti.
Dan, saya kira, walaupun tidak punya penulis film favorit, rasanya perlu juga mengetahui rahasia apa dibalik ajaibnya sebuah ulasan film. Setidaknya, saya jadi tahu, rahasia apa yang membuat saya begitu saja setuju dengan ulasan itu. Bagi orang yang nggak ngerti film seperti saya, itu cukup penting. Agar saya tidak hanya terpesona dengan yang ganteng-ganteng, cantik-cantik, atau baju-baju di film saja. Karena film itu katanya terdiri dari banyak hal, macam cerita, artistik, akting si aktor, musik latar, atau efek digitalnya. Aduh, rumit deh, saya belum ngerti.

*****


Siapa sih, yang nggak seneng nonton film?

Seperti ketika pertama kali belajar tentang mode, film juga mengajak saya mengenal hal-hal lain di sekitarnya. Nggak cuma sekedar teknis pembuatan, pesta bintang, atau sekedar meraup berapa miliar keuntungan. Film memiliki ribuan pintu masuk ke berbagai hal di sekitar kita. Contoh paling rumit, menurut saya, kita bisa bermain-main dengan psikologi melalui psikoanalisis atau memaknai berbagai simbol-simbol yang ada melalui semiotika. Wauw.

Dan tentang kenapa akhirnya saya tertarik ikut. Selain ini sangat menarik, karena memacu kita belajar banyak hal lainnya lagi, juga karena saya pengen tahu rahasianya para penulis resensi bisa sampai membikin dunai perfilman kesetrum. Entah berbondong-bondong setuju dengan segala pujian atau caciannya. Atau justru ramai saling membalas karena tidak setuju. Kalau di Indonesia, beberapa situs yang membahasnya dengan kritis seperti rumahfilm.org, cinemapoetica.com, atau jakartabeat.net ulasannya sangat menyenangkan, saya berharap kelak bisa mengirim satu tulisan saya di sana. Tempo, Kompas, atau beberapa blog pribadi pecinta film atau wartawan yang saya kenal juga menyenangkan.

Kebetulan, waktu itu salah satu pematerinya Mas Hikmat Darmawan dari Rumah Film dan ada juga Windu Jusuf dari cinemapoetica. Dan beberapa kawan lain, yang, tulisan mereka sangat harus dipelajari.

Dan lalu, di sinilah saya. 

Meski mungkin baru menonton hanya sepersekian persen dari ribuan film yang ada. Saya pengen belajar. Bahkan sampai sekarang. Iya, sementara saya masih tertarik sama dunia mode dan film untuk saya tulis sekali-kali. Dari situ aja rasanya dunia itu terlampau luas buat dipelajari. Dan, ehm, dari situ akhrinya saya juga belajar banyak si, termasuk ketika harus mengaplikasikannya pada keseharian dan pekerjaan saya.

Sambil ngimpi-ngimpi bisa majang tulisan di, em, minimal beberapa nama yang saya sebut tadi. Syukur bisa di NY Times. Ah, senangnya. Hehehe.. :)))

Sunday, January 20, 2013

...a rip ride






Rekonsiliasi dilalui tidak dengan berlari, tetapi berbesar hati.





 ____________________________________




And this is the house where I, I feel alone, feel alone now
And this is the house where I could be unknown, be alone now

So, the waves and I found a rolling tide
So, the waves and I found a rip ride

(The Rip Tide - Beirut)