Tuesday, January 15, 2013

...binocular love story



Saya percaya, cinta itu, tidak serumit yang pernah saya bayangkan. Pada saat menonton film ini. 


Iya, saya kira cinta itu agak rumit. Meski ajaib. But, hei, life has its magically things, isn’t it? So love too.

Sedikit demi sedikit, dan meski hanya sedikit, kita akan mengingat detil-detil kecil ketika kita kecil. Donat rasa cokelat, gula bubuk yang bertaburan di seragam pramuka, makan bersama si eyang yang beranjak menua, melepas sepatu dan berlari ketika hujan, pacar pertama?

Dan bukankah kita melakukannya hingga sekarang? Apa bedanya dengan menabung untuk menonton konser grup idola dari gaji yang tak seberapa. Makan yang tetap saja belepotan. Ingin selalu punya teman, meski kadang-kadang lebih senang sendirian. Bertengkar dan saling menyalahkan, pergi begitu saja, lalu datang kemudian hari saling mengakui kesalahan, memaafkan, dan semuanya menjadi biasa saja untuk kemudian bertengkar lagi di suatu hari nanti. 

Kita tetap saja melakukannya. Meski ukuran celana telah berubah. Meski jumlah pacar kian bertambah. Meski adik-adik sepupu yang masih SD menganggap kita begitu mempesona karena kita telah dewasa. Padahal kita sama saja. Kita hanya tak lagi memakai seragam dan berlari ke ketiak ayah kita ketika tak ada teman untuk bermain bersama.

Tapi satu hal membedakan antara kita sekarang, dan kita sepuluh tahun lalu: sepertinya kita terlalu banyak berfikir beberapa tahun belakangan. Saya sih, kalau kamu?

Nyatanya, Sam (Jared Gilman) dan Suzy (Kara Hayward), dua bocah dua belas tahunan ini berani menikah tanpa banyak pikir panjang. Tidak, sebenarnya poin utamanya bukan tentang berani menikah atau tidak. Yang menjadikan “Moonrise Kingdom” karya sutradara Wes Anderson sebagai komedi satir, indah, sekaligus ironis adalah peran-peran dewasa yang, ya, semakin tua kita akan semakin terlalu banyak berfikir dan menjadi kian rumit.

Kekacuan di kelompok pramuka pimpinan Scout Master Ward (Edward Norton) yang begitu teratur menjadi kacau ketika satu kursi kosong tak berpenghuni ketika sarapan bersama. Satu anggotanya hilang. Laporan diterima oleh Chaptain Sharp (Bruce Willis), yang kemudian memutari sekitar pulau dengan mobil patrolinya. 

Semua menjadi semakin rumit ketika anak gadis keluarga pengacara ternama di wilayah situ juga menghilang. Padahal malam semakin larut, dan badai bisa saja datang kapan saja.   

Ya, Sam dan Suzy, dua anak unik, kalau tidak mau disebut eksentrik, itu telah memenangkan hatinya untuk perpetualang bersama. Sam yang hangat dan cakap kepramukaan, Suzy yang dingin dan tanpa emosi. Mengingatkan kita akan indahnya hal remeh temeh seperti: kenapa harus suka kucing?, Membacakan satu dua cerita kesukaan sebelum tidur, berdansa pada alunan musik favorit, memasak makanan kesukaan, polosnya ciuman pertama, dan benda-benda kecil yang terlalu identik dengan seseorang yang pernah kita kenal.


Dan, lalu kita akan bertemu dengan masalah orang dewasa: perselingkuhan, pernikahan yang mengerikan tapi tetap dipertahankan demi anak-anak tersayang, kesendirian, penolakan, teriakan-teriakan, dan sekali lagi, terlalu banyak berfikir.

Tidak dengan cara-cara kasar, tentu saja. Jika tak mau peduli dengan kisah cinta Willis dengan ibunya Suze, ini akan menjadi kisah kelompok pramuka heroik penuh humor. Kisah persahabatan yang memenangkan sang protagonis. Kisah cinta pertama yang berakhir manis. Dan film musim panas dengan gambar, karakter, dan naskah yang baik.

Sederhana, menohok dan menyakitkan, tanpa mengajak berfikir terlalu berat.

Ya, ada baiknya, untuk hal-hal tak penting, kita memang tidak perlu telalu banyak berifir. Pun demikian untuk hal-hal penting. Karena tanpa sadar, mungkin kita sedang melakukan hal-hal heroik untuk diri kita sendiri. 



_____________
foto dari sini 

No comments:

Post a Comment