Friday, January 18, 2013

...menyimpan "ya"





Perempuan itu bercakap bersama sahabatnya. Mereka lama tak bercakap. Dan siang itu, si sahabat menagihnya untuk bercerita. Mereka biasa bercerita apa saja. Diantara pohon jambu dan kursi beton, perempuan itu mulai bercerita. Tentang seorang laki-laki, yang tiba-tiba mengatakan, bahwa laki-laki itu kelak akan menikahinya. Mereka tertawa. Si sahabat tertawa paling keras, seolah ada kemenangan. Laki-laki itu kawan si sahabat juga.

“Dia gila. Dan dia, bilang tidak mau ganggu aku lagi. Tapi kelak, beberapa tahun lagi, jika aku masih sendiri. Dia akan datang dan menikahi aku….” perempuan itu mulai cerewet. Sahabatnya masih tertawa, semacam ada kebahagiaan di matanya.

Perempuan itu sebenarnya gusar. Antara senang, ketakutan, dan sebal. Satu minggu yang lalu, ia menolak mentah-mentah laki-laki itu. Ia sempat memilih untuk tidak memiliki laki-laki saja. Sewaktu kecil, perempuan itu, pernah berkhayal, kelak dia besar, akan banyak laki-laki menyukainya. Pasti seperti putri yang diperebutkan puluhan pangeran. Perempuan kecil itu bodoh sekali, umpatnya, dia belum tahu betapa rumitnya hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Sahabatnya masih tertawa. Perempuan itu kebingungan dibuatnya. Apa yang harus ditertawakan? Hei, dia kebingungan.

“Kalian harus bicara,” kemudian katanya.

“Iya. Benar, kita memang harus bicara. Aku sudah ingin bicara dari dulu, tapi dia tak pernah memberi kesempatan. Atau mungkin aku yang tak pernah memberi kesempatan. Atau memang bagi kita tak pernah ada kesempatan…” perempuan itu menatap sekeliling.

Sahabatnya menyodorkan kertas-kertas berisi puisi dan buru-buru membuka komputer jinjingnya.

“Kamu harus baca puisi ini…” sahabatnya menunjuk sebaris judul puisi Goenawan Mohamad, “Kwatrin Tentang Sebuah Poci”. Pada keramik tanpa nama itu/ kulihat kembali wajahmu// Mataku belum tolol, ternyata/ untuk sesuatu yang tak ada// Apa yang berharga pada tanah liat ini/ selain separuh ilusi?// Sesuatu yang kelak retak/ dan kita membikinnya abadi// 1973.

“Barangkali itu yang ada di pikiran lelakimu itu. Makanya dia tidak mendekat sekarang, tapi nanti…”

Perempuan itu cuma diam membaca. Tapi sebenarnya ia membaca mengulang berkali-kali. Adakah orang mencintai sebegitu besarnya? Dan jika lelakinya melakukannya, betapa bodohnya dia tak bersama lelaki itu. Untuk apa menunggu bertahun-tahun lagi, jika mereka bisa bahagia sejak sekarang?

Si sahabat menunjukan satu puisi lagi, “Atau seperti ini?”

“Di Ujung Bahasa” Goenawan Mohamad. Kita menunggu malam/ dengan HP yang diam// Mungkin akan jatuh bunyi “tidak”/ bersama dering yang dimatikan// Dan cinta kita/ bersembunyi// di ujung bahasa yang tak dilanjutkan// di mana Entah mendaku waktu/ dan ruang// dan kita akan berkata-kata/ dan akan berpura-pura// mengertinya// 2011.

Perempuan itu terlihat tersenyum pelan. Ia tahu apa yang ia inginkan. “Ya, aku dan dia harus bicara. Akan bicara,” katanya.

***

Perempuan itu menemui lelakinya. Berharap ada beberapa kata-kata, hingga ia bisa berkata “Ya”. Tapi mereka hanya berjalan, berjalan, dan berjalan. Hanya pertanyaan, pertanyaan, dan pertanyaan. Tentang sepuluh tahun mau jadi apa, tentang masa depan, tentang menjadi bijak, tentang buku, tentang senja. Ia hanya mengulum senyum. Nyatanya, ia senang berada di sampingnya. Ia tak canggung. Bahkan ia tak perlu terlalu gengsi untuk membenarkan kancing kemejanya yang lepas tiba-tiba di depannya. Ia tak perlu menjadi perempuan paling berharga di dunia. Ia ya dia. Hingga malam menuju pagi dan angin terlalu dingin. Ia belum berkata “Ya” atau “Tidak”. Meskipun ia tak tahu, jawaban itu untuk apa. Hingga ia merasa, rasanya lelaki ini tak begitu mencintainya, lelaki ini tak menginginkannya. Lelaki ini tak ingin ada di hidupnya.

Satu waktu mereka bercakap saja. Hingga pada satu kalimat, lelakinya bicara, ia harus pergi. Entahlah, ia seperti mengucapkan, “Harus pergi untuk bisa tinggal”. Perempuan itu tak mengerti, kenapa harus pergi kalau bisa tinggal? Ia menanyakan sekali lagi. Jawabannya masih sama. Lelakinya memilih pergi. Ia tidak mengerti, jika baru saja lelakinya bilang dia jatuh cinta padanya. Kenapa harus pergi? Kenapa dia tak tinggal saja? Apa pula kalimat, “harus pergi untuk bisa tinggal”? Kali ini perempuan itu memberi dia kesempatan untuk tinggal selama dia mau. Dan dia, lelaki itu, tetap memilih pergi. Baiklah, katanya pasrah.

Perempuan itu menatap langit-langit kamar yang terang sepetak. Pantulan dari sebuah neon di beranda sana. Ia lupa puisi Goenawan Mohamad lainnya, yang sempat ia minta fotocopikan pada sahabatnya di sore itu, “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”.

… Aku pun tahu: sepi kita semula/ bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata// Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela/ mengekalkan yang esok mungkin tak ada//

Ia mungkin akan bercerita pada sahabatnya esok hari. Mungkin dia akan sedikit getir dan bercerita, “Laki-laki itu, dia tidak mau tinggal. Percuma dia bilang dia jatuh cinta….” Dan mungkin perempuan itu semakin tidak percaya cinta. Mungkin sahabatnya akan memberi puisi yang lain. Mungkin ia akan menyimpan kata “Ya”, entah untuk siapa. Mungkin dia akan melupakan cinta.

Mungkin dia hanya ingin menunggu hujan… dan, di bulan ketika hujan besar-besarnya nanti, ia akan dewasa dalam angka. Dan dia tak lagi butuh macam kata jatuh cinta. Barangkali dia akan membuang kata “ya”. Barangkali… 

Hanya barangkali. Perempuan itu masih kecil. Dia masih labil.





Solo, 3 Oktober 2011

___________

No comments:

Post a Comment