Wednesday, January 16, 2013

...perjalanan ke mana, Sal?





Jika saja ini bukan tentang satu generasi yang cukup berpengaruh, mungkin film ini tidak akan ada apa-apanya selain tentang: sebuah perjalanan terburu-buru seorang penulis muda yang, maaf, naif.

Tapi ini adalah adaptasi dari salah satu karya yang tak terlupakan dari novel berjudul sama karya Jack Kerouac. Dan lalu pun kita akan tahu, bahwa kisah yang ada di sini adalah sebuah pengalaman pribadi yang sang penulis coba bagi. Tentang masa muda Kerouac, tentang kisah perjalanannya, tentang seorang pelopor Beat Genaration: On The Road.

Kita akan bertemu Sal Paradise (Sam Riley), yang baru saja kehilangan ayahnya. Saat itu akhir medio 40-an. Sal seorang penulis, dan ia sadar benar akan menulis sesuatu yang penting. Kita juga akan bertemu dengan Carlo Marx (Tom Sturridge), kawan Sal sesame penulis. Dan selanjutnya, kita akan berkenalan dengan Dean Moriarty (Garrett Hedlund) dan Marylou (Kristen Stewart). Mungkin awalnya Sal belum tahu, perkenalan mereka akan menjadi catatan penting baginya.

Meski ini kisah Sal, bintang yang sebenarnya di sini adalah Dean Moriarty. Dean Moriarty, yang hanya dengan mengucapkan namanya saja, kita akan mengingatnya sebagai seorang laki-laki menyebalkan tapi diinginkan. Rapuh dan selalu mengingkarinya. Dan naif.

Kata “naif”, juga terlintas jika mengingat karakter Sal. Bagaimana dia memuja Dean, sebagai seorang sahabat yang mengajarkannya tentang mendapatkan kebebasan, sayangnya tergambarkan terlalu naif, jika tidak mau menyebutnya bodoh.

Ini memang kisah nyata. Di mana Kerouac dan sahabat-sahabatnya, termasuk Neal Cassady, karakter asli dari Dean Moriarty. Dan di kisah nyata ini, seperti halnya kenyataan pada umumnya, ada relasi-relasi rumit yang unik. Jika memang pencarian jati diri menjadi tujuan Sal, maka kisah pertemanan dan cinta menjadi jalan untuk sampai. Tapi jika jati diri itu pada akhirnya mewujud pada sebuah buku, maka kisah-kisah dalam film ini sekaligus sebagai kendaraan tempat Sal menumpang dan bertemu teman-temannya.

Sayangnya, kisah yang, bahkan Francis Cappola merasa kesulitan menuliskan naskahnya, maka Walter Salles sepertinya justru lebih kesulitan lagi untuk menerjamahkannya menjadi bahasa film yang utuh. Setelah menyelesaikan filmnya, saya merasa membutuhkan emosi yang lebih padat di sana. Karena pada kenyataannya, kita hanya akan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu pesta ke pesta lain, dan dari kuasa Dean ke kuasa Dean yang lain.

Mungkin seseorang akan bertanya, “Bukankah memang ceritanya demikian?” Ya, bisa jadi. Tapi sepertinya ketampanan para karakternya saja tidak cukup. Hedlund terlihat begitu biasa. Pun dengan Riley yang justru terlihat, sekali lagi, naif. Begitupun dengan begitu banyaknya lokasi yang harus dikunjungi. Emosi-emosi tentang satu tempat yang bisa jadi menjadi lebih personal dan indah, terlalu cepat berlalu tanpa reaksi berarti. Terburu-buru dan tak mendapatkan apapun. Bahkan pada bagian yang menurut cukup emosional, seperti pada pertemuan Sal dan Terry, seorang petani kapas yang ia kenal di bus.

Saya justru menyukai bagaimana Stewart memagang kendali atas dirinya di sini. Saya suka Kristen Stewart yang tahu bagaimana caranya harus membuang muka untuk sesuatu hal tidak terlalu penting atau ketika terluka tanpa harus menangis. Ups, saya hampir bilang kalau saya tidak suka Stewart yang bingung memilih antara vampir tampan atau manusia srigala seksi, tapi saya baru ingat, saya hanya sempat menonton "Twilight" setengah jam.

Untungnya, Salles tidak lupa untuk memberikan gambar-gambar indah yang membuat siapapun ingin keluar dari kamarnya. Menjelajah tanah-tanah tak dikenal. Dan kemudian kembali, pada satu tempat bernama rumah. Untuk kemudian merasa begitu kaya, dan membagikan kekayaan itu dalam sebuah karya.

Ya, setidaknya kita tahu, Sal menuliskannya. 

Kini justru saya bertanya pada diri saya sendiri, “Bagaimana jika memang film ini menginginkannya demikian adanya?” Bisa jadi.

No comments:

Post a Comment