Saturday, September 27, 2014

...photosynthesis






I love this idea of two people married and life together in their young age. On mid-20, perhaps.
They share everything they could to share. Or even they have nothing to share.
Touch the waves and fight the storms that might sink their ship of joy and happiness.
Grow up together like two little soybean-seeds on a pot. Stand on their own roots, while face the same light. Hold up with different stem in a same soil. Side by side, their leaves rise and hold each other. And then we know, as the stem is going strong day by day, their roots meet underground, spinning around. Stronger each other, share water and food they made to grow. Until the day when they are bearing new bean... how lovely, thought.
But for this two young people, life runs not that easy.
They’ve to meet these rules: build a house, have a or some cute and smart kids, blablabla...  or being a great gentleman and lady, good parents, kind of things. But, they choose this way: to do not care about it all.
Starting their life in a little house they rented for a year. And will be continue until they save enough money to buy or build up their own home: a little one too. Or, at least for the down payment. They’re not any wealthy descendants, anyway. Then again, they choose this way: to do not care about it all.
Their roots meet underground, spinning around, stronger each other, share water, hold up their stems, and face the same sun.


I don’t know. These things just poped-up in my mind this morning, while taking bath. Thought, i was thinking too much about photosynthesis and Momo’s text about her planting experiment. Such a good phrase to open a... teenlit. Then i’ll add this:

I met him on.... blablabla.
Then we married... blablablabla.
Then i have a son when i was..... blabla...

Oke, not a teenlit anymore.

About the photosynthesis, anyway. I am still amazed with this process. I am amazed on the way a plant life. Wondering, how small-little leaves could make a lot of foods: then the stem going bigger, the roots stay stronger, ripe the fruits, arose the flowers...
Leaves make sugar, the food, from carbon-dioxide. Man, carbon-dioxide. And, during photosynthesis, they make oxygen. Yes, the oxygen that we need a lot. Back to the leave life, they need this three things: water, air, and sunlight to make sweet sugar to the plant. Roots soak up water from the soil. Then the stem bring it up to the leaves. Leaves catch carbon-dioxide from air with their tiny holes. Then the sun shine over, kisses the special chemical inside leaves, chlorophyll. And there they are: making food for the plant.
As the plant growing bigger. Bigger, and bigger. The leaves just do what they have to do. Everyday. Sometimes they have to fall out some of them. But yeah, the roots save the food. So they saved. And life keeps on turning. Bigger, stronger.
How wonderful.

...di awal kemarau







Di awal kemarau
Debu-debu terbang
Merayakan kebebasan


Tipis kecil tak tergenggam, seperti bayangan


Retak kecil di sana adalah tanda
Ibu tanah yang memberi doa
Agar jauh melayang
Berani melangkah sendirian


Memeluk daun yang kemarin terasa jauh


Sebelum titik hujan pertama memaksanya jatuh
Dan terhapus

Sunday, September 14, 2014

...berdamai








Tiga bulan berada di daerah penempatan, masih ada satu ketakutan besar yang memayungi kepala saya.
Ketakutan yang sama, yang menggantung, bahkan sejak masih mengikuti tahap seleksi. Mungkin bahkan sebelum mendaftar. Atau lebih jauh lagi, sejak ketika dulu ingin mengikuti program ini, yang menyebabkan saya tidak pernah cukup tertarik dan mau untuk mendaftar, sampai akhirnya keberanian, atau keisengan itu datang. Keberanian atau keisengan itu pun, datangnya bukan karena saya telah mengalahkan ketakutan itu sebenarnya. Keberanian atau keisengan itu datang dari banyak hal lain yang lebih rumit, yang keluar entah dari mana dan mendorong saya untuk melangkah ke sini.
Dan kini saya berada di sini.
Ketakutan itu sebenarnya sudah terjawab. Tapi, ketakutan tetap ketakutan. Kadang kita sudah berkata, “Hadapi, hadapi!”. Namun tetap saja, ketakutan adalah ketakutan. Kita tahu itu masih ada jika kita masih merasakannya. Kita tahu kita belum mengalahkannya. Karena begitu saya mencoba menghadapinya, ketakutan itu justru semakin nyata. Dan pada akhirnya, saya tahu saya tidak bisa mengalahkannya. Dan pada satu titik, sepertinya saya akan mengalah saja.
Dan titik itu adalah kini. Sekarang.
Saya takut saya tidak bisa mengajar di depan kelas. Saya takut, apa yang saya sampaikan tidak tersampaikan pada anak murid saya. Saya takut, anak murid saya tidak belajar apa-apa dari saya. Menakutkan bukan, menjadi seorang guru di depan kelas, dan anak muridmu tidak belajar apa-apa darimu? Betapa sia-sia.
Dan jawabannya, iya, saya bukan guru yang baik. Saya tidak bisa mengajar. Saya berdiri, mengangkat tinggi-tinggi lengan saya, mengibarkan bendera kekalahan saya. Sudahlah, saya tidak bisa. Saya kalah.
Awalnya, saya bersiap masuk kelas dengan jutaan ide untuk belajar ini-itu dan melakukan ini-itu. Namun sering saya keluar kelas dengan dada bergemuruh. Agaknya saya marah. Lebih ke diri saya sendiri, yang kehabisan ide harus bagaimana menyampaikan apa yang ada di kepala saya atau bagaimana membuat kelas saya menjadi menyenangkan seperti di iklan-iklan susu pertumbuhan. Bukan hanya otak pintar dengan banyak nilai A yang harus dimiliki seorang guru, ternyata. Tapi juga kesabaran yang selevel dengan mbak-mbak di sinetron RCTI yang selalu sial, dibenci mertua, dibenci teman kerja, dislingkuhi suami, harta habis karena ditipu, tapi tetap sabar dan tawakal. Dan di sinilah saya: bukan kolektor nilai A dan tentu saja, bukan orang yang sabar juga. Sebelumnya, saya mencatat, banyak orang bilang saya keras kepala, argumentatif, dan cendrung kurang peduli. Saya bukan orang yang sabar.
Saya tidak tahu rumusan-rumusan IPA, yang tersederhana sekalipun. Saya gampang bingung di pelajaran Matematika. Saya tidak bisa bernyanyi, satu-satunya prestasi menyanyi saya adalah mendapat nilai 99 di Inul Vista waktu nyanyi Yellow, itu juga dengan teriak-teriak. Saya juga tidak bisa menggambar. Saya tidak bisa menari cantik. Apalagi main alat musik. Hahaha. Matilah saya!
Dan ketika saya masuk di kelas rendah, ketika itu saya sadar anak-anak tak selamanya menggemaskan. Mereka lebih sering mengesalkan. Dan entah kenapa saya cukup setuju dengan pola konvensional guru yang membawa mistar atau bambu untuk mengintimidasi mereka. Sekali dua kali dihentakkan ke meja atau papan tulis. Sungguh segala tepuk-tepuk itu akhirnya menjadi sekedar tepuk. Dan kesepakatan-kesepakatan sepertinya memang ada untuk dilanggar. Saya sedikit menyesal kadang kurang memperhatikan materi pelatihan. Agaknya memang benar-benar berguna di penempatan. Saya bahkan sedang berencana untuk membuat bilah bambu saya sendiri. Saya bawa-bawa begitu masuk kelas, kayaknya seru.
Saya juga awalnya ingin menjadi guru yang menyenangkan. Itu loh, yang seru, lucu, pemerhati, banyak senyum, visioner, buat ini, buat itu, yang semacam itulah. Tapi kadang saya juga kacau. Saya lebih sering kacau. Agak linglung dan bingung karena ada yang dipikirkan atau memang tidak punya ide apa-apa di saat itu. Super ngantuk karena malamnya tidak bisa tidur dan kepikirian pulang, pulang, pulang atau mikir nggak jelas sambil bertanya-tanya, “Ngapain saya di sini?”. Ingin bercerita, tapi tidak tahu ke siapa atau tepatnya, bagaimana. Menulis di buku tulis yang disulap menjadi buku harian pun, akhirnya hanya menulis “Hari ini makan ini... tadi si ini, ini. Si itu, itu....” Mencoba membuka laptop, akhirnya malah nonton film, filmnya yang itu-itu juga, sampai hafal beberapa percakapannya. Mendengarkan lagu, dan Daft Punk sungguh tidak OK untuk didengarkan di talang. Membaca buku, gelap. Baca dari tablet, pusing. Lagian isinya buku strategi promosi, apaan juga. Kadang akhirnya seperti ini, menulis-nuliskan hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti biasa. Sering juga saya berfikir untuk sejarang mungkin pergi ke kota. Tapi seneng juga ketika ada agenda di kota dan harus keluar talang. Meski kalau boleh memilih, kalau sudah di talang, saya inginnya di talang saja terus. Malas nian harus bersiap-siap ke kota, mempersiapkan ini-itu, merepotkan bapak di talang karena harus mengantar hingga dusun pagi-pagi sekali. Tapi ketika sudah sampai di kota, malas pula balik lagi ke talang. Entahlah. Mungkin saya ketakutan untuk masuk kelas.
Begitulah yang terjadi tiga bulan ini. Dan kini.
Saya tahu saya tidak akan menjadi semua itu. Sejak awal saya tahu itu. Saya bukan orang yang sama dengan mereka yang kisahnya pernah saya baca. Saya tidak seoptimis itu. Saya tidak sepositif itu. Saya tahu saya kalah. Telak.
Dan ketika saya berkata saya kalah, langkah saya terasa ringan. Sangat ringan. Lebih ringan.
Saya tidak peduli orang akan berkata apa. Saya bahkan sudah tidak ambil pusing apa anak-anak suka sama saya atau tidak. Saya kadang memberi anak-anak hukuman. Saya kadang marah di kelas. Saya kadang tidur juga di kelas, kami tidur bersama. Saya membebaskan mereka belajar apa saja. Saya cuekin saja anak-anak yang menangis atau berantem, “Ngape nangis ngadu ke ibu? Hendak minta ibu nganceni dengan nangis? (Ngapain nangis mengadu ke ibu? Mau minta ibu nemenin kamu nangis?)” dengan nada sinis; atau “Lajulah bezakat, ibu hendak nyubo sape yang menang. (Teruslah berantem, ibu mau lihat siapa yang menang)”. Meski anehnya, mereka lalu diam. Mungkin mereka bingung.
Saya berangkat sekolah tanpa beban. Saya tahu di sini saya tak akan lama. Perlahan saya akan dilupakan. Dan saya dari tadi tak pernah bicara tentang mereka. Padahal mungkin ini adalah tentang mereka. Karena pada akhirnya, mereka-mereka sendiri, siapapun itu, adalah penentu dari tiap langkah mereka sendiri nantinya. Mereka punya hidup mereka sendiri, yang telah dan akan bersinar dengan sendirinya. Tanpa harus ada saya atau siapa pun untuk menyalakannya.
Pintarlah pintar mereka yang memang ditakdirkan pintar dan mau berusaha menjadi pintar. Mungkin memang harus ada mereka yang dianggap kurang pintar, sehingga akan ada mereka yang nantinya disebut pintar. Mungkin memang harus ada mereka yang disebut kurang beruntung, sehingga orang yang merasa beruntung akan kian merasa beruntung. Itu kan hanya label, kita pun tidak tahu siapa yang membuat standar itu dan untuk apa pula standar itu dibuat. Sudahlah. Oke, ini sinis sekali. Tapi bukankah begitu?
Ini adalah tentang kegelisahan saya. Kemarin dan sekarang. Kini.
Mungkin benar, jika menjadi orang baik itu susah dan melelahkan, barangkali memang lebih mudah untuk menjadi diri sendiri saja. Meski dengan menjadi bukan orang baik. Dan bagi saya kini, meski bukan guru yang baik.
Saya sadar sekali itu. Kini.
Setelah tiga bulan. Setelah salah satu murid saya keluar kelas dan bilang pada saya, bahwa dia tidak mau belajar dengan saya, yang lalu saya persilahkan keluar kalau memang tidak ingin belajar. Mata dia menatap tajam ke saya, saya balas menatap tajam mata anak kecil 7 tahun itu. Sebelumnya, anak itu menggebuk-gebuk meja dan teriak-teriak pada saya, sepertinya hari itu dia sedang tidak suka dengan saya, dan dunianya. Atau  Saya melanjutkan tanya jawab angka-angka dan cara menulisnya dengan anak-anak lainnya yang jelas-jelas menunjukkan antusis belajarnya. Sebelum dia keluar, dia sempat menendang kursinya. Saya pura-pura cuek. Tapi tunggu, sebenernya saya gemetaran. Saya berjanji akan mengajaknya bicara istirahat nanti. Kelas berjalan lagi, anak-anak kembali melihat papan tulis. Bergantian memandangi kawannya yang barusan keluar dan saya. Saya tersenyum saja dan lalu mengajak mereka belajar lagi. Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit: dia masuk kelas lagi dan menghampiri saya. Tersenyum dan bertanya, apa dia boleh belajar lagi, yang tentu saya jawab kalau dia boleh belajar kapan saja dan belajar apa saja. Dia tertawa, duduk kembali. Ikut mengacungkan jari ketika saya melempar pertanyaan, berteriak kencang mencoba menjawab soal. Seakan sebelumnya tak terjadi apa-apa.
Ajaib bukan? Bagaimana seorang anak berdamai dengan apa yang dia alami. Dia dengan mudah melupakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman sebelumnya, bahkan mungkin amarahnya. Hal yang kian sulit kita, saya, lakukan akhir-akhir ini seiring waktu membawa saya bertemu banyak hal yang membuat saya tidak nyaman. Hal-hal yang menghampiri saya, dan mungkin kita semua, ketika beranjak lebih besar, lebih dewasa, lebih menua. Dari sejak kita kecil, ternyata kita memang selalu bertemu dengan banyak hal yang menyebalkan, hal yang kurang menyenangkan. Dari kecil, kita memang selalu bertemu banyak “tuntutan”. Sepertinya memang harus begitu dan akan selalu begitu.
Bermain. Tertawa lepas. Kadang-kadang kalah. Lalu marah. Dan terus bermain lagi.
Mungkin ini saatnya saya juga berdamai. Kini. Sekarang.
Malam ini, kami sedang di kabupaten. Di kamar cewek, kami memutar The Beatles, lagu yang dapat membuat kami bertiga, lebih sering saya dan Momo si, ikut bernyanyi. Lagu-lagunya sederhana dan menyenangkan. Rasa-rasanya pas saja. Sambil membayangkan jika hari-hari kita selanjutnya akan sesederhana pilihan kata-kata dan tatanan nada-nadanya.
“Let it be, let it be...” terdengar di speaker. Jelas terdengar sekarang.