Sunday, May 22, 2011

...mengenang lupa



Apa yang paling kita ingat ketika telah lama melupakan?
Saya terdiam dan berhenti dari mengetik sebuah tulisan demi catatan ini. Landon Pigg, dengan Can’t Let Go-nya membuat saya mengingat sesuatu yang saya lupakan dua minggu ini. Yaitu tenang. Berusaha tenang. Bersikap tenang. Ya.
Saya berhasil melakukannya dengan sempurna dua tahun lalu. Satu tahun lalu. Saya berhasil tenang menyikapi dan menghadapi masalah yang hampir sama dengan yang saya alami dua atau tiga minggu ini. Dimana saya selalu merasa melakukan hal yang keliru, salah, bodoh, tak bisa bersikap, dan yang pasti, tidak tenang. Saya menjadi anak kecil. Anak kecil yang tak tahu ke mana harus berlari dan berpegangan.
Saya mengenang dua tahun lalu. Ketika harus menyikapi hal yang sama. Ketika harus merelakan seseorang dan menyikapinya dengan bijak dan dewasa. Saya bisa. Saya memaafkan. Saya menerima kenyataan dengan sedemikian rupa. Tidak pernah merasa kalah, bahkan hingga detik ini. Justru saya merasa telah melakukan sesuatu yang memang harus saya lakukan. Saya tidak terburu-buru. Saya tepat mengukur kemampuan saya untuk berusaha dan mempertahankan sesuatu. Saya sadar, saya mencintai dan melepaskan dalam waktu bersamaan. Saya berhasil.
Atau satu tahun kemudian, atau satu tahun yang lalu. Ketika saya bisa bersikap. Bahwa saya belum siap untuks atu hal baru lagi. Saya bersikap tepat dan sesuai dengan keadaan saya. Saya (kembali) mampu mengukur kemampuan dan kesiapan saya. Saya bisa bersikap dengan tepat. Saya bisa berkata tidak, sekaligus tidak menekan dan membuat semuanya tetap seimbang pada porsinya. Saya tidak meledak-ledak. Saya tahu di mana letak saya berdiri. Saya tahu ke mana jika harus berlari dan kapan harus diam. Saya kembali berhasil.
Tapi saya yang sekarang. Dimana harusnya lebih mampu bersikap lebih tenang. Nyatanya saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya tidak bisa bersikap. Saya tidak bisa memutuskan. Saya tidak tahu di mana sedang berdiri. Sekaligus saya tidak tahu ke mana harus berlari. Saya meledak-ledak. Saya tidak punya keputusan. Saya tidak tenang. Saya tidak punya sikap.
Saya terlalu kalah pada entah apa di dalam diri saya. Sehingga saya seperti kehilangan arah. Saya lupa ke mana tadinya saya akan berangkat, sekaligus akan pulang. Saya bahkan tidak tahu apa yang saya butuhkan.
Apa ini implikasi ketika kita terlalu banyak menginginkan? Saya tidak tahu. Yang saya tahu sekarang, saya hanya ingin tenang. Dan bersikap.

...let it out


Let people know. Let your self know.
Pada satu titik hidup kita, kita tidak akan tahu apa akibat dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi kita tahu, akan ada ‘setelah’ setelah ‘sebelum’. Kebanyakan kurang baik. Kebanyakan menyakitkan. Atau beberapa sempat bahagia.
Tapi apa yang bisa diingat di jam tiga pagi? Hanya beberapa penyesalan dan kebodohan yang terus berjatuhan seperti papan domino. Sekali satu jatuh, biarkan yang lain jatuh. Dalam waktu yang tidak dapat dihitung dengan jarum jam. Entah berapa sepersekian detik. Apa guna menyesal? Untuk menjadi lebih baik kata orang. Untuk tidak pernah mengulangi lagi, kata yang lain. Sekali lagi, apa guna menyesal?
Apa yang paling kita takutkan? Ketika orang tahu kita tidak bisa apa-apa. Atau ketika kita akhirnya tahu, kita tidak bisa apa-apa. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk orang lain. Untuk orang terdekat. Untuk orang yang kita sayangi. Yang kita cintai. Ketika bahkan kita tidak tahu, harus bersikap seperti apa. Harus mengambil keputusan yang semacam apa. Apa yang kita pikir benar, akan benar dan tepat bagi orang lain? Bagaimana caranya?
Bagaimana membuat sesuatu yang buruk, benar-benar buruk, terlihat baik-baik saja. Menatap cermin dan memastikan diri semuanya baik-baik saja. Cermin bisa saja bohong. Cermin tidak bisa menilai. Tapi orang lain bisa. Itu, kenapa selalu takut orang lain tahu kita tidak bisa apa-apa? Kita tidak bisa berbuat apa-apa?
Sekali lagi, akan ada sesudah setelah sebelum. Apa guna sekarang? Membiarkan semuanya pergi begitu saja. Biar saja…

Friday, May 20, 2011

...jarak

 
Pada akhirnya,
Jarak hanya sekedar angka-angka yang berjejer
Serasa menjauhkan dan semakin menjauhkan
Bernilai ribuan

Ternyata,
Ruang dan waktu tak pernah terbatas
Saling mengait dan memanjang
Seperti dekat

Dan Tuhan mempertemukannya sedemikain rupa
Entah dengan apa manusia memahaminya
Jarak tak pernah sejauh itu
Ada kekuatan entah dari mana untuk mencapainya
Walau tenaga, tak lagi ada

Wednesday, May 11, 2011

...apel

Benar Adam diusir dari surga karena buah apel? Benar kah? Jika iya. Biar saya makan buah apel.


Seperti buah lainnya. Ada saja yang tidak manis. Tidak selamanya apel itu manis. Saya terlalu manja dan tidak menerima kenyataan bahwa, apel bisa saja menjadi masam, atau bahkan pahit. Apel bisa saja membuat keracunan dan lidah kelu karena getah manisnya. Apel bisa saja membunuh. Saya.
Ah, tapi saya terlalu sering menemukan apel manis. Ketika kulit merah berkilaunya begitu empuk dikunyah. Manis di lidah. Dan segar ketika ditelan. Saya hanya ingat tentang sebuah apel yang sempurna. Saya kangen. Saya ingin makan apel.
Saya percaya apel sempurna menjadi apa saja. Menjadi selai, jus, pie, bahkan rujak ulek. Saya tahu apel bisa saja masam. Tapi rasanya cuma manis bagi saya. Seperti saya bilang. Saya sedang di surga. Saya makan apel. Dan saya tidak segera diusir.
Saya curiga, dulu Adam bukan memakan buah apel.

Sunday, May 8, 2011

...hujan

 
A            : Ini hujan?
B            : Hanya air. Ayo berlindung di balik punggung. Karena hanya dengan begitu, aku tahu kamu ada. Walaupun kamu tidak pernah tahu, apa aku ada.
A            : Kenapa memilih berlindung di balik punggung, jika kita bisa berjejer bersama? Kita menerobos hujan bersama.
B            : Karena sesungguhnya aku ragu. Apa kita bisa menerobos hujan bersama, apabila kita berdiri berdampingan.
A            : Baiklah, kita tidak menerobos hujan. Kita bermain air, bagaimana?
B            : Berhentilah bermain-main. Kita bukan anak kecil lagi.
A            : Anak kecil…
B            : Anak kecil…
A            : Berhentilah bermain-main. Kita bukan anak kecil lagi.
B            : Baiklah, kita tidak menerobos hujan. Kita bermain air, bagaimana?
A            : Karena sesungguhnya aku ragu. Apa kita bisa menerobos hujan bersama, apabila kita berdiri berdampingan.
B            : Kenapa memilih berlindung di balik punggung, jika kita bisa berjejer bersama? Kita menerobos hujan bersama.
A            : Hanya air. Ayo berlindung di balik punggung. Karena hanya dengan begitu, aku tahu kamu ada. Walaupun kamu tidak pernah tahu, apa aku ada.
B            : Ini hujan?

...so, you can’t have it all.

Kita pasti tahu, ada kalanya kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Atau memberikan apa yang orang lain inginkan. Bukan?
Saya punya tiga buah jeruk. Saya suka jeruk. Tapi saya ingin apel. Saya ingin apel. Saya lebih suka apel. Saya suka kedua buah itu. Tapi saya lebih suka rasa apel. Dan saya mau apel. Saya mau. Saya ingin.
Jadi, saya simpan tiga buah jeruk segar saya. Di lemari es, atau di sebuah rak makanan yang terlindung dari sinar matahari langsung. Tapi saya maunya apel. Saya mencari apel kemana-mana. Cukup lama. Hingga saatnya saya mendapatkannya, saya kehabisan apel. Terlalu banyak yang menginginkan apel. Saya tidak kebagian. Apel itu.
Saya pulang. Saya mencoba mengupas jeruk saya satu persatu. Mereka sudah membusuk. Saya tidak bisa memakannya. Saya tidak mendapatkan semuanya. Apel yang saya inginkan. Pun jeruk, yang tentu saja manis nan segar nian itu.
Apa saya yakin, apel lebih enak itu dari salah satu jeruk tadi? Yakin? Belum tentu. Kenapa saya harus mencari apel? Apa karena saya tidak suka jeruk? Saya suka jeruk. Tapi saya mau apel. Pernahkah menjadi seperti itu?
Hingga pada akhirnya, kita tidak mendapatkan semuanya. Lalu mau apa? Menangis? Marah? Kecewa? Kebingungan? Karena apa? Karena kebodohan kita sendiri? Kecewa pun karena apa? Menyesal tak segera memakan jeruk? Marah tak mendapatkan apel?
Apa?

Wednesday, May 4, 2011

... kasar?

 
 “Kucing uasu…!”, teriak Butet.
Hampir semua penonton tertawa. Barangkali mereka teringat ketika kata itu keluar dari mulut mereka. Teringat ketika marah dan sengaja mengeluarkan berbagai macam kalimat semacamnya. Yah, walaupun dalam beberapa konteks, kata-kata itu menjadi kasar dan tak selalu kasar.
Saya tadi nonton monolognya Butet , judulnya “Kucing”, di kampus. Jarang-jarang ada acara semacam ini di kampus. Saya yang niatnya nonton. Jadi beneran nonton. Sama seperti pertunjukan teater lainnya, isinya mengkritik. Rremeh temeh saja. Semacam hubungan di “kasur” dengan istri bagi pasangan yang tak lagi bisa disebut muda. Tentang hubungan dengan tetangga. Tentang (buku) sastra yang tetap saja kurang diminati banyak orang. Mempertanyakan keadilan dalam hidup, sepertinya memang ini yang ingin disampaikan, bahwa selalu ada yang dijadikan korban untuk mendapatkan kemenangan. Harus selalu ada yang dibandingkan untuk disebut lebih.  Saya belum sempat baca sampai habis buku acaranya. Keburu ngobrol sama teman saya, si Syauqi dan Maman. Setidaknya hal-hal tadi yang bisa saya tangkap.
Yang paling menggelitik buat saya, tentang, “Nggak bisa ngomong kasar, lha wong saya priyayi o…”.
Saya ngomong kata kasar kok kalau lagi marah. []