Thursday, February 21, 2013

...suburban love



Gwen memutar gelasnya. Tangannya sibuk memilin rambut-rambut kecil di sekitar wajahnya. Tangannya tak bisa berhenti. Ia gugup. Aku tahu, jika Gwen gugup, itu berarti akan ada kalimat-kalimat panjang di iringi tatapan mata yang tak jelas ke mana arahnya. Dan, meski dalam beberapa hal aku tidak akan setuju dengan pendapatnya, tapi akan banyak hal juga yang membuatku kemudian berfikir. Dan lantas setuju, jauh hari setelah Gwen mengatakannya.

Kadang kupikir Gwen ini ajaib. Kontradiktif. Hari ini dia benar, esok hari ia akan menangis-nangis menyesali kebodohannya, tapi tetap diakhiri dengan tertawa terbahak menertawakan kenapa ia menangis, dan bertanya, “Bukankah tiap orang melakukan hal bodoh yah? Ngapain nangis.”

Tapi Gwen lama tak menangis. Meski sempat terlintas dan sedikit khawatir, jangan-jangan Gwen mengajakku bertemu untuk menangis. Lagi. Mungkin Gwen melakukan kebodohan lagi. Kebodohan yang membuatnya terisak diantara kuah pedas bakso dan teh panas sambil merutuki nama mantan kekasihnya. Itu yang terjadi saat terakhir kali aku bertemu.

Aku merindukannya, tentu. Tapi aku terlalu sibuk. Melihatnya mengoceh tak penting di linimasa cukup membuatku tahu kalau Gwen baik-baik saja. Karena aku tahu, kalau dia tak lagi mengoceh, justru itu berarti ada yang keliru. Sedikit rahasia, Gwen bahkan tak pernah menceritakan hal-hal yang menyesakkannya sampai dia lega. Gwen lebih memilih menyimpan ponselnya di laci rak buku dan kemudian menguncinya demi menangisi segala hal yang menyakitinya. Dan Gwen, jika tanpa semangkuk kuah pedas nan panas bakso atau soto, dia tak akan menyia-nyiakan air matanya untuk kau tonton. Dan kau akan merindukan cara Gwen berkata atau sekedar memaki.

Sebentar lagi Gwen akan berkata-kata, tunggu saja, tisu sudah ia remas-remas sampai habis. Tapi sepertinya tak akan ada air mata. Gwen memesan chicken steak, strawberry float, semangkuk salad, dan, sebotol air putih. Gwen hanya akan bercerita panjang.  

“Nggak ngerti yah, tapi bagiku, nikah itu konsistensi harga mati. Bayangin kamu hidup, let’s count, kamu hidup selama 70 tahun dan kamu nikah umur 25 tahun, atau, okelah, kalau kamu mungkin sekitaran 30 tahun, itu berarti kamu akan menghabiskan sekitaran 45 atau 40 tahunan dengan orang yang sama. Dengan berbagai hal yang terus berubah, sementara kalian juga berubah, tapi kalian harus tetap saling bersama. Dan, hebatnya lagi, dalam kebersamaan itu, yang sangat panjang itu, akan ada hal-hal yang harus dilakukan berulang, sama, dan mungkin stagnan. Kenapa panjang, karena 40 tahunan itu adalah sekitar dua kali lipat umur kamu sekarang. Bukankah kita hidup sampai sekarang aja rasanya lama banget? Bayangin deh…”

Aku mencoba membayangkan. Gwen melihat keluar jendela, juga membayangkan. 

“Dan yah, kenapa konsistensi. Sadar nggak sih? Atau mungkin aku aja yah, konsistensi itu menyebalkan. Ya, oke, kadang kita merindukan, ya, kita akan merindukan sesuatu yang telah terjadi, pun itu konsistensi. Tapi, kita baru merindukan rasanya harus selalu ingat bawa topi buat upacara Senin pagi itu, sekarang kan? Ketika kita sudah tidak pernah lagi merasakan panasnya upacara bendera, pun ketika 17 Agustus. Dulu, waktu kita masih punya kesempatan itu, itu menyebalkan. Kita menyesal, kenapa kita nggak bisa menghormati orang-orang yang menghabiskan semuanya demi Indonesia Merdeka. Itu juga karena kita nggak sengaja baca novel-novel perjuangan atau sekedar tahu, dari dulu negara ini selalu merenggut ribuan nyawa dan membuat jutaan perempuan jadi janda atau anak-anak yang mendadak yatim piatu. Toh gitu, emang kita mau bangun pagi ikut upacara 17 Agustus? Tetep enggak. Nah, konsistensi di pernikahan ini, kayaknya bukanlah konsistensi macam harus pake topi pas upacara bendera atau masuk kantor harus sesuai jadwal dan pulang pun sesuai jadwal. Tapi, semacam, harus tetap bersama apapun yang terjadi. Kebayang nggak? Kalau mau ngikutin gambaran macam iklan-iklan, dalam bayanganku, itu berarti benar-benar jadi satu dengan semuanya. Itu berarti dengan orang yang akan kamu, kamu, mungkin, kamu nggak akan senang dengan caranya memakan burger, mungkin teman kantor kamu lebih cantik, mungkin lama-lama kamu nggak pengen ML sama dia, yah, semacam itulah, tapi kamu tetap menghormati dia dan melakukan yang terbaik buat dia. Tidakkah itu konsistensi yang benar-benar berat? Kalau mau dipikir-pikir lagi sih yah. But, we all know. Banyak orang berhasil melakukannya. Contoh paling simple. Orang tua kita. Mungkin mereka pernah melewati hal-hal yang mengerikan, entah itu pertengkaran atau cuma sekedar diam yang amat panjang, tapi, mereka masih bersama hingga sekarang. Dan, kecuali mereka mau cerita, kita nggak tahu lagi, apakah mereka masih saling mencintai atau enggak? Dan, sebenarnya, konsep mencintai itu dari mana sih?”

Gwen berhenti. Mukanya lucu ketika mengatakan kalimat terakhirnya. Aku juga tidak tahu.

“Dan, oya, satu lagi. Mungkin orang akan bilang, kan bisa bercerai. Nah, tapi, aku agak nggak setuju dengan konsep perceraian ini sih, tapi aku tetap bersimpati dengan segala kemungkinan sih. Berita-beritanya patroli membuat aku sadar hidup itu benar-benar agak mengerikan. Tapi aku juga salut sih, kalau ada satu orang yang tetap setia sama pasangannya, apapun yang terjadi. Misal, tiba-tiba suaminya yang tadinya berpenghasilan besar cacat karena kecelakaan, dan perlahan-lahan tabungan terkuras sementara kredit ini itu harus dilunasi, tapi si istri tetap mendampingi dan menggantikannya mencari nafkah. Atau si istri dipenjara, dan sang suami tetap setia. Benar-benar setia dan sabar loh yah konteksnya. Ini baru namanya konsistensi. Kadang, aku pengen deh, hidup yang benar-benar simpel kayak gitu. Kamu nggak perlu peduli dengan apa kata orang. Tapi kayaknya aku belum bisa. Kamu juga kayaknya belum bisa. Disenggol dikit aja mencak-mencak di twitter. Pengennya pake smartphone terbaru biar kece kalo lagi di café, iya kan?”

Gwen tertawa, aku ikut tertawa. Gwen tahu tabletku baru. Kemarin baru kuganti tablet keluaran dua tahun lalu dengan keluaran terbaru yang lebih kecil tapi lebih pintar. 

“Gila yah, 22 tahun hidup aja kan panjang banget rasanya. Coba deh, berapa kali kamu ganti pacar? Berapa cewek yang kamu taksir diam-diam? Dari SD deh kalau bisa. Belum lagi macam drummer keren atau temennya temen temen kost yang cantik yang belum sempat kenalan tapi udah berhasil mencuri perhatian. Tapi kamu akan hidup dengan satu orang yang sama di sepanjang umur kamu. Dan aku salut sama mereka yang berani menikah. Tapi mungkin juga orang yang menyiapkan segalanya sebaik mungkin untuk menikah juga bagus si, seenggaknya mereka mempersiapkan dirinya untuk hal-hal yang tidak mereka inginkan. Mungkin perceraian, atau dan lain sebagaianya. Nggak tahu ini becandaan atau beneran, katanya cewek harusnya nikah sama pria yang mapan. Aku nggak ngerti deh, selain takaran mapan itu beda-beda, kan nggak semua pria terlahir dan beruntung untuk cepat mapan. Kalau gitu, gimana dengan si perempuannya? Harus yang macam Dian Sastro kah? Tapi aku juga nggak berani jamin si, kalau misal, nikah sama orang yang benar-benar nggak punya tujuan. Itu berarti ada semacam kebingungan selanjutnya kan. Meski, jika mapan itu adalah tentang jaminan pekerjaan, kok jadi sempit banget  yah ngelihatnya? Kan, kembali ke depan, kita nggak pernah tahu dengan apa yang terjadi kan? Misal kena PHK atau sakit parah dadakan? Kembalilah ke konsistensi itu tadi nggak sih, ketika kita siap, bersama dengan seseorang dalam segala suka dan duka? Gila yah… panjang benar hidup itu. Dan kita harus melewatinya. Dan, ajaibnya lagi adalah, hidup itu ada fasenya. Mungkin ini fase istirahat, Bri, istirahat sejenak untuk bertemu jadwal yang padat dalam hidup. Macam kita SMP Bri, ada istirahat pertama, ada istirahat kedua, dan kita harus tetap masuk kelas kalau nggak mau orang tua kita dipanggil ke sekolah karena kita badung. Konsistensi Bri. Gila yah…”

Gwen meneguk habis air putihnya lalu mengaduk-aduk strawberry floatnya. Aku mengambil sedikit salad Gwen.

“Gwen, tapi kamu nikah nggak Gwen nanti?” Aku bertanya, menggodanya.

“Nah, Bri, anehnya ya Bri, kalau aku sempat berdoa, aku selalu berdoa kalau anak-anakku kelak punya ayah yang menyayangi mereka Bri… Dan sayang ibunya juga, harusnya”

Kali ini aku tertawa terbahak. Hampir tersedak.

“Gwen, aku ngerti semua yang kamu omongin itu. Kamu tahu, sebaiknya jangan menikahi seseorang kalau kamu masih saja memikirkan tentang perceraian. Yah, meski bener sih, ada relativitas dalam memahami perceraian. Tapi sebaiknya jangan menikahi orang yang bakalan kamu ceraikan si sepertinya, setuju. Dan, kedua Gwen, hal apa yang sudah kamu lakukan secara konsisten selama ini? Selain sikat gigi atau makan Indomie… Karena aku nggak punya jawaban.”

“Sama Bri. Kamu tahu kan, tiap malam aku janji untuk bangun pagi, dan tiap pagi aku mengingkarinya dengan bangun jam sembilan.”

“Mungkin kita belum siap menikah Gwen.”

“Brian, Bri, kamu emang nggak pengen nikahin Maria? Ini tahun ke berapa kalian bersama? Tiga? Eh, lima?”

Aku tak punya jawaban, Gwen.

_____









Disclaimer:

Kenapa “Suburban Love”? Karena saya membuatnya dengan iringan "Suburban Love"  dari Lipstik Lipsing. Lagu untuk Brian, yang tidak mengerti kenapa dia tak punya jawaban untuk pertanyaan terakhir Gwen.

Tuesday, February 12, 2013

...wishing hoping for something



“You must be pretty important. You got the whole plane yourself. Where do you wanna go?” Maya menangis. Tak menjawab pertanyaan terakhir yang ditujukan padanya. 



Ini adalah scene terakhir “Zero Dark Thirty”, salah satu film yang digadang-gadang akan memenangkan piala Oscar tahun ini. Mungkin akan menjadi Oscar selanjutnya bagi Kathryn Bigelow, setelah “The Hurt Locker”.

Sementara membaca random beberapa ulasan film ini di media Amerika, sepertinya ini film penting. Semacam gambaran tentang obsesi, harapan, dan mungkin juga kesia-siaan Amerika mengejar Osama Bin Laden. Otak dari semua aksi teror yang ada di muka bumi ini, sementara tertuduh menyebutnya sebagai jihad. Dan bagi yang mau berfikir lebih berat, akan menyebutnya dengan konspirasi, perang dunia dalam bentuk lebih kasat mata. Atau bagi yang tak peduli, semua ini hanyalah hal-hal bodoh yang terlalu memakan waktu untuk dimengerti.

Dan bagi Amerika, ini adalah teror yang dibalas dengan pengejaran tanpa henti dan tanpa ampun. Meski pada dasarnya teror itu benar-benar menyebalkan, toh nyatanya kadang lebih menyebalkan lagi aksi penangkapan yang keliru. Tapi kali ini kita mendapatkan Bin Laden. Dan ya, untuk menikmati ketegangan, kesigapan, dan rasa putus asa CIA demi menangkap Bin Laden, ada baiknya menontonnya sendiri. 

Meski agak terlau panjang, saya tidak menyesal menyaksikan sampai detik terakhir film ini, karena saya justru paling suka bagian di satu menit terakhir. 

Kita tidak akan bertemu perayaan dan gegap gempita tepuk tangan tertembaknya Bin Laden. Tapi kita akan menemukan Maya (Jessica Chastain), agen CIA yang berhasil menemukan Bin Laden setelah 12 tahun mencarinya, menangis. Pasca ketidakpercayaan banyak orang, rekan satu tim, atasan, hingga prajurit yang akan melaksankan penangkapan, ternyata Maya berhasil. Dan ketika satu pesawat besar bersiap membawanya ke mana saja, ketika seorang prajurit sayang keluarga akan menjawab kota tempat anaknya tinggal, Maya, yang kita tahun sepertinya juga punya seorang anak kecil (terlihat dari wallpaper komputernya), tak menjawab apa-apa. Dia menangis.

Dan ia menangisi tujuannya. Mungkin ia tak lagi punya tujuan.

Sejak SMA Maya ingin menjadi bagian dari CIA. 12 tahun ia hanya berkutat dengan pencarian Bin Laden. Ia harus melihat bagaimana anggota-anggota Al-Qaeda yang tertangkap diperlakukan sedemikian rupa demi menjawab pertanyaan-pertanyaan sama tentang orang-orang terdekat Bin Laden. Mengamati wajah-wajah serupa tapi tak sama demi tahu nama-nama yang ternyata tak berbeda. Melihat kawan dekatnya tewas dalam ledakan bom bunuh diri di markas sendiri. Dan Maya tak pernah berhenti mencari. Hingga jawabannya ada di dalam sebuah kantong mayat dan semuanya berakhir dalam anggukan tanda “Ya, ini orangnya”.

Tujuannya sudah ditemukan. Ia telah sampai pada apa yang dicarinya. Ia tak tahu harus menjawab apa, ketika seseorang bertanya, “Ke mana kau akan pergi?”.

Bukankah kadang kita kehabisan jawaban ketika seseorang bertanya hal yang sama. Mungkin kita tak lagi punya tujuan, atau mungkin kita justru malah terlalu banyak memiliki tujuan. Dan, dua-duanya akan membuat kita menangis diam-diam. Entah karena bahagia, atau sebaliknya.

Saturday, February 9, 2013

...sound of love?




Karena cinta bisa tumbuh dari mana saja dan di mana saja. Maka ada beberapa tempat dimana tak seharusnya cinta lahir dan membesar di sana. Oke, ini menghakimi. Dan oke, ini mungkin bukan tentang cinta. Tapi, apapun itu, seberapa jauh seseorang akan mampu (dan mau) menanggung akibat dari sebuah perasaan yang, kadang terlalu menyenangkan, sekaligus menyesakkan?

Kita tidak pernah tahu.

Seperti juga Martine (Olivia Thirlby) dan Peter (John Krasinki) yang tak pernah menduga sebelumnya, jika proyek post production film eksperimental Martine harus berakhir tanpa kejelasan hanya karena satu momen tak tepat: berpelukan di satu siang dan melanjutkannya dengan bercinta di malam berikutnya. Martine seorang sutradara, atau mungkin tepatnya sineas, karena dia melakukan proses produksinya sendiri. Sementara Peter adalah seorang sound engineer yang mampu menciptakan suara-suara ajaib dari apa saja dengan microfon kecilnya.

Martine baru berusia 23 tahun. Muda, cantik, enerjik, dengan rambut super pendek dan celana high wasted yang akan mengingatkan kita pada model cantik Agyness Deyn yang super edgy, tapi dengan rambut segelap malam. Peter berada di usia sekitar awal 30-an, dengan potongan rapi ala musisi mapan dan cerdas. Sekilas, mereka tampak serasi dan cocok disandingkan satu sama lain. 

Tapi semuanya tak semudah itu.

Seperti halnya film eksperimental Martine yang melihat lebih dekat kehidupan serangga, seperti semut dan kalajengking dengan gambar-gambar super mikro, kita akan melihat hubungan-hubungan manusia yang, sebenarnya tak jauh beda dengan hewan-hewan ini. Semut atau kalajengking yang saling berpapasan dan bertindihan ketika bertemu satu sama lain mengingatkan kita akan hubungan dua manusia ketika bercinta. Dan kita tak pernah tahu, adakah hewan-hewan ini juga sedang bercinta. Dan, jikalah iya, maka mungkin, di sisi lain manusia, ada sekilas karakter mirip serangga-serangga ini.

Dan sebelumnya, ini film Amerika. Yang sederhana, tanpa drama berlebih, hanya kesadaran akan ke-diriannya.

Peter sudah menikah dengan Julie (Rosmarrie Dewitt), seorang psikiater cantik dan lembut dengan satu orang anak perempuan dengan suaminya terdahulu Kolt (India Ennenge) dan seorang bocah laki-laki anak mereka. Hidup mereka sempurna. Martine adalah kawan dari sahabat Julie, yang mengizinkannya tinggal sementara di halaman belakangnya, sementara menyelesaikan sound mixing untuk filmnya.

Pertemuan-pertemuan tak terduga di sini terjadi sejak dari awal. Ketika Martine baru saja turun dari pesawat dengan laki-laki asing yang diacuhkannya. Perhatian si remaja cantik Kolt pada David, asisten Peter yang jauh lebih tua. Perhatian Avi, teman sekolah Kolt yang sangat manis ala remaja enam belas tahun. Pasien Julie, seorang sutradara rentan yang terus merayunya. Perhatian aneh guru les Bahasa Italia Kolt yang terasa mesum. Dan tentu saja, pesona Martine yang mengambil perhatian David dan Peter sekaligus.

Hingga pada suatu pesta, hubungan-hubungan itu menemukan titik temunya. Di satu pesta yang sama, pada sudut-sudutnya yang berbeda. Martine yang menolak Peter, karena sadar Peter telah berkeluarga dan lebih memilih menghabiskan malam bersama David, asisten Peter. Julie yang sakit hati karena menyadari perhatian Peter pada Martine. Julie yang hampir saja termakan rayuan pasiennya. Serta Kolt yang akhirnya menyadari, ia lebih pantas bersama Avi, laki-laki seusianya yang lebih mampu mengerti perasaannya, dari pada David, yang sebelumnya ia lihat tengah berpelukan dengan Martine di satu malam.

Di satu sisi pula, kita tahu, ketika sesuatu berada tak pada tempatnya, akan ada yang terluka setelahnya. Peter menyalahkan Martine karena telah menggodanya, dan menghentikan proyeknya. Julie meminta Martine segera meninggalkan rumah dan keluarga mereka. 

Tapi, setelah melihat film ini sampai habis. Tiba-tiba saya justru jatuh hati dengan karakter Kolt, dia hanya remaja polos yang ingin jatuh cinta. Memilih Avi yang jelas-jelas menyukainya. Menulis puisi sederhana, dan berhasil membuat guru Bahasa Itali-nya yang sedikit mesum kebakaran jenggot. Kolt berani bicara, apa adanya. Bukan Martine yang pada awalnya mempesona, tapi justru terlihat begitu tak sadar dengan apa yang dia lakukan. Begitupun Peter yang terlau naif dan sedikit tidak bertanggungjawab. Atau Julie yang meski tegas, tapi ada sisi lain dirinya yang rapuh.

Apakah, memang masa kanak-kanak adalah masa yang paling jujur? Atau setidaknya, masa remaja?

Dan lalu, meski kita seringkali marah dan tidak terima, kita tak lain halnya seperti serangga yang begitu saja dengan mudah jatuh cinta dan menjatuhkan hati ke siapa saja. Ya, meski kita belum tahu kan, apakah benar, jika serangga-serangga itu benar-benar bercinta. Mungkin mereka hanya semacam bersalaman dan saling sapa.

Dan, tentu saja, kita akan bertemu kalimat-kalimat sederhana tapi sarat di film yang tak terlalu panjang karya Sutradara Ry Russo-Young ini. Musik-musik indah. Dan, tentu saja, kejutan suara-suara dan gambar-gambar yang tak terduga. Bukankah tadi saya sudah bilang, kalau Peter ini ceritanya seorang sound engineer dan Martine ini seorang art filmmaker. 

Dan, “just keep doing what you're doing”, salah satu kalimat Julie, yang sangat saya suka di sini. Meski kita tahu, Martine tidak menyelesaikan proses sound-mixing filmnya, dia akan menyelesaikannya. Begitupun keluarga kecil yang terkena goncangan itu. Dan, ketika Martine memberikan jinsnya untuk Kolt. 

Who says, nobody walks? Everybody walk, indeed.

Saturday, February 2, 2013

...guilty pleasure #2



Kalau bener-bener lagi nggak ada kerjaan dan sendirian di kostan, sementara mata belum mau diajak tidur dan masih sangat males banget ke kamar mandi buat bersih-bersih badan, plus piring bekas jajan masih berantakan di pinggiran karpet, saya biasanya membuka laptop, memutar beberapa album orang-orang yang terlalu sering saya dengarkan, dan: membuka tautan-tautan yang kadang tidak terduga dan lalu entah ke mana.

Biasanya, semua bermula dari twitter atau keyword di google, lalu masuk ke halaman-halaman selanjutnya, jangan berhenti hanya di halaman pertama.

Kadang cukup unik. Kadang berubah seru. Kadang mengesalkan. Dan kadang, bikin nangis sesenggukan.

Niat banget yah? Tapi menikmati ke-selo-an (baca: sélo, longgar dalam Bahasa Jawa, bukan plesetan dari “slow”, lambat dari Bahasa Inggris), adalah sebuah harga tersendiri, yang seringnya akan saya nikmati sampai tertidur tanpa cuci muka dan berbuah jerawat di Jumat malam.

Baru-baru ini saya menemukan blog keyboardist salah satu band indie yang membuat saya penasaran sejak beberapa tahun lalu. Setelah sempat salah orang, karena ternyata orang yang saya maksud adalah semacam additional sepertinya, sementara saya dikenalkan kawan saya yang produser radio ke keybardist aslinya yang sudah tinggal di luar kota. Sebenarnya kebetulan, karena saat itu, selain band mereka memang keren, juga karena orang itu pernah memboyong banyak awards kompetisi iklan mahasiswa. Mbak Lale, kawan saya yang datang saat itu, dan kebetulan kakak tingkatnya yang cerita ke saya. Wauw, di mata saya, orang seperti dia itu luar biasa. Iya kan, kadang kita melihat orang terasa begitu hebat dan lalu kita pengen tahu, siapa si orang itu. Atau bahkan mungkin semacam, “Yang menang kemarin itu siapa si, yang mana orangnya?”; “O, dia yang menang itu ya? Karyanya kayak apa si? Pasti hebat juga…” 

Untunglah ada internet. Tinggal ketik namanya di google, kita akan bisa melihatnya. Melihat, bukan mengenal. Saya percaya, dibutuhkan interaksi yang lebih banyak untuk bisa mengenal dari pada sekedar melihat profil seseorang di laman blog atau menjadi follower di twitter.

Dan saya sering melakukannya. Bahkan cuma gara-gara baca namanya di satu artikel, baru-baru ini saya membuka blog seorang financial advisor gara-gara dia jadi narasumber satu artikel di kontan. 

Tapi saya sadar, tidak semuanya memang untuk dikenal secara personal. Ya sukur-sukur bisa saling tukar pikiran yah, atau mungkin tepatnya saya yang belajar –sambil menikmati pemikiran-pemikiran orang-orang itu di catatan maya mereka si. Em, ya kayak kita baca buku aja kan yah? Merekalah para penulisnya. Kita merasa tahu, tapi ingat, kita tak mengenal mereka. Dan, mungkin, tidak di tempatnya pula untuk terelalu peduli secara berlebihan. Kecuali memang krusial. Seperti misalnya mencaci selebritis menyebalkan, atau supir angkot menyebalkan. Yah, saya juga melakukannya. Karena saya belum tahu cara agar tidak melakukannya.

Naif banget ya saya?

Hufht.

Apa saya hentikan saja ya, ketidakpentingan ini?

Meski seringnya banyak bermanfaat si. Seperti misalnya, saya jadi tahu, siapa itu Yasmin Ahmad dan pandangan saya sedikit berubah ketika harus banyak bicara tentang masalah perbedaan Indonesia-Malaysia. Atau perbadaan-perbedaan lainnya. Saya pernah melihat dua karya Yasmin Ahmad, dan betapa, begitu banyak hal yang sederhana di sana. Seperti di sini. Dan, begitu banyak orang-orang yang terlalu senang untuk memprovokasi kebencian. Nah, kan, saya menghakimi. Saya sama saja ternyata. Belum belajar melihat hal-hal sederhana dengan mata terbuka.

Atau mengikuti twit Goenawan Mohammad. Sepertinya beliau masuk orang-orang pertama yang saya ikuti sejak memiliki akun twitter dan belum pernah berfikiran untuk meng-unfollow akun at gm_gm itu. Saya un-follow Dewi Lesatari karena dia, ah, sudahlah. Tapi GM menyenangkan, setidaknya bagi saya.

Atau tersesat ke dalam blog-blog menyenangkan yang membuat saya: aaah, kapan ya, saya bisa nulis sebagus yang menulis tulisan ini?

Atau melihat akun twitter orang, dan, ah, ini si ini to? Oh, ya ya…. Dan, klik, kita membuka lama web di tautan profilnya. Lupakan twitternya, dan, oh, ini interest-nya.

Dan besoknya lagi, besar kemungkinan saya akan melupakan semuanya.

Melakukannya sekali seminggu dan merasakan efek yang, menyenangkan tapi agak bodoh. A guilty pleasure.

Tapi malam ini saya begitu terharu tentang tulisan ini. Twit seseorang di timeline saya yang menautkan tulisan lainnya di dalam blog ini. Lalu saya pun terlena membaca, dan menemukan ini: http://365karakter.tumblr.com/post/36519167245/moch-asrul

Bukan apa-apa. Mungkin saya seperti Asrul. Saya pertama kali menonton bioskop di akhir umur 16 tahun. Ketika saya sudah tinggal di Solo. Di kota kelahiran saya tidak ada bisokop dan entah kenapa, ayah saya lebih senang mengajak kami, saya dan adik saya, memancing, ke gunung, dan ke pantai daripada ke bioskop. Bioskop terdekat di Purwokerto, saya sempat hampir nonton film ke bioskop sama mantan pacar saya waktu SMA, tapi keburu kemalaman dan saya ditelfon terus untuk pulang.

Tapi televisi di masa ketika saya kecil sepertinya memang penuh film deh.  

Saya pertama kali menonton Armageddon di Layar Emas RCTI kalau nggak salah. Atau Indosiar, saya juga lupa. Dan saya menyukai film itu hingga sekarang. Berkali-kali menangis di akhir film: takut kalau ayah saya tidak bisa menikahkan saya, ya, sebenarnya perasaan itu yang membuat saya menangis, saya ingin ayah saya bisa menggendong cucu dan cicitnya. Tidak meninggal. Karena saya yakin, ayah saya tidak mungkin harus meledakan diri bersama asteroid raksasa demi menyelematkan bumi. Kecuali itu, saya akan mencoba ikhlas.

Sampai sekarang tidak terlalu memaksakan diri menonton film ke bioskop karena awalnya agak sayang harus mengeluarkan uang tiket, pop corn, kue, soda, soda, air putih demi film yang: “Kok jelek yah?”; “Ngapain kamu nonton, ni aku udah punya downloadannya.” Kecuali kamu masih memiliki pacar, atau, minimal gebetan. Sejelek apapun pilihan film yang ada, toh kita sudah sampai lobi bioskopnya. Dan punya stok bahan cerita ketika makan setelahnya. “Ah, aku suka banget bagian si ini nglakuin itu…”; “Hah, bukannya itu aneh yah, menurutku si, soalnya yah…..”; “Optimus Prime keren banget yah….”; “Shia LaBeouf seksi bangettttttt….”.

Dan, tentu, “Terimakasih DVD Bajakan”. Ya, saya membeli dvd bajakan. Setelah tak ada lagi kawan penyuplai film downloadan. Dan, mungkin Agung sepertinya juga terlalu sibuk untuk mengunduhkan Breakfast at Tiffany’s atau Gone With The Wind, atau film-film klasik lainnya. Dan saya seperti melihat dvd Pulp Viction di lapak abah-abah deket kostan deh, yah…hmmm…

Dan karena film-film di televisi yang membuatnya ngantuk di sekolahan, Asrul, –tidakkah namanya mengingatkanmu pada Asrul Sani?, lebih ingin menjadi pembuat film daripada menjadi pandai seperti Haji Kalla, –Jusuf Kalla idola saya! Bayangkan ada sejuta pemuda seperti Asrul di masa depan, orang yang sedari kecil ingin membuat film. Mungkin kita akan bertemu Ifa Isfansyah-Ifa Isfansyah selanjutnya, yang terasa begitu hebat membuat Percakapan Ini di dalam omni Belkibolang.

Karena kenyataannya, begitu banyak film yang ingin ditonton tapi memang tidak tayang di layar bioskop. Pasti banyak di antara kita (kalau ada yang baca) yang sudah tahu apa yang terjadi. Saya sempat merasa berdosa sebenarnya, untuk tidak menonton film lokal di bioskop, tapi, ehm, saya masih begitu kolot memang, saya belum cukup berani menonton film ke bioskop sendirian. Dan saya selalu gagal nonton film bareng kawan kost saya, karena entah apa, dan lalu kami berakhir di lapak dvd bajakan. 

Pola pikir saya akhir-akhir ini agak melantur ke mana-mana. Ada yang terlalu banyak berseliweran. Sepertinya hantu kost-kostan. Mungkin karena saya terlalu banyak begadang sampai subuh. Jadi baiknya, mungkin saya akan mengurangi kegiatan selo ini. Meski saya tahu, saya bisa belajar banyak hal di sini. Tapi kadang tak baik juga mendapatkan begitu banyak informasi.

Karena seperti namanya, maya. Apa yang kita anggap ada, jangan-jangan sesungguhnya tak pernah ada. Ya.