Monday, August 26, 2013

...what women think: masa sih? masa dong? masa, masa?


“Perempuan adalah satu dari tiga konsumen potensial, selain youth dan netizen,” ujar Nastiti Tri Winasis dari MarkPlus Insight dalam sebuah artikel.


Dan jika, saya adalah seorang perempuan, masuk dalam kisaran usia muda, dan, kebetulan, hampir 12 jam sehari tidak dapat terpisahkan dengan internet dan media sosial, lalu, apa kabar saya?
Fikri, kawan kampus yang kini di PR agency, beberapa hari lalu memposting cover Marketeers bulan ini dengan headline, WHAT WOMEN THINK: Memahami Hasrat dan Kegalauan Konsumen Wanita Indonesia. Seingat saya, agency tempat Fikri bekerja memang memegang klien salah satu merek produk kecantikan perempuan. Selain karena illustrasi cover-nya yang sangat menarik, sebagai perempuan saya jelas ingin tahu.
Selama ini, bagian paling menarik dari “menjual” sesuatu, bagi saya adalah memahami consumer behavior. Mencoba mengerti karakter orang-orang yang akan kita ajak untuk membeli. Meski hasil riset tetap menjadi acuan,  tapi angka-angkat itu tak lebih berarti dari penguat analisis mengawang dan menduga-duga dan berasumsi dan penjelas dari kata “biasanya sih yah…”. Dan, seringnya benar. Menantang sekaligus agak sentimentil. Seperti sedang melihat kawan sendiri, orang tua sendiri, atau malah seperti berkaca. Meski memang, walaupun sudah memiliki kelompok tipikal konsumen tertentu, setiap pribadi pada dasarnya unik. Nah, ini serunya.
Bahkan saya punya satu kawan, dimana kita sering duduk lama di satu pusat perbelanjaan demi memperhatikan orang-orang yang berseliweran. Mengamat-amati apa yang orang-orang lakukan. Pengalaman yang sama juga kami rasakan ketika menaiki kendaraan umum, di jalan, di antara ramainya festival, bazaar atau pameran produk. Bagi kami, di situlah observasi yang sebenarnya.
Kembali ke hasil survei MarkPlus tentang kegalauan konsumen perempuan di Indonesia, hasilnya unik. Nggak heran, semua media akan bilang Indonesia adalah salah satu tonggak ekonomi masa depan. Terelpas dari masalah berkembangnya pendapatan atau apalah, saya nggak ngerti. Sebagai pihak yang dipercaya sebagai penentu keputusan pembelian yang sangat potensial, perempuan Indonesia ternyata maunya banyak.
Di sana digambarkan bahwa keinginan perempuan Indonesia itu terangkum dalam konsep WOMEN: Well-being, Optimist, Multitasking, Entrepreneur, and Networker. Kurang lebih dijabarkan dalam beberapa kebutuhan, yaitu: kebutuhan untuk merasa aman, berpikiran optimis, mampu menyeimbangkan urusan domestik dan karier, serta memiliki jaringan luas untuk membuka kesempatan yang lebih besar. Saya lalu teringat artikel-artikel majalan perempuan yang selalu menggambarkan perempuan ideal macam itu. Meski sebenarnya, tiap poin itu akan bisa dijabarkan lebih panjang lagi. Seperti misalnya, kebutuhan merasa aman bagi seorang perempuan muda dan single, menikah, atau single parent tentu akan berbeda.
Seru yah?
Meski agak ngeri juga. Hei, saya juga perempuan soalnya. Hhha.
Banyak hal tiba-tiba berputar-putar. Diantaranya: pertanyaan saya yang sampai sekarang masih sering saya tanyakan ke diri saya sendiri atau siapa saja ketika dapat satu brief baru, “Kita mau ngikutin maunya orang, atau kita mau bikin orang mau ngikutin apa yang bakal kita bilang?” atau bahasa kerennya di buku iklan, “following their need or creating need?”; pertanyaan dosen saya yang dulunya orang MarkPlus, ketika dulu saya presentasi creative strategies tugas iklan, “Ini kalian dapat konsep ini dari mana? Dari mimpi, wangsit, atau apa?” kampret!;  pertanyaan mantan pacar saya yang bikin saya kesel mampus dan lalu mikir banget buat minta putus, “kenapa perempuan harus menggunakan lipstick padahal mereka nggak butuh lipstick itu? Itu semua gara-gara iklan.”
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan  itu, sebenarnya adalah: dari riset. Khususnya dengan memahami consumer behaviour. Ya setidaknya itu yang saya pikirkan sekarang.
Dengan riset, apapun metodenya, kita bisa nemuin mau ngikutin mau orang-orang atau kita bikin mereka yang ngikutin kita akan terjawab dengan melihat bagaimana kebiasaan orang-orang sekarang. Dengan riset, kita bisa bikin strategi komunikasi dan konsep kreatif, dengan riset pula, saya tahu kalau kenapa ada lipstick juga karena dari waktu ke waktu sudah terbukti kalau perempuan terobsesi pada tampilan yang apik, dan kemajuan jaman mengganti daun sirih dengan lipstick.
Dan, perempuan-perempuan Indonesia ini semakin unik ketika kita menarik gambaran kondisi kita yang, kalau menurut saya, berada di antara ide tentang menjunjung adat, taat menjadi umat, dan menjadi perempuan modern. Kondisi ini, adalah peluang besar untuk berjualan bagi para penjual. Dalam artikel, dicontohkan fenomena berhijab.
Isu ini memang menarik banget dua atau tiga tahun belakangan ini. Di dunia mode, bahkan menenggelamkan ide tentang mode Indonesia yang dirintis sejak tahun 80-an. Karena, yaitu lagi, konsep tentang menjunjung adat yang menggambarkan perempuan itu harus baik, bla, bla…. Taat menjadi umat dengan menutup aurat, dan perempuan modern yang tetap modis. Oke, bukan berarti saya nggak setuju yah, bagi saya pribadi ketika perempuan-perempuan berlomba-lomba menjadi good girl semuanya itu bagus dong, karena saya sendiri nggak bisa melakukaknnya, suliit! hhe. Sementara, konsep tentang mode Indonesia, yang lebih avant-garde, nggak bisa semudah itu diterima oleh perempuan Indonesia. Ajakan untuk menggunakan hijab dan pakaian tertutup, plus menjadi lebih baik di mata Tuhan, tentu akan lebih mudah diterima daripada dengan menjadi perempuan Indonesia yang berpakaian kain-kain tradisional dan lebih mengenal kekayaan busana daerah dan nasional. Kayaknya gitu sih.
Unik kan? Jadi, di sini peluang pasar baru terbuka.
Ini ngapain juga saya pagi-pagi nulis ginian. Orang-orang juga udah pada tahu kali. Hhha.
Okelah, intinya dari baca riset ini: iya, perempuan Indonesia itu gampang galau, bok! Udah si, jangan denial. Kondisinya memaksa kita jadi galau, halah! Itu padahal cuma milih produk. Bayangin dalam milih hal-hal lain?? 

Sunday, August 11, 2013

...sisa-sisa hari raya yang masih ada di kepala yang semoga bisa dan masih bisa dan akan bisa dilakukan terus-terus-terus sampe tua dan ini kenapa judulnya panjang sekali ya??

Mulai mendengar. Jangan menyela. Tanyakan kenapa. Hargai setiap pilihan. Berhenti berasumsi. Tetap berfikir positif. Jangan berharap berlebihan. Yakinkan dengan doa. Lakukan semuanya dengan tulus, jangan berharap sebaliknya. Diam jika tidak diperlukan. Berkata apa yang ditahu, jangan katakan yang tak perlu. Jangan lagi menyakiti. Katakan itu canda jika memang canda. Serius pada tempatnya. Perbanyak lagi tertawa. Jujur. Terus berimaji (imaji bukan asumsi!!). Jangan pikirkan yang tidak perlu. Lupakan yang menyakitkan. Maafkan yang menyakiti. Jangan hiraukan yang tak lagi signifikan. Terus melihat ke depan. Menari. Berlari. Terbang tinggi. Lakukan apa saja yang kamu ingini.



Bismillah...
Insyaallah.


Wednesday, August 7, 2013

...mixtape #5



Nah, akhirnya, lingkaran setan review-revisi-rework selama dua minggu terakhir berakhir sudah. Oke, mungkin akan ada revisi plus rework lagi, tapi, sudahlah, saya sudah mengantungi hak cuti selama seminggu ke depan. Tak apa jam segini baru pulang dan bersih-bersih badan, asal besok pagi bisa pulang.
Yak, pulang. Pagi-pagi memesan taksi menuju Gambir, tertidur di dalam kereta, jika tak ada yang jemput, berati saya akan naik angkot dari Stasiun Purwokerto ke terminal, lalu naik bus antar kota, dan lalu sampai rumah. Yipiy!
Dan pasti, selalu ada lagu yang menemani saya selama kurang lebih 7 jam perjalanan itu. Atau tepatnya, lagu yang mengantarkan saya tidur, lalu beberapa detik terbangun demi melihat kereta sedang berhenti di stasiun mana, dan tidur lagi. Naik kereta api selalu menyenangkan, banyak hal-hal ajaib di sana. Hha, saya sering banget pake kata “ajaib” yah? Abisnya bingung mau nulis apa.
Oke, jadi, saya sedang akan menyiapkan lagu-lagu yang akan (dan biasanya) saya putar selama tidur di kereta. Lagu-lagu yang bikin pengen-pengen cepet pengen pulang, atau minimal bikin kita menikmat perjalanan yang seringnya tak terduga, dan, ajaib. Sebuah Mixtape: Pulang.
Oke, mari cek ada apa saja di I-tunes saya. Dan, ini dia listnya:

Early Express – Lipstick Lipsing
Ini lagu wajib naik kereta. “Loco head on, Loco head on!” Hhi… :D
Vagabond – Beirut
East Harlem – Beirut
The Rip Tide – Beirut
The Day I Lost My Voice (The Suitcase Song) – Copeland
Comforting Sounds – MEW
Warning Sign – Coldplay
We Move in Silence – Club 8
The District Sleeps Alone Tonight – Birdy
1901 (Phoenix Cover) – Birdy
In My Life – The Beatles
Pulang – Float
Songs of Seasons – Float
Back Down South – Kings of Leon
Talihina Sky – Kings of Leon
Live Forever – Oasis
Look Just Like The Sun – Broken Social Scene
Every Breath You Take – The Police
Lari Seratus – The Sastro
Paradox – Dried Cassava
Ernestito – SORE
Nobody Knows Me At All – The Weepies
Sunday Memory Lane – WSATCC
Warrant – Foster the People

Aaah, mau ngasih keterangan satu-satu udah keburu ngantuk. :D Hhaa, itu lagu-lagu enak banget dinikmati sambil jalan pokoknya sih, bahkan saking enaknya dijamin pasti bikin ketiduran banget. Duh, ngantuk!
Yaudah si, apapun playlist atau mixtape atau apapun lah yah namanya…. Pilihlah sendiri lagu-lagu kesukaan kamu. Yipiy!
Mari jalan, mari berhenti pusing, mari pulang.

Tiket jangan sampe ketinggalan. :))

Monday, August 5, 2013

...dari, ananda


“Mbak, nek ana masalah, apa kesulitan kerja, apa liane, matur mama. Mbok mama bisa bantu doa kayak mbien pas mbak sekolah. Nggih mbak?” (Mbak, kalau ada masalah, atau kesulitan kerja, atau yang lainnya, bilang mama. Siapa tahu mama bisa bantu doa seperti waktu mbak sekolah. Ya mbak?”

Itu adalah sms ibu saya beberapa hari lalu. Saya baca waktu baru bangun tidur. Ada yang hangat di dada saya ketika itu.
Paginya, sekitar jam 6-an, saya masih tidur waktu ibu saya telpon saya. Dia ngingetin saya kalau saya udah difitrahi, dibayarkan zakat fitrahnya maksudnya, jadi saya nggak usah zakat fitrah lagi, kalau mau zakat, katanya, itung zakat biasa aja. Setelah “Nggih, Nggih, Nggih, dan Nggih…” saya tidur lagi. Sampai siang. Dan ketika bangun, saya baca pesan singkatnya.
Ya, saya selalu lari ke ibu saya jika saya kenapa-kenapa. Nggak bisa ngerjain tugas, demam dikit, sakit gigi dikit, susah ketemu dosen, putus sama pacar, marahan sama temen, dan tentu ketika kehabisan uang. Jaman ngerjain skripsi, ketika saya nggak berani pulang, kalau saya susah banget ketemu dosbing, saya akan menelpon ibu saya dan minta didoakan agar semuanya lancar. Dan seringnya, keesokan harinya saya akan bertemu dosbing saya dan segala masalah perskripsian beres dengan sendirinya. Ajaibnya doa ibu.
Tapi sekarang saya agak sungkan mau cerita-cerita apa saja. Bukan apa-apa, tapi ibu saya suka agak khawatir berlebihan. Bagi dia, Jakarta itu sangat mengerikan. Waktu ibu saya telpon, saya bilang saya lagi tidur di kostan dan nggak kerja karena agak demam, besoknya dia datang. Padahal saya cuma malas berangkat kerja dan pura-pura demam. Heks! Cuma sekali sih, karena setelah itu saya marah-marah, maksud saya biar dia nggak usah repot-repot gitu. Tapi ternyata maksud dia adalah biar dia bisa nengokin saya. Gitulah pokoknya… ribet-ribet tapi manis gimana gitu.
Yang khas sebenarnya kalimat-kalimat sederhannya. Andalannya, “Sabar…”, “Coba lagi besok…”, “Mungkin kamu yang salah…”, “Belum jodoh…”. Nggak perlu teori dan kata-kata motivasi panjang. Mungkin sederhananya begini, pada akhirnya saya tahu saya akan baik-baik saja.
Tapi sebaliknya, ketika dia memiliki masalah khas ibu-ibu, dan dia cerita ke saya, pasti akan saya tanggapi dengan, “Hmmmmm…”, “He’em…” “Masa?” “Hah, mama sih?”. Khas saya bangetlah pokoknya. Cuek-cuek pengen tahu tapi nyinyir juga ujung-ujungnya. Meski ibu juga mulai berbagi banyak hal besar ketika saya sedikit beranjak besar, yang membuat saya tahu, ada hal-hal yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui dan itu ternyata banyak berpengaruh terhadap saya.
Pasti cerita tentang ibu saya, atau ibu kita nggak akan pernah ada habisnya.
Bagi anak-anak perempuan, mungkin kita akan mengingat cerita tentang: pengalaman menstruasi pertama; tentang apakah kita boleh punya pacar atau tidak; tentang kenapa kita harus berhijab dan bagaimana jika tidak, mungkin; kenapa kita sebaiknya tidak memakai rok mini; kenapa menggunakan bedak dan lipstick dan deodorant dan lulur dan parfum; bagaimana memilih potongan rambut; apakah kita cantik? Karena teman kita lebih cantik; bagaimana memilih tomat dan sayur yang lebih baik di antara tumpukan tomat dan sayur yang kelihatan sama; bagaimana memasak sop ayam; suami itu apa? dan bagaimana cara memilihnya?; Jadi ibu itu nanti gimana?
Setidaknya itu beberapa hal remeh-temeh yang saya obrolkan dengan ibu saya. Beberapa kawan juga bercerita tentang hal yang sama tentang ibu mereka. Ya, setidaknya kawan-kawan terdekat yang mau berbagi banyak cerita dengan saya. Selalu ada obrolan tentang, “Kata ibuku…bla…bla…blaaa…” Ajaib yah, bagaimana seorang ibu mempengaruhi banyak hal pada diri kita.
Saya tidak tahu sifat apa saja yang ada pada dia yang juga ada pada saya. Karena kadang kita sama, sering pula saya nggak setuju dengan ibu saya. Tapi, yang saya tahu, pada akhirnya saya selalu salut dengan keputusan-keputusan yang dia lakukan. Saya tidak mau memilih perempuan lain untuk jadi ibu saya. Meski ibu saya nggak punya pilihan lain untuk punya anak seperti saya. Karena saya kira saya bukan anak yang baik. Apa selama ini saya selalu membuat dia tertawa bahagia? Saya tidak yakin.
Dulu, di usia seperti usia saya sekarang, kalau kalkulasi saya nggak salah, sepertinya ibu saya sudah mengandung saya. Saya bingung mau ngomong apa lagi… karena hari ini dia berulangtahun, dua kali lipat usia saya sekarang. Saya ingin sekali bertanya, bagaimana rasanya terus berjalan hingga selama ini?
“Apa mama bahagia? Semoga dan selalu yah, Ma…”



Saya menyimpan KTP masa gadis ibu saya. Hhi, rambutnya asoi yah? :D

Saturday, August 3, 2013

...PS: happy eid


Dear Vicky, Syauqi, Julia, and Dini
It was a long time ago. When I cried, talked, or wrote to you about everything. About how hard life could be, sometimes. And it getting harder, more complicated, and stressed. We’re bored. We’re mad. And we’re lost.
There we learned. Life isn’t just about a handsome boyfriend, nice dresses, sale, or great foods. Life, itself combine with anything we didn’t expect before. A magic circumstances.
How my life could be so different in 6 months? Then I’ll thanks to you, all.
There you, Vicky, who remind me about: God works, and everything in between: get luck, get pray, and grateful. It just, it just perfect to have you here. Syauqi, Bundo, who accompanied me to travel around and getting lost together. Talked, talked, and talked. Learned, learned, and learned about anything left, something happen, and everything that will come by. Did we call it dreams, or something? We were sick about it. Did I tell you, that I cried while I’m on train to Jakarta. I said to myself, “I won’t do this again. I won’t being a fool again.” No, not the journey we took. But, you know, I think I’m doing too much bad things. So you did too, I thought. Jul, hei, Juuulia, we will always be a first learner and I always adore you. Let me recall when we were on first semester, then. Did you tell me about your lacks, and sorry, I never really-really listened to you. That was, because I knew, you’re more than all those things on your mind. I watched you. And then, Dini, yes, in the end, we will always walk alone. Make our own line. Make our own way. But there will always be a door, a window, a hole, or anything we couldn’t see, that, make us linked. We know that.
Kicking back, get lost and then come home. Less talking, and think too much. Sinking and run. Keep a secret, take the pride. Thanks to be there. A place we never come back.  
Happy eid.

...eid


Saya lupa sejak kapan saya merasa biasa aja dengan Idul Fitri.


Mungkin sejak kuliah dan banyak tugas, dan pulang H-1 atau H-2. Mungkin sejak hampir selalu pakai terusan yang sama untuk ke masjid, karena biar seragaman putih-putih sama keluarga, dan saya suka banget terusan putih berbordir saya. Atau mungkin sejak, sejak saya ngrasa, salah saya lebih banyak ke orang-orang yang tidak bersama saya ketika Idul Fitri datang.
Kalau diingat-ingat, dari lima atau empat tahun belakangan, perbandingan antara jumlah keberadaan saya di rumah (keluarga, dan keluarga besar) dengan saya berada di tempat saya tinggal (kostan, tentu saja) itu, sangat besar.
Iya si, mungkin saya bikin sedih atau bikin marah orang tua saya. Tapi kayaknya saya lebih sering bikin kesel dan bikin marah teman-teman main saya deh. Kalau ngomongin ngrasa bersalah dan ngrasa berdosa gitu, saya juga rasanya kok lebih sering ngomongin, sebel, kesel, atau nyela-nyela teman-teman saya, dosen, atau mungkin sekarang bos saya.
Saya sempet ngrasa suka agak-agak aneh sendiri kalau ikut kumpul keluarga besar (super besar) yang kadang saya ngga kenal orang-orangnya. Sebagian saya nggak terlalu kenal. Saya juga udah nggak berantem lagi sama sodara-sodara sepupu. Oke, saya agak-agak nggak sopan yah?
Saya nggak ngerti yah.
Mungkin bukan itu juga. Karena saya seneng-seneng aja dengan tradisi ketika Lebaran. Kapan lagi saya dipeluk ayah saya? Hhhi. Dan ini, satu lagi, saya jadi inget kalau saya punya eyang yang sudah meninggal, dan momen nyekar itu adalah salah satu momen yang cukup ajaib bagi saya. Tentang bagaimana kita mengenang orang-orang yang telah tiada dengan cara mendoakan mereka, dan kita percaya kalau doa kita berarti banget buat mereka. Mengingat bagaimana ketika mereka masih hidup dan melihat bagaimana sekarang banyak hal yang telah berubah. Dan lalu semacam melihat bagaimana bapak-ibu saya juga perlahan menua, dan mereka masih berbeda pendapat tentang di mana mereka akan dimakamkan nanti, jikalah mereka meninggal. Salah satu hal yang membuat saya dan kedua adik saya geleng-geleng kepala.
Lalu sorenya, selepas Asar, biasanya saya dan kedua adik saya akan tidur bersama hingga menjelang Magrib. Lebaran itu capek, yes?
Ehm, oke, berati sebenarnya saya seneng yah menikmati Idul Fitri sama keluarga saya. Katanya, kalau kita nggak ada masalah dengan melakukan hal yang sama berulang-ulang, berarti kita menikmatinya yah?
Jadi, terus apa dong?
Kenapa saya merasa biasa aja sama Idul Fitri?
Bisa jadi, mungkin karena saya malas berdesak-desakan dan repot-repot ria menjelang lebaran. Saya loh nggak beli baju baru. Bingkisan lebaran dari kantor, akhirnya juga ditodong orang-orang seruangan, saya jual aja, ahahahaa. Cuti juga cuma beberapa hari. Saya ke mall sih minggu kemarin, creambath dan beli titipan ibu saya. Kata ibu saya, saya besok pulangnya diminta bawa oleh-oleh lebaran, tapi saya juga bingung bawa apa. Bukannya di rumah lebih banyak pilihan yah? Ya ampun, saya nggak peka dan pelit banget yah?
Atau, ehhhmmmm….
Apa karena saya di Jakarta yah?
Karena kalau pulang ke rumah, yang kata peta jarak tempuhnya hanya sekitar 10 jam, tapi kalau Lebaran gini jadi 24 jam. Atau karena ternyata, kerja itu, terutama di tempat saya kerja, menuju libur panjang macam Lebaran adalah semacam salah satu momen paling hectic sepanjang tahun. Plan-nya panjang-panjang sampai tiga minggu. Sampai ngrasa agak bego sendiri kalau abis pulang kerja.
Tapi saya niat pulang kok sebenarnya. Saya sampai online tengah malam demi tiket kereta Lebaran. Megangin token aja sampai tiga jam baru bisa dapet kursi setelah rebutan entah sama siapa, dan kesel sendiri karena sampai siang ternyata kursinya masih ada lagi. Herghdez!
Tapi saya biasa aja deh sama Idul Fitri. Jangan-jangan keimanan saya menurun gitu yah? Ngaruh nggak sih, hubungan antara tingkat keimanan dan antusiasme menyambut hari raya?
Cuman yah, ada yang lucu. Ini agak nyinyir si, cuma serius ini lucu. Minggu lalu saya mau ke Bogor buat buka bersama, nah, stasiun KRL terdekat dari kost adalah Stasiun Tanah Abang. Okelah, saya naik semacam kopaja ke sana, dan lalu naik angkot. Karena kurangnya pengalaman dalam mengenal kawasan Tanah Abang ketika siang, saya nggak tahu kalau Hari Minggu siang di Tanah Abang itu hampir-hampir neraka lah rasanya. Macet parah, motor berisik, jalanan penuh, orang-orang jalan cepet banget, dan saya nge-freeze di angkot yang diam nggak jalan-jalan. Ada sekelompok ibu-ibu dan anak-anak gadisnya masuk ke dalam angkot, mereka sepertinya capek jalan. Tebak? Mereka nggak puasa dong. Mereka berbagi minum dan roti-roti gitu dong. Karena, dari hasil nguping, karena mereka capek belanja. Oke, saya belum pernah ke Tanah Abang, dan mungkin emang Tanah Abang itu luas sekali gitu yah? Dan kemudian, sampai satu jam angkotnya bener-bener diam, karena udah kesorean banget, saya akhirnya turun dan memilih jalan. Udah si, saya nunduk aja jalan terus cepet banget nrobos-nrobos orang nggak peduli. Dan, di sepanjang pinggirannya itu kan banyak tempat makan kaki lima gitu yah? Di sana tu banyak banget orang lagi makan. Ya, iya si, bisa jadi mereka lagi nggak puasa… Cuma, bisa jadi juga kan, kalau mereka mbatalin puasa karena kecapekan belanja buat lebaran? Mungkin nggak sih? Atau emang karena Tanah Abang itu panas banget yah? Mungkin kalau belanjanya di Plaza Indonesia nggak akan maksa-maksa buka puasa karena kecapekan dan kepanasan si. Saya aja nyesel banget lewat Tanah Abang kemarin itu.
Nah, itu.
Kalau tentang ketemu keluarga gitu, mungkin karena saya pada dasarnya sering pulang yah, jadi saya ngrasa semacam: selama saya tahu keluarga saya baik-baik saja, berati nggak ada masalah. Eh, tapi nggak tahu juga ding yah, masalahnya saya juga belum pernah benar-benar ngrayaian Idul Fitri nggak bersama mereka. Meski Idul Fitri kali ini sepertinya akan sangat bermakna, tapi saya belum dapet gregetnya. Apa saya besok kudu beli baju baru dulu gitu? Atau gimana yah, biar agak-agak seru gitu?
Apa karena jangan-jangan, bener kali yah, ketika udah agak besaran dikit, hal-hal seru ketika kita kecil jadi nggak seru lagi?
Terus, sekarang yang seru ngapain dong?
Ah, tapi, anyway, selamat merayakan Idul Fitri. Semoga tetap bermakna.... :):):)