Monday, August 26, 2013

...what women think: masa sih? masa dong? masa, masa?


“Perempuan adalah satu dari tiga konsumen potensial, selain youth dan netizen,” ujar Nastiti Tri Winasis dari MarkPlus Insight dalam sebuah artikel.


Dan jika, saya adalah seorang perempuan, masuk dalam kisaran usia muda, dan, kebetulan, hampir 12 jam sehari tidak dapat terpisahkan dengan internet dan media sosial, lalu, apa kabar saya?
Fikri, kawan kampus yang kini di PR agency, beberapa hari lalu memposting cover Marketeers bulan ini dengan headline, WHAT WOMEN THINK: Memahami Hasrat dan Kegalauan Konsumen Wanita Indonesia. Seingat saya, agency tempat Fikri bekerja memang memegang klien salah satu merek produk kecantikan perempuan. Selain karena illustrasi cover-nya yang sangat menarik, sebagai perempuan saya jelas ingin tahu.
Selama ini, bagian paling menarik dari “menjual” sesuatu, bagi saya adalah memahami consumer behavior. Mencoba mengerti karakter orang-orang yang akan kita ajak untuk membeli. Meski hasil riset tetap menjadi acuan,  tapi angka-angkat itu tak lebih berarti dari penguat analisis mengawang dan menduga-duga dan berasumsi dan penjelas dari kata “biasanya sih yah…”. Dan, seringnya benar. Menantang sekaligus agak sentimentil. Seperti sedang melihat kawan sendiri, orang tua sendiri, atau malah seperti berkaca. Meski memang, walaupun sudah memiliki kelompok tipikal konsumen tertentu, setiap pribadi pada dasarnya unik. Nah, ini serunya.
Bahkan saya punya satu kawan, dimana kita sering duduk lama di satu pusat perbelanjaan demi memperhatikan orang-orang yang berseliweran. Mengamat-amati apa yang orang-orang lakukan. Pengalaman yang sama juga kami rasakan ketika menaiki kendaraan umum, di jalan, di antara ramainya festival, bazaar atau pameran produk. Bagi kami, di situlah observasi yang sebenarnya.
Kembali ke hasil survei MarkPlus tentang kegalauan konsumen perempuan di Indonesia, hasilnya unik. Nggak heran, semua media akan bilang Indonesia adalah salah satu tonggak ekonomi masa depan. Terelpas dari masalah berkembangnya pendapatan atau apalah, saya nggak ngerti. Sebagai pihak yang dipercaya sebagai penentu keputusan pembelian yang sangat potensial, perempuan Indonesia ternyata maunya banyak.
Di sana digambarkan bahwa keinginan perempuan Indonesia itu terangkum dalam konsep WOMEN: Well-being, Optimist, Multitasking, Entrepreneur, and Networker. Kurang lebih dijabarkan dalam beberapa kebutuhan, yaitu: kebutuhan untuk merasa aman, berpikiran optimis, mampu menyeimbangkan urusan domestik dan karier, serta memiliki jaringan luas untuk membuka kesempatan yang lebih besar. Saya lalu teringat artikel-artikel majalan perempuan yang selalu menggambarkan perempuan ideal macam itu. Meski sebenarnya, tiap poin itu akan bisa dijabarkan lebih panjang lagi. Seperti misalnya, kebutuhan merasa aman bagi seorang perempuan muda dan single, menikah, atau single parent tentu akan berbeda.
Seru yah?
Meski agak ngeri juga. Hei, saya juga perempuan soalnya. Hhha.
Banyak hal tiba-tiba berputar-putar. Diantaranya: pertanyaan saya yang sampai sekarang masih sering saya tanyakan ke diri saya sendiri atau siapa saja ketika dapat satu brief baru, “Kita mau ngikutin maunya orang, atau kita mau bikin orang mau ngikutin apa yang bakal kita bilang?” atau bahasa kerennya di buku iklan, “following their need or creating need?”; pertanyaan dosen saya yang dulunya orang MarkPlus, ketika dulu saya presentasi creative strategies tugas iklan, “Ini kalian dapat konsep ini dari mana? Dari mimpi, wangsit, atau apa?” kampret!;  pertanyaan mantan pacar saya yang bikin saya kesel mampus dan lalu mikir banget buat minta putus, “kenapa perempuan harus menggunakan lipstick padahal mereka nggak butuh lipstick itu? Itu semua gara-gara iklan.”
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan  itu, sebenarnya adalah: dari riset. Khususnya dengan memahami consumer behaviour. Ya setidaknya itu yang saya pikirkan sekarang.
Dengan riset, apapun metodenya, kita bisa nemuin mau ngikutin mau orang-orang atau kita bikin mereka yang ngikutin kita akan terjawab dengan melihat bagaimana kebiasaan orang-orang sekarang. Dengan riset, kita bisa bikin strategi komunikasi dan konsep kreatif, dengan riset pula, saya tahu kalau kenapa ada lipstick juga karena dari waktu ke waktu sudah terbukti kalau perempuan terobsesi pada tampilan yang apik, dan kemajuan jaman mengganti daun sirih dengan lipstick.
Dan, perempuan-perempuan Indonesia ini semakin unik ketika kita menarik gambaran kondisi kita yang, kalau menurut saya, berada di antara ide tentang menjunjung adat, taat menjadi umat, dan menjadi perempuan modern. Kondisi ini, adalah peluang besar untuk berjualan bagi para penjual. Dalam artikel, dicontohkan fenomena berhijab.
Isu ini memang menarik banget dua atau tiga tahun belakangan ini. Di dunia mode, bahkan menenggelamkan ide tentang mode Indonesia yang dirintis sejak tahun 80-an. Karena, yaitu lagi, konsep tentang menjunjung adat yang menggambarkan perempuan itu harus baik, bla, bla…. Taat menjadi umat dengan menutup aurat, dan perempuan modern yang tetap modis. Oke, bukan berarti saya nggak setuju yah, bagi saya pribadi ketika perempuan-perempuan berlomba-lomba menjadi good girl semuanya itu bagus dong, karena saya sendiri nggak bisa melakukaknnya, suliit! hhe. Sementara, konsep tentang mode Indonesia, yang lebih avant-garde, nggak bisa semudah itu diterima oleh perempuan Indonesia. Ajakan untuk menggunakan hijab dan pakaian tertutup, plus menjadi lebih baik di mata Tuhan, tentu akan lebih mudah diterima daripada dengan menjadi perempuan Indonesia yang berpakaian kain-kain tradisional dan lebih mengenal kekayaan busana daerah dan nasional. Kayaknya gitu sih.
Unik kan? Jadi, di sini peluang pasar baru terbuka.
Ini ngapain juga saya pagi-pagi nulis ginian. Orang-orang juga udah pada tahu kali. Hhha.
Okelah, intinya dari baca riset ini: iya, perempuan Indonesia itu gampang galau, bok! Udah si, jangan denial. Kondisinya memaksa kita jadi galau, halah! Itu padahal cuma milih produk. Bayangin dalam milih hal-hal lain?? 

No comments:

Post a Comment