Sunday, May 26, 2013

...gundul




Sore itu kita bingung. Saya dan produser senior saya. Materi kita ditolak. Rencananya mau bikin drama keluarga Jawa gitu. Hha. Yasudah, sore itu bingung.
Terus paginya, produser senior itu nemuin saya. Menunjukkan selembar kertas. Nih, kita bikin kayak gini aja, gambarnya pake ide yang pertama dulu itu. Oke, siap, yak.
Dan saya baru tahu, makna lagu dolanan yang saya nyanyikan sejak kecil. Lagu dolanan, yang ternyata bermakna sangat besar…

***
Bagi sebagian orang, menerima selembar lima puluh ribuan di pagi hari tanpa nglakuin apa-apa itu luar biasa. Dan itu, akan sangat terasa bagi banyak orang. Tapi sayangnya, tidak ada uang yang datang tanpa maksud apa-apa. Pun selembar lima puluh ribuan atau seratus ribuan di pagi hari. Uang itu adalah harga satu contrengan di bilik suara.
Saya tidak pernah benar-benar tahu jika ada acara bagi-bagi uang di pagi hari demi satu angka suara. Dari pintu belakang satu, ke pintu belakang lainnya. Meski aka nada satu dua orang, menunggu serombongan orang di pojok perempatan sebelum TPS. Memberi kode-kode nomor yang harus dicoblos.
Hufht.
Itu yah, namanya politik uang?
Tapi saya tahu. Itu bisa saja terjadi. Dan, masih akan segera terjadi. Dan itu menyebalkan. Coba bayangkan…
Seorang calon anggota legislatif muda, yang baru wisuda beberapa tahun lalu, sedang menyusun rencana untuk pengembangan di satu desa. Dia mengusahakan adanya Koperasi Tani dan pengembangan apotik hidup dan kebun kecil di tiap rumah tangga. Bahkan sebelum ide sampai ke masyarakat, di kalangan orang-orang tua partai, ide itu sudah ditolak. Alasannya, katanya, jumlah uang dan tenaga untuk melaksanakan semua itu LEBIH BESAR daripada membagi uang di pagi hari sebelum pemilihan dimulai. Rawrk!!
Usul ditolak.
Katanya lagi, masyarakat lebih membutuhkan uang, daripada koperasi, cabe, atau tanaman-tanaman lainnya di kebunnya. Rawrk!
Yaiya sih, butuh uaaang. Semua orang juga butuh uang, tapi? Tapi sayang, si calon legislatif muda tentu lebih percaya apa kata si orang tua. Meski malas mendengarnya.
Saya juga malas mendengar ceritanya.
Dan orang tua kadang memang selalu demikian.
Walau ada benarnya juga, bahwa. Masyarakat, kebanyakan masyarakat, entah masyarakat yang mana, lebih gampang menerima uang. Daripada penyuluhan satu dua jam, atau pot-pot berisi pupuk. Katanya, uang bisa untuk membeli supermi dan top kopi, tapi pupuk cuma bisa buat menumbuhkan bayam dan cabai.
Terus, setiap menjelang pemilihan, mau dari pemilihan lurah, bupati, gubernur, caleg, juga presiden, semua orang berharap aka nada serangan fajar. Juga tiap partai menyiapkan sejumlah uang…
Hufht.
Untung saya baru pertama kali milih. Dan entah kenapa, saya merasa telah memilih kandidat yang benar. Dan sayang, besok saya tidak bisa menggunakan kesempatan saya untuk memilih calon gubernur saya. Harusnya saya memilih. Menggagalkan Bibit Waluyo agar tidak menjadi gubernur lagi. Tapi yasudahlah, saya hanya bisa berdoa. Semoga yang terbaik bagi Jawa Tengah.
Kalaulah praktik politik dengan selembar dua lembar uang besok belum dapat dicegah. Semoga satu, atau enam tahun lagi sudah dapat dihindari. Amin.
***
Gundul-gundul pacu cul, gembelengan…
Nyunggi-nyunggi wakul kul, gemebelengan…
Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar…
Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar…

Gundul adalah kepala. Kepala adalah pemimpin. Dan seorang pemimpin, tidak boleh gembelengan, tidak boleh sombong. Mereka yang memegang amanat, nyunggi wakul, juga tak boleh lupa akan tugasnya. Karena, sekali melakukan kesalahan, semua yang sudah dilakukan akan sia-sia…
Barangkali itu yang terjadi dengan Jawa Tengah lima tahun terakhir. Kali.
Selamat memilih...

Saturday, May 25, 2013

...if you don't



Ada satu masa di mana, lagu-lagu The Beatles mampu membuat seseorang jatuh cinta. Begitupun cerita-cerita tentang Coldplay.
Ada satu masa ketika, gambar-gambar realis adalah mimpi-mimpi yang seperti menjadi nyata. Begitupun obrolan-obrolan tentang menjadi manusia: kita bukan siapa-siapa, juga bukan anak siapa-siapa, lalu besar, belajar, bekerja, menikah, menjadi orang tua, lalu mati, dan mungkin kita akan tetap menjadi bukan siapa-siapa, kecuali keluarga-keluarga tercinta, dan sahabat-sahabat terdekat, yang tetap saja, masih bukan siapa-siapa.

1
Waktu itu malam sedikit hujan. Oh, tidak, ini hujan beneran.
Pesan singkat masuk. “Gwen, hujan. Jadi berangkat tidak? Kalau jadi, aku pinjam mobil kakakku dulu.”
Gwen langsung membalas cepat. “Jadi. Aku sudah dandan.”
Setengah jam kemudian. Vios silver menerobos hujan.
“Ben, ini kan klub dangdut?”
“Kalau Selasa malam Beatles-an. Ayo turun. Lari yah, nggak ada payung.”
Bersama Ben, berdua meloncat cepat menghindari hujan. Tas kulit biru oleh-oleh dari Singapura terpaksa menjadi penutup kepala. Walau rambut panjang Gwen basah juga.
Ben hanya tertawa. Rambut poninya terbelah dua. Gaya McCartney-nya hancur sudah.
“Kalian nggak ada sing-a-long rame-rame kan? Aku cuma tahu “Imagine” sama “I Want To Hold Your Hand” doang… “Yesterday” lah paling agak-agak inget…”
Ben masih tertawa-tawa saja. Sambil membayar tiket sepuluh ribu rupiah.
Menuju kursi-kursi yang ditata seperti kursi pada acara perkawinan. Ben menyapa satu per satu orang, yang sepertinya dikenalnya. “Itu yang jadi John. Itu yang jadi Ringo. Itu Paul.”
“Mana George Horrison-nya?”
“Belum dateng mungkin…”
Gwen tertawa dan tepuk tangan paling keras selama lebih dari dua jam. Hujan reda. Lalu pulang. Kaca mobil dibuka. Kota sejuk setelah hujan. Memaksa Ben terus memutar “Oh! Darling” sepanjang jalan.
“Selasa depan lagi yuk, Ben?!”
“Siap”
“Yes!”
“Nanti aku kirim lagu-lagunya…”
Gwen membuka kotak surat-nya. Ben. Baru saja mengirim tiga lagu. “Oh! Darling”, “If I Fell”, dan “Girl”. Tak sabar, Gwen mengunduhnya. Memutarnya sampai Gwen tertidur pulas hingga pagi. Hingga Selasa datang lagi. Berdua menuju taman ria, makan bersama Ringo palsu. Merokok bersama John, yang, menganggap Yoko Ono adalah penyebab Beatles bubar. Gwen bahkan memiliki tiga gelas bergambar mereka. Didapatkan dari toko barang pecah belah di tumpukan terbawah, ketika menemani mamanya memberi dispenser baru.
Entah pada Selasa malam yang mana. Gwen lupa. Malam itu juga gerimis pelan-pelan datang. Ben dan Gwen naik motor bebek bertambal stiker yang warnanya tak jelas lagi punya Ben. Atap taman ria sedikit bocor, Ben dan Gwen harus tiga kali berganti kursi. Demi kepala Gwen yang sudah sedikit berat karena kegerimisan. “Oh! Darling” spesial buat Gwen, kata John dari atas panggung. Gwen berseru “Whoooo” keras sekali. Ben mengepalkan tangannya ke udara.
Gwen minta buru-buru pulang. “Kayaknya aku masuk angin.”
Ben cepat-cepat mengantar Gwen pulang. Gwen cepat-cepat masuk kamar. Sebelum tidur, satu pesan singkat masuk ke ponselnya. Dari Ben. “Kamu cantik sekali malam ini.”

2
Katanya, satu tim itu tidak boleh suka-sukaan. Apalagi kalau lagi kerja bareng. Tapi ya bagaimana kalau Gandhi, junior Gwen, tiap malam mengirim pesan singkat. Dari masalah tugas, sampai tentang, lagi dengerin lagu siapa? Wah, Coldplay? Lu suka Coldplay? Lu boleh ngatain gue mellow, tapi kadang-kadang gue pengen nangis dengerin mereka! Hhha, lu cengeng yah? Tapi emang anjir tuh band! Mungkin karena kita besar bareng mereka besar, jadi kita merasa mereka spesial banget. Tapi mereka emang keren banget. Aku ada video live mereka, kamu harus nonton! Oyah? Copy dong yah? Oke, besok aku bawain. E, udah siap meeting ntar? Ni lagi siap-siap. Ayo berangkat bareng. Boleh nih? Ayolah. Gila yah, wah, kalau Coldplay dateng nih yah, aku harus nonton. Hhha, tapi awas aja kalo jutaan. Hhha, semoga mereka dateng kalau aku udah nggak ngrasa sayang ngeluarin duit banyak cuma buat nonton konser. Hha, kalau mereka dateng kamu udah jadi ibu gitu, tetep akan nonton? Meski dengan sangat menyesal karena ninggalin anak, tapi seorang ibu juga boleh kan, tetep nonton konser dan seneng-seneng? Terus, suami kamu? Dia harus ikut, suamiku pasti juga nggak akan mau nglewatin Coldplay kali. Tapi, gila yah, kebayang nggak sih, kalau ntar kamu udah nikah gitu? Emang kenapa? Nikah ya nikah aja. Ya enggaklah, nikah itu kan sesuatu yang beda banget dengan pas kita belum nikah. Emang kenapa? Eh, kamu nggak pernah mikirin tentang nikah yah? Belumlah, ngapain? Aku nggak ada rencana nikah, aku baru dua puluh tahun, em, belum kepikiran lah. Emang kamu udah mikirin nikah? Udahlah. Terus, apa yang kamu bayangin? Kok cuma ketawa? Udah malam ah, antar aku pulang yah? Ayok! Emang kita harus mikirin nikah yah? Iyalah, kita udah dewasa kali, banyak hal yang harus dipikirin.
Entah kapan, entah bagaimana: malam itu Gwen jatuh cinta.

3
“Ben, gambarnya udah jadi belum?” ucap Gwen dari balik telepon.
“Belum Gwen, mau buat kapan?”
“Minggu ini Ben. Kalau bisa besok malam udah jadi.”
“Hmm… aku usahain yah…”
“Yah, Ben, ini aja udah agak molor Ben…”
“Hhha, yaudah, semoga besok malam udah jadi yah. Tolong kirimin aku brief tulisan ketiga dong, briefku hilang…”
“Aku kirim email yah… nih, aku kirim, wait, wait, all right, sent…”
“Oke Gwen…”
“Thanks Ben…”
“Sama-sama Gwen…”
“Bye Ben, besok aku telfon kamu lagi…”
“Siap!”

4
Gwen berdiam dari satu ujung gedung. Gandhi di ujung lainnya, bersama kawan-kawan yang lain. Tertawa-tawa. Entah perasaan Gwen saja, atau memang Gandhi sesekali mencuri pandang ke arahnya.
“Gwen..!”
“Gandhi.”
“Udah mau pulang?”
“Yap… kamu?”
“Iya…”
“Hmmm…”
“Ayo bareng…”

5
“Gwen, gambarmu udah jadi.” Ben menelfon Gwen.
“Oyah? Aku ambil di mana? Kamu mau aku bawain apa?”
“Nggak usah bawain apa-apa… ke sini aja…”
“Hha, okelah nanti kamu tetep kutraktir… Kamu di mana Ben?”
“Aku di RS. Mitra.”
“Kamu di rumah sakit? Ngapain? Siapa yang sakit?”
“Ada.Udah, sini aja…”

6
Gandhi dan Gwen tertawa-tawa. Gwen menatap Gandhi di depannya. Gandhi dan kaos putihnya. “Ya tuhan, apa yang dipunya laki-laki ini?”
“Gandhi, aku tahu aku mau jadi apa…”
“Oyah, apa?”
Berdua, mereka masih tertawa. Sepanjang malam. Hingga larut. Hingga tengah malam. Hingga pagi. Hingga besoknya lagi. Dan lagi.

7
Gwen mengetuk kamar 201. Seorang ibu mempersilahkan Gwen masuk. Gwen tersenyum. Ben terbaring lemas. Menunjukkan gulungan kertas berisi gambarnya.
“Kamu sakit? Kok kamu nggak bilang? Kan aku… kan aku…”
“Ini gambar kamu.”
“Aduh Ben, aku minta maaf. Aku nggak tahu kamu sakit…”
“Udah nih, gambar kamu. Kamu udah deadline kan. Bawa gih...”
Gwen diam.

*2010*

8.
Malam. Hampir tengah malam.
“Jadi dia pacar kamu?”
“Iya.”
“Terus selama ini, kamu dan semua ini. Apa?”
“Aku nggak tahu.”
“Kamu tahu aku suka sama kamu?”
“Tahu.”
“Terus?”
“Aku nggak tahu, Gwen.”
Gwen diam.

*2011*

9
Gwen sedang mengingat. Tapi malam ini, kepingan ingatannya jatuh berantakan. Tak beraturan.
Gwen diam.

*2013* 



__________________________

Turn down the lights, turn down the bed
Turn down these voices, inside my head
Lay down with me, tell me no lies,
Just hold me close, don’t patronize me
Don’t patronize me…

Cause I can’t make you love me
If you don’t
You can’t make your heart feel
Something it won’t

Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart
I feel the power but you don’t
No, you don’t…


(Cause I Can’t Make You Love Me – Bon Iver)

Friday, May 24, 2013

...Yan & Mi


“Yan…”
“Mi…”
Perempuan yang dipanggil menengok kanan-kiri. Memperbaiki letak kaca mata hitam yang menutup hampir setengah mukanya.
“Masuk Mi. Ayo masuk.”
Yan ikut melihat kanan-kiri, memastikan tak ada orang yang memperhatikan. Yan langsung membawa tamunya itu ke dalam. Yan bahkan mengambilkan sendiri makanan kecil dan minuman untuk tamunya. Mengunci pintu belakang, memastikan tak ada orang yang akan mengganggu mereka.
Tamunya duduk menghadap taman. Kacamata hitam Dior-nya telah dilepas. Begitupun sepatu kulitnya. Ia langusung menyerbu mengambil minuman yang baru saja ditaruh Yan di meja. Yan duduk pada kursi putih di sebelahnya. Sama-sama menghadap taman. Sesekali Yan menatap wajah tamunya itu. Membiarkan diam mengambang. Seperti daun rambutan yang jatuh ke dalam kolam. Menunggu tenggelam. Menunggu kawannya itu bicara.
“Aku langsung soko Jakarta Yan…”
“Jam piro soko kono?”
“Jam sijian ndek mau bengi.”
“Mas Sus reti koe mrene?”
“Gak.”
Diam lagi. Satu helai. Dua helai. Tiga helai daun rambutan jatuh lagi ke kolam. Bertemu puluhan daun kering lain yang telah jatuh lebih awal. Menunggu Pak Mus, si tukang kebun, membersihkan Kamis sore nanti.
“Mi, aku masak bothok. Tak gawa’ke kene yo?” Tawar Yan.
“Gek ngko wae. Aku rak pengen mangan Yan. Nggo ngopo aku mangan?”
“Mi… Ojo ngono…”
Mi, sahabat kecilnya itu. Mendadak hampir menangis. Matanya memerah. Lalu muncul genangan-genangan kecil yang siap membludak saat itu juga.
“Aku kudu pie, Yan?”
Yan, yang ditanya. Hanya bingung. Memberikan segelas lagi air putih pada kawan sepermainannya itu.
“Isin awakku Yan…” Mi kembali hampir terisak. Jelas sekali ia menahan tangisnya membanjir.
“Umure podo karo bontotku Yan.”
Yan memegang pundak Mi. Keduanya kembali memandangi kolam.
“Koe opo ora ngerti sakdurunge, to Mi?”
“Genah aku ngerti. Aku ngerti kabeh. Ning saiki kabeh wong ngerti, tho Yan?”
Yan hanya mengangguk pelan.
“Mulo kui aku mrene.” Mi memandang Yan. “Ora popo to Yan?”
Kali ini Yan tersenyum. Dua sahabat itu bertatapan.
“Atiku wes rak iso ngrasake loro Yan. Ning isinku? Aku uisin Yan. Aku isin ketemu anak-anakku. Aku isin ketemu morotuoku. Aku isin ketemu romo Yan. Aku gagal Yan…”
Pandangan Mi masih lurus ke depan. Pada kolam kecil renang kecil tempat cucu-cucu Yan biasa belajar berenang.
“Mas Sus, pie?”
“Aku rak urus. Yo opo dekne 20 tahun iki ngurus aku? Yo opo 20 tahun kepungkur dekne ngurus aku lan anak-anakku? Ora Yan. Ora… Mungkin mergo aku wis tuo Yan… Wes rak ayu. Wes rak kenes. Wes rak penak disawang. Rak enak dijak ngangkang.”
“Mi, ojo ngono. Koe ki cah paling ayu sak sekolahan Mi. Mulo kui Sus seneng sliramu…”
“Yan, yo kui telung puluh limo tahun kepungkur Yan. Pas awake dewek ijih songolas tahun, rongpuluh tahunan. Wektu-wektu mekaring kembang. Sus durung ngerit rupo-rupo wedokan kuto. Sus durung ngerti, lak nek ndue duit uakeh, iso entuk wedokan endi wae… Sus ijih mlarat Yan. Jengki wae rak ndue. Mung nggowo gengsi lan wani nembung aku neng bapakku…”
“Mi, ojo ngono…”
“Loh pie, kok ojo ngono loh Yan? Tontonen kono dewek kelakuane saiki…”
“Mi…”
“Aku yo Yan… Aku? Iki opo?” Mi menunjuk hidungnya.
“Iki oprasi Yan. Pas Sus munggah jabatan neng Batam, selawe tahun kepungkur, jare dekne isin ndue bojo pesek. Aku neng Singapur, mancungke irung. Sedot lemak. Ngencengke boyok. Suntik putih. Tato alis. Sing jaremu ki aku cah paling ayu sak sekolahan Yan, rak enek opo-opone. Bar kui, Sus seneng, mergo aku koyok bojone Pak Karno soko jepang kae, yo aku seneng to? Sus betah neng umah. Saben dino mulih. Ning bar kui Sus seneng wedokan koyo londo. Lah aku kudu pie? Rambutku Yan, rambutku tak gawe abang koyo londo. Ning malah rupoku koyok wulu terwelu. Sus jarang mulih… Sus ndue apartemen lan mulai ngingu londo… bar kui aku gelo. Aku nrimo. Ning aku gelo.”
Mi menangis. Kali ini air matanya benar-benar jatuh.
“Terus saiki ki opo Yan? Opo aku kudu melu susah? Orak Yan, iki dusone Sus dewek. Yo opo aku ngerti soko ndi kabeh duite Sus kui? Yo opo aku urusan? Yo opo aku urusan? Anak-anake Sus tak penging mulih. Ben do urip uadoh soko bapakke. Opo yo Sus iki bapak sing bener? Yo ora og. Aku sing nggedeke anak-anakku. Ban saiki Sus nrimo karmane. Wes soko pertama, aku rak ngijinke. Aku rak restu. Ak rak trimo. Yo kono, saiki rasakno.”
Yan mendengarkan dengan hikmat.
“Koe nonton tivi Yan?”
Yan mengangguk.
“Do teko, kae wedokane?”
Yan kembali mengangguk.
“Sak umuran bontotku, tho? Ayu Yan?”
Yan mengangguk, lagi.
“Yan, pesenanku wes mbok siapke?”
“Koe ameh neng ndi, Mi?”
“Neng mbarepku Yan, neng australi. Dekne entuk bojo wong kono, aku iso melu. Aku rak perlu urus-urusan meneh kalo perkorone Susilo.”
“Terus koe ameh mangkat kapan?”
“Wengi iki, soko Bali.”
Yan mengambil sekotak koper kecil. Entah kebetulan, entah apa. Paspor Mi terbawa Yan, saat mereka berdua berlibur ke Tripoli akhir tahun kemarin.
“Yan, matursuwun yo…”
Dua sahabat itu berpelukan.
“Koe ngati-ati Mi. Sing slamet, sing waras…”
“Yan, ojo ngomong sopo-sopo…”
“Iyo Mi. Koe ngabari yo Mi… Sing kuat. Sing slamet, sing waras…”
Pajero hitam masih menunggu di depan halaman.
“Koe karo sopo?”
“Ajudanku.”
“Yo opo rak bocor, iki?”
“Yo ora. Tenang. Yo Ajudan, Yo pacar.” Mi mengatakan dengan pipi hampir memerah. Yan menghela nafas.
Mi pergi. Kabut-kabut menutup cerita pagi itu. Jam setengah sembilan pagi di Wonogiri. Yan kembali masuk rumahnya. Mengenang Mi, sahabat masa kecilnya. Yang kini pergi menuju bali, lalu australi.
***
Prapto, si guru SD melihat tivi. Berita sore, isinya kabar korupsi. Ada jenderal ditahan lagi. Pengacaranya bilang, itu bohong, itu fitnah dari rekan-rekan sekantor karena iri dengan prestasi sang jenderal. Prapto nyengir, “Iyalah iri. Si bawahan tak juga dapat proyekan besar.”
Naasnya, sang jenderal sepertinya memang beneran terbukti korupsi. Puluhan rumah dan hektaran tanah disegel. Puluhan tabungan dibekukan. Tak lupa, mobil-mobil mewah. Dan istri-istri muda. Katanya, yang dua sudah diperiksa kpk. Yang satu entah di mana.
“Ma, Suratmi ngabari?” Prapto memanggil istrinya yang sedang mempersiapkan teh di dapur.
“Pie Mas?”
“Mbak Suratmi, Suratmi ngabari ora Ma?”
“Oh, ora loh Mas… Pie?”
Yanti mengaduk pelan teh untuk suaminya. Sambil berdoa, semoga Suratmi benar-benar mendapat suaka di Australia.

Tuesday, May 14, 2013

...mayday



Kenapa saya harus bekerja? Saya tidak tahu.

Rossie the Riveter
 
Tapi saya masih ingat momen-momen kecil ketika saya mendapatkan uang untuk pertama-tama. Meski bukan dari bekerja, tapi dari hadiah-hadiah hasil ikut lomba, yang saya habiskan untuk membeli mie ayam, kaset, kaos, sepatu, tas, anting, cincin, atau sekedar senang karena tidak perlu meminta uang SPP untuk setahun. Atau mungkin ketika satu kali pernah benar-benar bekerja, untuk memandu satu acara sepekan penuh dengan fee yang sebenarnya tak seberapa, saya belikan sebuah bedak padat ber-foundation dan pemulas bibir gara-gara saya dibilang kucel. Waktu itu, saya senang sekali. Saya pikir, lain kali, jika harus memandu acara lagi, rekan saya tidak akan mengatakan saya kucel banget dan harus rikuh karena kemudian dia akan mendandani saya, dan semakin rikuh, karena saya tidak punya bedak padat dan pemulas bibir.

Ya, ternyata, untuk mendapatkan uang sendiri, saya harus melakukan sesuatu. Dan itu menyenangkan. Meski tentu saja, ada sesuatu yang harus kita berikan dengan sukarela. Apapun itu. Salah satunya adalah: lelah. Ya, bekerja itu melelahkan.

Pengalaman saya bekerja bahkan baru sekali. Saya pun awalnya menganggapnya belajar dan senang-senang saja. Coba bayangkan, kamu mempelajari hal baru, terlebih hal baru itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan kadang beberapa orang menganggapnya keren, dan kamu dibayar untuk itu. Bulan pertama, tiga bulan pertama, enam bulan pertama, wauw, saya tetap bisa datang ke tempat kerja jam sepuluh pagi. Wauw.

Tapi itu tidak selamanya. Ini kali pertama saya merayakan May Day. Dan ya, saya tahu, menjadi pekerja itu tetap saja ada tidak enaknya. Makanya, saya cukup appreciate ketika beberapa orang yang saya kenal memilih untuk menjadi “pengangguran” lebih lama dari pada mengambil begitu saja kesempatan untuk bekerja yang terbuka, atau memilih keluar dari posisi pekerjaan yang banyak orang-orang impikan, karena, mereka merasa, itu bukan jenis pekerjaan yang mereka inginkan. Dengan melakukan pekerjaan yang kita inginkan pun, yang kita sukai pun, yang kita impikan pun, tetap aka nada masanya ketika kita merasa tidak senang, tidak puas, tidak suka, dan hal-hal negatif lainnya. Jadi, bayangkan jika itu terjadi ketika kita melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak kita inginkan sejak awal? 

Atau, saya akan lebih appreciate lagi, pada mereka yang: melakukan pekerjaan, yang disuka ataupun tidak, tapi hampir tak pernah mengeluhkannya. Maksudnya, yah, begitulah, sering kan, selalu saja ada keluhan tentang berbagai hal. Tapi bagi orang yang selalu mensyukurinya tanpa mengeluhkannya, bagi saya, orang-orang ini hebat. Jika telah sampai pada pertanyaan: kamu tak ingin pindah? Dan lalu ia menjawab: suka tidak suka, ini adalah tanggungjawab dan aku mensyukurinya. Saya tidak akan menanyakannya lebih jauh lagi, atau memaksanya bercerita tentang hal-hal yang menyebalkan. 

Ya, bahkan yah, saya kira, apapun pekerjaannya, ada satu titik tidak menyenangkannya. Bahkan saya kira, posisi pimpinan pun, akan memiliki titik tidak menyenangkan. Meski mungkin bukan tentang pekerjaan, tapi sepertinya tiap posisi pimpinan rentan memiliki masalah psikologis yang kurang sehat, karena pasti akan khawatir untuk menjaga posisinya atau bahkan kehilangan kekuatan dan bawahannya. Man? Bukankah itu lebih melelahkan dari bekerja lebih dari sembilan jam?

Saya bahkan, meski memiliki rencana, tiba-tiba tidak memiliki orientasi pekerjaan impian. Hhhaa. Sudah tahu kan, kalau saya pengen banget jadi wartawan. Tapi entah mengapa, pada satu waktu, ketika terlalu sering mendengar kawan yang bekerja sebagai wartawan, saya berfikir bahwa, saya tidak yakin akan mampu menjalankannya kalau nantinya saya hanya akan mengeluhkan hal yang sama. Ini bukan tentang profesi atau tipikal pekerjaan tertentu. Tapi ini adalah tentang saya. Saya yang, saya nggak yakin saya akan mampu menjalankannya dengan baik. Meski saya tahu, ada begitu banyak pekerjaan keren di dunia ini, saya tidak lagi terlalu antusias. Saya kira menjadi anggota KPK tentu keren sekali, atau mungkin menjadi content writer, traveler, em, videographer, legal consultant, peneliti, socialpreneur, anggota DPR, ahli penerbangan, head of group creative director, dan lain-lain, dan lain-lain. Keren yah? Hebat kan? Gila yah, hebat nggak sih?

Karena, cita-cita terakhir saya, setelah sempat bercita-cita jadi ibu rumah tangga saja, tak usah bekerja, yaitu ingin menjadi staf khusus presiden. Hahaha. Saya serius. Setelah tahu bahwa, menjadi copywriter itu akan gini-gini aja, haha, yang kasarnya: hanya loncat dari satu campaign-ke-campaign lain, jualan kata-kata dan khayalan-khayalan untuk mensugesti orang. Ya meski nanti kalo udah seniouuurrr, akan ada istilah-istilah lain sih, macam planner, senior bla-bla-bla, head bla-bla-bla, atau bla-bla-bla director. Saat sedang sebal minta ampun dengan SBY yang agak kacau, dan membaca pidato kenegaraan Obama, saya bilang ke kawan saya: saya ingin jadi staf khusus presiden boy.

Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah: setelah merasakan sendiri rasanya bekerja, dan mencoba menerka-nerka sendiri, kenapa ada hari buruh, adalah untuk merayakan kerja keras kita selama bekerja. 

Tadi sekilas saya melihat berita di TV, seorang presenter senior melaporkan suasana pasca aksi demo hari buruh yang dilakukan ribuan buruh di silang monas, sambil menunggu bos saya yang sedang bercakap di telepon karena saya akan laporang tentang pekerjaan, saya tahu dia reporter senior, karena dia biasanya menjadi seorang anchor, dan sepertinya sore tadi dia sengaja ke lapangan untuk melaporkan aksi demo secara lebih spesial, karena siangnya saya sempat bertemu ibu itu digrobak abang rujak dan bertukar senyum, tapi saya kecewa, karena saat saya memperhatikan layar televisi, dia sedang berbicara tentang: sampah yang ditinggalkan para buruh yang tadi berdemo. Saya nggak ngerti juga si, kalau saya yang jadi dia, tapi, sebagai penonton dan karena tahu dia senior, saya berharap dia tidak hanya akan melaporkan tentang banyaknya jumlah sampah di sana. Setelah itu saya laporang ke bos saya, dan masih sebal dengan laporan berita itu. 

Siangnya saya bekicau tentang Rossie the Riveter, icon pekerja perempuan di Amerika ketika PD II (atau PD I, lupa). Karena kala itu para pria berjuang di medan perang, para perempuan menggantikan mereka di berbagai sektor pekerjaan. Hal yang sama yang juga terjadi di Eropa kala itu. Para perempuan melepas rok-rok lebar mereka, dan menggantinya dengan rok longgar yang tak membumbung lebar atau bahkan celana dan pergi bekerja. Dan saya suka kalimat “We Can Do It!”-nya. Saya ngebayangin, jikalah memang, memang, kita merasa negara kita memang sedang kacau dan keadaan ekonomi tidak menentu dan cendrung menyesakkan, kenapa yah, kita tidak menebar semangat untuk semacam “Ayo Bekerja Bersama!” kepada semua orang. Apa yah, mungkin semacam semangat, bahwa: okailah kita lima atau sepuluhtahun ini mari bersusah-susah sejenak, tapi biar anak dan adik-adik kita nanti bisa merasakan kondisi yang lebih baik. Tapi tanpa air mata, jadi malah mungkin bisa dilakukan dengan makan bersama di tempat kerja masing-masing yang disediakan kantor atau LSM, toh, ehm, kalau tak usah mewah-mewah amat, toh hampir sama dengan biaya untuk berdemo, kali yah. Maksudnya, yuk ayoklah kita rayakan kerja keras kita. Sebagai hari untuk menghargai diri kita sendiri. 

Tapi saya lupa. Pejabat kita masih doyan korupsi untuk liburan dan istri ke-tiga. Atau, ehm, pabrik-pabrik yang ada di suburban ibu kota itu milik Korea atau negara tetangga lainnya. Ya gimana yah? Akhirnya saya juga bingung sendiri. Mengingat saya juga buruh. Maksudnya, bos saya saja masih punya bos, yang bosnya itu masih punya bos lagi. Kalau mau nggak sopan, mungkin bos saya juga masihlah buruh. Okelah, pekerja. Saya lebih senang mengartikan kata “labour” menjadi “pekerja”. Biar saya bisa nyebut bos saya juga pekerja. Ya iya nggak sih? 

Kan yah, semisal kamunya adalah, ehm, commercial director of unilever Indonesia aja, kamu masih punya bos di, ehm, ke orang unilever asia-pacific yang nagih laporan tahunanmu. Kamu akan tetap seorang pekerja, sama kayak operator dipabrik sabun dove di cikarang, or somewhere. 

Ya gimana mau optimis yah, kalau kampanyein itu. Saya nggak ngerti, tapi rasanya bekerja itu menakutkan banget. Serius. Padahal, ya meski kadang menyebalkan, menurut saya, kita bisa kok tetap senang melakukannya. Kalau mau ngikut cara-cara bijak, ya salah satunya dengan bersyukur itu. Sekali-kali sangat bolehlah mengeluhkan kesusahan-kesusahan atau kemarahan, tapi nggak berkali-kali.

Ibu saya aja sempat sedih ketika menjenguk saya. Karena saat itu saya pulang jam 9 malam dan belum makan, padahal maksudnya biar tetap bisa makan malam bareng dia. Dia kasihan sama saya. Padahal saya biasa saja. Lagian tidak setiap hari saya pulang malam, lagian saya berangkat kerja juga kadang selepas makan siang, lagian saya juga di kantor tidur juga kalau sudah agak-agak sore, main game dan download-download video juga, dan klabakan cari ide sebelum hari H presentasi, tapi presentasi hampir tiap hari, ya itu aja sih. Karena di mata ibu saya, orang yang sangat sederhana, bekerja kantoran itu ya, berangkat pagi pulang sebelum malam dan tidak capek dan gaji besar. Hhi. Yaiyalah kali yah, mungkin semua orang juga pengen kayak gitu.

Tapi…

Nggak, saya kira, jadi Nia Ramadhani pun tetap capek. Oke, beri saya 1000 pembelaan. Tapi saya kira, pasti doi tetap merasa capek. Cuma ya memang dia kalau capek langsung ke spa, dan kita menunggu sampai gajian bulan depan untuk bisa pijat dua jam. 

Maksud saya, terutama bagi saya, yang datang dari kelas menengah sangat bawah, yang sekali tendang juga lalu menjadi kelas terbawah, karena hanya berpegang pada gaji bulanan dan tuntutan harus ini-harus itu. Ya memang kita perlu untuk bekerja. Mungkin itu kesimpulan akhir saya, malam ini. Perkara seberapa besar penghasilan, kesenangan, dan lain-lain, saya setuju dengan seorang kawan ketika gulang-guling ngobrol sambil mikirin pindah ke tempat yang lebih gede gajinya nggak yah: kecukupan dan kebahagiaan sebenarnya bisa kita tentukan sendiri.

Pertama, dengan bersyukur. Okelah, memang tuhan adalah pembelaan pertama dan terakhir untuk berlari dan bersembunyi. Tapi nyatanya adalah, dengan mensyukuri dan berbahagia dengan yang kita punya itu melegakan kok. Ya taiklah si Angel Lelga itu, yang katanya mencoreng citra sosialita Jakarta, toh ternyata, hidup saya baik-baik saja tanpa tas Hermes dan hanya memakai parfum Chanel No. 5 KW 100. 

Lalu, dengan sadar kelas. Rasanya baru beberapa hari lalu, saya ngobrol dengan seorang kawan  dan bercerita tentang: pengen nggak sih ganti gadget terbaru? (baca: termahal?). Saya si pengen, punya i-phone 64 giga atau i-pod lagi deh, yang paling gede, biar semuaaaaaa lagu bisa keputer. Tapi ni ponsel saya nggak rusak-rusak. Gara-gara sering ditanyain PIN BB, saya juga pengen loh punya BB. Teman saya juga pengen sih, punya gadget-gadget terbaru. Semua itu terjadi hanya karena, si A punya yang terbaruuuu, padahal yah, bukannya gaji dia hampir-hampir sama yah sama kita? Nah! Gini. Pada satu hari saya sempat bingung sendiri, karena ini: ada seorang abang warung tenda, yang kita akan memprediksi kalau doi itu agak-agak kampungan ,sekolah cuma sampai SMP di kuningan atau indramayu sana, pokoknya yang bawah-bawah banget lah, tapi gini, ehm, warungnya yang jualan mie jawa itu ruame banget, karena emang enaaak, bisa loh, sehari labanya sekitaran 500 ribu. Setelah diminus gaji karyawannya, yang adik sepupunya sendiri, ongkos preman, dll, laba bersihnya sekitar 250 ribu. Jadi, ehm, anggap dia bisa menggaji dirinya sendiri 7.500.000. Dan, itu, uang itu, adalah, lebih besar dari gaji saya dan teman-teman sesama pekerja pemula. Sangat lebih besar. Si abang nggak perlu langganan internet, nggak perlu ngidam sop rumput laut, istrinya nggak perlu beli bedak yang go green dan pembelian bahannya memakai asas fair-trade, nggak perlu peduli beli majalah gaya hidup terkini atau langganan tempo, nggak perlu naik taksi ke grand Indonesia, beli baju (x).s.m.l yang meski udah diskon 80% tetap 480.000, nonton film terbaru atau konser-nya siapa kek yang penting hip, apalagi langganan paket indovision yang ada HBO-nya. Dengan pendapatan yang lebih besar dari saya, si abang tidak perlu melakukan sesuatu yang: entah mengapa, menurut saya, seakan harus saya lakukan karena saya merasa memerlukannya, padahal ya nggak perlu-perlu amat juga. Gila yah? Lalu teman saya bilang: tapi kan kita akan punya kesempatan untuk memiliki gaji bahkan tiga atau lima kali lipat dari gaji si abang itu Di. Tapi kapan?? Maksud saya, sadar kelas di sini adalah tentang: ya, ada beberapa hal yang itu tu emang nggak saatnya (atau, okelah, untuk menyemangati diri sendiri, saya ubah jadi: belum saatnya). Dan itu baru sadari setelah bekerja. Karena ada semacam tuntutan untuk: harus hidup senyaman mungkin dengan pendapatan yang ada. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan dan rasakan sebelumnya. Bahkan seorang teman memilih meninggalkan mobil pemberian orangtuanya, karena, kata dia: aku nggak bisa isi bensin dan bayar tol dan bayar parkirnya kalau tiap hari naik mobil, lagipula Jakarta sangat macet. Maksudnya, saya belajar tentang itu sekarang. Sangat belajar. Selain tentang efisiensi, tentunya. Dengan menyadari semua itu, kita tidak akan memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak usahlah kita paksakan untuk lakukan. Toh, seiring pendapatan meningkat juga katanya pengeluaran meningkat toh? Yaitulah kali hukum kelas berlaku. Yang penting tetap sadar, kali yah.

Ketiga, berfikir positif tentang pekerjaan. Hari ini cukup istimewa, sebenarnya. Karena pagi tadi saya mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan sesuatu hal dan tanggapan orang-orang positif, dan, orang-orang itu adalah orang-orang yang, hm, people would die to be like them, semacam gitu lah. Saya senang, tapi kemudian saya tahu, diberitahu orang lain, sorenya, bahwa satu hal yang sudah disetujui itu, ini kekurangtelitian saya sih sebanernya, ternyata memiliki makna negatif, sangat negatif, dalam istilah slank di luar negeri, di Amerika tepatnya. Yang saya pikirkan, bahkan hingga sekarang, adalah, gimana besok tim saya harus menjelaskan ke orang-orang yang tadi pagi tersenyum-senyum setuju dengan itu semua? Saya sendiri, kalau tidak segera dihibur, sepertinya saya sudah akan menangis. Tapi di sisi lain, saya berfikir positif karena, beruntung hal tersebut masih belum dilempar ke publik. Dan, orang-orang yang tadi pagi ada pun tidak ada yang tahu sebelumnya. Dan yah, saya harus memperbaikinya. Sayalalu meminta maaf ke beberapa orang, karena mereka adalah orang-orang yang memberi kesempatan dan kepercayaan ke saya. Meski masih agak sedih, sampai sekarang loh, karena saya tidak teliti dan tergesa-gesa. Itu berarti saya tidak boleh mengulanginya lagi. See, ini ruang untuk belajar. Maksud saya, bukan berarti saya selalu merasa diri saya salah dan bego, tapi emang, bukankah kita kadang memang melakukan kesalahan? Kalau emang salah, yaudah salah aja. Kalau emang bego dan ngrasa harus belajar, yaudah bego aja. Nggak perlulah mencoba menyalahkan orang lain untuk membela diri, kecuali memang jika merunut pristiwa yang sebenarnya, kadang emang nggak cuma kita yang bego sih. Orang-orang juga kadang melakukan kesalahan. But, still, be positive. 

Keempat, hmmm…

Mungkin ini saatnya kita berhenti mengeluh.

Saya terlalu merasa, bahwa, hari buruh adalah selalu tentang mengeluh. Iya sih, saya nggak tahu penderitaan mereka. Halah. Maksudnya, selain tentang menuntun kesejahteraan yang lebih diperhatikan, seperti tadi saya bilang, barangkali perlu juga menularkan semangat yang lebih positif ke depannya. Media juga tuh, jangan cuma ngomongin macet dan sampahnya, ih. Sama aja kan, kalau mengeluh, mau pekerja mau bos, ujung-ujungnya ngeluh juga kalau gitu terus si.

Saya juga nih, masih ngeluh aja.

Udah, berenti.

Ya, sambil berharap, jikalah memang upah pekerja kebanyakan tak juga naik, karena kalau dinaikkan katanya malah inflasi lebih parah, mungkin pemerintah atau siapa pun, lebih maksimal menyediakan layanan pendidikan yang dapat terjangkau semua kalangan dengan kualitas yang bagus, pelayanan kesehatan yang lebih sehat, pelayanan umum yang juga memadai, dan juga rumah sederhana yang tak terlalu mahal. Jadi, setidaknya, meski gaji kebanyakan pekerja industri pendaptannya standar UMR, tapi mereka tidak terbebani harus menyekolahkan anak-anak mereka dengan biaya yang sangat mahal, juga biaya kesehatan, atau cicilan rumah dan kendaraan yang juga besar. 

Tak hanya pemerintah, saya kira, semua orang juga bisa mengusahakannya. Misal, Anda seorang dokter, kan bisa tuh, satu dari lima hari kerja praktek di rumah sakit dan klinik pribadi, diberikan untuk kalangan kurang mampu yang ingin berobat gratis. Kalau takut jadi sangat merugi kalau buanyak sekali pasiennya, mungkin juga bisa dibatasi hanya 10 sakit sedang, dan dua sakit parah. Yah, bayangin 1000 dokter nglakuin itu, saya kira akan cukup terasa manfaatnya. Mungkin. Namanya juga harapan.

Nah, tentang berbagi saya kira juga setiap orang pasti punya impian ini. Tapi saya sendiri masih bingung gimana caranya. Yang nggak cuma memberi lalu selesai. Gitulah, pokoknya. Mungkin sekarang saya harus mulai memikirkannya… :)

Yah, dan saya juga percaya, setiap orang bisa merubah hidupnya sendiri. Dengan cara apapun. Entah bekerja sendiri atau menjadi pekerja. Bahkan menjadi istri simpananpun, saya kira itu juga usaha. Dan pasti akan lebih bagus, kalau bisa berbagi dengan orang-orang lain, siapapun itu. 
Bagi siapapun yang bekerja, dengan cara apapun, meski agak melenceng dengan anggapan orang kebanyakan: inilah hari untuk kita semua, yang melakukan sesuatu untuk hidup. May Day. Hhhi, mirip sama game favorit saya sekarang, hayday. Hhi.