Tuesday, October 25, 2011

... obrolan pagi buat dia


Saya jadi inget, kapan kali, saya pernah bilang dan nulis, kalau, kita akan sampai di satu waktu ketika kita merasa yakin dengan apa yang (akan) kita lakuin dan di saat itulah kita harus melakukan sesuatu itu sebaik-baiknya yang bisa kita lakuin.

Nah, sesadar saya, ketika saya yakin berkata “iya” setelah sekian lama menyimpan kata itu. Saya, sadar, sesadar-sadarnya, bahwa, akan banyak konsekuensi panjang dari kata itu.

Dan, obrolan ringan di pagi hari sambil lari-lari kecil bersama Syauqi, membuat saya yakin, kalau saya kemarin itu benar-benar “yakin”. Konsekuensi-konsekuensi itu, yang jumlahnya akan banyak sekali nanti, harus disikapi berbeda dengan ketika saya menghadapi masalah yang mungkin sama sebelumnya. Karena besok, konsekuensi itu tidak lagi hanya tentang saya. Tidak lagi tentang keinginan-keinginan saya, prioritas-prioritas saya, akan ada banyak hal yang disesuaikan.

Dan sekali lagi, jika saya ditanya hari ini, apa saya yakin dengan semua itu. Saya bisa menjawabnya dengan senyum lebar.

Saya juga jadi ingat beberapa hari lalu saya dan dia bercerita tentang, kita mau ke mana. Tentu saja kita mempunyai tujuan yang sama. Tapi pastinya, barangkali nanti kita akan sedikit berdebat tentang jalan yang akan kita pilih, kita akan mampir ke mana dulu, kita akan mencari apa dulu. Nah ini, hampir sama dengan obrolan lari pagi tadi, banyak hal yang harus didiskusikan bersama. Dan Bundo ini, dia meyakinkan saya, bahwa saya harus menjalani semuanya sebaik-baiknya.

Tidak hanya konsekuensi-konsekuensi besar yang sepertinya menyenangkan, tapi juga hal-hal kecil menyebalkan yang mungkin akan banyak makan hati. Hal-hal remeh temeh yang, harusnya bisa diatasi dengan dewasa, karena seringkali yang remeh temeh dan tidak begitu penting itu bisa menjadi pecahan kaca yang tetap sakit kalau terinjak. Nah ini, PR besar lagi, menjadi dewasa. Tapi bukankah kita memang tidak pernah berhenti untuk belajar menjadi dewasa yah?

Dan saya kira, dengan pengalaman beberapa hari ini, saya masih percaya tuhan emang ngasih saya kesempatan ini untuk tidak lagi saya sia-siakan…

Dan dia, saya masih menimbang antara harus merasa beruntung atau sangat beruntung, sekaligus sial atau sangat sial, telah mengenal dia dan memilih memberikan tabungan “iya” saya itu. Yang pasti, saya yakin dan percaya, saya menginvestasikan tabungan saya pada investor yang tepat, semoga.

Amin.

Mari berdoa dengan cara kita masing-masing kepada tuhan kita masing-masing, hei, Arys Aditya. “Aku tahu kamu tahu doa paling baik buat kita berdua,” kata kamu kapan kali.

Meskipun semua ini konyol, kamu  berhasil membuat saya percaya, bahwa jatuh cinta itu biasa saja, benar-benar biasa saja, tidak ada yang harus diledakan. Cuma semacam perasaan yakin, itu saja.

...meledak


Saya tu suka meledak deh. Dan ini buruk. Sangat buruk. Serius, ini tidak boleh diteruskan.
Kalau dulu saya meledak dan hanya akan marah sama diri sendiri. Saya curiga sekarang saya akan meledak dan menumpahkan semuanya ke satu orang. Dan ini nggak baik. Buat saya, dan buat dia juga.

Nah, masalahnya adalah, saya tu kadang meledaknya kelewatan. Bukan marah si sebenernya, cuma semacam memberi penjelasan. Tapi gini deh, ngomong keras dan rada kasar sama orang aja itu udah nggak baik kan? Nah, begitupun pas meledak ini, kita jadi ngomong lebih keras ke orang lain. Dan ini nggak baik.

Terus ngapain saya nulis kayak gini?

Buat kasih penjelasan biar dimaafin dan dimaklumin kalau meledak?

Errr.

...kebetulan


Ada yang tahu gitu, setelah ini akan ada apa? Lalu apa? Menjadi apa? Dan bagaimana?

Nggak tahu. Nggak tahu. Nggak tahu.

Saya tiba-tiba suka kebetulan-kebetulan yang pelan-pelan memperlihatkan jawaban.

:) :) :)

... you are: things on your bag


Setelah beberapa hari lalu ngobrolin tas yang bisa jadi simbol kelas sosial. Momen bersih-bersih, termasuk membersihkan isi tas, membuat saya berfikir bahwa, kita juga bisa dinilai dari apa yang ada di dalam tas kita.

Karena pasti, saya yakin pasti, akan ada barang-barang yang selalu harus ada di dalam tas. Mau itu ganti tas sehari sepuluh kali, barang-barang itu akan selalu terbawa. Meskipun tidak begitu penting, meskpin pada akhirnya tidak terpakai. Saya si nggak tahu yah, ini hanya terjadi pada saya, atau juga pada semua orang. Tapi rasa-rasanya beberapa orang yang saya kenal memang tergopoh memindah beberapa barang ketika harus ganti tas, dan, barang-barang itu sama.

Beberapa benda yang bagi beberapa orang tidak penting, tapi sangat, sangat penting bagi saya, misalnya: minyak kayu putih. Saya hampir selalu membawa minyak kayu putih, alasannya sederhana, kalau tiba-tiba magh saya kambuh, saya bisa memakainya untuk menghangatkan perut saya. Kedua, hand sanitizer, sederhana juga, kan kita biasanya langsung makan di mana saja tuh, nah, sanitizer ini perlu untuk dipakaikan di tangan sebelum makan, saya percaya bisa mengurangi beberapa persen kuman di tangan saya atau menjadikannya lebih bersih setelah makan juga. Tissue juga memiliki fungsi hampir sama yah, entah itu kering atau basah, intinya buat lap-lap. Nah, lalu, barang-barang macam dompet dan ponsel. Itu biasa saja sih. Ya emang harus dibawa toh?

Tapi isi tas saya yang saya bersihkan tadi pagi, ini isi tas kemarin sepertinya, kok ya, bawa-bawa kalung dan pelembab segala. Jadi, isi lengkapnya: ada dompet, kacamata, jam tangan, kalung, stabilo, bolpen, tisu basah, minyak kayu putih, iket rambut, sanitizer, head-set, pelembab, dan lip gloss. Kalau dipikir-pikir, ngapain saya bawa barang-barang itu yah? Yakin kepake? Yo embuh. Kadang-kadang saya ngrasa, saya akan membutuhkan benda-benda itu. Misal gini deh, saya harus pergi dari pagi sampai malam, terus muka saya kacau banget, saya bisa dong, mbersihin pake tissue basah dan biar nggak pucet, saya pakai lip glossnya?

Saya jadi keinget, pernah ada tulisan bilang, “perempuan senang membawa barang-barang yang belum tentu terpakai di dalam tasnya”. Ya gimana dong, itu semua bisa saja menjadi kebutuhan. Dan kebutuhan orang juga kan beda-beda. Ada teman saya yang selalu membawa kaos ganti ke mana-mana, karena dia sering ada acara dari pagi sampai malam sementara dia mudah sekali berkeringat. Atau teman saya yang seorang wartawan surat kabar lokal yang cantik itu, juga membawa make-up set lengkap dan baju ganti dan sepatu ganti. Atau teman saya yang hampir selalu membawa cologne. Selalu membawa sisir. Selalu membawa kaca. Saya percaya akan ada manfaatnya.

Selama tasnya muat aja deh yah.

are we something in our bag, too? Maybe, yes.

Saturday, October 22, 2011

... the it bag?


Tiba-tiba saya ngerasa kalau beberapa hari ini menyenangkan, tanpa banyak protes kayak biasanya. Menyenangkan sekali malah.

Seenggaknya, terakhir saya ngomong rada marah itu, ya, waktu marah sama orang yang nyrempet saya. Pas saya baru bangun dari jatuh saya langsung ngomel. Goblok bener si, nyalip motor dari kiri nggak lihat-lihat. Bener kali yah, meskipun kita udah hati-hati di jalan raya, bisa aja di sana ada ratusan orang lain yang nggak hati-hati dan nggak pedulian. Itu menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi, kita jadi bagian dari semua itu setiap hari.

Au, au, au. Karena menyenangkan-menyenangkan aja. Nggak usah ditulis aja kali yah.

Tapi, obrolan sambil nge-juss di pinggir kuburan sama Nindya dan Syauqi barusan cukup menggelitik. Dan kayaknya bikin Nindut sedikit kesetrum sorenya. Awalnya, tentu saja kita ngobrolin skripsi. Errr. Intinya, kita bertiga sama-sama sadar, ngerjain skripsi itu ternyata nggak sulit-sulit amat. Cuma baca-baca doang sama ngetik-ngetik doang. Terus cari muka deh ke pembimbing. Ya abisnya, dari kami bertiga, pembibingnya nggak ohwauw-ohwauw amat. Bukan tipe pembimbing yang ng-push mahasiswa macam Bu Tiwi ketua prodi itu.

Tapi, ehm, kita bertiga sama-sama sadar juga, kalau kita terlalu malas-malasan. Maka butuh orang yang bisa ng-push kita sendiri. Kayaknya faktor diminta orangtua cepet lulus, umur, ditunggu nikah pacar, atau kostan yang habis bulan Desember, tidak cukup jadi alasan buat cepet-cepet ngerjain dan nyelesein. Cuma selesai di mulut doang. Nyalain komputer atau laptop juga nggak maksimal buat ngerjain. Aaaau. Itu saya banget si sebenernya. Dua bulan cuma itu-itu aja, nggak nambah-nambah.

Tapi, yang lebih bikin nyetrum itu adalah ngobrolin soal tas. Tentang betapa untuk memiliki sebuah tas branded itu, sangat mahal. Nggak cuma mahal karena emang mahal, tapi juga ‘mahal’, main mental. Dan kok, ya, seperti dipaksa atau terpaksa sekali. Rasa-rasanya, ketika kita dinilai dari logo apa yang ada di tas kita itu, kok kejam sekali yah. Dan itu adalah tentang sebuah tas berharga puluhan hingga ratusan juta. Akhirnya, tas-tas itu harganya melebihi fungsinya. Ah, kalau buat saya pribadi, walaupun jatuh cinta setengah mati sama chain bag Chanel (classic), tapi rasanya emang nggak segitunya untuk ngejar merek-merek itu. Kadang saya mending punya tas nggak ada mereknya, dari pada palsu. Hhha. Ini pembelaan. Emang nggak bisa beli aja.

Maka, terkutuklah China dengan segala produk tiruannya. Itu tas-tas dengan merek Chanel lima puluh ribuan maksudnya apa? Mungkin bakal lebih terhormat kalau beli KW bersertifikat (saya ulangi, KW tapi bersertifikat, aneh kan? Sertifikat tiruan :p), ini ada di beberapa gerai. Kalau beruntung, dengan harga dibawah lima ratus ribu, kita bisa lah, dapat barang bagus itu. Inilah kelas dimana saya berada dan cukup mampu untuk menggapai. Setidaknya dengan pengorbanan nabung beberapa waktu atau ada orang yang dengan senang hati memberi saya chain bag classic warna hitam itu.

Nah, lalu kita ngobrolin bagaimana kejamnya pergaulan dengan tas-tas itu. Ketika para orang-orang A-list itu bisa mendeteksi dengan sekali lirik, dan tahu, ini tas palsu apa asli. Atau kebanyakan dari kita, yang tidak terlalu ambil pusing dengan merek-merek itu. Atau, sebenernya bakal lebih enak lagi, buat saya si, ya, kembali ke tas sebagai fungsi dan kebutuhan. Kalau mau bawa banyak barang, tote bag yang besar akan mampu menampung buku-buku, kertas-kertas, mukena lipat, air minum, dan hal-hal remeh lain, atau kita hanya membutuhkan sling bag kecil karena hanya membawa dompet, tisu, dan ponsel, dan lupakan masalah merek itu.

Obrolan tentang tas itu mulai panjang sebenernya. Endingnya, saya teringat satu laporan di Kompas tentang second hand branded bag. Jadi, tas-tas bermerek yang bisa dijadikan investasi. Jadi, walaupun kita beli dengan harga ratusan juta (???), setelah puas kita pamerin dan tentengin kesana-kemari sebagai self statement, bisa lah dijual lagi dengan harga tak jauh beda. Karena, ada juga pemburu tas-tas itu yang emang sengaja membelinya. Nah, bisa kan, bisa dong, kita ganti tas lagi. Terus si Nindya saya kasih korannya deh di kostan, tapi kita belum ngobrolin lagi.

Tapi, sebenernya, yang oke dari barang bagus itu adalah, keawetannya. Terlepas masalah prestise loh yah, bolehlah, ketika emang mampu, miliki satu atau dua atau sepuluh atau tiga ratus tas bagus itu. Mungkin bisa kita warisin ke anak atau cucu kita, kayak ibu saya mewariskan sling bag ungu dia ke saya. Ah, pokoknya mah kejam.

Saturday, October 15, 2011

...second hand, uh?


Saya dulu ketawa-ketawa dan kedip-kedip mata, waktu salah satu mbak kost saya, Teh Aliet, dia bilang, “Di, serius yah, kamu tuh benar-benar terjebak masa lalu.” Bukan, o, bukan, ini bukan tentang saya menangisi siapa gitu dari masa lalu saya. Ini adalah tentang baju.

Waktu itu saya pamer dua kemeja yang baru saya beli di awul-awul, jadi, ini semacam pasar barang-barang second hand. Dan, kemeja itu lucu sekali (definisikan lucu??), jadi, saya emang suka sekali classic look dengan kemeja sok rapi, kegedean, dengan motif tribal, ah, pokoknya, apa yang membuat saya terlihat seperti seorang perempuan dekade 20 hingga 80-an (ini ngawur sebenernya). Kesadaran ini muncul begitu saja sejak saya diperingatkan berkali-kali untuk tidak lagi-lagi memakai kaos ke manapun.

Maka GoGirl! jadi referensi saya, waktu itu muse mereka Agyness Deyn. Tapi saya biasa aja sama dia. Saya langsung suka sama Alexa Chung, kalo Agyness terlihat tomboi dan edgy, maka Alexa benar-benar terlihat classic dan everlasting. Dan lalu, saya menonton (500) Days of Summer, lupakan tentang bagusnya itu film dan kegantengan Joseph Gordon-Levitt, mari perhatikan baju-baju yang dipakai Zooey Deschannel, itu oke sekali. Apalagi terusan biru yang dia pakai waktu di Ikea dan terusan berenda yang dia pakai waktu adegan di tempat fotocopian. Au, au, au. Entahlah, saya suka aja. Dan saya terlihat lebih cocok memakai pakaian-pakaian semacam jaman dulu itu dari pada pakaian-pakaian model korea yang lagi sangat ngtren itu. Selain kenyataan bahwa beberapa merek juga mulai mengolah model demikian, kayak misal Details, LM for HW, atau baju-baju di Fashion Village yang tiba-tiba menjadi oke. Yah, semua orang tau, style just running in one cyrcle, bahkan Karl Lagerfeld dan Stella McCartney juga sadar sekali tentang itu, gaya akan terus terulang.

Tidak usah ngomongin Lagerfeld dan McCartney yang pakaian rancangannya tidak (belum?) mampu saya beli. Karena entah siapa yang harus bertanggungjawab kalau sekarang bapak tukang parkir awul jadi apal sama muka saya? Saya lupa siapa yang ngajak untuk pertama kalinya buat ke toko pakaian bekas, kayaknya Teh Imeh deh… Dan dua halaman artikel do it yourself di GoGirl! yang bikin kemeja modifikasi dari baju-baju second hand di Pasar Senen dengan harga mulai seribuan hingga lima ribuan. Omaygod. Omaygod. Terus, baju-baju itu ada photo fashion spread-nya yang dipaduin sama item-item biasa. Maka saya memulai dengan menggunting kerah berdiri sebuah terusan ungu dan dress berbunga ibu saya lalu membawanya ke penjahit. Ah, suka, suka, suka…

Jadi, dari mulai buka-buka lemari ibu saya dan berhasil merampok beberapa kemeja dan tas, lalu saya mulai berani ke awul. Jujur awalnya saya under estimate, berkotor-kotor dan memilih diantara pakaian bekas. Tapi, kenyataan menunjukan, banyak kakak tingkat yang modis sekali itu juga gemar ke awul. Mbak Nindya yang terlihat edgy itu, mbak Aang yang anggun itu, ternyata. Dan terusan cream berenda, baju pertama yang saya beli membuat saya beberapa kali ke awul lagi. Dan saya nggak perlu mikir panjang masalah harga, karena, mau menawar sampe berapa, kalau ternyata itu harganya dua ribu? Saya mlongo waktu pertama kali dengar dulu. Buseeeett.

Dan ternyata si Dinar adik kost saya itu, diam-diam juga sering ke awul, tapi kita baru sempat ngobrol beberapa waktu lalu. Maka beberapa hari lalu kita memutuskan untuk ke awul bareng. Dapetlah dua kemeja setelah berpanas-panas. Walaupun ibu saya sudah memperingatkan untuk tidak lagi-lagi membeli baju di sana, tapi serius, tidak ada luaran motif abstrak warna merah maroon milik saya di toko-toko yang saya temuin di sana. Yang paling penting, kita harus pinter milih. Karena, ya emang, itu baju bekas yang jelek-jelek, jadi, kalau mau dapat yang bagus (menurut selera masing-masing), satu banding seratus. Memastikan jahitannya bagus, warnanya masih bersih, dan bisa dimodifikasi. Sayang kan, kalau dibeli dan nggak kepakai?

Ah, jadi kayak semua orang yang punya personal style masing-masing… Kayaknya teh Alit dulu bener, saya emang terjebak di masa lalu itu, kayak Intan bilang, “Itu baju mbak Diyah banget”. Bdw, the Alit, dia fashion guru saya sekali. Hormat dulu buat dia. Siapa lagi yang ngajarin dandan dan pakai baju bener kalau bukan dia?

Tapi saya seneng loh, ngelihat teman-teman di jurusan saya yang gaya pakaiannya unik-unik. Beda sama kalau di mall dan ngelihat orang-orang berseliweran hampir sama. Saya lebih seneng ngelihatin teman-teman sekelas dengan gayanya yang nggak pasaran, dan ini spesial buat kelas saya. Atau, kalau tidak, lihat ke konser indie deh, di sana ada gaya-gaya yang tidak memalukan.

Ini tadi sebenernya saya mau nulis tentang pengalaman kemarin ke awul lagi, setelah lama banget nggak ke sana. Tapi ya sudahlah. Sama aja. Waktu kapan, si Kenyo temen saya yang suka pakai baju perempuan (hloh), pernah bilang, “Klambi i tergantung canthelane og, meh larango koyok opo, nek sing nganggo ra patut yo ra sido apik.” Setuju sama Kenyot. Mau atasan kita harganya dua ribu kek, bawahan dua ratusan ribu kek, tas tiga ratus ribu, sepatu sembilan puluh sembilan ribu kek, kayaknya si yang penting itu sayanya deh. Ngaca nggak waktu pakai. Patut ra? Hu’uh ra nyot?

Monday, October 10, 2011

...ulang tahun?


Mari ucapkan terimakasih pada facebook yang telah mengingatkan kita akan hari ulangtahun teman. Horre!

Atau barangkali, hari ulangtahun gebetan yang kita taksir. Karena pada kenyataannya, facebook, dengan sangat baiknya menyebarkan info itu. Atau setidaknya, tujuan awal si Mark untuk mengetahui data pribadi teman-temannya terwujud tanpa perlawanan. Walaupun kita bukan teman Mark, tapi, tanpa sadar kita membagi data pribadi dengan suka rela, setidaknya sama teman-teman di facebook kita itu. Malah sebagai wujud eksistensi. Saya dong agamanya ini, saya dong pandangan politiknya ini, saya dong ngefans ini, saya dong pacarnya ini, saya dong nggak punya pacar.

Saya juga pernah lupa hari ulangtahun saya. Ergh, sesungguhnya memalukan. Mengingat saya belum tua-tua amat, masih muda belia dan labil, harusnya selalu ingat itu momen bertambah umur dan merayakannya dengan bermacam seremonial dan kadang-kadang mendapatkan kado atau ciuman di kening. Bukan lupa tanggalnya, saya ingat kok tanggalnya, tapi semacam kelupaan dan tidak kepikiran karena pikiran tersita untuk mikirin atau ngerjain hal lain. Kayak ulangtahun ke-18 dan 20 kemarin. Yah, di ulangtahun yang 18 saya punya pacar yah, jadi waktu itu dia yang ngingetin, cukup manis kayaknya ini ceritanya, tapi saya malas ngingetnya, lupakan. Di ulangtahun kemarin itu, saya stress di ukm saya dan tugas magazine news sepertinya, pokoknya hectic, saya tidur cepet sambil nangis-nangis, dan paginya teman-teman kost mengetuk pintu. Err.. masih berdaster ria, pagi itu Kenyo dan mbak Vita dan Intan (kayaknya), mbawain, getuk goreng di kasih lilin warna-warni. Dan, itu, manis sekali, saya habis buka pintu mbalik ke kasur lagi, nutup muka pakai bantal, terharu. Iya, saya lupa hari itu saya berulangtahun. Parah yah saya?!

Makanya, saya berterimakasih, karena dari facebook, tanpa sengaja kita jadi tau tanggal-tanggal ulangtahun teman. Kebayang kalau saya diundang tiap teman fb makan-makan tiap mereka ulangtahun, pasti saya makan gratis tiap hari. Karena selalu ada yang ulangtahun. Seandainya, info tentang tanggal ulangtahun nggak ada di fb, ingatkah kita akan hari-hari ulangtahun teman kita?

Saya aja yang hafal tanggal-tanggal ulangtahun orang serumah dan selalu saling memberi selamat, kemarin lupa hari ulangtahu ibu saya. Tepatnya terlupakan. Sebelum menyadari di sore harinya. Iya, saya nggak bisa (kesulitan) mengingat hari ulangtahun. Ghrrrr! Memalukan. Karena saya juga lupa-lupa ingat tanggal-tanggal ulangtahun sahabat saya. Kayaknya dulu juga yang sering ingat itu ibu saya, bukan saya.

Dan, ini buruk, kalau misal teman baik saya ulangtahun, dan saya lupa. Sementara dia itu adalah orang yang barangkali, begitu mementingkan momen itu? Maka habislah saya. Saya nggak ngerti deh, kalau emang nggak bisa mengingat itu jahat nggak si?

Semacam, salah satu teman saya yang berulangtahun kemarin. Saya sesorean bareng dia, kita ngobrol bertiga, dia sempat lama di kostan juga. Saya sempet ngobrol sama pacarnya di telfon juga. Kita sempat mau makan bareng, tapi saya waktu itu nggak jadi ikut, karena harus di kost. Setelah selesai dengan kepentingannya di kostan saya, mereka pergi. Saya bukalah itu facebook, dan, yah, hari itu ulangtahunnya. Dan seseorean itu, kita, saya, dia, ataupun satu teman lainnya, tidak membahas sama sekali tentang ulangtahun. Saya langsung sms dia. Saya bilang, entah aku yang goblok atau gimana, ternyata kamu ulangtahun hari ini. Dia jawab, aduh saya lupa, tapi intinya gini, “Itu cuma salah satu tentang pertemanan kok”. Ya ampun, dia bijak sekali. Er..er..errr…

Atau ketika dengan bodohnya, saya mengira Intan itu ulangtahun 16 Juli, padahal dia ulangtahunnya 26 Juli, bener nggak? Atau kebalik? Tuh kan, saya lupa. Juga Vicky, saya tu lupa deh, dia itu ulangtahun tanggal 15 Oktober apa November yah? Errrrgghhh…!!!
Dan facebook akan mengingatkan. Tapi akan lupa lagi besoknya.

Sebenarnya, saya tertohok, karena teman saya, Maulana, semalam dia baru mengingatkan tentang ulangtahun kawan kami, Rani. Dia bilang, dia ingat tanggal ulangtahun kawan-kawannya ketika pertama kali ospek dulu. Selain karena setelah itu, mereka berteman baik. Tapi intinya, DIA BISA NGINGET TANGGAL ULANGTAHUN ORANG-ORANG. Buset deh. Dari belakang jok motornya, saya ngebayangin Nana mengingat tanggal-tanggal dan angka-angka itu. Yang bagi saya, itu sulit sekali.

Saya nggak akan minta pemakluman kalau lupa tanggal-tanggal itu. Tapi bagaimana dengan, selamat ulangtahun buat semuanya untuk tiap tanggal ulangtahunnya masing-masing. Hhhii… J

Momen itu barangkali cukup penting. Ya, saya juga kadang membuat resolusi kecil-kecilan dan mencatat apa saja yang sudah saya lakukan. Atau kadang kalau ada tabungan tersisa, ya ayoklah kita makan bersama. Semoga orang-orang itu mendoakan dengan tulus. Atau kadang, sengaja memilihkan sehelai kain untuk teman yang akan berulangtahun. Yah, memang selalu ada yang manis di sana. Atau harap-harap cemas, kali ini ibu saya ngasih apa yah? Tapi mau bagaimana lagi, kalau saya nggak mampu mengingat-ingatnya dengan baik?????????

Selamat ulangtahun. Semoga itu cuma salah satu tentang pertemanan diantara jutaan hal lain tentang pertemanan… amin. Amin. Amin…

Friday, October 7, 2011

...sidang


Seorang teman tanya, tentang, kenapa sore itu saya masih pakai kemeja rapi, walaupun sudah memakai sandal. Karena dia tidak biasa melihat saya pakai kemeja dan bersandal di perpus, sore-sore pula, biasanya saya berkaus, atau, justru, masih bersepatu. Saya jawab, “Tadi baru dari kampus, ada teman sidang, malas ganti baju.”

Kalau saya menjawab “kampus”, itu berarti dari fisip, tempat saya kuliah. Walaupun barangkali sekre ukm saya juga di dalam kampus atau tempat kuliah lelaki idaman saya di DKV, itu bukan “kampus” saya. Saya pasti akan menjawab, “seni rupa” atau “sekre” atau “kopma” atau “boulevard…”. Itu bukan “kampus” saya.

Tapi ini bukan tentang kampus atau lelaki idaman di DKV. Toh orang yang membuat saya tergila-gila itu sudah lulus dan sekarang dia di pasca komunikasi. Ini adalah tentang sidang. Ya, benar sekali, sidang skripsi.

Ada dua impian saya tentang  sidang skripsi. Bukan tentang nilai A dan kelancaran, kalau tentang itu, tak perlu dimimpikan, cukup diusahakan dengan pikiran penuh.

Impian dan keinginan saya simple, pertama, saya pengen pakai kemeja warna kuning tua. Saya si belum punya kemejanya yah, tapi, saya sudah membayangkan modelnya. Kapan kali pernah lihat warna yang saya mau di lm-hw, selain modelnya tidak memenuhi standar kesopanan sidang, harganya juga sangat tidak sopan, dua ratus tiga puluh ribu untuk kemeja tipis gitu mah bisa beli 20 potong kemeja vintage di second hand atau membeli bahan yang lebih tebal dan menjahitkannya untuk tiga kemeja serupa, dan mungkin lebih bagus :p. Iya dong, di kampus saya, sidang boleh pakai kemeja non putih loh. Setidaknya, sampai detik saya nulis ini, saya belum tahu ada aturan itu di kampus. Setidaknya, teman saya yang sidang tadi siang, pakai kemeja berwarna ungu tua. Yah, meskipun sepertinya yang seperti itu CUMA anak komunikasi. Soalnya, kebanyakan teman-teman dari jurusan lain selalu heboh tentang atasan putih dan bawahan hitam/gelap yang tiba-tiba menjadi lebih sekseh dari jins paling ketat di dunia. Dulu suka banget waktu lihat mbak kost saya memakai kemeja longgar warna merah maroon dan abu-abu. Damn, ini dia. Saya besok sidang pakai kemeja warna kuning tua. J

Yang kedua, meskipun bukan rahasia lagi, kalau di kampus tempat saya harus sidang nanti, biasanya memberikan semacam, ehm,ehm,ehm… oleh-oleh untuk penguji. Biasanya memberi bermacam makanan. Haih, saya punya keinginan memberikan sesuatu yang tidak bisa mereka atau anak-anak mereka habiskan dalam waktu kurang dari satu jam. Entahlah apa nanti. Bukan apa-apa, biar kita tunjukin, “Ini wujud wacana saya Pak, Bu… Hei, lihat.” Misal kita kasih plakat dengan tulisan “Terimakasih Telah Menjadi Penguji Sidang Saya”, itu harganya tidak lebih mahal dari sekotak brownies Amanda Original. Kan? Bukan demi nilai deh yah, tapi lebih pada, ya ikut-ikutan yang lain aja si. Hhha. Nggak oke sekali.

Ini Cuma keinginan loh, kalau ada yang mengingat, dan ternyata besok saya sidang pakai kemeja putih dan rok pendek seksi, yah, mungkin ketika itu sudah ada aturan tertulisnya. Dan kalau saya memberi sekotak Amanda, boleh di cek, kalau mungkin itu sudah saya potong setengahnya dan saya tinggal di kamar kostan. Tapi, boleh lah, kelak ada yang mengingatkan saya tentang mimpi saya ini… J

Saya cuma bisa mimpiin itu, karena tiba-tiba saya desperate dengan nilai, karena kalau hasil akhir itu adalah IPK, saya dulu masih mimpi-mimpi bisa cumlaude. Mentang-mentang di komunikasi batas cumlaude 9 semester (bener kan?). Tapi, dengan hancurnya ekspektasi dua nilai mata kuliah di dua semester terakhir, saya pasrah. Bahasa kerennya, menyerah. Sudahlah, mamah, anakmu tidak akan memakai selendang biru muda itu.

Tiba-tiba juga hasil akhir skripsi bagi saya menjadi tidak penting. Mengingat kenyataan revisi adalah tentang menuruti kehendak penguji. Oke, iya, penguji itu mau memperbaiki skripsi kita. Tapi, kok, menurut saya, dasarnya skripsi itu mau bagus atau enggak, itu tergantung duet mahasiswa-pembimbing. Pertama, mahasiswa bikin dasar, kedua, pembimbing memetakan bangunan. Kalau emang dari awal dirasa kurang realistis, ya mbok si pembimbing yang ngawal dari awal yang ngingetin. Kenapa nunggu sampai di bantai (ehm, diuji) oleh dosen lain? Jadi, ibarat kata, penguji itu hanya menanyakan alasan dan dasar, nggak perlulah merubah-rubah segala. Nah, tugas kita, karena kita yang milih itu masalah, tugas kita itu meyakinkan. Dan pembimbing, harusnya dari awal sudah sadar dengan yang kita lakukan. Jangan sampai mendorong kita masuk jurang di kala sidang. Tapi, sungguh, ini saya nggak ngerti, karena seringkali pembimbing kurang fair. Ngenes menyadari seorang dosen punya dua kotak, kotak pertama kotak “BELUM DITELITI”, kotak kedua “SUDAH DITELITI”. Hormat grak. Tinggalkan barisan. Bubar jalan.

Pada akhirnya, ternyata, kita (saya) nanti masuk ruang sidang sendirian. Semoga besok bisa dapat ruang sidang yang pojok sana itu… Yang luas itu loh dan belum ada peraturan harus pakai kemeja putih dan bawahan hitam kayak di fakultas lain. Atau tiba-tiba ada peraturan mahasiswi tak berkrudung harus memakai rok di atas lutut. Jreng-jreng… saya iklas pura-pura pakai krudung satu jam…

Yang penting, kuasai materi. Kata prof dekan, kapan kali saya dan beberapa teman makan bebek bakar bersama, “Skripsi itu yang gampang,” kata dia waktu saya tanya, enaknya ngerjain skripsi tu yang kayak gimana si Pak? Gampang itu adalah, ya gampang bagi kita. Saya. Makanya, saya suka waktu teman saya memilih mengulang dari awal, ketika dia sadar dia tidak bisa melanjutkan penelitiannya yang kuantitatif itu, karena dia setipe saya, mual lihat angka, dan berputar ke hal yang disukainya, semiotika. Saya seneng sama orang yang tau yang mereka mau.

Nggak kaya saya, yang tiba-tiba labil malam-malam, ngetik tentang sidang, padahal, sebenernya, lagi jiper. Karena digertak oleh seorang hebat (kayaknya, cuma kayaknya), pokoknya mah anak pasca crcs ugm, mudeng sekali kajian budaya dan sub kultur, dan waktu semingguan lalu saya cerita tentang skripsi saya, dan, dia, dia, dia, dia, dia, diaaaaa. Dia, tiba-tiba mengaitkan batik dengan wawasan kebangsaan, ada masalah pki juga, ada tentang abad pertengahan dan renessains juga, ada tentang ah, banyak lah. Saya kayaknya waktu itu shock, bahkan bikin mikir sampai sekarang. Hohmaygod!

Nah, ini. Ayo di pikir. Saya bisanya cuma ngeluh dan ketakutan tak beralasan. Lalu berapologi (ini kata ini, saya jadi suka, gara-gara, dalam satu acara lokakarya, teman di samping saya, bikin kata ini di catetannya, banyaaaak banget, karena pembicaranya adalah, ehm,ehm,ehm… orang yang habis membantai skripsi saya sehari sebelumnya itu… hhhaaa). Yah, dia cuma berapologi, sebagaimana kelak dosen-dosen penguji itu pun cuma berapologi. Hhhaa…
Ini bagian dari menghibur diri. Horahore!

Monday, October 3, 2011

... perempuan itu dan sahabatnya.


Sore ini tak perlu ada puisi. Jika dua sore yang lalu mereka banyak bercerita dan tertawa karena puisi-puisi Goenawan Mohamad. Bahkan perempuan itu sempat tertampar karena tiga judul puisi GM. Dan perempuan itu sempat banyak menimbang dan lalu memutuskan karena membaca tiga puisi itu. Maka, sore ini tak perlu lagi ada puisi.

Lelaki itu tak mau tinggal.

Dua sahabat itu tak perlu berpuisi sore ini. 

Selesai sudah cerita dalam dua baris milik GM tempo hari,

… Aku pun tahu: sepi kita semula/ bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata// Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela/ mengekalkan yang esok mungkin tak ada//


*menunggu Fauzi mencari puisi (lagi)
---untuk Arman Dhani