Saturday, October 22, 2011

... the it bag?


Tiba-tiba saya ngerasa kalau beberapa hari ini menyenangkan, tanpa banyak protes kayak biasanya. Menyenangkan sekali malah.

Seenggaknya, terakhir saya ngomong rada marah itu, ya, waktu marah sama orang yang nyrempet saya. Pas saya baru bangun dari jatuh saya langsung ngomel. Goblok bener si, nyalip motor dari kiri nggak lihat-lihat. Bener kali yah, meskipun kita udah hati-hati di jalan raya, bisa aja di sana ada ratusan orang lain yang nggak hati-hati dan nggak pedulian. Itu menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi, kita jadi bagian dari semua itu setiap hari.

Au, au, au. Karena menyenangkan-menyenangkan aja. Nggak usah ditulis aja kali yah.

Tapi, obrolan sambil nge-juss di pinggir kuburan sama Nindya dan Syauqi barusan cukup menggelitik. Dan kayaknya bikin Nindut sedikit kesetrum sorenya. Awalnya, tentu saja kita ngobrolin skripsi. Errr. Intinya, kita bertiga sama-sama sadar, ngerjain skripsi itu ternyata nggak sulit-sulit amat. Cuma baca-baca doang sama ngetik-ngetik doang. Terus cari muka deh ke pembimbing. Ya abisnya, dari kami bertiga, pembibingnya nggak ohwauw-ohwauw amat. Bukan tipe pembimbing yang ng-push mahasiswa macam Bu Tiwi ketua prodi itu.

Tapi, ehm, kita bertiga sama-sama sadar juga, kalau kita terlalu malas-malasan. Maka butuh orang yang bisa ng-push kita sendiri. Kayaknya faktor diminta orangtua cepet lulus, umur, ditunggu nikah pacar, atau kostan yang habis bulan Desember, tidak cukup jadi alasan buat cepet-cepet ngerjain dan nyelesein. Cuma selesai di mulut doang. Nyalain komputer atau laptop juga nggak maksimal buat ngerjain. Aaaau. Itu saya banget si sebenernya. Dua bulan cuma itu-itu aja, nggak nambah-nambah.

Tapi, yang lebih bikin nyetrum itu adalah ngobrolin soal tas. Tentang betapa untuk memiliki sebuah tas branded itu, sangat mahal. Nggak cuma mahal karena emang mahal, tapi juga ‘mahal’, main mental. Dan kok, ya, seperti dipaksa atau terpaksa sekali. Rasa-rasanya, ketika kita dinilai dari logo apa yang ada di tas kita itu, kok kejam sekali yah. Dan itu adalah tentang sebuah tas berharga puluhan hingga ratusan juta. Akhirnya, tas-tas itu harganya melebihi fungsinya. Ah, kalau buat saya pribadi, walaupun jatuh cinta setengah mati sama chain bag Chanel (classic), tapi rasanya emang nggak segitunya untuk ngejar merek-merek itu. Kadang saya mending punya tas nggak ada mereknya, dari pada palsu. Hhha. Ini pembelaan. Emang nggak bisa beli aja.

Maka, terkutuklah China dengan segala produk tiruannya. Itu tas-tas dengan merek Chanel lima puluh ribuan maksudnya apa? Mungkin bakal lebih terhormat kalau beli KW bersertifikat (saya ulangi, KW tapi bersertifikat, aneh kan? Sertifikat tiruan :p), ini ada di beberapa gerai. Kalau beruntung, dengan harga dibawah lima ratus ribu, kita bisa lah, dapat barang bagus itu. Inilah kelas dimana saya berada dan cukup mampu untuk menggapai. Setidaknya dengan pengorbanan nabung beberapa waktu atau ada orang yang dengan senang hati memberi saya chain bag classic warna hitam itu.

Nah, lalu kita ngobrolin bagaimana kejamnya pergaulan dengan tas-tas itu. Ketika para orang-orang A-list itu bisa mendeteksi dengan sekali lirik, dan tahu, ini tas palsu apa asli. Atau kebanyakan dari kita, yang tidak terlalu ambil pusing dengan merek-merek itu. Atau, sebenernya bakal lebih enak lagi, buat saya si, ya, kembali ke tas sebagai fungsi dan kebutuhan. Kalau mau bawa banyak barang, tote bag yang besar akan mampu menampung buku-buku, kertas-kertas, mukena lipat, air minum, dan hal-hal remeh lain, atau kita hanya membutuhkan sling bag kecil karena hanya membawa dompet, tisu, dan ponsel, dan lupakan masalah merek itu.

Obrolan tentang tas itu mulai panjang sebenernya. Endingnya, saya teringat satu laporan di Kompas tentang second hand branded bag. Jadi, tas-tas bermerek yang bisa dijadikan investasi. Jadi, walaupun kita beli dengan harga ratusan juta (???), setelah puas kita pamerin dan tentengin kesana-kemari sebagai self statement, bisa lah dijual lagi dengan harga tak jauh beda. Karena, ada juga pemburu tas-tas itu yang emang sengaja membelinya. Nah, bisa kan, bisa dong, kita ganti tas lagi. Terus si Nindya saya kasih korannya deh di kostan, tapi kita belum ngobrolin lagi.

Tapi, sebenernya, yang oke dari barang bagus itu adalah, keawetannya. Terlepas masalah prestise loh yah, bolehlah, ketika emang mampu, miliki satu atau dua atau sepuluh atau tiga ratus tas bagus itu. Mungkin bisa kita warisin ke anak atau cucu kita, kayak ibu saya mewariskan sling bag ungu dia ke saya. Ah, pokoknya mah kejam.

No comments:

Post a Comment