Saturday, October 15, 2011

...second hand, uh?


Saya dulu ketawa-ketawa dan kedip-kedip mata, waktu salah satu mbak kost saya, Teh Aliet, dia bilang, “Di, serius yah, kamu tuh benar-benar terjebak masa lalu.” Bukan, o, bukan, ini bukan tentang saya menangisi siapa gitu dari masa lalu saya. Ini adalah tentang baju.

Waktu itu saya pamer dua kemeja yang baru saya beli di awul-awul, jadi, ini semacam pasar barang-barang second hand. Dan, kemeja itu lucu sekali (definisikan lucu??), jadi, saya emang suka sekali classic look dengan kemeja sok rapi, kegedean, dengan motif tribal, ah, pokoknya, apa yang membuat saya terlihat seperti seorang perempuan dekade 20 hingga 80-an (ini ngawur sebenernya). Kesadaran ini muncul begitu saja sejak saya diperingatkan berkali-kali untuk tidak lagi-lagi memakai kaos ke manapun.

Maka GoGirl! jadi referensi saya, waktu itu muse mereka Agyness Deyn. Tapi saya biasa aja sama dia. Saya langsung suka sama Alexa Chung, kalo Agyness terlihat tomboi dan edgy, maka Alexa benar-benar terlihat classic dan everlasting. Dan lalu, saya menonton (500) Days of Summer, lupakan tentang bagusnya itu film dan kegantengan Joseph Gordon-Levitt, mari perhatikan baju-baju yang dipakai Zooey Deschannel, itu oke sekali. Apalagi terusan biru yang dia pakai waktu di Ikea dan terusan berenda yang dia pakai waktu adegan di tempat fotocopian. Au, au, au. Entahlah, saya suka aja. Dan saya terlihat lebih cocok memakai pakaian-pakaian semacam jaman dulu itu dari pada pakaian-pakaian model korea yang lagi sangat ngtren itu. Selain kenyataan bahwa beberapa merek juga mulai mengolah model demikian, kayak misal Details, LM for HW, atau baju-baju di Fashion Village yang tiba-tiba menjadi oke. Yah, semua orang tau, style just running in one cyrcle, bahkan Karl Lagerfeld dan Stella McCartney juga sadar sekali tentang itu, gaya akan terus terulang.

Tidak usah ngomongin Lagerfeld dan McCartney yang pakaian rancangannya tidak (belum?) mampu saya beli. Karena entah siapa yang harus bertanggungjawab kalau sekarang bapak tukang parkir awul jadi apal sama muka saya? Saya lupa siapa yang ngajak untuk pertama kalinya buat ke toko pakaian bekas, kayaknya Teh Imeh deh… Dan dua halaman artikel do it yourself di GoGirl! yang bikin kemeja modifikasi dari baju-baju second hand di Pasar Senen dengan harga mulai seribuan hingga lima ribuan. Omaygod. Omaygod. Terus, baju-baju itu ada photo fashion spread-nya yang dipaduin sama item-item biasa. Maka saya memulai dengan menggunting kerah berdiri sebuah terusan ungu dan dress berbunga ibu saya lalu membawanya ke penjahit. Ah, suka, suka, suka…

Jadi, dari mulai buka-buka lemari ibu saya dan berhasil merampok beberapa kemeja dan tas, lalu saya mulai berani ke awul. Jujur awalnya saya under estimate, berkotor-kotor dan memilih diantara pakaian bekas. Tapi, kenyataan menunjukan, banyak kakak tingkat yang modis sekali itu juga gemar ke awul. Mbak Nindya yang terlihat edgy itu, mbak Aang yang anggun itu, ternyata. Dan terusan cream berenda, baju pertama yang saya beli membuat saya beberapa kali ke awul lagi. Dan saya nggak perlu mikir panjang masalah harga, karena, mau menawar sampe berapa, kalau ternyata itu harganya dua ribu? Saya mlongo waktu pertama kali dengar dulu. Buseeeett.

Dan ternyata si Dinar adik kost saya itu, diam-diam juga sering ke awul, tapi kita baru sempat ngobrol beberapa waktu lalu. Maka beberapa hari lalu kita memutuskan untuk ke awul bareng. Dapetlah dua kemeja setelah berpanas-panas. Walaupun ibu saya sudah memperingatkan untuk tidak lagi-lagi membeli baju di sana, tapi serius, tidak ada luaran motif abstrak warna merah maroon milik saya di toko-toko yang saya temuin di sana. Yang paling penting, kita harus pinter milih. Karena, ya emang, itu baju bekas yang jelek-jelek, jadi, kalau mau dapat yang bagus (menurut selera masing-masing), satu banding seratus. Memastikan jahitannya bagus, warnanya masih bersih, dan bisa dimodifikasi. Sayang kan, kalau dibeli dan nggak kepakai?

Ah, jadi kayak semua orang yang punya personal style masing-masing… Kayaknya teh Alit dulu bener, saya emang terjebak di masa lalu itu, kayak Intan bilang, “Itu baju mbak Diyah banget”. Bdw, the Alit, dia fashion guru saya sekali. Hormat dulu buat dia. Siapa lagi yang ngajarin dandan dan pakai baju bener kalau bukan dia?

Tapi saya seneng loh, ngelihat teman-teman di jurusan saya yang gaya pakaiannya unik-unik. Beda sama kalau di mall dan ngelihat orang-orang berseliweran hampir sama. Saya lebih seneng ngelihatin teman-teman sekelas dengan gayanya yang nggak pasaran, dan ini spesial buat kelas saya. Atau, kalau tidak, lihat ke konser indie deh, di sana ada gaya-gaya yang tidak memalukan.

Ini tadi sebenernya saya mau nulis tentang pengalaman kemarin ke awul lagi, setelah lama banget nggak ke sana. Tapi ya sudahlah. Sama aja. Waktu kapan, si Kenyo temen saya yang suka pakai baju perempuan (hloh), pernah bilang, “Klambi i tergantung canthelane og, meh larango koyok opo, nek sing nganggo ra patut yo ra sido apik.” Setuju sama Kenyot. Mau atasan kita harganya dua ribu kek, bawahan dua ratusan ribu kek, tas tiga ratus ribu, sepatu sembilan puluh sembilan ribu kek, kayaknya si yang penting itu sayanya deh. Ngaca nggak waktu pakai. Patut ra? Hu’uh ra nyot?

No comments:

Post a Comment