Friday, October 7, 2011

...sidang


Seorang teman tanya, tentang, kenapa sore itu saya masih pakai kemeja rapi, walaupun sudah memakai sandal. Karena dia tidak biasa melihat saya pakai kemeja dan bersandal di perpus, sore-sore pula, biasanya saya berkaus, atau, justru, masih bersepatu. Saya jawab, “Tadi baru dari kampus, ada teman sidang, malas ganti baju.”

Kalau saya menjawab “kampus”, itu berarti dari fisip, tempat saya kuliah. Walaupun barangkali sekre ukm saya juga di dalam kampus atau tempat kuliah lelaki idaman saya di DKV, itu bukan “kampus” saya. Saya pasti akan menjawab, “seni rupa” atau “sekre” atau “kopma” atau “boulevard…”. Itu bukan “kampus” saya.

Tapi ini bukan tentang kampus atau lelaki idaman di DKV. Toh orang yang membuat saya tergila-gila itu sudah lulus dan sekarang dia di pasca komunikasi. Ini adalah tentang sidang. Ya, benar sekali, sidang skripsi.

Ada dua impian saya tentang  sidang skripsi. Bukan tentang nilai A dan kelancaran, kalau tentang itu, tak perlu dimimpikan, cukup diusahakan dengan pikiran penuh.

Impian dan keinginan saya simple, pertama, saya pengen pakai kemeja warna kuning tua. Saya si belum punya kemejanya yah, tapi, saya sudah membayangkan modelnya. Kapan kali pernah lihat warna yang saya mau di lm-hw, selain modelnya tidak memenuhi standar kesopanan sidang, harganya juga sangat tidak sopan, dua ratus tiga puluh ribu untuk kemeja tipis gitu mah bisa beli 20 potong kemeja vintage di second hand atau membeli bahan yang lebih tebal dan menjahitkannya untuk tiga kemeja serupa, dan mungkin lebih bagus :p. Iya dong, di kampus saya, sidang boleh pakai kemeja non putih loh. Setidaknya, sampai detik saya nulis ini, saya belum tahu ada aturan itu di kampus. Setidaknya, teman saya yang sidang tadi siang, pakai kemeja berwarna ungu tua. Yah, meskipun sepertinya yang seperti itu CUMA anak komunikasi. Soalnya, kebanyakan teman-teman dari jurusan lain selalu heboh tentang atasan putih dan bawahan hitam/gelap yang tiba-tiba menjadi lebih sekseh dari jins paling ketat di dunia. Dulu suka banget waktu lihat mbak kost saya memakai kemeja longgar warna merah maroon dan abu-abu. Damn, ini dia. Saya besok sidang pakai kemeja warna kuning tua. J

Yang kedua, meskipun bukan rahasia lagi, kalau di kampus tempat saya harus sidang nanti, biasanya memberikan semacam, ehm,ehm,ehm… oleh-oleh untuk penguji. Biasanya memberi bermacam makanan. Haih, saya punya keinginan memberikan sesuatu yang tidak bisa mereka atau anak-anak mereka habiskan dalam waktu kurang dari satu jam. Entahlah apa nanti. Bukan apa-apa, biar kita tunjukin, “Ini wujud wacana saya Pak, Bu… Hei, lihat.” Misal kita kasih plakat dengan tulisan “Terimakasih Telah Menjadi Penguji Sidang Saya”, itu harganya tidak lebih mahal dari sekotak brownies Amanda Original. Kan? Bukan demi nilai deh yah, tapi lebih pada, ya ikut-ikutan yang lain aja si. Hhha. Nggak oke sekali.

Ini Cuma keinginan loh, kalau ada yang mengingat, dan ternyata besok saya sidang pakai kemeja putih dan rok pendek seksi, yah, mungkin ketika itu sudah ada aturan tertulisnya. Dan kalau saya memberi sekotak Amanda, boleh di cek, kalau mungkin itu sudah saya potong setengahnya dan saya tinggal di kamar kostan. Tapi, boleh lah, kelak ada yang mengingatkan saya tentang mimpi saya ini… J

Saya cuma bisa mimpiin itu, karena tiba-tiba saya desperate dengan nilai, karena kalau hasil akhir itu adalah IPK, saya dulu masih mimpi-mimpi bisa cumlaude. Mentang-mentang di komunikasi batas cumlaude 9 semester (bener kan?). Tapi, dengan hancurnya ekspektasi dua nilai mata kuliah di dua semester terakhir, saya pasrah. Bahasa kerennya, menyerah. Sudahlah, mamah, anakmu tidak akan memakai selendang biru muda itu.

Tiba-tiba juga hasil akhir skripsi bagi saya menjadi tidak penting. Mengingat kenyataan revisi adalah tentang menuruti kehendak penguji. Oke, iya, penguji itu mau memperbaiki skripsi kita. Tapi, kok, menurut saya, dasarnya skripsi itu mau bagus atau enggak, itu tergantung duet mahasiswa-pembimbing. Pertama, mahasiswa bikin dasar, kedua, pembimbing memetakan bangunan. Kalau emang dari awal dirasa kurang realistis, ya mbok si pembimbing yang ngawal dari awal yang ngingetin. Kenapa nunggu sampai di bantai (ehm, diuji) oleh dosen lain? Jadi, ibarat kata, penguji itu hanya menanyakan alasan dan dasar, nggak perlulah merubah-rubah segala. Nah, tugas kita, karena kita yang milih itu masalah, tugas kita itu meyakinkan. Dan pembimbing, harusnya dari awal sudah sadar dengan yang kita lakukan. Jangan sampai mendorong kita masuk jurang di kala sidang. Tapi, sungguh, ini saya nggak ngerti, karena seringkali pembimbing kurang fair. Ngenes menyadari seorang dosen punya dua kotak, kotak pertama kotak “BELUM DITELITI”, kotak kedua “SUDAH DITELITI”. Hormat grak. Tinggalkan barisan. Bubar jalan.

Pada akhirnya, ternyata, kita (saya) nanti masuk ruang sidang sendirian. Semoga besok bisa dapat ruang sidang yang pojok sana itu… Yang luas itu loh dan belum ada peraturan harus pakai kemeja putih dan bawahan hitam kayak di fakultas lain. Atau tiba-tiba ada peraturan mahasiswi tak berkrudung harus memakai rok di atas lutut. Jreng-jreng… saya iklas pura-pura pakai krudung satu jam…

Yang penting, kuasai materi. Kata prof dekan, kapan kali saya dan beberapa teman makan bebek bakar bersama, “Skripsi itu yang gampang,” kata dia waktu saya tanya, enaknya ngerjain skripsi tu yang kayak gimana si Pak? Gampang itu adalah, ya gampang bagi kita. Saya. Makanya, saya suka waktu teman saya memilih mengulang dari awal, ketika dia sadar dia tidak bisa melanjutkan penelitiannya yang kuantitatif itu, karena dia setipe saya, mual lihat angka, dan berputar ke hal yang disukainya, semiotika. Saya seneng sama orang yang tau yang mereka mau.

Nggak kaya saya, yang tiba-tiba labil malam-malam, ngetik tentang sidang, padahal, sebenernya, lagi jiper. Karena digertak oleh seorang hebat (kayaknya, cuma kayaknya), pokoknya mah anak pasca crcs ugm, mudeng sekali kajian budaya dan sub kultur, dan waktu semingguan lalu saya cerita tentang skripsi saya, dan, dia, dia, dia, dia, dia, diaaaaa. Dia, tiba-tiba mengaitkan batik dengan wawasan kebangsaan, ada masalah pki juga, ada tentang abad pertengahan dan renessains juga, ada tentang ah, banyak lah. Saya kayaknya waktu itu shock, bahkan bikin mikir sampai sekarang. Hohmaygod!

Nah, ini. Ayo di pikir. Saya bisanya cuma ngeluh dan ketakutan tak beralasan. Lalu berapologi (ini kata ini, saya jadi suka, gara-gara, dalam satu acara lokakarya, teman di samping saya, bikin kata ini di catetannya, banyaaaak banget, karena pembicaranya adalah, ehm,ehm,ehm… orang yang habis membantai skripsi saya sehari sebelumnya itu… hhhaaa). Yah, dia cuma berapologi, sebagaimana kelak dosen-dosen penguji itu pun cuma berapologi. Hhhaa…
Ini bagian dari menghibur diri. Horahore!

No comments:

Post a Comment