Monday, December 30, 2013

...kembang api: dalam merah, hitam, dan biru


Tujuan perjalanan singkatku kali ini agak padat.


Mendarat sekitar jam delapan dengan penerbangan pertama, lalu bertemu orang dari kantor pusat, memberikan beberapa draft baru untuk rencana tahun depan dan membicarakan laporan progres pekerjaan di cabang. Sorenya bertemu Maria, lalu melewati malam tahun baru bersama keluarga besarnya. Kebetulan mereka sedang berkumpul di kota ini. Makan malam bersama dan melihat pesta kembang api. Sebelum kembali pulang dengan kereta api jam lima sore, siangnya aku berjanji untuk bertemu Gwen. “Siangnya saja Bri, aku sedang tidak ingin berpesta,” kilahnya ketika kuajak sekalian untuk merayakan malam tahun baru bersama keluarga Maria. Sedang tidak ingin berpesta, katanya. Kukira Gwen memang sudah cukup kenyang melewatkan pesta demi pesta. Apalagi sekedar melihat kembang api warna-warni dan minum segelas dua gelas wine. Tapi sebenarnya Gwen hanya kuat minum segelas wine. Dia gampang mabuk. Minum sebotol kecil bir saja Gwen sudah teler. Kalau tidak bolak-balik ke kamar mandi dan bicara terlalu banyak, ya ketiduran dan mulai mengigau tak jelas. Tapi Gwen memang banyak bicara. Kelihatannya saja pendiam dan pemalu. Berikan satu pertanyaan padanya, Gwen akan menjelaskan panjang lebar seperti tak ada waktu lain untuk sekedar bercerita karena sebentar lagi dunia akan hancur lebur. Meski pada orang yang tak dikenalnya, atau baru dikenalnya, Gwen memang nampak tak mampu bicara banyak selain menjawab “iya,” “tidak,” atau “tidak tahu.” “Aku tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang tak kukenal,” katanya. “Lagi pula aku tak tahu maunya semua orang. Kukira, secerewet-cerewetnya kita, tidak semua orang akan menerima juga. Katanya kalau bicara dengan orang baru harus hati-hati. Bukan?” lanjutnya. Terakhir bertemu Gwen sebenarnya tiga minggu lalu. Tapi sayang tak sempat banyak bercerita. Gwen diburu waktu karena harus menyelesaikan urusan pekerjaannya. Kami hanya sempat bertemu sebentar, tak ada juga setengah jam. Kami hanya sempat bertanya kabar dan aku memberikan buku yang sudah kujanjikan untuknya. Buku lawas kumpulan surat Kartini dan dua buku yang baru kuedit, untuk kado ulang tahunnya. “Untuk Gwen, yang ingin jadi guru,” kataku. Gwen tertawa seperti hantu pemakan bayi dalam dongeng orang Jawa seperti biasa. “Aku masih punya beberapa buku yang belum kubaca, tapi aku janji aku akan segera membacanya,” jawabnya setelah berterimakasih. “Mana satu buku lagi yang mau kau pinjamkan?” Ah, dia ingat rupanya. Aku berjanji untuk meminjaminya satu buku klasik, setelah pada satu siang dia mengirimiku pesan singkat, “Buku Boris Pasternak terbitan Djambatan 200rb-an itu mahal tidak?”, yang kujawab, “Kemahalan. Di sini 70 ribu. Tak usah beli kalo merasa kemahalan, nanti kupinjami punyaku.” Gwen tahu buku itu dari seseorang, entah siapa,  yang membuat lagu mendayu karena salah satu tokoh di buku itu. Siang itu, dia bercerita tentang seseorang itu. Seorang laki-laki, tentu saja. Anehnya, aku tidak khawatir. Laki-laki ini, aku yakin, tidak akan membuatku merasa khawatir, setidaknya sampai siang itu. Karena jika tentang seorang laki-laki dan Gwen, ada yang lebih membuatku khawatir. “Oke, terus bagaimana kabar orang yang ingin kau kenalkan padaku itu?” wajah Gwen berubah drastis. Ada huruf “O” seperti menggantung di wajahnya, mulutnya menganga karena kaget kalimatnya kupotong, sementara bola matanya bergerak mencari jawaban, menjelajah segala benda yang ada di meja. Lalu Gwen tersenyum manis. Bertanya “Yang mana?” Pura-pura lupa. Kusambut dengan tertawa saja dan beruntung karena akhirnya Gwen benar-benar lupa. “Bri, aku jarang sekali ketemu kamu. Setahun sekali saja sudah sangat beruntung. Aku tidak akan bercerita tentang hal-hal tak menyenangkan. Tapi mungkin kamu harus tahu, laki-laki yang ingin kukenalkan padamu itu, mungkin tak akan pernah kukenalkan padamu…” ucap Gwen akhirnya, sebelum pamit. Ternyata dia tidak lupa. Dia sedari tadi menata kata-kata. “Kenapa?” kutanya. “Karena dia tak menyukaiku. Mana mungkin kukenalkan padamu.” “Kenapa dia tak  menyukaimu? Dan, apa dia harus menyukaimu untuk sekedar kaukenalkan padaku?” Aku agak penasaran. “Aku tidak tahu. Mungkin aku menakutkan… Dan ya, dia harus menyukaiku terlebih dahulu sebelum kukenalkan padamu…“ Gwen tertawa. “Kenapa?” aku masih bertanya. “Berhenti bertanya kenapa, Bri…” Gwen mulai malas. “Karena kamu akan membencinya, jika tahu dia tak menyukaiku, Bri…” lanjutnya. “Karena kamu menyukainya?” tanyaku lagi. Gwen hanya tersenyum seperti biasa, ketika ia ingin menjawab “Ya” tapi dia tak ingin menjawabnya. “Bri, antar aku ke depan…” pembicaraan selesai. Selama ini aku selalu awas, jika Gwen mulai bercerita tentang orang-orang di sekitarnya, terutama jika itu adalah tentang seorang laki-laki. Meski aku tak selalu mengingat nama-namanya, akan selalu ada beberapa detil cerita yang mengusik. Bukan hal mudah untuk melihatnya menatap nanar ke sekitar dan mulai menangis. Tak selamanya tentang laki-laki, tentu saja. Hanya satu nama yang pernah membuatnya menangis di pagi buta. Tak bisa tidur dua malam. Dan setelah hari itu, hari-harinya perlahan berubah. Sejak itu, ada bulan-bulan di mana Gwen tak terkendali, begitu istilahnya dulu. Terbang ke sana ke mari seperti kain tipis terlepas dari lipatan dan tertiup angin bulan Oktober yang kering dan kencang. Meski bagiku, justru itulah waktu di mana Gwen benar-benar memegang sendiri keinginan-keinginannya. Hidup Gwen, hiduplah. Hidup seperti yang selalu kau inginkan. Dan jangan jatuh cinta lagi. Tapi aku tak pernah mengatakan yang terakhir. Siapa aku melarang Gwen jatuh cinta lagi? Kukira pun Tuhan, tak ingin Gwen tak jatuh cinta lagi. Gwen mempercayai Tuhan, jadi kupikir pertimbangan Tuhan yang tak akan melarang hambanya jatuh cinta akan menjadi jawaban Gwen jika aku bilang padanya, “Gwen, jangan jatuh cinta lagi.” Kadang aku berharap, bahkan pernah berdoa juga, agar Gwen jatuh cinta saja pada laki-laki yang juga menyukainya. Bukan malah mengejar-ngejar laki-laki entah siapa, yang ujung-ujungnya tetap tak akan memilihnya. Bukan apa-apa, hanya saja, bukan hal mudah untuk melihatnya menatap nanar ke mana saja dan lalu mulai menangis. Termasuk ketika ia bersama dengan laki-laki yang mencintainya tapi Gwen tak bisa jatuh cinta setelah sekian waktu bersama. Ujung-ujungnya sama saja, ternyata. Alasan lain kenapa aku tak berani mengatakannya, juga karena hal ini. Karena sesungguhnya, siapa pun tak akan mampu menahan gembira yang sama ketika Gwen jatuh cinta. Matanya bercahaya. Detil kecil tentang roti hangat isi daging pun rasanya seperti kau memakan hidangan dari surga. Rasanya tak lekas hilang dari lidah. Gwen memiliki kemampuan untuk menularkan keriangan semacam itu. Jadi kupikir, kenapa ada seorang lelaki yang tak menyukainya? Ada yang mampu untuk tak menyukainya? Yah, meski, tentu saja, Gwen kadang menyebalkan. Apa mungkin karena itu? Bisa jadi. Tapi, kukira, ada lebih banyak alasan untuk menyukainya daripada untuk tidak menyukainya. Bahkan jatuh sayang padanya. Kukira… dalam perkiraanku saja. Bukan dalam perkiraan laki-laki itu, atau siapa pun. Gwen, Gwen...
Ah, sudah hampir mendarat. Meski Gwen sedang tak ingin berpesta, sepertinya dia harus ikut aku malam ini. Aku harus bilang padanya, “Gwen, bangun! Hidup Gwen, hiduplah. Jangan jatuh cinta lagi. Ini yang terakhir.” Aku tak harus menunggu hingga tahun depan dan membiarkan adikku itu merana sendirian nanti malam.  

Thursday, December 5, 2013

...ode for the 22yo girl


Do you still feel younger than you thought you would by now?



Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik.
Or darling have you started feeling old yet?
Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.
Don't worry,  I'm sure that you're still breaking hearts, with the efficiency that only youth can harness…
Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan.
And do you still think love is a laserquest?
Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca – suka atau tidak suka pada hasilnya.
Or do you take it all more seriously?
Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti.
I've tried to ask you this in some daydreams that I've had, but you're always busy being make believe…
Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah.
And do you look into the mirror to remind yourself you're there? Or has somebody's goodnight kisses got that covered?
Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah.
When I'm not being honest, I pretend that you were just some lover…
Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus.
Now I can't think of her without thinking of you. I doubt that comes as a surprise. And I can't think of anything to dream about. I can't find anywhere to hide. And when I'm hanging on by the rings around my eyes. And I convince myself I need another. For a minute it gets easier to pretend that you were just some lover…


When I'm pipe and slippers and rocking chair, singing dreadful songs about summer…
Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.
Well, I've found a better method of pretending you were just some lover.
Berbahagilah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.





*****
lilin merah - dewi lestari, dan
love is a laserquest - alex turner, arctic monkeys.

Wednesday, November 6, 2013

...desemberbagi #Kentingan20






Banyak di antara kita pasti pernah memiliki satu ikatan erat dengan beberapa orang di satu waktu, lalu perlahan-lahan, satu demi satu berpencar: menemukan jalannya masing-masing.
Begitupun saya, dan beberapa kawan dan sahabat di LPM Kentingan UNS. Enam tahun lalu, kami bertemu karena satu niat yang sama: menemukan ruang belajar. Belajar jurnalistik; menulis; desain; memotret; dan mungkin kepemimpinan, mungkin.
Akhirnya, pada satu waktu pula, kami keluar kelas dan memilih apa saja yang kami sukai. Seperti siswa SD menyerbu puluhan penjual mainan dan jajanan di istirahat pertama. Kami berlari dan menuju masing-masing yang kita ingini dengan bekal yang kita miliki. Apa saja yang kami sukai. Jikalah gambaran ideal mahasiswa yang aktif di lembaga pers nantinya pasti akan menjadi jurnalis, tidak semua di antara kami menjadi jurnalis.
Tapi tak apalah yah, toh jadi jurnalis tesnya susah dan menjalaninya juga penuh tanggungjawab, dan kadang tidak semua di antara kita lolos menjadi jurnalis. Untungnya, kami tak kehilangan kebersamaan itu. Meski mungkin ada beberapa di antara kami yang agak malu atau tidak mau, ketika disebut sebagai alumni Kentingan. Hhi. :D
Banyaknya masa-masa yang kami lalui bersama, membuat ikatan di antara kami semakin menguat. Dan ikatan itu, hebatnya, enggan menipis. Justru menemukan caranya sendiri untuk mempertebal diri dan terus mempertemukan kami. Dengan berbagai cara, melalui berbagai rupa. Sebagian ngopi-ngopi bersama; sebagian lainnya nongkrong di sevel; sebagian lainnya tergabung dalam grup chat dan tanya-tanya apakah ada yang punya video porno terbaru; sebagian lainnya makin dekat dengan saling menjalin cinta (ihiks!); dan juga masih ada sebagian lainnya yang rutin berkunjung ke sekre, bertemu adik-adik atau sekedar haha-hihi.
Lalu, apakah cuma mau begitu?
Anehnya, banyak di antara kami hijrah dari Solo yang nyaman, super nyaman, menuju Jakarta, yang super seru. Iya, seru. Karena butuh effort lebih untuk menikmati rasanya hidup di ibu kota. Bosan rasanya jika harus terus bertemu di tempat makan atau ngopi dengan berbagai konsep cozy di antara beton-beton tinggi itu. Belum lagi lebarnya jarak di antara kami dan sempitnya waktu yang kami miliki. Berkumpul menjadi terasa begitu mahal. Dan ketika itu terlampau sering terjadi, dengan obrolan yang sama dan berulang-ulang: kami takut lama-lama pertemuan-pertemuan itu akan kehilangan makna.
Agung, kawan kami yang selalu rajin menggoda adik-adik baru yang cantik, di usianya yang kini kian dewasa, rupanya semakin bijak saja. Pada malam entah kapan, bersama Alfian, yang, ya hampir samalah tingkahnya dengan Agung tapi Alfian ini lebih berani berkomitmen dengan perempuan si, mereka merencanakan sesuatu yang, kecil si, tapi saya yakin ini akan banyak berarti. Setidaknya, jika tidak terlalu berarti bagi kami, hal ini akan sangat berarti bagi orang lain.
Alfian ngehubungin saya. Berhubung saya tidak punya banyak kegiatan berarti di sini, tawarannya langsung saya iyakan. Membantu mereka mewujudkan kodo ulang tahun ke-20 Kentingan, dengan berbagi teman-teman di Panti. Dulu, di Solo kami pernah melakukannya. Lalu adik-adik juga sepertinya meneruskannya. Bagaimana dengan para alumni? Yang di Jakarta dan sekitarnya, khususnya. Kami, mereka berdua si sebenarnya, mulai berbicara ke beberapa kawan lain melalui berbagai media. Tanggapan positif. Oke, kami siap melakukannya. Kami ingin mengajak teman-teman alumni, di mana saja, untuk mari berbagi menyalurkan donasi dan apa saja, bagi kawan-kawan yang membutuhkan. Agak klise, tentu saja. Tapi apa salahnya dengan berbagi?
Kami sempat berkumpul beberapa minggu lalu. Agung dan Alfian mencari beberapa panti untuk baksos nanti. Ada Rina dan saya, yang nantinya akan membantu publikasi dan membuka jaringan komunikasi. Untuk donasi ini, kami memiliki angka target, tentu saja. Tapi kami lebih percaya bahwa, keikhlasan seseorang dalam memberi lebih berarti dari pada angka-angka yang kami targetkan tadi.
Kami juga ingin membuat kelas bersama di sana. Banyak di antara kami yang sebelumnya sudah terbiasa bergabung dalam kegiatan sosial semacam ini, sudah kami coba hubungi, dan mereka bersedia memikirkan konsepnya bersama. Gambaran sementara, nanti akan ada kelas apresiasi, sekedar saya atau siapa membacakan dongeng dan bercerita, nanti adik-adik akan kami ajak untuk menceritakan ulang atau membuat ceritanya sendiri. Kelas menggambar tentu akan seru. Atau kelas-kelas lain.
Untuk itu, kami juga sangat terbuka jika donator-donatur nantinya, atau siapa saja, mau membagikan buku-buku bacaan atau sekedar barang-barang layak pakai. Tas, sepatu, selimut, baju, atau apa saja yang nilainya tentu akan lebih berguna bagi mereka.
Dan, kami berharap ini bukan kegiatan sekali selesai. Ada harapan, untuk menjadikan kegiatan ini sebagai agenda tahunan. Tentu saja, dengan dukungan teman-teman semua. Alumni Kentingan angkatan apa saja. Pastinya, harapan terbesar kami adalah semoga kegiatan ini bermanfaat bagi kita semua.
Kami juga terbuka untuk semua saran dan masukan untuk kesuksesan acara ini nantinya. Dan semoga waktu-waktu selanjutnya. Sampai LPM Kentingan begitu tua dan alumninya banyak tersebar di mana-mana.
Iya, LPM kami itu. Yang sekre-nya jarang rapi itu, yang kadang bau karena tumpahan kopi bercampur dengan tumpahan kuah indomie, yang dindingnya tidak pernah dicat lagi, akan berusia 20 tahun. Jika Kentingan bisa menuliskan catatan ulang tahunnya sendiri, pasti dia akan senang. Dengan gaya ala anak-anak seusianya, dia akan menulis seperti ini: “Maacih y Tuhan, aq udh 20th and pya byk kawan2 yg hebat-hebat. Cemungudh kakaks! Haphap!”
Selamat untuk LPM Kentingan, selamat untuk kita semua.

Monday, October 21, 2013

...the return of the kings and their mechanical bull



“Picking up the pieces in the world I know;
With one in the fire and one in the snow;
It’s a comeback story of a lifetime…”

Dallas, 27 Juli 2011. Lampu-lampu masih menyala terang. Ratusan pasang mata menatap tajam, mereka berteriak mengikuti tiap ketukan, sebelum terjadi sedikit keributan. "I'm gonna go backstage and I'm gonna vomit, I'm gonna drink a beer and I'm gonna come back out and play three more songs," ujar si vokalis dari atas panggung. Tapi Caleb Followill, sang vokalis tadi, tak pernah kembali. Pun 26 panggung selanjutnya, tak pernah ada.
Januari 2010, Kings of Leon, baru saja meraih Grammy pertamanya: Record of The Year; Best Rock Performance by a Duo or Group with Vocal; dan Best Rock Song. Mereka juga baru saja merilis album terbaru. Sayang, tur Amerika-Eropa mereka batal. Band mendeklarasikan masa hiatus. Rumor berkembang, dari karena Caleb mengalami masalah suara yang parah, dia harus menjalani masa rehabilitasi untuk mengurangi ketergantungannya pada minuman beralkohol, hingga bubarnya band.
Agustus 2012, si bungsu Jared Followill, mengeluarkan single dengan band barunya Smoke and Jackal. Mungkin Kings of Leon benar-benar akan bubar, atau sudah bubar. Selesailah sudah cerita tentang tiga saudara dan satu sepupu itu. Dan tentu itu hanya rumor.
Juli 2013, radio-radio memutar “Supersoaker”, satu lagu baru Kings of Leon. September 2013, mereka menambahkan satu album baru dalam catatan diskografinya, “Mechanical Bull” sebagai album keenam.

*****
Saya lupa apakah saya pernah melihat banteng yang sesungguhnya atau belum. Saya hanya mengenal rupa banteng dari satu identitas partai politik, seingat saya ada beberapa partai politik yang menggunakan citra banteng dalam lambangnya. Entah dengan alasan apa, mungkin biar terkesan keren dan kuat. Lalu bagaimana dengan mechanical bull?
Tapi gambaran tentang mechanical bull ini jelas sudah ketika melihat satu iklan sepatu olahraga asal Amerika. Yaitu semacam permainan, dimana kita bisa menaiki banteng mainan yang digerakan dengan pir dan kita seperti sedang menaiki banteng yang sebenarnya. Banteng-banteng Spanyol yang sedang berlari super cepat mengejar bendera warna merah. Oke, tahu kan odong-odong yang sering berpindah dari kampung ke kampung itu, nah, mechanical bull ini semacam binatang plastik yang dinaiki anak kecil itu, tapi berukuran besar seperti banteng yang sebenarnya dan bisa dinaiki orang dewasa serta dapat diputar dengan sangat cepat. Itu yang pernah saya lihat. Di iklan, pula.
Tidak ada penjelasan berarti dari Nathan Followill, Caleb, Jared, ataupun Matthew Followill tentang alasan pemilihan nama untuk album terbaru mereka. Mungkin mereka ingin bersenang-senang. Dan kenapa kita harus terlalu serius memikirkan nama album mereka? Bukankah banyak grup atau penyanyi lain yang memiliki nama album yang jelek? Ya, dan “Mechanical Bull” ini salah satunya.
Kings of Leon bisa jadi tak masuk dalam playlist para hipster. Mereka terlalu mainstream. Sangat mainstream. Lagu-lagu dengan lirik diulang-ulang dan terlalu mudah dihafal. Tipe band yang akan membuat lagu yang akan diputar di radio berkali-kali. Dan meskipun lagunya tentang laki-laki yang tanpa tujuan hidup, perempuan-perempuan baik-baik tetap akan menghafal lagu mereka. Mereka terlalu banyak memiliki fans dan nggak spesial lagi, karena sekali menyebut namanya, sudah terlalu banyak orang yang mengenal mereka. Apalagi mereka pernah meraih Grammy. Vocalist-nya menikahi model Victoria Secret, drummer-nya menikahi penyanyi solo yang cantik dan bersuara nyaring, bassist-nya menikahi model dan aktris cantik juga, sementara guitarist-nya menikahi semacam ratu gigs Inggris yang biasa berkencan dengan bintang rock. Mereka terlalu sering muncul di majalah dan portal gosip: mereka dan kekasih-kekasihnya sedang ngapain, di mana, pesta siapa, baju apa dikenakan siapa, dan hal-hal semacamnya. Kings of Leon benar-benar bintang rock mainstream.
Pun “Mechanical Bull”. Begitu mudah untuk jatuh suka pada 13 lagu di album bernama aneh ini. Formula paten yang sepertinya mereka dapatkan dari “Only by The Night”, an awards winner album. Nada-nada up-beat dan suara cepat Caleb misalnya, dapat dengan mudah kita jumpai seperti pada “Supersoaker”, “Don’t Matter”, “Temple”, “Tonight”, dan “Coming Back Again”. Dan nomor-nomor manis bertempo pelan yang bercerita tentang cinta atau hidup, seperti dalam “Wait for Me”, “Beautiful War”, “On The Chin”, “Last Mile Home”, dan “Comeback Story”.
Seperti halnya kita pernah jatuh suka dengan “Sex on Fire” yang terasa berbeda dan begitu Kings of Leon, kita akan menemukan rasa yang sama pada “Rock City”, dan “Family Tree”.  “I was running through the dessert/ I was looking for drugs/ and I was searching for a woman who was willing to love/” menjadi kalimat pertama dalam “Rock City”, satu nomor pendek yang dibuka dengan ketukan drum dan dominan suara bass yang menyenangkan. Intro yang membuat kita penasaran untuk mendengarkan akan ada nada apa selanjutnya.
Dalam salah satu wawancara, Jared pernah mengungkapkan jika album teranyar ini menjadi semacam flash-back. Nantinya akan ada beats serupa yang pernah mereka buat di album-album terawal. Dan seketika kita akan mengingat “Talihina Sky”, “Taper Jeans Girl” atau “Knocked Up” dari album sebelumnya.
Kritikus menyebutnya sebagai bagian dari Southern Rock, rock rasa Amerika bagian Selatan yang subur dan memiliki sinar matahari lebih banyak. Perpaduan antara rock n roll, country, dan blues yang disatukan oleh suara vokal yang terdengar jelas. Pada titik yang sama, kita memang akan dengan mudah mengingat suara Caleb. Meski kadang ia menyanyi dengan pelan, bergumam, cepat dan terburu-buru, setengah berteriak, atau bahkan berteriak. Suara itulah yang menyatukan dentuman drum Nathan, petikan gitar Matthew, dan suara bass Jared. Pun dalam nomor-nomor panjang, kita menunggu sampai suara Caleb muncul dan lalu berhenti atau menghilang lagi dan lalu menunggu teriakannya lagi sampai habis. Dan akhirnya, suara Caleb menjadi nyawa Kings of Leon .
Tak heran, “Mechanical Bull” menjadi begitu ditunggu pasca rehat panjang mereka. Caleb bernyanyi lagi. Tak ada masalah dengan suaranya. Selintas, justru menjadi lebih matang. Kings of Leon menjadi lebih matang. Lihat saja bagaimana Caleb menulis lirik-lirik di sana. Tak lagi melulu bercerita tentang membawa kabur anak gadis orang. Di sini, Caleb seperti sedang bercerita, terutama tentang rehat mereka dan bagaimana mereka memperbaiki semuanya.
“It was almost like he didn’t feel comfortable enough telling us face to face how he felt but he would put it in the lyrics and get up and sing it all day long,” cerita Nathan, dalam salah satu wawancara dengan Neil McCormick dari The Daily Telegraph. Mereka kembali, bukan untuk mengharap Grammy atau penghargaan lainnya, yang dulunya juga tak pernah mereka bayangkan. Mereka adalah saudara yang bermusik bersama dan bersenang-senang bersama. “I’m your family tree/ I know you A to Z/ This is a secret preposition lay your hands on me/”, tulis Caleb dalam “Family Tree”.


Nathan (34) lahir lebih awal di antara semuanya. Menyusul Caleb (31), Matthew (28) sang sepupu, dan Jared (26). Nathan dan Caleb kecil selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti ayah mereka, seorang pendeta Gereja Pentakosta. Mereka biasa bermain musik untuk acara gereja. Mereka tak sekolah di sekolah umum, diajar langsung oleh ibu mereka dan tak pernah tahu banyak lagu-lagu yang hit kala itu. Begitu mereka sedikit lebih besar, mereka mulai mendengarkan banyak lagu, seperti The Rolling Stones, The Clash, juga The Strokes.
Jared masih duduk di sekolah menengah atas dan belum bisa bermain bass, ketika Nathan dan Caleb mendapat tawaran dari salah satu label rekaman. Lalu mereka ‘menculik’ Matthew, sepupu mereka yang tinggal di Oklahoma untuk bergabung. Mengambil nama kakek mereka, Leon, lahirlah Kings of Leon di tahun 1999. Sebuah EP lahir berisi empat lagu lahir empat tahun kemudian. Menyusul satu album studio pertama mereka, “Youth and Young Manhood”.
Meski berangkat dari Nashville, Tennessee, tempat di mana legenda seperti Elvis Presley dan Johnny Cash merekam hit-hit mereka di sana dan rock n roll mulai berkembang di era 50-an, tapi Kings of Leon tak mendapat respon baik di sana. Mereka harus terbang jauh melewati samudera hingga ke Eropa untuk diterima. Album mereka hanya terjual sekitar 100.000 kopi di Amerika, dan lebih dari 750.000 kopi di luar Amerika. Media Eropa pun menyukai mereka. NME menyebutnya sebagai salah satu album debut terbaik dalam 10 tahun terakhir dan The Guardian menyebutnya sebagai "the kind of authentic, hairy rebels The Rolling Stones longed to be." “Trani”, “Molly’s Chamber”, “Holly Roller Novocaine”, dan “Talihina Sky” menjadi hit kala itu. Rambut semua personil terurai panjang, kumis dan jenggot dibiarkan tak beraturan, dengan celana kebesaran dan kaus kekecilan memperlihatkan sebagian perut mereka, mereka seperti band rock yang terlempar dari dekade 80-an.
Satu tahun kemudian, lahirlah “Aha Shake Heartbrake”. Kembali Kings of Leon menghadirkan 13 lagu, dengan “Taper Jean Girl”, “The Bucket”, dan “Four Kicks” yang juga menjadi hit. Juga album di mana “Milk” dan “Rememo” yang asik lahir. Di masa inilah, mereka mulai menjadi band pembuka musisi legenda dan besar lainnya, seperti Bob Dylan dan Pearl Jam. Caleb masih belum tahu bagaimana caranya menyapa penonton, pun personil lainnya. Ia lebih senang bernyanyi dengan melihat janggutnya yang tumbuh semakin panjang, daripada melihat lurus kea rah penonton di depannya. Dan gaya mereka masih sama, malah cendrung semakin terlihat norak.
Di tahun 2007, “Because of The Times” hadir sebagai album ketiga yang terjual lebih dari 70.000 kopi di minggu pertamanya. Kembali, tiga belas lagu mengisi penuh satu album ini. Diantaranya, nomor panjang “Knocked Up” yang selalu menjadi lagu wajib ketika mereka tampil live. Bisa dibilang, di sinilah sisi rock dan kerasnya Kings of Leon terekam jelas. Dengar saja nomor lain, seperti “On Call”, “Black Thumbnail”, “My Party”, “Ragoo” dan “True Love Way”. Di sini pula, hadir “Fans” dan “Arizona” yang cukup manis.
Perjalanan panjang mereka nampaknya terbayar dengan hadirnya album keempat, “Only by the Night” dan segala pencapaiannya. Nomor ballads “Use Somebody” menjadi hit nomer satu di banyak tangga lagu. Single keduanya, “Sex on Fire” lebih melejit dari sekedar menjadi hit. Dan inilah ketika publik Amerika kebanyakan, dan lalu dunia, benar-benar mengenal mereka. Penghargaan tertinggi Grammy dan beberapa penghargaan lain di tahun itu, seperti BRIT Awards berhasil mereka taklukan. Single lainnya, “Revelry”, juga menjadi salah satu hit, terutama di Australia. Jika tak salah mengingat, “Manhattan” juga hadir di salah satu episode Gossip Girl. Jangan lupakan nomor lain, seperti “Notion”, “Be Somebody”, “17”, dan “Cold Dessert” yang tak kalah enak untuk dinikmati. Kings of Leon digadang-gadang untuk menjadi salah satu band rock terbesar dekade ini. Mereka tak lagi menjadi band pembuka, sejak saat itu, mereka menjadi line up di panggung utama festival-festival besar.
Dan Glastonburry pun menanti. Inilah masa ketika jadwal tur begitu padat dan mereka terlalu bosan untuk memainkan lagu-lagu lama. Beberapa meteri baru pun lahir. Mereka meramunya di antara jadwal padat dari satu panggung ke panggung lainnya, antar negara, antar benua.  Juga masa ketika majalah-majalah gosip memotret mereka sedang bergandengan tangan atau berciuman dengan supermodel dan perempuan-perempuan terkenal lainnya. Materi-materi baru itu mereka matangkan. Dan lahirlah “Come Around Sundown” pada 2010.
Dibayangi kesuksesan album sebelumnya, “Come Around Sundown” seperti menjadi titik balik. Publik menginginkan “Sex on Fire” yang lain, sementara Kings of Leon menghadirkan nomor matang nan panjang macam “Pyro”. Penjualan tak sebesar yang diharapkan, meski materi mereka bagus dan mendapat banyak pujian. Dengar saja “The End”, “Radioactive”, “Back Down South”, “Birthday”, “No Money”, dan tentu saja “Mi Amigo”. Dan di masa tur promo album inilah, Caleb turun panggung, tak pernah kembali, dan sisa tur dibatalkan.
Tentu tak mudah bagi satu band dengan segala gelimang pujian dan tengah berada di puncak ketenaran, ketika harus meminta maaf kepada penonton yang tengah menonton mereka, bahwa show mereka berhenti. Penonton kecewa, kritikus mulai mencaci.
Tapi justru itulah masa ketika Kings of Leon kembali menjadi manusia. Di saat yang sama, dokumenter tentang mereka, “Talihina Sky: The Story of Kings of Leon” yang disutradarai oleh Stephen Mitchell hadir. Tak hanya sekedar merekam gegap gempita rock star di balik panggung sebuah festival besar, “Talihina Sky” mengajak penonton mengenal akar lahirnya band ini.
Menuju Talihina, Oklahoma, di mana semua klan Followill berkumpul. Keluarga biasa dengan kebun luas dan rumah kayu sederhana, juga beberapa wawancara. Kisah-kisah masa kecil mereka, masa remaja, hingga mereka menjadi besar. "I thought, If I'm going to be a preacher, I'm going to have a second job because my kids will never live like this,” ujar Caleb saat bercerita tentang masa kecilnya yang tak begitu menyenangkan. Sayang, saya belum melihat dokumenter ini hingga habis. Karena di Youtube saya hanya sempat melihat bagian awalnya saja.
Tapi, seperti halnya penggemar yang tak terlalu suka dan masih menyimpan kecewa atas kelakuan Caleb, sambutan atas dokumenter ini pun tak terlalu bagus. Seperti hanya sekedar video panjang tentang satu bintang di MTV.
Penggemar terlalu kecewa.

*****
Waktu itu sekitar tahun 2008 atau 2009, saya lupa. Sebelumnya, “Use Somebody” sudah sangat sering diputar di radio dan saya cukup menyukainya. Tapi malam itu, saya sedang liburan di rumah dan tak bisa tidur sampai malam. Beruntung di tivi, kalau tidak salah Indosiar, sedang memutar ulang tayangan BRIT Awards, (KOL menang BRIT tahun 2009, oke, jadi mungkin tahun 2009-an awal, libur semester kali yah?). Gulung-gulung di kamar sendirian, saya menonton itu BRIT awards, nanti bakalan ada Coldplay katanya. Saat itu ada Adele membawakan “Chasing Pavements”, ada Duffy membawakan “Warwick Avenue” juga. Dan ada beberapa band besar lainnya, Coldplay-nya agak akhir-akhir. Dan di antaranya, setelah menerima penghargaan entah untuk kategori apa, Kings of Leon membawakan “Use Somebody”.  Man?
Beberapa hari kemudian, saya sudah memiliki “Only by the Night”, dan tiga album lainnya. Waktu itu, hanya Nathan yang masih membiarkan rambutnya memanjang berantakan dan tiga lainnya terlihat lebih rapi. Tak dibutuhkan waktu lama untuk menyukai “Only by the Night”, meski dibutuhkan waktu cukup banyak untuk bisa mencerna semua album mereka. Pertama, saya asing dengan lagu-lagu rock dengan riff gitar panjang dan ketukan drum yang terlalu menghentak. Kedua, ini liriknya kampret banget, maksudnya apa coba?
Lalu saya mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Oke, Kings of Leon itu beda dengan Kings of Convenience. Ok, mereka ganteng-ganteng juga. Ok, waktu itu Jared macarin Ashley Greene. Oke, vokalisnya pacarnya model. Ok, gitarisnya nikahin mantan pacarnya Alex Turner, Arctic Monkeys yang dulu bikin “Fluorescent Adolescent” bareng. Ok, Nathan ini kampret kerennya dan pacarnya penyanyi juga, cantik juga, namanya Jessie Baylin. Oke.
Sesekali memutar lagu mereka dan senang dengerinnya. Lalu muncul album kelima mereka, “Come Around Sundown” yang membuat saya semakin sering memutar lagu mereka. Dan, ya, saya suka mereka. Pada level yang sama saya tergila-gila Coldplay, sebelumnya.
Tapi ada yang beda dengan mereka. Secara tidak sengaja saya seperti sedang belajar membaca pola pikir laki-laki bersama lagu-lagu mereka. Jika mau sedikit menyempatkan waktu luang dan mau memperhatikan satu per satu lagu mereka dari album pertama hingga album kelima, kita akan menemukan laki-laki yang sedang tumbuh dewasa. Tentu ini opini saya saja, tapi begitulah yang saya lihat. Atau mungkin saya aja yang kurang kerjaan.  
Kita tidak akan menemukan kalimat macam, “She don’t care what her momma says/ No, she’s gonna have my baby,” seperti dalam “Knocked Up” lagi. Dan mulai menemukan kalimat-kalimat macam, “All the black inside me is slowly seeping from the bone/ everything I cherish is slowly dying or it’s gone,” seperti dalam “Pyro”. Ya meski tidak semuanya sih, maskudnya, hampir di semua album mereka selalu terselip hal-hal yang, ehm, mungkin saya akan menyebutnya sebagai hal-hal yang cowok inginkan. Agak-agak nakal dan rock n roll gitu sih. Oke, baiklah, cowok alim tidak mungkin nyanyiin “Sex on Fire” si kayaknya. Tapi ya sudahlah, yaaah…
Dan yang pasti, Kings of Leon ini, mau album apa aja, paling enak didengerin kalau pas naik Transjakarta, nyuci baju dan sebelum tidur. Naik Transjakarta kan agak-agak perjuangan yah, jadi perlu lagu yang agak keras dan bikin kita tetap bangun. Terus, nyuci baju, saya juga lupa sejak kapan saya mulai dengerin mereka pas nyuci baju. Karena ngucek baju itu menyenangkan, perlu lagu yang up-beat juga. Dan saya senang mendengerkan mereka ketika mencuci baju, tanpa alasan. Dan mejelang tidur, saya juga lupa sejak kapan mulai memutar mereka untuk pengantar tidur. Tidak selalu sih, tapi suara Caleb ini benar-benar suara pengantar tidur… setidaknya bagi saya. Begitu…
Kings of Leon menjadi satu pemusik yang saya sukai tanpa rekomendasi siapa pun. Saya menemukan mereka tanpa sengaja. Saya mencari tahu tentang mereka bukan karena alasan biar ada obrolan yang nyambung karena sedang dideketin siapa gitu misalnya. Karena saya mau mendengar dan menyukai The Beatles sebenarnya awalnya karena paksaan. The Beatles lohh yah? Tapi tidak Kings of Leon. Mungkin karena itulah mereka menjadi spesial.

KOL kini

 Hal itu juga sepertinya yang membuat saya menulis sepanjang ini padahal seharusnya saya mandi dan menuju stasiun untuk menukar tiket kereta. Awalnya saya hanya ingin bercerita tentang bagaimana “Mechanical Bull” itu bagus, walaupun nama albumnya aneh.
Saya senang ketika akhirnya Kings of Leon mengeluarkan album baru. Teman-teman terdekat saya tak ada yang begitu tertarik dengan mereka. Sampai sekali-kalinya ada teman yang bertanya kenapa saya suka Kings of Leon, saya menjelaskannya panjang lebar, panjang sekali, sampai kawan saya itu sepertinya bosan mendengar saya bercerita. Pun begitu ketika mbak kost baru saya, maksudnya, mbak kost saya sekarang di Jakarta yang kamarnya bersebelahan dengan kamar saya, dia sempat bilang, “Itu lagu-lagunya Isa Raja, ya?” Jawab saya dengan nada nyolot, “What, mbak? Bukan! Isa Raja tuh yang suka mereka, Isa Raja pernah bawain satu lagu mereka waktu di panggun X-Factor!” Dibilangnya suara Caleb mirip Isa Raja. Iya si, emang agak mirip. Sampai sekitar Juli lalu saya punya anak magang (yoi, anak magang saya, hahaha), yang seumuran dengan saya dan kita ngobrolin lagu-lagu baru, salah satunya “Supersoaker”. Ternyata dia mendengarkan Kings of Leon. Dan “Supersoaker” itu kan seru yah. Disusul single “Wait for Me” yang ehehem banget. Beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan album baru mereka. Lengkap 13 lagu. Dan saya ingin bercerita tentang mereka, tapi saya bingung juga harus membahas mereka dengan siapa. Jadi akhirnya saya menulislah lagi.

*****

Dalam salah satu review yang saya baca, New York Times (kalau tidak salah), menyebut masa mereka sepertinya sudah akan habis. Terutama dengan hadirnya “Beautiful War”, satu nomor yang mereka anggap bagus dan mungkin mereka tidak akan mampu membuat hal yang sama lagi. Kurang lebih seperti itu, itu juga kalau saya tak salah memaknai kalimatnya. Saya pikir, apa hak mereka mengatakan masa mereka akan habis? Saya ingin menganggap itu pujian, tapi rasanya kok terlalu sinis yah? Oke, baiklah mereka kritikus. Seperti terserah saya mau nulis apa di sini, terserah juga mereka mau bicara apa juga si, sebenarnya.
Tapi maksud saya, kalimat itu pernah dilontarkan ketika Kings of Leon membuat “Come Around Sundown” dan tak ada lagi lagu sebesar “Use Somebody”. Dan nyatanya mereka tatap bisa mengolah materi baru dan lebih segar dari sebelumnya. Meski Caleb mengakui bahwa ia menulis “Beautiful War” di balik halaman ia menulis “Use Somebody”, tapi mereka menyimpannya hingga album ini.
Kita tidak pernah tahu seberapa besar energi yang seseorang simpan sampai mampu membuat karya sampai ia berhenti membuat karya, sama sekali. Bagaimana jika ternyata “Mechanical Bull” menjadi legenda di kemudian hari. Atau bahkan album ketujuh mereka nanti. Kita tidak pernah tahu.
Bagi saya, “Mechanical Bull” ini seperti kabar gembira. Bahwa band yang dulunya katanya bisa menjadi yang terbesar di masanya, ternyata bisa saja melakukan kesalahan. Dan mereka tak lagi peduli akan hal itu. Mereka tak lagi berkspektasi berlebihan atas satu penghargaan dan pujian. Dan, album ini tidak jelek. Sungguh tidak jelek. Bagus malah. Seperti kawan baik yang lama tak berjumpa, dan pada satu hari kita menerima suratnya, lalu ia bercerita… Hai, aku baik-baik saja dan sangat bahagia. Kalau kamu bagaimana? Semoga kita merasakan hal yang sama.”

“You’ll rue the day when you understand;
I did my best to be an honest man, race isn’t over to the finish line;
It’s a comeback story of a lifetime…”
(Comeback Story – Mechanical Bull, Kings of Leon, 2013)


PS:
Beberapa bahan dan catatan saya baca dan peroleh dari Rolling Stone, Rolling Stone Indonesia, NME, New York Times, Daily Telegraph, The Guardian, The Newyorker, Blog Perez Hilton, tumblr fansbase KOL dan keluarganya, Youtube, dan tentu saja Wikipedia. Enam album mereka dan mereka.