Monday, April 13, 2015

...pagi di satu sepi

Gwen masih menatap layar kecil ponselnya. Sedikit tidak percaya pada pesan yang baru saja dibacanya. Bagaimana mungkin Brian kesepian?



Bukankah Brian sudah terlalu biasa dengan kesendirian. Gwen tahu benar itu. Dalam bayangannya, Brian tak akan merasa kesepian dan sendirian selama masih ada tumpukan buku yang harus ia habiskan. Brian bahkan bisa hidup tanpa makan. Tapi Brian pasti akan mati lemas karena kejang-kejang sebab tak ada halaman buku yang bisa ia kerat kata-katanya. Gwen sering meledeknya, sebagai pemakan kata-kata. “Makan tuh, kata-kata.” “Kasih makan istrimu dengan kata-kata.” “Nanti besarkan anakmu dengan kata-kata.” Brian hanya akan menekuk satu bibirnya, mengernyitkan sudut matanya, dahinya berkerut seperti kaosnya yang kusut, memandang Gwen beberapa detik, seperti sedang berfikir dan lalu terbahak. “Benar juga. Akan kuberi makan anakku kata-kata. Biar dia jadi anak paling bijak sedunia.” Sambil berlalu, Gwen berteriak sebal, “Orang gila!”
Pun demikian, pesan pendek itu membawa Gwen pada keinginan untuk segera memesan tiket pesawat dan lalu pulang. Menemani Brian. Brian menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, bahkan mungkin lebih, untuk membaca di kamar sempitnya. Kamar kostnya ketika kuliah dulu kini jadi seperti gudang buku, berantakan tak terurus. Tak ada penomoran, tak ada kategorisasi, meski tak sebanyak yang kau bayangkan, ruang 4x5 itu benar-benar menyesakkan. Tinggal lebih lama di sana mungkin akan membuat Brian mati kehabisan udara karena bau lembab kertas yang menyiksa. Atau tiba-tiba dia telah berubah menjadi kecoa, seperti Gregor Samsa. Gwen tak pernah betah berlama-lama di sana. Secukupnya saja. Biasanya meminjam buku, atau sekedar mencari Brian jika dia sulit ditemukan. Beruntung sekarang Brian tinggal di rumah kontrakan kecil yang lebih manusiawi. Rumah kecil dengan ruang tamu, dua kamar tidur, kamar mandi, dan dapur kecil, yang semuanya, tentu saja, penuh buku. Kecuali satu kamar yang ia minta untuk dijadikan kamarnya kalau dia pulang nanti. Ya, kau benar, dapur pun penuh buku. Buku tak laku pas bazar entah kapan dan akhirnya berakhir di dapur rumah kontrakan. Menumpuk, bau dan berjamur, berjejer dengan baskom-baskom sisa mie instan yang mulai menghitam. Brian biasanya duduk selonjoran membelakangi jendela besar di kamarnya, membaca, entah apa. Gwen tak pernah mau memperhatikan. Sekali lagi, Gwen tahu, Brian tak akan pernah kesepian. Selama ada selembar dua lembar bacaan di tangan. Seperti Gwen kecil juga tahu, hidupnya akan baik-baik saja, ketika Brian datang membawa sebatang es krim vanila di tangan.
Aih, Bri... padahal kau yang akan selalu ada ketika aku hampir mati karena kesepian. Gwen ingin meneleponnya, tapi terlambat, sebentar lagi Azan Magrib lewat dan Gwen harus segera pergi meninggalkan batu tempatnya duduk sekarang. Batu tempatnya duduk mencari sinyal di pinggir lapangan. Mungkin nanti, Bri...
Sambil jalan, Gwen tersadar. Entah kapan mereka terakhir bertemu dan saling bercerita panjang. Tahun baru lalu... lamanya. Lama sekali. Bulan depan sudah akan tahun baru. Hampir setahun lalu. Brian sibuk dan Gwen kini berada entah di mana. Gwen juga kadang masih tak percaya pada tempatnya kini berada. Menjadi guru dadakan pada sekolah di tengah perkebunan. Sekali Gwen mengirimi Brian surat dengan tulisan tangan, sebuah ucapan selamat lebaran dan sedikit cerita tentang kegiatannya kini dan banyak hal yang muncul di kepalanya ketika itu. Ketika di kota, Gwen selalu lupa untuk berusaha menghubungi kakaknya itu. Hidupnya baik-baik saja, pun pasti hidup Brian. Kalau ada apa-apa dia pasti akan menghubunginya. Seperti halnya Gwen yang pasti akan menghubunginya jika ada sesuatu. Brian membalas suratnya, tapi tak sampai di tangah Gwen, dan malah berakhir dengan kembali ke alamat Brian. Alamat Gwen tidak ditemukan kurier jasa pengiriman barang. Gwen tertawa terbahak sekaligus kesal. Alamatnya tak dapat ditemukan. Lalu Brian mengirimnya ulang dengan email: hal tersederhana yang bisa dia lakukan tapi ia abaikan demi mengalami sensasi tak biasa ketika saling berkirim surat seperti jaman perang. Teknologi termutakhir abad ini yang banyak merubah banyak hal... meski akhirnya Gwen tahu, surat balasannya itu diketik dengan komputer. Sedikit kesal, karena usahanya menulis dengan tangan tak dibalas sepadan. Malah ditertawakan. Karena Brian bilang di surat balasannya bahwa ia bisa membaca emosinya. Brian tahu, Gwen ingin pulang. Tapi tak bisa, karena beban “tanggungjawab” dan lain sebagainya... Gwen menikmati, tapi itu bukan dunianya. Gwen tak bisa berlama-lama pura-pura super bahagia, karena kenyataannya sebaliknya. Gwen bahagia, tapi rasanya tak biasa. Bahagianya berbeda... ada yang kurang. Entah apa.
Barangkali karena sekarang Gwen sedang ingin pulang. Sekedar menemani Brian.

“Bri...” pagi, pagi sekali, menghubungi kakaknya.
“Gwen... kamu kenapa?” Brian menjawab dari sebrang. Suaranya tegas, ada nada khawatir di sana. Tidak biasanya Gwen menghubunginya sepagi ini. Kecuali...
“Bri. Aku nggak apa-apa. Aku sedang di desa. Aku baru bisa telpon kamu sekarang. Bri... Bri... suaraku kedengeran jelas nggak? Bri...?”
“Beneran nggak kenapa-kenapa? Tumben kamu telpon...?”
“Mumpung libur Bri... ini aku lagi lari, ke pinggir hutan yang baru saja ditebangi pohonnya. Di sini ada sinyal. Bri, Bri... suaraku jelas kan?”
“Iya...” Brian menjawab malas.
“Bri...”
“Apa...?”
“Bri, kamu baik-baik aja? Adi sms aku... mama sms aku... “
“Sms apa?”
“Kamu dan Maria, Bri...”
“Iya Gwen...”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Aku nggak apa-apa. Kami nggak apa-apa.”
“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku sendiri Bri?”
“Untuk apa?”
“Mungkin aku bisa menghibur kamu. Hihi...” Gwen menahan tawanya. Brian juga tertawa. Sedikit dipaksakan. Mereka berdua tertawa.
“Bri... kamu sedih?”
“Gwen. Masih pagi...”
“Bri, aku tidak punya banyak waktu untuk nelpon kamu. Jawab aja pertanyaanku. Bri, kamu sedih?”
“Gwen, ya ampun...” Brian membenci adiknya dalam kondisi seperti ini. Masih belum penuh kesadarannya ditelpon sepagi ini, dan Gwen sudah mulai menunjukkan sisi paling egoisnya. Untuk selalu dituruti. Ini sebenarnya jam berapa? Brian melihat jam dinding di sisi kanannya. Astaga, jam lima dua puluh. Dan di ujung sana adiknya sudah berada di pinggir hutan, mencari sinyal, demi menanyakan hal-hal seperti ini... sepagi ini.
“Bri... Bri! Kamu tidur lagi?”
“Hmm...”
“Bri, kamu sedih?”
“Gwen. Kamu mau dengar apa?”
“Adi bilang kamu kesepian.” Brian hampir tersedak menahan tawa mendengar kalimat adiknya. Adi, kawannya, bilang apa...
“Adi bilang apa?”
“Adi bilang kamu kesepian. Kalau bisa aku pulang ke Solo dan menemuimu. Kamu kesepian. Kamu butuh teman...”
Brian tertawa. Kali ini terbahak. Demi tuhan. Dia tidak kesepian. Dan kenapa Gwen...
“Bri, jangan tertawa seperti itu. Aku tahu, pasti berat untukmu. Tujuh tahun, bukan waktu yang singkat. Aku selalu membayangkan kalian menikah. Tahun ini, atau mungkin tahun depan. Bri, aku sedih mendengar kalian berpisah. Aku tidak dapat membayangkan kamu sendiri, tak terurus. ”
“Gwen. Sudah. Iya, kami, aku dan Maria berpisah. Tapi tidak sedramatis itu...”
“Bri... Kamu tidak perlu pura-pura menjadi kuat seperti itu...” Jika harus memilih satu hal yang akan membuat Brian membenci Gwen, adalah sifat sok tahu Gwen yang besar bukan kepalang. Dan Gwen selalu bisa mengatakannya ringan tanpa beban, tanpa dosa. Merasa benar. Selalu merasa benar. Selalu menjadi yang pertama tahu. Tak peduli bagaimana orang lain menerimanya. Tak mau tahu, atau tepatnya, tak ingin tahu, bagaimana orang lain menerimanya. Gwen kadang memang semenyebalkan itu. Terlebih ketika dia mulai bersikap memojokan. Dia akan memaksa. Memaksa mencari pembenaran atas segala rasa tahunya. Rasa tahu yang belum tentu. Meski bisa jadi segala duga, prasangka, juga asumsi Gwen benar. Brian sering dibuat kesal dengan cara Gwen mengatakannya. Raut muka dan pandangan mata Gwen menjadi seperti penyihir yang seketika bisa berubah menjadi burung hantu. Runcing, membunuh. Brian tidak pernah menyukainya. Brian membayangkan muka Gwen yang kini tengah perlahan berubah menjadi penyihir siluman burung hantu itu. karena ini masih pagi, siluman itu baru saja berubah menjadi manusia, setelah semalaman berburu bangkai-bangkai busuk untuk dimakan.
“Bri... halo Bri... Bri, suaraku kedengeran? Halo Bri? Bri, kalau kamu mau cerita, cerita aja Bri. Ceritain ke aku... nggak apa-apa...” Nah, benar, Gwen memang kadang menjadi siluman menyebalkan itu. Gwen sedang mulai memojokkannya. Kali ini, untuk kali ini, untuk rasa kantuknya yang terampas sepagi ini, untuk beberapa menit yang menjadi sangat menyebalkan, Brian tak ingin terpojokkan untuk hal tidak penting seperti ini.
“Gwen. Kalau kamu ingin bertanya kabar abangmu ini bagaimana, akan kujawab. Aku masih ngantuk Gwen. Telponmu ini membangunkanku terlalu pagi. Kalau saja aku tidak ingat ada adikku satu-satunya kini berada di pedalaman Sumatera, dan salah satu kemungkinan alasan dari banyak alasan nomor telponnya menghubungiku sepagi ini adalah karena bisa saja dia telah dicakar beruang tadi malam, aku tidak akan mengangkatnya. Dan sekarang Gwen, kamu sedang memaksaku menjawab apakah aku sedih, terpuruk, menangis? Oke, aku jawab. Iya, iya aku sedih aku berpisah dengan Maria. Apa aku terpuruk? Tidak juga, aku masih bisa memasak sarapanku sendiri, aku baik-baik saja. Apa aku menangis? Tidak Gwen, atau mungkin belum? Tidak tahu. Tapi itu sudah lama Gwen...  sudah dua bulan. Dan aku baik-baik saja. Banyak yang berubah, tentu saja. Tapi kami sudah memutuskannya... Kamu juga tidak perlu menghubungi Maria dan menanyakan hal-hal seperti ini. Maria juga baik-baik saja... tidak sedramatis itu... Kalau kenapa aku tak memberitahumu, karena, aku rasa...”
“bri.. bri... halo bri... kamu menangsi? Hah? Apa Bri?
“Aku tidak menangis. Gwen! Demi tuhan!” Brian berteriak.
“Bri. Aduh, maaf, sinyalnya jelek. Nah, nah... Bri... sudah jelas?”
“Gwen... telpon aku lima menit lagi. Aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Hah...”
Brian memutus sambungan teleponnya. Bangun. Melihat pintu kamar mandi yang tak seberapa jauh dari tempatnya kini berada. Tangan kanannya menopang berat badannya, Brian bangun. Telapak tangannya menutup mukanya. Tangannya yang dingin menemukan hangat yang menguap dari nafasnya. Sudah lama Brian tak bangun sepagi ini. Setengah enam, dan masih kurang beberapa menit lagi. Brian menyambar sekenanya handuk biru yang teronggok di atas tumpukan koran lawas. Menyenggol kaleng bir entah kapan. Sedikit terhuyung dan hampir menabrak pintu kamar mandi di depannya. Menyalakan kran keras-keras. Dari kamar mandi, terdengar suara nada panggil ponselnya.
Brian membasuh muka, dan mengelapnya dengan handuk di pundaknya. Ponselnya masih berdering. Gwen, adiknya itu. Entah kenapa, untuk kali ini, untuk kali ini saja, Brian ingin mengabaikannya. Sekali ini saja.

Gwen menelpon Brian sekitar sebelas kali. Tak satupun diangkat. Matahari mulai tinggi dan menyengat, meski masih sepagi ini. Entah sudah berapa belas nyamuk yang sudah mampir di betisnya yang tak terjangkau celana tidur tujuh per delapan polos berwarna hitam. Mungkin Brian masih belum bisa bercerita tentang perpisahannya dengan Maria.
Gwen mengirim pesan pendek. “Bri, i’m sorry to bother you this early. Let me know if you’re okay enough to talk to me. Ak baik2 aja. Udh g ada beruang di sini. Tp td ada babi lewat. Atau hubungi aku klo km udh mendingan. :)”
Brian membuka pesan Gwen. Membacanya sampai tanda titik dua dan kurung tutup andalannya itu. Brian bisa membayangkan Gwen yang tersenyum. Gwen memang selalu tersenyum seperti itu. Gwen selalu menutup kalimatnya dengan senyum lebar yang menarik cantik dua sudut mulutnya itu. Mengingat Gwen yang selalu berkata seakan tanpa dosa, seberapapun menyebalkannya dia, membuat Brian tersenyum. Brian merindukannya.
Brian hanya perlu memencet dua tombol ponselnya sebelum ponsel Gwen berbunyi.
“Bri...”
“Gwen. Kamu punya waktu berapa lama untuk mendengar aku bercerita?”
“All is yours, Bro! Aku hari ini libur.”
“Oke, cari tempat paling nyaman di pinggir hutan itu...”
“Oke, bentar Bri. Aku balik ke tempat tadi dulu. Hold, hold. Hallo Bri, jelas nggak suaraku Bri... jelas nggak?”
“Jelas...” Brian menjawab enteng. Terdengar suara tawa Gwen di sana. Sementara itu sudah cukup menghiburnya. Dan pucuk mata Brian menangkap dua kaleng bir sisa entah kapan. Dan beberapa kaleng bir yang menumpuk di tempat sampah dekat pintu menuju kamar mandi.
“Bri... Hai...”

Suara Gwen yang bercampur tawa itu membuatnya sadar sepenuhnya. Brian siap bercerita.

...behume: sejenak menepi di mimpi

Preface: Berikut adalah tulisan panjang yang saya tulis pada satu malam setelah sempat merasakan bermalamdi kebun. Sebuah pengalaman yang menyenangkan. Isi inti tulisan ini saya post dalam laman Blog PM Indonesia Mengajar, di sini. Di sini, baiklah, di sini lebih tentang saya... :)


Beberapa teman, kami pernah bercerita tentang ini: tinggal di sebuah rumah kayu kecil, pada lahan dengan halaman penuh dengan bermacam tumbuh-tumbuhan, sayuran, buah, dan berbagai jenis tanaman bumbu dan obat. Udaranya sejuk, masih ada kabut yang setia menyambut sinar matahari pertama di pagi hari. Tak perlu takut kehabisan bahan makanan. Sesekali mandi ke sungai. Sepertinya menyenangkan.
Mungkin di sekitar lingkar Gunung Lawu, Merapi atau juga Sindoro-Sumbing. Tawangmangu, Sarangan, Boyolali, Magelang, Salatiga, Temanggung, atau Wonosobo. Atau bagi saya, saya akan memilih di sekitar Dieng, tempat yang paling dekat dengan tanah kelahiran saya.
Itu cerita dulu, ketika saya masih kuliah. Kami tinggal di Solo. Ketika melingkari Merapi menuju Magelang lewat Boyolali menaiki motor rasanya sangat menyenangkan. Juga ketika bermalam ke Tawangmangu menjadi momen yang selalu ditunggu-tunggu. Hijau dan sejuk.
Ketika beranjak ke Jakarta, cerita yang sama masih sering menjadi tema ketika duduk melingkar pada satu kesempatan. Pun dari orang-orang atau kawan-kawan yang baru saja dikenal. Situ Gintung, Sukabumi atau Lembang sering terdengar, juga beberapa kampung-kampung kecil di sekitar Bogor dan Bandung. Puncak jarang disebut. Ubud atau Batu, Malang juga sering terdengar. “Solo atau Malang, kalau tua pengen tinggal di sana,” misalnya seperti itu. Jogja, Solo, dan Malang bagi orang Jakarta, pun adalah kota yang menarik untuk menepi.  
Saya, pilihan saya, jika harus memilih, akan tetap memilih Dieng. Bertani kentang sambil memberi les Matematika dan Bahasa Inggris sepertinya cukup menyenangkan. Atau mungkin membuka penginapan murah lengkap dengan kedai penuh menu olahan kentang. Hhi.
Beberapa teman, dan saya, entah kenapa, memiliki gambaran “aku ingin seperti ini...”, yang hampir sama. Ketika bertanya kenapa, barangkali jawabannya adalah karena gambaran itu nampak menenangkan. Hangat dalam baju rajut untuk menangkal dingin kabut. Makan hasil olahan tanah sendiri, tanpa pupuk kimia tanpa bumbu pabrikan. Menunggu cucu datang... ah! Atau karena sering, ketika tinggal di Jakarta misalnya, suara kendaraan termasuk asap-asapnya menjadi begitu menyebalkan. Kami butuh gambaran ideal lain, yang jauh dari semua itu. Dan ide tentang rumah kayu di Dieng misalnya, menjadi seperti mimpi hangat yang menunggu untuk diwujudkan. Entah bisa, entah tidak.
Potongan kisah Mr. dan Mrs. Frederickson dalam UP menceritakannya dengan indah.
Meski tetap, butuh dorongan kuat, kalau tak mau disebut desakan, untuk mewujudkannya. Lihat bagaimana Carl dan Ellie kecil beranjak dewasa dan menua dengan menyimpan keinginan berumah di tepi Paradise Fall. Untuk mewujudkannya, mereka menabung sedikit demi sedikit yang akhirnya lebih berguna untuk membeli ban mobil baru, berobat ke rumah sakit, atau memperbaiki atap yang tertimpa pohon roboh. Kalau saja Carl tak harus dipaksa menghabiskan sisa waktunya di rumah jompo, mungkin ia tak perlu mengikat ribuan balon untuk menerbangkan rumahnya hingga Paradise Falls. Selain bercerita dengan indah, cerita pada pembuka film mampu memberikan gambarannya yang lebih nyata. Tentang keinginan itu.
Lebih ke: benarkah? Atau, sebegitu harusnya kah untuk tinggal di atas bukit di kaki pegunungan? Karena sepertinya kita juga menikmati rutinitas dan segala yang ditawarkan kota besar. Karena sebenarnya, di Jakarta pun kabut masih ada ketika subuh tiba.
Saya menyimpan keinginan itu. Barangkali juga teman-teman saya lainnya, dan orang-orang yang pernah bercerita pada saya. Atau mungkin sekedar menyimpannya, untuk nanti berbagi cerita ketika topik itu muncul dalam satu perbincangan. Tapi sekaligus, ketika saya menyimpannya, karena barangkali itu memang hanya cukup untuk disimpan. Tidak harus untuk diwujudkan.
Bisa jadi karena saya toh sesungguhnya bukan orang kota. Saya lahir dan besar di pedesaan. Meski tidak di atas bukit dan kabut hilang bersama klakson angkot pertama yang lewat menuju pasar. Ide itu tak terlalu membeludak di kepala saya. Sensasi tinggal di rumah susun menjadi lebih menantang bagi saya.
Tapi cerita ini barangkali bisa sedikit mewujudkan keinginan itu. Jika ternyata kelak tak pernah ada rumah kayu yang menghadap timur di kaki gunung.

****
Pagi itu dingin. Semalam hujan deras datang mengguyur dan membuat tanah di sekitar begitu lunak ketika terinjak. Saya habis menumpang tidur di rumah panggung Wak Arip, salah satu warga Talang Tebatrawas, lokasi SD penempatan saya. Tapi hari itu saya bukan sedang di talang, saya sedang di kebun. Mengikuti Wak Arip dan keluarga behume.
Behume. Hume adalah kebun dalam Base Rambang, bahasa asli warga Melayu Rambang. Mereka mendiami desa-desa di sekitar Kecamatan Rambang Kabupaten Muara Enim, satu wilayah yang terdiri ratusan hektar perkebunan karet dan kelapa sawit.
Wong Rambang, mereka menyebut diri mereka yang memang keturunan asli orang-orang Rambang. Tak hanya Wong Rambang, di wilayah ini memang banyak terdapat suku pendatang, terutama dari Jawa. Bahkan orang-orang Jawa ini tersebar dalam satu daerah berisi ratusan kepala keluarga yang tinggal dalam satu wilayah yang disebut Daerah Trans, sebuah koloni besar sisa kesuksesan masa orde baru: transmigrasi. Wong Jawe, mereka menyebutnya. Ada pula Wong Ogan, yaitu mereka para pendatang yang asalnya dari sekitar Sungai Ogan, sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu ataupun Ogan Komering Ilir, dengan bahasa asli Base Komering.
Sebutan wong, atau orang, yang menunjukkan asal daerah di daerah Sumatera Selatan biasanya merujuk pada wilayah di sekitar sungai, mengingat banyaknya sungai-sungai besar yang mengalir di wilayah ini. Selain itu, sungai merupakan jalur transportasi utama warga di masa lalu. Sungai-sungai itu, pada akhirnya menyatu di arus Sungai Musi yang mengalir ke Kota Palembang. Di Rambang sendiri, mengalir Sungai Rambang yang berarus deras membelah di tengahnya.
Banyaknya sungai besar inilah, pada akhirnya yang menjadikan tanah-tanah di Sumatera Selatan subur. Sebagian menghasilkan tanaman pangan seperti padi, sebagian besar lainnya merupakan tanah rawa yang sangat cocok untuk tanaman perkebunan berusia panjang. Tak hanya itu, di dalamnya juga terkandung banyak mineral minyak. Termasuk di Rambang. Di antara rerimbunan pohon karet atau kelapa sawit, di sana terdapat satu atau dua sumur pengeboran minyak.
Tapi minyak adalah milik mereka yang memiliki teknologi tinggi dan berbicara hal-hal yang terlampau rumit. Wong Rambang, Wong Jawe, Wong Ogan, dan warga kebanyakan di Rambang lebih senang berbicara tentang kebunnya. Salah satunya, adalah tentang behume. Berkebun.
Istilah behume digunakan bagi mereka yang tengah membuka kebun baru. Dalam hal ini, khususnya adalah perkebunan karet. Daur hidup karet alam sendiri melalui masa waktu yang sangat panjang. Satu batang pohon karet alam bisa disadap untuk diambil getahnya hingga puluhan tahun, setidaknya hingga 30 tahun. Tergantung kualitas bibit yang ditanam. Ketika pohon-pohon karet tak lagi mengeluarkan getah putihnya, itulah saatnya bibit baru ditanam di sana.
Untuk membuka lahan baru itu, tak bisa sembarang merobohkan pohon-pohon lama dan menggantinya begitu saja. Pertama, pohon-pohon tua harus ditumbangkan dan tanah harus disiapkan ulang. Nugal, atau membakar pohon-pohon tua menjadi cara sederhana yang paling efektif. Jika dilakukan dengan baik dan bertanggungjawab, negal tidak akan menyebabkan polusi asap seperti sering terjadi di wilayah Riau. Salah satunya dengan tidak membakar sekaligus wilayah perkebunan yang terlampau luas. Sebelum membakar wilayah perkebunan yang pohonnya telah tua, warga juga menyiapkan jarak antara yang bersih dari dahan dan daun kering ke wilayah perkebunan di sekitarnya untuk mencegah menyebarnya api ke wilayah yang tak diinginkan.
Nugal biasanya dilakukan ketika musim kemarau datang. Agar tanah bisa diolah ketika musim penghujan berikutnya datang. Tanah yang terbakar beserta arang-arang dari batang pohon menjadi pupuk alam yang akan menyehatkan tanah secara alami. Menuju saat tanam dimulai, tanah juga dibersihkan dari akar-akar tua untuk mencegah berkembangnya jamur akar putih, salah satu jamur perusak tanaman karet. Gulma-gulma dan rumput-rumput liar juga dibersihkan. Sebelum akhirnya bibit-bibit karet baru ditanam dalam jarak-jarak yang presisi antara satu dengan yang lainnya.
Pohon karet muda baru bisa diambil getahnya pada usia enam atau tujuh tahun. Orang-orang di Rambang menyebutnya sebagai Nakok, bahasa lokal untuk menyadap. Selama masa tunggu ini, mereka belum bisa nakok batang karet. Dalam masa tunggu inilah, behume dimulai.

Di Hume
Hal terpenting yang harus dilakukan ketika behume tentu adalah memastikan bibit karet tumbuh dengan baik. Tidak terserang penyakit tanaman ataupun tidak dirusak binatang buas. Namun demikian, dalam tujuh tahun, tentu banyak hal lain yang dapat dilakukan di sini.
Pemilik kebun, atau biasanya diwakili para penggarap kebun, mula-mula akan membangun rumah panggung sederhana di tengah kebun. Cukup untuk ruang depan, satu kamar, dan dapur. Rumah panggung juga dibangun tak terlalu jauh dari sumber air. Beberapa ekor anjing turut menemani, untuk berjaga-jaga jikalau rombongan babi hutan, kera-kera, atau orang jahat datang.
Dalam rumah panggung inilah, nantinya si pemilik atau penggarap kebun akan tinggal setidaknya selama satu atau dua tahun, hingga bibit karet telah tumbuh cukup kuat untuk ditinggalkan. Atau kadang, mereka harus membuka lahan baru di wilayah baru.
Selama masa behume ini, bibit karet tak dibiarkan berdiri sendirian di sana. Inilah masa pengolahan lahan yang sesungguhnya. Lahan subur itu dimaksimalkan sedemikian rupa. Di antara jajaran bibit-bibit karet, pada sela-selanya, beberapa menanam padi tanah kering, beberapa lainnya menanaminya dengan jagung, kacang tanah, ubi-ubian, sayur-sayuran, juga tanaman obat dan bumbu-bumbuan. Tak lupa, di sekililing kebun juga ditanami bibit-bibit pohon besar, seperti durian, duku, rambutan, cempedak, atau tanaman-tanaman kayu.
Ada sloroh sederhana warga, “Lom pacak nakok, gi ade tahok mentok,” (belum bisa menyadap, masih ada daun ubi). Meski mereka belum bisa menyadap karet, asap dapur akan tetap mengebul. Mereka bisa menjual hasil panen tanam-tanaman atau langsung memasaknya untuk kebutuhan sehari-hari.
Satu hal unik tentang behume, mereka yang behume biasanya adalah penggarap lahan. Satu catatan penting di sini, pemilik-pemilik kebun biasanya adalah tauke-tauke besar yang tinggal di dusun atau di kota-kota sekitar. Para penggarap ini, adalah mereka petani-petani biasa yang tinggal di sekitar perkebunan, baik warga asal ataupun pendatang. Pun ada warga asal yang memiliki kebun, luasnya tak seberapa, setengah atau satu hektar saja, berisi lima ratusan batang pohon karet yang menghasilkan getah tak terlalu besar.
Petani-petani biasa ini, mereka biasanya tinggal pada talang-talang di sekitar perkebunan. Talang menjadi satu wilayah adiministratif unik, menjadi satu perkampungan kecil yang berisi sepuluh hingga lima puluhan kepala keluarga yang mendiami satu wilayah di sekitar perkebunan. Biasanya dipimpin oleh seorang ketua RT, sebagai perpanjangan tangan kepala desa yang berada puluhan kilometer jaraknya. Jangan bayangkan pembagian wilayah seperti di perkotaan, di sini, satu desa bisa seluas satu kecamatan di Jawa. Satu desa bisa memiliki sepuluh hingga lima belas talang yang tersebar-sebar.
Talang dulunya terbentuk untuk kebutuhan praktis: agar dekat dengan kebun. Ketika bertanya, sejak kapan sebuah talang ada, warga tak mampu mengingatnya. Kebanyakan mereka telah meninggalinya selama turun-temurun, berganti-ganti. Ketika telah cukup mampu membangun rumah di dusun, mereka kembali ke dusun. Lalu panggung di talang dibiarkan saja, sebelum diisi oleh saudara atau krabat yang baru akan memulai kebun. Tak heran, biasanya pasangan-pasangan muda yang tinggal di talang. Meski kini juga banyak warga yang menetap di talang.
Saya bertanya pada M. Pudi, ustaz sekaligus tetua di Talang Tebatrawas Desa Pagar Agung misalnya, dan jawabannya adalah, “Aku mude, talang ini la ade,” (aku masih muda, talang ini sudah ada). Beberapa talang memang tumbuh baru, tapi kebiasaan menetap di talang memang sudah ada sejak lama, sejak kebun-kebun produktif dibuka di daerah ini. Atau beberapa anak-anak bercerita, “La ade sejak jaman Belanda,” (sudah ada sejak jaman Belanda).
Ketika behume, rumah di talang ditinggalkan. Mereka membawa alat-alat untuk kebutuhan sehari-hari ke hume. Mulai dari kasur lipat, baju-baju, alat makan, juga kompor, yang seringnya malah tak dipakai, karena tungku tetap lebih efektif di sana.
Ada ritme dan harmoni yang indah dari kegiatan behume ini.
Pagi hari, tak perlu mandi dan dengan sarapan sekadarnya, biasanya berisi kombinasi nasi hangat, mie instan yang diremukkan, lauk, sayur, atau gorengan jika ada, serta kopi manis mereka bersiap menggarap kebun. Bagi mereka yang ada lahan takokan, lahan untuk menyadap, mereka akan pergi menyadap. Bagi mereka yang belum ada takokan, mereka akan melakukan apa saja yang menuntut perhatian di hume. Mulai dari membersihkan tanah dari jamur dan gulma merugikan, menyabuti rumput, memupuk tanaman, memanen tanaman yang siap jual.
Siang hari, mereka akan kembali ke rumah. Mandi dan membersihkan diri, makan siang dengan komposisi yang hampir sama. Biasanya ada tambahan aneka sambal padas dan sayur-sayuran, atau gulaian orang menyebutnya. Salah satu yang paling khas di sini adalah tahok rendang, yaitu tumbukan daun ubi kayu atau daun ketela, yang ditumbuk halus lalu ditumis dengan bumbu bawang, cabai dan teri. Kombinasi pedas-asin yang memaksa kita mengambil nasi hangat berkali-kali hingga perut kenyang terisi.
Setelah istirahat sebentar hingga matahari tak terlalu tinggi lagi, tanam-tanaman merayu lagi untuk didekati dan diurusi. Ibu-ibu juga biasanya membuat rondengan, atau camilan khas dari hasil kebun. Mulai dari mengeringkan buah-buahan, mengolahnya untuk dijadikan krupuk, atau sekedar mengeringkan cabai merah untuk dibibitkan lagi. Hingga sore dan matahari tenggelam. Saatnya membersihkan diri lagi dan lalu makan malam bersama semua anggota keluarga. Menunggu kantuk datang dengan saling bercerita atau sekedar mendengarkan ceramah dari MP3 di HP. Bercerita tentang tomat, terong, rumput yang semakin cepat tumbuh, atau harga cabai yang sedang bagus di kalangan, pasar harian di dusun. Hingga entah jam berapa, cukup malam untuk tahu bahwa ada kalanya badan memaksa untuk diistirahatkan sebelum kembali ke rutinitas pagi keesokan harinya.
Beberapa hari lalu saya berkesempatan merasakan tinggal di hume. Pagi di Hari Minggu itu hujan lebat datang. Cukup lama hingga mampu mengalahkan dingin dan beranjak untuk keluar rumah kayu dan mencari tempat untuk buang air kecil. Satu hal lagi tentang behume, kita bisa buang air di mana saja, asal jauh dari rumah dan sumber air bersih. Beruntung malam itu hujan dan Wak Arip, pehume yang saya inapi, memiliki bak penampung air hujan besar di bawah ujung atap rumah kayunya. Sehingga tak perlu turun jauh menuju sumber air berupa aliran kecil air yang membelah kebun.
Wak Arip Betine atau Wak Arip perempuan, istri Wak Arip, mengikuti saya bangun. Ia langsung menyalakan api dan memanaskan air. “Hujan besak, kakge bai geraknye...” (hujan besar, nanti-nanti saja bangunnya), ujarnya. Saya memanggil keluarga ini Wak, atau Uwak, sebuah panggilan untuk kakak dari orangtua, karena keluarga yang saya tinggali di sini berkawan akrab seperti saudara dengan keluarga Wak Arip ini. Dipanggil Wak Arip, karena anak tertua keluarga ini bernama Arif, tapi warga di sini terbiasa menyebut huruf “f” dengan huruf “p”. Jadilah Arif akrab terdengar sebagai Arip, seperti festival menjadi pestipal.

Tentang Wak Arip
Wak Arip Jantan, Wak Arif Laki-laki, nama aslinya adalah Ahmad Zainuri. Ia adalah Wong Jawe, asalnya dari Magetan, Jawa Timur. Di sini ia menjadi petani penggarap untuk tiga tauke di dusun. Tauke adalah sebutan bagi para pemilik perkebunan dalam jumlah besar atau sekaligus pengumpul getah dari petani untuk disalurkan pada pedagang yang lebih besar, hampir sama dengan istilah juragan.



Kak Arif, anak laki-laki sulungnya yang sudah berkeluarga, bersama istrinya juga tinggal behume menunggu dan menggarap kebun milik seorang tauke dusun. Wak Arip kini tinggal dengan istri dan anak bungsunya, Roma. Mereka sudah beberapa kali membuka hume di lahan-lahan takokannya.
Kali ini ia membukakan lahan milik seorang tauke dari dusun. Lahannya cukup luas, hampir dua hektar, meski bentang ini menjadi ukuran yang tak terlalu luas bagi ukuran warga di sini. Rumah kayunya berupa rumah panggung yang tak terlalu tinggi, jarak dengan tanah hanya sekitar satu meter. Menonjol, terletak di tengah-tengah lahan. Pohon Ubi Kayu berjajar membentuk jalan setapak menuju rumah kayu. Di sekitarnya, pohon terong dan tomat sambal berbuah lebat, putih-hijau, ungu, dan oranye kemerahan. Melajur ke arah sebaliknya, beberapa tanaman jagung sudah mulai mengeluarkan rambut-rambut cokelatnya, “Beberapa bulan lagi pacak dipanen, pacak direbus kakge,” (beberapa bulan lagi bisa dipanen, nanti bisa direbus), kata Wak Arip Betine. Sedikit ke pojokan di samping rumah, pohon-pohon cabai rawit berjajar, selutut tingginya, cabai-cabai kuning keemasan itu sudah beberapa kali dipanen. Sepuluh ribu untuk seukuran plastik setengah kilo jika dijual di talang.
Di sana-sini terlihat tanaman kencur muncul begitu saja, daunnya sudah mulai lebar dan berbunga, tanda umbi kencur sudah mulai membesar di bawah tanah. Juga pohon kunyit, jahe, dan serai. Di musim hujan seperti sekarang, jika malam hujan datang, paginya aneka jamur bermunculan di sela-sela batang dan tanah-tanah yang penuh arang dan terbakar. Bermacam-macam jenisnya, namun hanya beberapa yang bisa diolah. Jamur kayu, orang sini menyebutnya. Tandanya, jamur yang berwarna cerah tak bisa dimasak. Hanya yang berwarna cokelat kehitaman yang bisa diolah. Ada pula jamur tikus, entah kenapa dinamai begitu, tapi rasanya enak juga.
Behume, seperti menjadi gambaran menyenangkan tentang memiliki cukup lahan dan cukup waktu untuk mengembangkan bermacam tanaman. Tak perlu panik ketika haga cabai melambung tinggi atau sekedar memupuk harapan bersamaan dengan tanaman kacang yang mulai menua hingga datang saatnya panen nanti. Lebih besar lagi, harapan dan semangat mereka yang behume ada pada bibit-bibit karet yang daunnya mulai berubah menjadi hijau tua. Enam atau tujuh tahun lagi, pohon-pohon itu akan menjadi sumber hidup mereka.
Wak Arip bercerita, jika cuaca bagus, dalam sebulan ia dan kelurganya yang menyadap bisa mengumpulkan setidaknya enam pikul karet. Satu pikul merupakan sebutan untuk karet alam kira-kira seberat 100 kg. Harga satu kilogram karet alam di pasaran kini sekitar Rp. 9.000. “Anggaplah sembilan ribu...” kata Wak Arip, “Ada lima juta kami dapat, hitunglah Bu... Lebih besar dari gaji pegawai negeri.”
“Itu baru dari nakok bai Bu, di luar nakok inilah kami behume, ade pula duitnye. Ade bailah hendaknya untuk dimakan,” (Itu baru dari menyadap saja, di luar menyadap, ada juga uangnya. Ada saja yang bisa untuk dimakan), lanjutnya. “Pernah pule karet sekilo dua puluh tujuh ribu, Bu...” kenangnya menerawang.
Masa ketika karet mencapai Rp. 27.000 selalu menjadi kenangan indah bagi para petani di sini. Dalam beberapa percakapan tentang karet, pun dengan anak-anak, kalimat ini hampir selalu muncul. Gambaran tentang pendapatan menyadap yang lebih besar dari gaji pegawai negeri juga menjadi cerita tersendiri. Memang benar adanya demikian. Tak jarang, mereka yang memiliki pekerjaan sebagai abdi negarapun tetap ke kebun, baik berangkat ketika subuh sebelum bekerja ataupun siang setelah bekerja.
Bagi Wak Arip sendiri, yang berasal dari Jawa, hidup di sini berkali-kali lipat enaknya daripada di kampung halamannya, di Magetan sana. Ia misalnya, ketika membuka kebun dan tinggal di sana, termasuk menanami bermacam tanaman dan memanennya sambil menunggu pohon karet siap disadap, tak dikenai sepeserpun biaya sewa lahan. Hasil panen tanaman juga sepenuhnya menjadi hak Wak Arip, sesekali ia mengantar hasil panen ke pemilik lahan. Bagi hasil dilakukan ketika karet mulai disadap. Berbeda dengan sistem pengolahan lahan di Jawa oleh petani penggarap, yang biasanya ada semacam uang sewa lahan atau bagi hasil sejak dari awal.
Di sisi lain, keberadaan petani penggarap seperti Wak Arip sebenarnya banyak menguntungkan para pemilik kebun atau tauke. Dengan lahan puluhan hektar, para tauke perlu petani penggarap untuk menyadap getah dari tanaman produktif setiap hari. Pun untuk mengurus lahan-lahan yang baru dibuka untuk ditanami bibit baru. Petani-petani penggarap yang bersedia untuk behume ini dapat menjaga tanaman tetap tumbuh dengan baik dan tanah diolah dengan baik pula. Meski barangkali, jika mau lebih kritis lagi, tauke sebagai tangan pertama yang mendapat getah alam dari petani harusnya mampu memberi pilihan yang lebih baik bagi para petani, terutama terkait nilai harga jual dan atau informasi terkait peningkatan kualitas karet yang bisa diupayakan sejak dari perkebunan. Tapi tentu ini agak rumit, mengingat getah alam adalah produk ekspor dengan permainan harga yang terus berubah tiap waktunya dan negara-negara lain yang juga ikut bersaing dalam pasar ini.
Behume, pada akhirnya menjadi seperti untuk saling melengkapi. Bagi tanah-tanah subur di sana, rumpun-rumpun cabai dan tomat melengkapi bibit-bibit karet yang siap tumbuh meninggi. Bagi para petani penggarap, inilah cara hidup untuk melengkapi rutinitas menyadap mereka. Rutinitas untuk menyambung hidup mereka agar tak berhenti sekedar untuk memegang pisau sadap di pagi hari. Karena kadang hari hujan dan pohon karet tak mau mengeluarkan getahnya sementara. Hume, menjadi hiburan pelengkap di hari-hari mereka. Hari-hari yang jauh dari riuh rendah suara yang memburu.
Di hume tak ada TV. Itu cukup menjadi alasan untuk menepi.
***
Sementara bagi saya, hume seperti menjadi separuhnya mimpi. Rumah kayu, pohon cabai dan tomat di sekitar rumah serta beberapa petak lahan yang siap ditanami apa saja. Minus kamar mandi, sebenarnya.
Pagi itu, sambil menunggu sarapan matang, saya berkesempatan untuk bercerita banyak dengan Wak Arip. Sebagian ceritanya, sudah saya tuliskan. Sebagian lagi, mengendap saja di salah satu bagian otak saya.
Salah satunya tentang ini. Saya kira, gambaran hidup di satu wilayah dingin dan berkabut bagi orang kota kebanyakan, yaitu teman-teman saya dan mungkin juga saya, adalah bukan tentang menjadi seorang petani seperti Wak Arip. Tentu saja. Akan hanya sedikit orang kota yang mau berubah haluan menjadi petani. Menjadi petani yang benar-benar menggantungkan hidupnya dari tanaman-tanaman yang dirawat dan diolahnya hingga menghasilkan. Demikian, terus menerus... sama halnya ketika orang-orang yang bekerja kantoran selesai dengan satu proyek dan bersiap untuk proyek selanjutnya. Semuanya adalah rutinitas. Pada akhirnya akan menjadi sama-sama membosankan. Akan tetap ada satu titik untuk menjadi bosan.
Tapi Wak Arip sudah tidak mau tinggal di kota lagi. Tak ada yang bisa dilakukannya di sana, katanya. Lalu pertanyaannya ingin saya balik, jika saya dan teman-teman saya ingin tinggal di tempat dingin dan berkabut itu, lalu mau apa? Apakah bertani atau hanya slonjoran saja? Jika ada yang dilakukannya, apakah ada yang bisa dilakukannya, seperti halnya ketika kota menyediakan banyak hal untuk dilakukan?

Sudahlah. Jakarta pun, sebenarnya masih memiliki kabut. Coba keluar jam empat pagi.