Monday, April 13, 2015

...behume: sejenak menepi di mimpi

Preface: Berikut adalah tulisan panjang yang saya tulis pada satu malam setelah sempat merasakan bermalamdi kebun. Sebuah pengalaman yang menyenangkan. Isi inti tulisan ini saya post dalam laman Blog PM Indonesia Mengajar, di sini. Di sini, baiklah, di sini lebih tentang saya... :)


Beberapa teman, kami pernah bercerita tentang ini: tinggal di sebuah rumah kayu kecil, pada lahan dengan halaman penuh dengan bermacam tumbuh-tumbuhan, sayuran, buah, dan berbagai jenis tanaman bumbu dan obat. Udaranya sejuk, masih ada kabut yang setia menyambut sinar matahari pertama di pagi hari. Tak perlu takut kehabisan bahan makanan. Sesekali mandi ke sungai. Sepertinya menyenangkan.
Mungkin di sekitar lingkar Gunung Lawu, Merapi atau juga Sindoro-Sumbing. Tawangmangu, Sarangan, Boyolali, Magelang, Salatiga, Temanggung, atau Wonosobo. Atau bagi saya, saya akan memilih di sekitar Dieng, tempat yang paling dekat dengan tanah kelahiran saya.
Itu cerita dulu, ketika saya masih kuliah. Kami tinggal di Solo. Ketika melingkari Merapi menuju Magelang lewat Boyolali menaiki motor rasanya sangat menyenangkan. Juga ketika bermalam ke Tawangmangu menjadi momen yang selalu ditunggu-tunggu. Hijau dan sejuk.
Ketika beranjak ke Jakarta, cerita yang sama masih sering menjadi tema ketika duduk melingkar pada satu kesempatan. Pun dari orang-orang atau kawan-kawan yang baru saja dikenal. Situ Gintung, Sukabumi atau Lembang sering terdengar, juga beberapa kampung-kampung kecil di sekitar Bogor dan Bandung. Puncak jarang disebut. Ubud atau Batu, Malang juga sering terdengar. “Solo atau Malang, kalau tua pengen tinggal di sana,” misalnya seperti itu. Jogja, Solo, dan Malang bagi orang Jakarta, pun adalah kota yang menarik untuk menepi.  
Saya, pilihan saya, jika harus memilih, akan tetap memilih Dieng. Bertani kentang sambil memberi les Matematika dan Bahasa Inggris sepertinya cukup menyenangkan. Atau mungkin membuka penginapan murah lengkap dengan kedai penuh menu olahan kentang. Hhi.
Beberapa teman, dan saya, entah kenapa, memiliki gambaran “aku ingin seperti ini...”, yang hampir sama. Ketika bertanya kenapa, barangkali jawabannya adalah karena gambaran itu nampak menenangkan. Hangat dalam baju rajut untuk menangkal dingin kabut. Makan hasil olahan tanah sendiri, tanpa pupuk kimia tanpa bumbu pabrikan. Menunggu cucu datang... ah! Atau karena sering, ketika tinggal di Jakarta misalnya, suara kendaraan termasuk asap-asapnya menjadi begitu menyebalkan. Kami butuh gambaran ideal lain, yang jauh dari semua itu. Dan ide tentang rumah kayu di Dieng misalnya, menjadi seperti mimpi hangat yang menunggu untuk diwujudkan. Entah bisa, entah tidak.
Potongan kisah Mr. dan Mrs. Frederickson dalam UP menceritakannya dengan indah.
Meski tetap, butuh dorongan kuat, kalau tak mau disebut desakan, untuk mewujudkannya. Lihat bagaimana Carl dan Ellie kecil beranjak dewasa dan menua dengan menyimpan keinginan berumah di tepi Paradise Fall. Untuk mewujudkannya, mereka menabung sedikit demi sedikit yang akhirnya lebih berguna untuk membeli ban mobil baru, berobat ke rumah sakit, atau memperbaiki atap yang tertimpa pohon roboh. Kalau saja Carl tak harus dipaksa menghabiskan sisa waktunya di rumah jompo, mungkin ia tak perlu mengikat ribuan balon untuk menerbangkan rumahnya hingga Paradise Falls. Selain bercerita dengan indah, cerita pada pembuka film mampu memberikan gambarannya yang lebih nyata. Tentang keinginan itu.
Lebih ke: benarkah? Atau, sebegitu harusnya kah untuk tinggal di atas bukit di kaki pegunungan? Karena sepertinya kita juga menikmati rutinitas dan segala yang ditawarkan kota besar. Karena sebenarnya, di Jakarta pun kabut masih ada ketika subuh tiba.
Saya menyimpan keinginan itu. Barangkali juga teman-teman saya lainnya, dan orang-orang yang pernah bercerita pada saya. Atau mungkin sekedar menyimpannya, untuk nanti berbagi cerita ketika topik itu muncul dalam satu perbincangan. Tapi sekaligus, ketika saya menyimpannya, karena barangkali itu memang hanya cukup untuk disimpan. Tidak harus untuk diwujudkan.
Bisa jadi karena saya toh sesungguhnya bukan orang kota. Saya lahir dan besar di pedesaan. Meski tidak di atas bukit dan kabut hilang bersama klakson angkot pertama yang lewat menuju pasar. Ide itu tak terlalu membeludak di kepala saya. Sensasi tinggal di rumah susun menjadi lebih menantang bagi saya.
Tapi cerita ini barangkali bisa sedikit mewujudkan keinginan itu. Jika ternyata kelak tak pernah ada rumah kayu yang menghadap timur di kaki gunung.

****
Pagi itu dingin. Semalam hujan deras datang mengguyur dan membuat tanah di sekitar begitu lunak ketika terinjak. Saya habis menumpang tidur di rumah panggung Wak Arip, salah satu warga Talang Tebatrawas, lokasi SD penempatan saya. Tapi hari itu saya bukan sedang di talang, saya sedang di kebun. Mengikuti Wak Arip dan keluarga behume.
Behume. Hume adalah kebun dalam Base Rambang, bahasa asli warga Melayu Rambang. Mereka mendiami desa-desa di sekitar Kecamatan Rambang Kabupaten Muara Enim, satu wilayah yang terdiri ratusan hektar perkebunan karet dan kelapa sawit.
Wong Rambang, mereka menyebut diri mereka yang memang keturunan asli orang-orang Rambang. Tak hanya Wong Rambang, di wilayah ini memang banyak terdapat suku pendatang, terutama dari Jawa. Bahkan orang-orang Jawa ini tersebar dalam satu daerah berisi ratusan kepala keluarga yang tinggal dalam satu wilayah yang disebut Daerah Trans, sebuah koloni besar sisa kesuksesan masa orde baru: transmigrasi. Wong Jawe, mereka menyebutnya. Ada pula Wong Ogan, yaitu mereka para pendatang yang asalnya dari sekitar Sungai Ogan, sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu ataupun Ogan Komering Ilir, dengan bahasa asli Base Komering.
Sebutan wong, atau orang, yang menunjukkan asal daerah di daerah Sumatera Selatan biasanya merujuk pada wilayah di sekitar sungai, mengingat banyaknya sungai-sungai besar yang mengalir di wilayah ini. Selain itu, sungai merupakan jalur transportasi utama warga di masa lalu. Sungai-sungai itu, pada akhirnya menyatu di arus Sungai Musi yang mengalir ke Kota Palembang. Di Rambang sendiri, mengalir Sungai Rambang yang berarus deras membelah di tengahnya.
Banyaknya sungai besar inilah, pada akhirnya yang menjadikan tanah-tanah di Sumatera Selatan subur. Sebagian menghasilkan tanaman pangan seperti padi, sebagian besar lainnya merupakan tanah rawa yang sangat cocok untuk tanaman perkebunan berusia panjang. Tak hanya itu, di dalamnya juga terkandung banyak mineral minyak. Termasuk di Rambang. Di antara rerimbunan pohon karet atau kelapa sawit, di sana terdapat satu atau dua sumur pengeboran minyak.
Tapi minyak adalah milik mereka yang memiliki teknologi tinggi dan berbicara hal-hal yang terlampau rumit. Wong Rambang, Wong Jawe, Wong Ogan, dan warga kebanyakan di Rambang lebih senang berbicara tentang kebunnya. Salah satunya, adalah tentang behume. Berkebun.
Istilah behume digunakan bagi mereka yang tengah membuka kebun baru. Dalam hal ini, khususnya adalah perkebunan karet. Daur hidup karet alam sendiri melalui masa waktu yang sangat panjang. Satu batang pohon karet alam bisa disadap untuk diambil getahnya hingga puluhan tahun, setidaknya hingga 30 tahun. Tergantung kualitas bibit yang ditanam. Ketika pohon-pohon karet tak lagi mengeluarkan getah putihnya, itulah saatnya bibit baru ditanam di sana.
Untuk membuka lahan baru itu, tak bisa sembarang merobohkan pohon-pohon lama dan menggantinya begitu saja. Pertama, pohon-pohon tua harus ditumbangkan dan tanah harus disiapkan ulang. Nugal, atau membakar pohon-pohon tua menjadi cara sederhana yang paling efektif. Jika dilakukan dengan baik dan bertanggungjawab, negal tidak akan menyebabkan polusi asap seperti sering terjadi di wilayah Riau. Salah satunya dengan tidak membakar sekaligus wilayah perkebunan yang terlampau luas. Sebelum membakar wilayah perkebunan yang pohonnya telah tua, warga juga menyiapkan jarak antara yang bersih dari dahan dan daun kering ke wilayah perkebunan di sekitarnya untuk mencegah menyebarnya api ke wilayah yang tak diinginkan.
Nugal biasanya dilakukan ketika musim kemarau datang. Agar tanah bisa diolah ketika musim penghujan berikutnya datang. Tanah yang terbakar beserta arang-arang dari batang pohon menjadi pupuk alam yang akan menyehatkan tanah secara alami. Menuju saat tanam dimulai, tanah juga dibersihkan dari akar-akar tua untuk mencegah berkembangnya jamur akar putih, salah satu jamur perusak tanaman karet. Gulma-gulma dan rumput-rumput liar juga dibersihkan. Sebelum akhirnya bibit-bibit karet baru ditanam dalam jarak-jarak yang presisi antara satu dengan yang lainnya.
Pohon karet muda baru bisa diambil getahnya pada usia enam atau tujuh tahun. Orang-orang di Rambang menyebutnya sebagai Nakok, bahasa lokal untuk menyadap. Selama masa tunggu ini, mereka belum bisa nakok batang karet. Dalam masa tunggu inilah, behume dimulai.

Di Hume
Hal terpenting yang harus dilakukan ketika behume tentu adalah memastikan bibit karet tumbuh dengan baik. Tidak terserang penyakit tanaman ataupun tidak dirusak binatang buas. Namun demikian, dalam tujuh tahun, tentu banyak hal lain yang dapat dilakukan di sini.
Pemilik kebun, atau biasanya diwakili para penggarap kebun, mula-mula akan membangun rumah panggung sederhana di tengah kebun. Cukup untuk ruang depan, satu kamar, dan dapur. Rumah panggung juga dibangun tak terlalu jauh dari sumber air. Beberapa ekor anjing turut menemani, untuk berjaga-jaga jikalau rombongan babi hutan, kera-kera, atau orang jahat datang.
Dalam rumah panggung inilah, nantinya si pemilik atau penggarap kebun akan tinggal setidaknya selama satu atau dua tahun, hingga bibit karet telah tumbuh cukup kuat untuk ditinggalkan. Atau kadang, mereka harus membuka lahan baru di wilayah baru.
Selama masa behume ini, bibit karet tak dibiarkan berdiri sendirian di sana. Inilah masa pengolahan lahan yang sesungguhnya. Lahan subur itu dimaksimalkan sedemikian rupa. Di antara jajaran bibit-bibit karet, pada sela-selanya, beberapa menanam padi tanah kering, beberapa lainnya menanaminya dengan jagung, kacang tanah, ubi-ubian, sayur-sayuran, juga tanaman obat dan bumbu-bumbuan. Tak lupa, di sekililing kebun juga ditanami bibit-bibit pohon besar, seperti durian, duku, rambutan, cempedak, atau tanaman-tanaman kayu.
Ada sloroh sederhana warga, “Lom pacak nakok, gi ade tahok mentok,” (belum bisa menyadap, masih ada daun ubi). Meski mereka belum bisa menyadap karet, asap dapur akan tetap mengebul. Mereka bisa menjual hasil panen tanam-tanaman atau langsung memasaknya untuk kebutuhan sehari-hari.
Satu hal unik tentang behume, mereka yang behume biasanya adalah penggarap lahan. Satu catatan penting di sini, pemilik-pemilik kebun biasanya adalah tauke-tauke besar yang tinggal di dusun atau di kota-kota sekitar. Para penggarap ini, adalah mereka petani-petani biasa yang tinggal di sekitar perkebunan, baik warga asal ataupun pendatang. Pun ada warga asal yang memiliki kebun, luasnya tak seberapa, setengah atau satu hektar saja, berisi lima ratusan batang pohon karet yang menghasilkan getah tak terlalu besar.
Petani-petani biasa ini, mereka biasanya tinggal pada talang-talang di sekitar perkebunan. Talang menjadi satu wilayah adiministratif unik, menjadi satu perkampungan kecil yang berisi sepuluh hingga lima puluhan kepala keluarga yang mendiami satu wilayah di sekitar perkebunan. Biasanya dipimpin oleh seorang ketua RT, sebagai perpanjangan tangan kepala desa yang berada puluhan kilometer jaraknya. Jangan bayangkan pembagian wilayah seperti di perkotaan, di sini, satu desa bisa seluas satu kecamatan di Jawa. Satu desa bisa memiliki sepuluh hingga lima belas talang yang tersebar-sebar.
Talang dulunya terbentuk untuk kebutuhan praktis: agar dekat dengan kebun. Ketika bertanya, sejak kapan sebuah talang ada, warga tak mampu mengingatnya. Kebanyakan mereka telah meninggalinya selama turun-temurun, berganti-ganti. Ketika telah cukup mampu membangun rumah di dusun, mereka kembali ke dusun. Lalu panggung di talang dibiarkan saja, sebelum diisi oleh saudara atau krabat yang baru akan memulai kebun. Tak heran, biasanya pasangan-pasangan muda yang tinggal di talang. Meski kini juga banyak warga yang menetap di talang.
Saya bertanya pada M. Pudi, ustaz sekaligus tetua di Talang Tebatrawas Desa Pagar Agung misalnya, dan jawabannya adalah, “Aku mude, talang ini la ade,” (aku masih muda, talang ini sudah ada). Beberapa talang memang tumbuh baru, tapi kebiasaan menetap di talang memang sudah ada sejak lama, sejak kebun-kebun produktif dibuka di daerah ini. Atau beberapa anak-anak bercerita, “La ade sejak jaman Belanda,” (sudah ada sejak jaman Belanda).
Ketika behume, rumah di talang ditinggalkan. Mereka membawa alat-alat untuk kebutuhan sehari-hari ke hume. Mulai dari kasur lipat, baju-baju, alat makan, juga kompor, yang seringnya malah tak dipakai, karena tungku tetap lebih efektif di sana.
Ada ritme dan harmoni yang indah dari kegiatan behume ini.
Pagi hari, tak perlu mandi dan dengan sarapan sekadarnya, biasanya berisi kombinasi nasi hangat, mie instan yang diremukkan, lauk, sayur, atau gorengan jika ada, serta kopi manis mereka bersiap menggarap kebun. Bagi mereka yang ada lahan takokan, lahan untuk menyadap, mereka akan pergi menyadap. Bagi mereka yang belum ada takokan, mereka akan melakukan apa saja yang menuntut perhatian di hume. Mulai dari membersihkan tanah dari jamur dan gulma merugikan, menyabuti rumput, memupuk tanaman, memanen tanaman yang siap jual.
Siang hari, mereka akan kembali ke rumah. Mandi dan membersihkan diri, makan siang dengan komposisi yang hampir sama. Biasanya ada tambahan aneka sambal padas dan sayur-sayuran, atau gulaian orang menyebutnya. Salah satu yang paling khas di sini adalah tahok rendang, yaitu tumbukan daun ubi kayu atau daun ketela, yang ditumbuk halus lalu ditumis dengan bumbu bawang, cabai dan teri. Kombinasi pedas-asin yang memaksa kita mengambil nasi hangat berkali-kali hingga perut kenyang terisi.
Setelah istirahat sebentar hingga matahari tak terlalu tinggi lagi, tanam-tanaman merayu lagi untuk didekati dan diurusi. Ibu-ibu juga biasanya membuat rondengan, atau camilan khas dari hasil kebun. Mulai dari mengeringkan buah-buahan, mengolahnya untuk dijadikan krupuk, atau sekedar mengeringkan cabai merah untuk dibibitkan lagi. Hingga sore dan matahari tenggelam. Saatnya membersihkan diri lagi dan lalu makan malam bersama semua anggota keluarga. Menunggu kantuk datang dengan saling bercerita atau sekedar mendengarkan ceramah dari MP3 di HP. Bercerita tentang tomat, terong, rumput yang semakin cepat tumbuh, atau harga cabai yang sedang bagus di kalangan, pasar harian di dusun. Hingga entah jam berapa, cukup malam untuk tahu bahwa ada kalanya badan memaksa untuk diistirahatkan sebelum kembali ke rutinitas pagi keesokan harinya.
Beberapa hari lalu saya berkesempatan merasakan tinggal di hume. Pagi di Hari Minggu itu hujan lebat datang. Cukup lama hingga mampu mengalahkan dingin dan beranjak untuk keluar rumah kayu dan mencari tempat untuk buang air kecil. Satu hal lagi tentang behume, kita bisa buang air di mana saja, asal jauh dari rumah dan sumber air bersih. Beruntung malam itu hujan dan Wak Arip, pehume yang saya inapi, memiliki bak penampung air hujan besar di bawah ujung atap rumah kayunya. Sehingga tak perlu turun jauh menuju sumber air berupa aliran kecil air yang membelah kebun.
Wak Arip Betine atau Wak Arip perempuan, istri Wak Arip, mengikuti saya bangun. Ia langsung menyalakan api dan memanaskan air. “Hujan besak, kakge bai geraknye...” (hujan besar, nanti-nanti saja bangunnya), ujarnya. Saya memanggil keluarga ini Wak, atau Uwak, sebuah panggilan untuk kakak dari orangtua, karena keluarga yang saya tinggali di sini berkawan akrab seperti saudara dengan keluarga Wak Arip ini. Dipanggil Wak Arip, karena anak tertua keluarga ini bernama Arif, tapi warga di sini terbiasa menyebut huruf “f” dengan huruf “p”. Jadilah Arif akrab terdengar sebagai Arip, seperti festival menjadi pestipal.

Tentang Wak Arip
Wak Arip Jantan, Wak Arif Laki-laki, nama aslinya adalah Ahmad Zainuri. Ia adalah Wong Jawe, asalnya dari Magetan, Jawa Timur. Di sini ia menjadi petani penggarap untuk tiga tauke di dusun. Tauke adalah sebutan bagi para pemilik perkebunan dalam jumlah besar atau sekaligus pengumpul getah dari petani untuk disalurkan pada pedagang yang lebih besar, hampir sama dengan istilah juragan.



Kak Arif, anak laki-laki sulungnya yang sudah berkeluarga, bersama istrinya juga tinggal behume menunggu dan menggarap kebun milik seorang tauke dusun. Wak Arip kini tinggal dengan istri dan anak bungsunya, Roma. Mereka sudah beberapa kali membuka hume di lahan-lahan takokannya.
Kali ini ia membukakan lahan milik seorang tauke dari dusun. Lahannya cukup luas, hampir dua hektar, meski bentang ini menjadi ukuran yang tak terlalu luas bagi ukuran warga di sini. Rumah kayunya berupa rumah panggung yang tak terlalu tinggi, jarak dengan tanah hanya sekitar satu meter. Menonjol, terletak di tengah-tengah lahan. Pohon Ubi Kayu berjajar membentuk jalan setapak menuju rumah kayu. Di sekitarnya, pohon terong dan tomat sambal berbuah lebat, putih-hijau, ungu, dan oranye kemerahan. Melajur ke arah sebaliknya, beberapa tanaman jagung sudah mulai mengeluarkan rambut-rambut cokelatnya, “Beberapa bulan lagi pacak dipanen, pacak direbus kakge,” (beberapa bulan lagi bisa dipanen, nanti bisa direbus), kata Wak Arip Betine. Sedikit ke pojokan di samping rumah, pohon-pohon cabai rawit berjajar, selutut tingginya, cabai-cabai kuning keemasan itu sudah beberapa kali dipanen. Sepuluh ribu untuk seukuran plastik setengah kilo jika dijual di talang.
Di sana-sini terlihat tanaman kencur muncul begitu saja, daunnya sudah mulai lebar dan berbunga, tanda umbi kencur sudah mulai membesar di bawah tanah. Juga pohon kunyit, jahe, dan serai. Di musim hujan seperti sekarang, jika malam hujan datang, paginya aneka jamur bermunculan di sela-sela batang dan tanah-tanah yang penuh arang dan terbakar. Bermacam-macam jenisnya, namun hanya beberapa yang bisa diolah. Jamur kayu, orang sini menyebutnya. Tandanya, jamur yang berwarna cerah tak bisa dimasak. Hanya yang berwarna cokelat kehitaman yang bisa diolah. Ada pula jamur tikus, entah kenapa dinamai begitu, tapi rasanya enak juga.
Behume, seperti menjadi gambaran menyenangkan tentang memiliki cukup lahan dan cukup waktu untuk mengembangkan bermacam tanaman. Tak perlu panik ketika haga cabai melambung tinggi atau sekedar memupuk harapan bersamaan dengan tanaman kacang yang mulai menua hingga datang saatnya panen nanti. Lebih besar lagi, harapan dan semangat mereka yang behume ada pada bibit-bibit karet yang daunnya mulai berubah menjadi hijau tua. Enam atau tujuh tahun lagi, pohon-pohon itu akan menjadi sumber hidup mereka.
Wak Arip bercerita, jika cuaca bagus, dalam sebulan ia dan kelurganya yang menyadap bisa mengumpulkan setidaknya enam pikul karet. Satu pikul merupakan sebutan untuk karet alam kira-kira seberat 100 kg. Harga satu kilogram karet alam di pasaran kini sekitar Rp. 9.000. “Anggaplah sembilan ribu...” kata Wak Arip, “Ada lima juta kami dapat, hitunglah Bu... Lebih besar dari gaji pegawai negeri.”
“Itu baru dari nakok bai Bu, di luar nakok inilah kami behume, ade pula duitnye. Ade bailah hendaknya untuk dimakan,” (Itu baru dari menyadap saja, di luar menyadap, ada juga uangnya. Ada saja yang bisa untuk dimakan), lanjutnya. “Pernah pule karet sekilo dua puluh tujuh ribu, Bu...” kenangnya menerawang.
Masa ketika karet mencapai Rp. 27.000 selalu menjadi kenangan indah bagi para petani di sini. Dalam beberapa percakapan tentang karet, pun dengan anak-anak, kalimat ini hampir selalu muncul. Gambaran tentang pendapatan menyadap yang lebih besar dari gaji pegawai negeri juga menjadi cerita tersendiri. Memang benar adanya demikian. Tak jarang, mereka yang memiliki pekerjaan sebagai abdi negarapun tetap ke kebun, baik berangkat ketika subuh sebelum bekerja ataupun siang setelah bekerja.
Bagi Wak Arip sendiri, yang berasal dari Jawa, hidup di sini berkali-kali lipat enaknya daripada di kampung halamannya, di Magetan sana. Ia misalnya, ketika membuka kebun dan tinggal di sana, termasuk menanami bermacam tanaman dan memanennya sambil menunggu pohon karet siap disadap, tak dikenai sepeserpun biaya sewa lahan. Hasil panen tanaman juga sepenuhnya menjadi hak Wak Arip, sesekali ia mengantar hasil panen ke pemilik lahan. Bagi hasil dilakukan ketika karet mulai disadap. Berbeda dengan sistem pengolahan lahan di Jawa oleh petani penggarap, yang biasanya ada semacam uang sewa lahan atau bagi hasil sejak dari awal.
Di sisi lain, keberadaan petani penggarap seperti Wak Arip sebenarnya banyak menguntungkan para pemilik kebun atau tauke. Dengan lahan puluhan hektar, para tauke perlu petani penggarap untuk menyadap getah dari tanaman produktif setiap hari. Pun untuk mengurus lahan-lahan yang baru dibuka untuk ditanami bibit baru. Petani-petani penggarap yang bersedia untuk behume ini dapat menjaga tanaman tetap tumbuh dengan baik dan tanah diolah dengan baik pula. Meski barangkali, jika mau lebih kritis lagi, tauke sebagai tangan pertama yang mendapat getah alam dari petani harusnya mampu memberi pilihan yang lebih baik bagi para petani, terutama terkait nilai harga jual dan atau informasi terkait peningkatan kualitas karet yang bisa diupayakan sejak dari perkebunan. Tapi tentu ini agak rumit, mengingat getah alam adalah produk ekspor dengan permainan harga yang terus berubah tiap waktunya dan negara-negara lain yang juga ikut bersaing dalam pasar ini.
Behume, pada akhirnya menjadi seperti untuk saling melengkapi. Bagi tanah-tanah subur di sana, rumpun-rumpun cabai dan tomat melengkapi bibit-bibit karet yang siap tumbuh meninggi. Bagi para petani penggarap, inilah cara hidup untuk melengkapi rutinitas menyadap mereka. Rutinitas untuk menyambung hidup mereka agar tak berhenti sekedar untuk memegang pisau sadap di pagi hari. Karena kadang hari hujan dan pohon karet tak mau mengeluarkan getahnya sementara. Hume, menjadi hiburan pelengkap di hari-hari mereka. Hari-hari yang jauh dari riuh rendah suara yang memburu.
Di hume tak ada TV. Itu cukup menjadi alasan untuk menepi.
***
Sementara bagi saya, hume seperti menjadi separuhnya mimpi. Rumah kayu, pohon cabai dan tomat di sekitar rumah serta beberapa petak lahan yang siap ditanami apa saja. Minus kamar mandi, sebenarnya.
Pagi itu, sambil menunggu sarapan matang, saya berkesempatan untuk bercerita banyak dengan Wak Arip. Sebagian ceritanya, sudah saya tuliskan. Sebagian lagi, mengendap saja di salah satu bagian otak saya.
Salah satunya tentang ini. Saya kira, gambaran hidup di satu wilayah dingin dan berkabut bagi orang kota kebanyakan, yaitu teman-teman saya dan mungkin juga saya, adalah bukan tentang menjadi seorang petani seperti Wak Arip. Tentu saja. Akan hanya sedikit orang kota yang mau berubah haluan menjadi petani. Menjadi petani yang benar-benar menggantungkan hidupnya dari tanaman-tanaman yang dirawat dan diolahnya hingga menghasilkan. Demikian, terus menerus... sama halnya ketika orang-orang yang bekerja kantoran selesai dengan satu proyek dan bersiap untuk proyek selanjutnya. Semuanya adalah rutinitas. Pada akhirnya akan menjadi sama-sama membosankan. Akan tetap ada satu titik untuk menjadi bosan.
Tapi Wak Arip sudah tidak mau tinggal di kota lagi. Tak ada yang bisa dilakukannya di sana, katanya. Lalu pertanyaannya ingin saya balik, jika saya dan teman-teman saya ingin tinggal di tempat dingin dan berkabut itu, lalu mau apa? Apakah bertani atau hanya slonjoran saja? Jika ada yang dilakukannya, apakah ada yang bisa dilakukannya, seperti halnya ketika kota menyediakan banyak hal untuk dilakukan?

Sudahlah. Jakarta pun, sebenarnya masih memiliki kabut. Coba keluar jam empat pagi. 

No comments:

Post a Comment