Saturday, December 22, 2012

...ode for the love ones



This is a song for the love ones
You are my light
You are my love
And you are my live

This is a song for the love ones
You are my hope
You are my tears
And you are my everything

This is a song for the love ones

(Ode For The Love Ones – Mocca)




Mah, adakah pagi itu udara begitu dingin?
Atau kau justru melihat semburat jingga kebiru-biruan di plupuk timur sana
Dan kau melihat pelangi
Berwarna-warni seperti permen-permen buah di toko kue itu

Aku yakin kau melihatnya
Ia seperti malaikat yang melesat turun melalui setengah lingkar pelangi
Seperti dalam buku dongeng
Kau tau, kau telah melahirkan kehidupan

Tentu saja kau tahu, dan aku masih saja melontarkan pertanyaan bodoh dengan bertanya “Kau tahu?”

Mah, aku bahkan masih sedikit bergidik untuk membayangkannya
Meski aku menginginkannya

Di suatu hari nanti aku akan melihat pelangi yang sama
Dan melahirkan kehidupan juga.

Untukmu Mah,
Sore tadi hujan, begitu lama
Sebenarnya malam ini ada pelangi
Berwarna-warni pada wajah setiap mereka yang pernah melahirkan kehidupan








untuk mama.

...ke-19 (untuk Kentingan)

PU-nya pun kesurupan *ada beberapa foto dari Marka terakhir yang saya ikuti. Foto-foto oleh Alfian :)


19 tahun, bukan hal yang mudah untuk dilalui. Pasti. Pasang dan surut. Sedikit ketegangan. Beberapa tawa lepas. Ruangan di sudut yang kadang terlampau sesak, sering pula terlalu sepi.
Memang, bukan hal mudah untuk terus di sana. Mencoba menjadi diri sendiri. Tapi harus menjadi berbeda dengan yang lain. Sepintas dipuji. Lain waktu dibenci. Satu kali melakukan tindakan benar. Kali lain hanya melakukan kekeliruan dan menjadi tak berarti.

Tapi satu hal yang mungkin akan diamini dengan keras secara bersamaan oleh semua yang pernah merasakan itu semua, di sana. Kita telah belajar sesuatu yang tidak mungkin bisa didapatkan di tempat lain jika bukan di sana.

 
****

Ingatan saya melayang pada satu siang yang agak cukup terik pada Ramadan pertama saya menjadi mahasiswa. Buru-buru dari tempat kost pacar saya waktu itu, harusnya saya membaca komik, buku, atau majalah, menemani dia menggambar. Hanya demi sebuah pertemuan rutin sebuah unit kegiatan mahasiswa. Agak sedikit lupa, apakah waktu itu saya sudah resmi menjadi anggota atau belum. Mungkin saya sudah menjadi semacam anggota, dengan status magang.

Status yang, jika saja kamu bukan seseorang yang memang benar-benar ingin belajar, tidak ada apa-apanya. Kamu hanya akan membantu beberapa orang menyiapkan pertemuan, berarti mungkin mencuci gelas, membeli minuman dan makanan kecil, merapikan karpet. Atau, jika pun menulis, kamu akan mendapat kesempatan wawancara dengan tiga orang teman lainnya. Berbagi paragraf untuk satu tulisan agak panjang berisi sekitar 3.500 karakter yang ternyata tak seberapa. Melelahkan? Menyebalkan? Disepelakan?

Tapi mungkin tidak akan ada apa-apanya jika kamu memang seorang anak desa yang punya mimpi tepat di atas kepalanya untuk menjadi seorang jurnalis. Entah jurnalis apa. Dan merasa menemukan tempatnya untuk belajar.

Tempat belajarnya pun bukan sebuah ruang bermeja-kursi dengan guru-guru pandai yang akan menjejalimu dengan berbagai teori. Memberimu senyum manis setiap hari atau makanan-makanan kecil enak agar kamu betah dan merasa senang.

Ya, di sana hanya ada mereka orang-orang yang lebih pandai darimu dan senantiasa untuk mengajakmu untuk ikut pandai bersama. Semacam belajar bersama. Berbagi ilmu dan pengalaman yang mereka punya. Selepasnya, kamu harus belajar sendiri. Bahkan kalau perlu, harus lebih pandai dari mereka.

Di sana rasanya saya tak pernah dimanja. Kalaupun kebaikan-kebaikan begitu banyak berserakan, itu adalah sesuatu yang setulus-tulusnya kamu dapatkan. Kadang kebaikan itu diiringi muka yang agak sedikit sinis. Kalimat yang agak sedikit galak. Sindiran yang memualkan. Dan pujian yang memabukkan (dan ingat, ketika kamu mabuk, bersiaplah untuk dipermalukan kemudian).

Mia dan Rina. Orang hebat di Kentingan hingga sekarang.


*ewesbeste!


Hingga pada suatu siang yang lain. Saya pun bertanya: kenapa saya harus terus datang ke sana padahal di sana saya bukanlah siapa-siapa? Kenapa saya harus repot-repot berjalan kaki di tengah terik matahari, pulang agak terlalu malam, dan kadang juga diiringi hujan? Tapi saya terus melakukannya. Mungkin karena saya suka. Atau mungkin karena ternyata saya tidak memiliki kawan selain kawan saya di sana. Atau mungkin karena ternyata saya gagal ikut kompetisi penyiar radio (dan tidak mau mencobanya lagi). Atau mungkin karena saya merasa ada jalan kecil bagi keinginan saya yang besar itu di sana. Mungkin, dan mungkin. Dan saya tetap berada di sana.

Berada dalam kompleksitas pemikiran yang begitu beragam, pada akhirnya seseorang harus memilih yang terbaik dengan dirinya sendiri. Tidak perlu merubah banyak hal. Tidak perlu menjadi orang lain. Tidak perlu memaksakan orang lain.

Dan saya pun bersyukur berada di sana, karena akhirnya sepenuhnya menyadari dan mengerti bahwa menjadi mahasiswa adalah sama sekali bukan hal yang keren seperti dalam pandangan saya sebelumnya.

Belajar memahami bahwa kita berhak sepenuhnya atas diri kita sendiri. Pemahaman ini saya terima mentah-mentah ketika saya dan teman-teman seangkatan menjadi generasi termuda di tahun itu. Waktu itu sedang ada pemetaan ulang terbitan. Dan terbitan pertama kala itu, bicara tentang anak muda. Ternyata kita tak harus selamanya menjadi bagian dari satu sistem atau kelompok tertentu. Ternyata kita tak selamanya harus rajin berdemo untuk menentang sesuatu. Dan semacamnya. Waktu itu mungkin saya sedang tidak sadar, bahwa generasi-generasi sebelum saya sedang membuat revolusinya yang terbaru: bergerak secara kreatif memaksimalkan kemampuan dirinya sendiri. Sesuatu yang kian jelas terlihat sekarang-sekarang ini.

Anak bawang. Saya sang anak bawang, sepertinya telah menemukan rumah keduanya. Mungkin satu kali kita pernah menyebutnya keluarga, sesuatu yang bahkan masih terbawa sampai sekarang. Panggilan macam Mbah Kung, Teteh, Akang, Abang, Mami, Papi, Dad, atau mungkin yang lainnya. Kedekatan aneh yang entah bermula dari mana. Mungkin dari kejujuran akan satu mimpi yang selalu diamini bersama. Kejujuran akan ketidakpercayadirian yang akan dilanjutkan dengan kalimat-kalimat dorongan yang tulus. Saling menertawakan. Atau justru kemarahan-kemarahan kecil yang akhirnya menyadarkan bahwa memang tidak ada orang yang sempurna, dan lalu menerimanya dengan pemakluman, “Dia emang orangnya kayak gitu,” lalu tertawa kecil.

Kata kawan saya, semua hal itu pada akhirnya bersifat politis. Siapa di posisi apa, siapa akan melakukan apa, semua orang akan menilainya.  Tanpa disadari, mata kita melihat, telinga kita mendengar, otak kita menilai, dan lalu hati kita turut merasa. Semuanya campur aduk menjadi satu.

Kembali lagi. Barangkali, jika saja kamu bukan seseorang yang memang benar-benar ingin belajar, sebaiknya kamu segera keluar di tahun pertama. Abaikan ketika ada lobi dari senior. Karena sekali kamu menerima sebuah tanggungjawab, itu berarti kamu harus bertanggungjawab hingga akhir. Akhir itu tak hanya ketika kamu selesai di satu masa kepengurusan atau masa produksi, akhir itu akan datang ketika kamu merasa tanggungjawabmu selesai. Dan tanggungjawab itu, ternyata pun tak segampang yang terlihat.

Ada tanggungjawab untuk menerima warisan dari mereka yang sebelumnya telah melakukan yang terbaik. Menerima dengan apa adanya tanpa banyak protes akan lebih baik. Tetapi melakukan sesuatu yang bisa menjadikan lebih baik semampumu itu rasanya akan lebih tepat untuk dilakukan. Menjalankan semuanya sebaik-baiknya, kalau kamu rasa kamu benar, lakukan dengan penuh pertanggungjawaban dengan berani bicara, berani meminta maaf kalau menjadi tidak menyenangkan, berani menyelesaikan. Dan terakhir, menyiapkan mereka yang akan menggantikanmu suatu hari nanti.

Yang terakhir adalah yang paling sulit. Bagimu yang tak pernah merasa dimanjakan, tentu kamu tak merasa perlu untuk memanjakan orang. Bagimu yang merasa tak pernah dipaksa, rasanya juga pasti akan sangat menyebalkan untuk memaksa orang.

Tentu saja saya tidak berhasil mengakhiri perjalanan di sana dengan mulus dan sempurna. Selain setumpuk ilmu dan ikatan-ikatan hubungan persaudaraan yang seperti ikatan sapu lidi, kadang menguat, kadang pula ikatannya mengendur.

Krikil-krikil itu dalam waktu satu atau dua tahun akhirnya menjadi bahan guyonan yang kadang agak menyakitkan. Pemahaman yang berubah-ubah terhadap seseorang. Penilaian yang seringkali berubah seratus delapan puluh derajat pada yang lainnya. Belum lagi unek-unek pribadi yang berkisar antara siapa dulu pacarnya siapa, kini siapa jadi pacarnya siapa. Atau siapa dulu ditolak siapa, kini siapa menolak siapa. Siapa dulu terlalu keras berdebat dengan siapa, siapa kini tak pernah bicara dengan siapa.

Kadang rasanya semuanya seperti basa-basi yang terlalu panjang. Melelahkan. Seperti saya yang juga akhirnya lelah sendiri, dulu bicara terlalu banyak. Meski saya tidak pernah lelah dan menyesal untuk bermimpi sebanyak mungkin.

Saya tak lagi terlibat kegiatan-kegiatan LPM Kentingan tepat di semester terakhir saya kuliah.

Pada satu hari seorang kawan bercerita tentang ketidaknyamanan apabila, apabila, jika dan jikaa. Saat itu saya seakan bertekad, saya tidak akan melakukan apa yang membuatnya tidak nyaman. Lagipula siapa yang suka dengan konsep senioritas dan yang agak galak-galak gimana gitu? Di saat itulah saya harus mundur selangkah demi selangkah. Benar, seekor anak burung akan mampu dengan sendirinya belajar sendiri, karena dia memanglah burung yang ditakdirkan untuk terbang. Kecuali ia memilih menjadi burung unta dan berdiam saja tanpa pernah merasakan hangatnya angin di ketinggian sana.

Makanya saya selalu salut pada mereka yang selalu mampu dan mau untuk terus mengajari burung-burung kecil berani terbang. Tidak menjadi burung dewasa yang malah memilih bermigrasi ke negeri berbeda musim. Seperti saya.

****

Dua tahun lalu. Saya baru saja selesai shooting untuk tugas kuliah sedari pagi. Waktu itu sisa-sisa hujan masih tarasa. Selesai mandi, saya menyalin satu puisi dari sebuah buku untuk dibacakan nanti. Mengepas rok panjang saya dan bergegas ke auditorium dengan meminjam motor teman kost saya, karena gagal mendapatkan tebengan karena semua orang sudah di sana.

“Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.

Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca – suka atau tidak pada hasilnya.” (Lilin Merah – Filosofi Kopi, Dee)

Malam ini saya berkaca. Sejelas-jelasnya.

Saya kini benar-benar jauh dari semuanya yang dulu Kentingan pernah berikan. Tapi tentu ada baiknya juga untuk melakukan sesuatu yang lainnya lagi. Dan merasakan hal yang baru lagi. Belajar satu hal yang lebih besar lagi.

Kini saya tahu. Tidak percuma beberapa orang tidak setuju dengan saya. Tidak percuma beberapa orang membuat saya seperti anak kecil yang menangis hanya karena keinginannya tidak kesampaian dan dibuat marah. Tidak percuma saya disuruh diam. Karena akhirnya saya tahu saya harus melakukannya saat itu daripada sekarang.

Suka atau tidak suka pada hasilnya. Rasanya sudah sangat lama saya tidak pernah berhubungan lagi dengan UKM yang justru menjadikan saya seperti ini. Seperti lidi terlepas dari ikatannya. Akhirnya saya bertemu tanah yang membuat saya ingat akan segala-galanya. Bahwa, seperti mencontek Hasan di status Facebook-nya, terimakasih untuk Kentingan karena telah mendidik dengan baik dan benar.

Saya tahu, saya masih saja cerewet dan banyak omong. Kalau tidak, saya tidak perlu menulis catatan sepanjang ini. Anggap saja ini pledoi.

Karena, seperti yang lainnya, saya pun pernah merasa tidak ada gunanya berada di sana. Tapi untuk ketiga kalinya saya akan bilang, , jika saja saya bukan seseorang yang memang benar-benar ingin belajar, saya sudah akan keluar di tahun-tahun pertama atau kedua. Begitupun saya akan bilang pada teman-teman lain di sana. Tapi jika kamu tetap di sana, berarti kamu akan menerima semua tanggungjawab yang ada, tanpa mengeluh, tanpa menyalahkan siapa-siapa. Dan pada akhirnya, juga tanpa membenci siapa-siapa. Benar kan, ini pledoi. Atau mungkin berharap akan ada anak baru yang membacanya.

Dan akhirnya, terimakasih LPM Kentingan. Terimakasih semuanya, atas segalanya.

Banyak mereka yang telah berhasil menjadi jurnalis hebat. Bahkan founder satu media holder terkeren saat ini dan menjadi penggerak berbagai young movement. Pasti kau bangga. Mereka satu per satu meraih mimpinya.

Dan jika ada yang bertanya kenapa saya tak menjadi jurnalis? Pada satu waktu saya berhadapan dengan satu pertanyaan, “Menjadi jurnalis dan kehilangan beberapa hal. Atau tetap menulis dan saya mendapatkannya satu per satu?” Kalian tahu saya memilih yang mana. Meski kalian mungkin tak mau mendenger penjelasan saya. Tentu saja ini pledoi.
Toh setiap orang pada waktunya harus belajar banyak hal lainnya, saya kira. Semoga masih percaya tulisan bisa lebih tajam dari pedang. Hormat saya pada kalian semua di sana.

Tuesday, December 18, 2012

...anthems for a seventeen years old-girl: a night mantra

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me. Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.

Park that car. Drop that phone. Sleep on the floor. Dream about me.





(Anthems For a Seventeen Years Old-Girl - Broken Social Scene)
*there a thief. steal your dream. almost every night.


Saturday, December 15, 2012

...beloved: tentang sepatu dan cinta



Orang benar, sepasang sepatu akan mengantarkan sang empunya pada tempatnya yang pantas. Atau dalam tulisan ini selanjutnya, sepasang sepatu akan mengantarkan pemakaianya pada tempat yang tak ia duga sebelumnya.

that: pair of shoes!



Sang ibu dan anak :)

Paris di awal 60-an, Madeleine muda (Ludivine Sagnier) mengutil sepasang sepatu dari toko tempatnya bekerja.  Setiap hari melihat banyak perempuan mencoba sepatu-sepatu cantik sepertinya membuatnya ingin memiliki satu saja satu dari ratusan sepatu terbaru yang ada di toko itu. Diantara sedikitinya waktu yang tersisa sebelum toko tutup, syukurlah Madeleine berhasil menyelipkan sepasang heels kulit berwarna cokelat.

Dengan ujung meruncing dan bunyi haknya yang terdengar serenyah senyum bahagianya, Madeleine berjalan di sepanjang trotoar jalan menuju apartemennya. Berbolak-balik seperti bocah balita yang baru bisa berjalan. Si bocah terlalu senang bisa melangkahkan kakinya tanpa bantuan apapun. Ia berhasil membuat semua mata tertuju padanya, sampai langkah kesekian saat dia jatuh terduduk dan siap berdiri lagi.

Tak ada yang bisa menyangka jika sepasang sepatu ternyata juga mampu melipatgandakan rasa percaya diri. Madeleine terus berbolak-balik memamerkan sepatu baru hasil curiannya. Memamerkan rasa percaya dirinya yang melonjak begitu saja karena si sepatu cokelat itu. Hingga seorang lelaki mendekatinya, saling tersenyum, dan sedikit berbincang. Sebelum mereka berdua menghilang, masuk ke dalam apartemennya yang tak terlalu jauh.

Tak ada yang salah ketika beberapa laki-laki berkencan dengan Madeleine dan memberikannya uang tambahan disamping pendapatannya bekerja di toko sepatu. Pirang, cantik, dan mampu menghargai dirinya sendiri setinggi mungkin, Madeleine bahkan tak keberatan dipanggil pelacur. “My mother was a whore,” Véra (Chiara Mastroianni), yang besar di pembuka abad 21, mulai bercerita tentang ibunya.

Hidup Madeleine berubah ketika ia benar-benar jatuh cinta dengan salah satu langganannya, Jaromil Passer (Rasha Bukvic) seorang dokter asal Paraguai yang tengah belajar di Prancis. Atau tepatnya, Jaromil yang benar-benar jatuh cinta padanya. Diboyonglah Madeleine ke negaranya, melahirkan Véra, dan sayangnya, pernikahan keduanya tak dapat bertahan lama. Terjadi gencatan senjata Rusia, Jaromil berselingkuh, lalu Madeleine kembali ke Paris. Membawa serta Véra dengannya.

Dan di sinilah kisah yang sebenarnya terjadi. Seperti perjalanan mendaki gunung, sebelum menemukan puncak yang sebenarnya, kita akan bertemu padang-padang luas yang sekilas terlihat seperti puncak itu sendiri.

“Les Bien-Aimés (Beloved)”, menjadi salah satu film yang diputar pada “Festival Sinema Prancis” pekan lalu di Jakarta, dan akan menyusul kota-kota lainnya. Setelah beberapa kali membuka katalog, saya melingkari tiga film. Semunya drama. Karena waktu yang tidak terlalu panjang, saya hanya sempat menonton romcom satu ini.

Christophe Honore menulis dan menyutradarai sendiri karyanya ini. Film ini akan bercerita kisah cinta antara seorang ibu dan anak pada masa yang berbeda. Begitu kata sinopsis. Jelas saya tak akan melewatkannya. Dan ya, pemeran Madeleine tua dan Véra, Catherine Deneuve dan Chiara Mastroianni, juga seorang ibu-anak di luar peran mereka. Ya, mereka ibu dan anak yang sebenarnya.

Selanjutnya, sinematografi cantik khas film-film Eropa menyambut sejak menit pertama. Kata teman saya, kita akan bertemu dengan gambar-gambar indah, cerita agak sedikit absurd tapi membuat kita bilang “Iya, ya…”, dan tubuh-tubuh telanjang tanpa sensor jika melihat film-film Prancis. Dan memang benar. Semuanya ada di film ini, meski tentu saja, gambar-gambar telanjangnya tetap saja terlihat indah tanpa harus terlihat sensual atau bahkan berlebihan seperti gambaran cewek seksi sebelum menjadi kuntilanak di bioskop kita, yang sepertinya sudah mulai berkurang, amin.

Cerita masih berputar diantara Madeleine dan orang-orang di sekitarnya. Ia, suami barunya, François Gouriot dan Jaromil, sang mantan suami yang entah kenapa tetap saja menemuinya, dan ia temui, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun setelahnya. Juga Véra yang beranjak dewasa, dengan kisah cinta tak sampainya.

Kita akan bertemu dengan orang-orang yang mencintai hingga akhir hayatnya. Keberanian dan kebodohan, macam seorang kakek tua yang meminta seorang kakek lainnya untuk menceraikan istrinya, karena ia akan menikahinya. Si kakek  kedua tentu saja menolak menceraikan istrinya, tapi, tak apa jika si kakek pertama ini ingin tetap “melakukan apa yang kalian lakukan meski aku tak tahu, tapi Madeleine tatap istriku”. Atau Véra yang tinggal di London, jatuh cinta pada Handerson (Paul Scheneider), seorang drummer asal Amerika, yang ternyata gay dan mengidap Aids. Meski Clément (Louis Garrel), teman sesama guru dengan kisah tak kalah absurd, bersikeras tetap mencintainya.

Selain hubungan cinta, dan seks, yang absurd, kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh yang bernyanyi setiap saat, setiap waktu. Mungkin pikiran kita akan langsung melayang pada film-film Bollywood. Tapi tenang, mereka tidak menari-nari dan bersembunyi di balik pohon atau semak dan kemudian berpelukan. Sejujurnya ini agak menggelikan. Tapi ternyata, memasuki lagu pertengahan film, saya menanti mereka bernyanyi sambil merenungi nasibnya.

Hingga akhirnya kita akan tahu, bukan perihal cinta itu apa dan bagaimana akhir perjalanan kisah cinta mereka, yang lebih penting lagi adalah tentang bagaimana untuk menjalaninya begitu saja. Jaromil tua, yang begitu apik diperankan oleh Milos Forman, meninggal karena kepalanya kejatuhan batang pohon di pinggir jalan yang sedang dirapikan, dalam perjalanannya menyiapkan makan malam spesial bersama Medeleine. Véra juga meninggal setelah bertemu dengan Handerson di Amerika, melewatkan malam bertiga bersama pasangan homo Handerson.

Mereka mencintai dengan tulus. Dan kita juga akan bertemu dengan tiga orang lainnya yang mampu menyimpan cinta masing-masing dengan sama tulusnya. Madeleine dan cintanya untuk sang putri, sang suami, dan sang mantan suami yang unik. François dan cintanya untuk Madeleine. Serta Clément yang menata emosinya sedemikian rupa, hanya untuk mencintai Véra.

Dengan sangat halus, Honore menarik satu per satu apa yang sebenarnya sering kali terjadi di sekitar kita. Tak hanya di Paris. Tentang pasangan yang bercerai. Tentang hubungan seorang anak dengan orang tuanya, ketika orang tuanya berpisah. Tentang kisah cinta antara dua orang sahabat, yang seringkali tidak bisa berjalan lancar. Tentang kisah cinta seorang gay. Pengidap Aids. Kematian orang-orang tersayang. Dan, pasangan yang beranjak tua bersama. Itu semua ada di sekitar kita. Dan ternyata, saya harus susah-susah mencoba memahaminya dengan menonton film dari negara yang jauuh di sana.

Tanpa terlalu mendewakan film, yang tidak terlalu diunggulkan di festival kemarin, saya menyukai bagaimana tiap tokoh, meski berbeda generasi dan karakter, tidak terlalu memaksakan pakaian-pakaian yang dikenakan untuk mewakili dirinya masing-masing. Sang penata kostum lebih memilih pakaian-pakaian klasik yang tetap terlihat indah, meski dipakai seorang Madeleine muda ataupun tua. Selain itu, kita juga akan bertemu para aktor dan aktris senior yang entah kenapa, justru sangat mempesona. Dan tentu saja, bagian akhir ketika Madeleine yang semakin beranjak tua meninggalkan sepatu kulit cokelatnya di sebuah jalan.

Kita akan tahu, perjalanannya berakhir sudah. Begitupun filmnya.




sumber foto dari:

http://www.trenditude.fr/IMG/jpg/les-Bien-Aimes-Chiquette_b.jpg
http://lisathatcher.files.wordpress.com/2012/03/les-bien-aimes-de-christophe-honore-10454587wyfaw.jpg