Saturday, December 15, 2012

...beloved: tentang sepatu dan cinta



Orang benar, sepasang sepatu akan mengantarkan sang empunya pada tempatnya yang pantas. Atau dalam tulisan ini selanjutnya, sepasang sepatu akan mengantarkan pemakaianya pada tempat yang tak ia duga sebelumnya.

that: pair of shoes!



Sang ibu dan anak :)

Paris di awal 60-an, Madeleine muda (Ludivine Sagnier) mengutil sepasang sepatu dari toko tempatnya bekerja.  Setiap hari melihat banyak perempuan mencoba sepatu-sepatu cantik sepertinya membuatnya ingin memiliki satu saja satu dari ratusan sepatu terbaru yang ada di toko itu. Diantara sedikitinya waktu yang tersisa sebelum toko tutup, syukurlah Madeleine berhasil menyelipkan sepasang heels kulit berwarna cokelat.

Dengan ujung meruncing dan bunyi haknya yang terdengar serenyah senyum bahagianya, Madeleine berjalan di sepanjang trotoar jalan menuju apartemennya. Berbolak-balik seperti bocah balita yang baru bisa berjalan. Si bocah terlalu senang bisa melangkahkan kakinya tanpa bantuan apapun. Ia berhasil membuat semua mata tertuju padanya, sampai langkah kesekian saat dia jatuh terduduk dan siap berdiri lagi.

Tak ada yang bisa menyangka jika sepasang sepatu ternyata juga mampu melipatgandakan rasa percaya diri. Madeleine terus berbolak-balik memamerkan sepatu baru hasil curiannya. Memamerkan rasa percaya dirinya yang melonjak begitu saja karena si sepatu cokelat itu. Hingga seorang lelaki mendekatinya, saling tersenyum, dan sedikit berbincang. Sebelum mereka berdua menghilang, masuk ke dalam apartemennya yang tak terlalu jauh.

Tak ada yang salah ketika beberapa laki-laki berkencan dengan Madeleine dan memberikannya uang tambahan disamping pendapatannya bekerja di toko sepatu. Pirang, cantik, dan mampu menghargai dirinya sendiri setinggi mungkin, Madeleine bahkan tak keberatan dipanggil pelacur. “My mother was a whore,” Véra (Chiara Mastroianni), yang besar di pembuka abad 21, mulai bercerita tentang ibunya.

Hidup Madeleine berubah ketika ia benar-benar jatuh cinta dengan salah satu langganannya, Jaromil Passer (Rasha Bukvic) seorang dokter asal Paraguai yang tengah belajar di Prancis. Atau tepatnya, Jaromil yang benar-benar jatuh cinta padanya. Diboyonglah Madeleine ke negaranya, melahirkan Véra, dan sayangnya, pernikahan keduanya tak dapat bertahan lama. Terjadi gencatan senjata Rusia, Jaromil berselingkuh, lalu Madeleine kembali ke Paris. Membawa serta Véra dengannya.

Dan di sinilah kisah yang sebenarnya terjadi. Seperti perjalanan mendaki gunung, sebelum menemukan puncak yang sebenarnya, kita akan bertemu padang-padang luas yang sekilas terlihat seperti puncak itu sendiri.

“Les Bien-Aimés (Beloved)”, menjadi salah satu film yang diputar pada “Festival Sinema Prancis” pekan lalu di Jakarta, dan akan menyusul kota-kota lainnya. Setelah beberapa kali membuka katalog, saya melingkari tiga film. Semunya drama. Karena waktu yang tidak terlalu panjang, saya hanya sempat menonton romcom satu ini.

Christophe Honore menulis dan menyutradarai sendiri karyanya ini. Film ini akan bercerita kisah cinta antara seorang ibu dan anak pada masa yang berbeda. Begitu kata sinopsis. Jelas saya tak akan melewatkannya. Dan ya, pemeran Madeleine tua dan Véra, Catherine Deneuve dan Chiara Mastroianni, juga seorang ibu-anak di luar peran mereka. Ya, mereka ibu dan anak yang sebenarnya.

Selanjutnya, sinematografi cantik khas film-film Eropa menyambut sejak menit pertama. Kata teman saya, kita akan bertemu dengan gambar-gambar indah, cerita agak sedikit absurd tapi membuat kita bilang “Iya, ya…”, dan tubuh-tubuh telanjang tanpa sensor jika melihat film-film Prancis. Dan memang benar. Semuanya ada di film ini, meski tentu saja, gambar-gambar telanjangnya tetap saja terlihat indah tanpa harus terlihat sensual atau bahkan berlebihan seperti gambaran cewek seksi sebelum menjadi kuntilanak di bioskop kita, yang sepertinya sudah mulai berkurang, amin.

Cerita masih berputar diantara Madeleine dan orang-orang di sekitarnya. Ia, suami barunya, François Gouriot dan Jaromil, sang mantan suami yang entah kenapa tetap saja menemuinya, dan ia temui, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun setelahnya. Juga Véra yang beranjak dewasa, dengan kisah cinta tak sampainya.

Kita akan bertemu dengan orang-orang yang mencintai hingga akhir hayatnya. Keberanian dan kebodohan, macam seorang kakek tua yang meminta seorang kakek lainnya untuk menceraikan istrinya, karena ia akan menikahinya. Si kakek  kedua tentu saja menolak menceraikan istrinya, tapi, tak apa jika si kakek pertama ini ingin tetap “melakukan apa yang kalian lakukan meski aku tak tahu, tapi Madeleine tatap istriku”. Atau Véra yang tinggal di London, jatuh cinta pada Handerson (Paul Scheneider), seorang drummer asal Amerika, yang ternyata gay dan mengidap Aids. Meski Clément (Louis Garrel), teman sesama guru dengan kisah tak kalah absurd, bersikeras tetap mencintainya.

Selain hubungan cinta, dan seks, yang absurd, kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh yang bernyanyi setiap saat, setiap waktu. Mungkin pikiran kita akan langsung melayang pada film-film Bollywood. Tapi tenang, mereka tidak menari-nari dan bersembunyi di balik pohon atau semak dan kemudian berpelukan. Sejujurnya ini agak menggelikan. Tapi ternyata, memasuki lagu pertengahan film, saya menanti mereka bernyanyi sambil merenungi nasibnya.

Hingga akhirnya kita akan tahu, bukan perihal cinta itu apa dan bagaimana akhir perjalanan kisah cinta mereka, yang lebih penting lagi adalah tentang bagaimana untuk menjalaninya begitu saja. Jaromil tua, yang begitu apik diperankan oleh Milos Forman, meninggal karena kepalanya kejatuhan batang pohon di pinggir jalan yang sedang dirapikan, dalam perjalanannya menyiapkan makan malam spesial bersama Medeleine. Véra juga meninggal setelah bertemu dengan Handerson di Amerika, melewatkan malam bertiga bersama pasangan homo Handerson.

Mereka mencintai dengan tulus. Dan kita juga akan bertemu dengan tiga orang lainnya yang mampu menyimpan cinta masing-masing dengan sama tulusnya. Madeleine dan cintanya untuk sang putri, sang suami, dan sang mantan suami yang unik. François dan cintanya untuk Madeleine. Serta Clément yang menata emosinya sedemikian rupa, hanya untuk mencintai Véra.

Dengan sangat halus, Honore menarik satu per satu apa yang sebenarnya sering kali terjadi di sekitar kita. Tak hanya di Paris. Tentang pasangan yang bercerai. Tentang hubungan seorang anak dengan orang tuanya, ketika orang tuanya berpisah. Tentang kisah cinta antara dua orang sahabat, yang seringkali tidak bisa berjalan lancar. Tentang kisah cinta seorang gay. Pengidap Aids. Kematian orang-orang tersayang. Dan, pasangan yang beranjak tua bersama. Itu semua ada di sekitar kita. Dan ternyata, saya harus susah-susah mencoba memahaminya dengan menonton film dari negara yang jauuh di sana.

Tanpa terlalu mendewakan film, yang tidak terlalu diunggulkan di festival kemarin, saya menyukai bagaimana tiap tokoh, meski berbeda generasi dan karakter, tidak terlalu memaksakan pakaian-pakaian yang dikenakan untuk mewakili dirinya masing-masing. Sang penata kostum lebih memilih pakaian-pakaian klasik yang tetap terlihat indah, meski dipakai seorang Madeleine muda ataupun tua. Selain itu, kita juga akan bertemu para aktor dan aktris senior yang entah kenapa, justru sangat mempesona. Dan tentu saja, bagian akhir ketika Madeleine yang semakin beranjak tua meninggalkan sepatu kulit cokelatnya di sebuah jalan.

Kita akan tahu, perjalanannya berakhir sudah. Begitupun filmnya.




sumber foto dari:

http://www.trenditude.fr/IMG/jpg/les-Bien-Aimes-Chiquette_b.jpg
http://lisathatcher.files.wordpress.com/2012/03/les-bien-aimes-de-christophe-honore-10454587wyfaw.jpg

No comments:

Post a Comment