Monday, January 30, 2012

...titik balik antara mimpi dan kenyataan (hasil menonton An Education)


 “The life I want, there’s no shortcut.” – Jenny Mellor

Jenny Mellor *ketika memutuskan untuk meninggalkan sekolahnya.

Siapa itu Jenny Mellor?

Dia adalah perempuan muda berumur tujuh belas tahun dari kelas menengah Inggris dan hidup sebagai bagian flower generation pada awal medio 60-an. Seperti setiap perempuan muda penuh mimpi, impian Jenny sederhana. Menjadi seorang perempuan berpendidikan lulusan Oxford, kelak akan mengunjungi atau justru tinggal di Paris –berbelanja, menikmati film dan musik bagus, menikmati seni kelas tinggi, dan memiliki suami mapan. Sempurna dan sederhana, kan?

Jenny hanyalah seorang siswa sekolah khusus perempuan dengan peraturan yang ketat, bermain cello, dan pemilik nilai tertinggi dalam kelas sastra (sastra Inggris), sekaligus memiliki nilai buruk untuk kelas latin. Tapi, bukankah setiap perempuan memiliki mimpi, yang dengan cara apapun, dia akan berusaha untuk meraihnya? Meskipun ia pandai dan sadar akan kepandaiannya, bukan berarti hidup Jenny tanpa tekanan. Apalagi, ayahnya begitu berambisi memasukan Jenny ke Oxford. Dengan dalih mahalnya biaya pendidikan, Jenny seringkali hanya diam melihat kekolotan ayahnya.

Dan, bagaimana jika pada satu hujan yang deras, seorang pria, yang bisa saja mewujudkan semua mimpi Jenny datang dalam hidupnya?

Bukan seperti Graham, teman dalam kelas cello yang menyukai Jenny, tapi seorang pria dengan segala hal yang bisa saja, memenuhi semua keinginan Jenny. Dia adalah David, seorang pria mapan, flamboyan, pintar, kolektor barang-barang seni, menyukai musik, dan yang pasti, mampu mewujdukan mimpi Jenny ke Paris.

Ketika David mampu menarik perhatian Jenny, - dan tentu saja David tertarik pada Jenny, pun berhasil menarik perhatian kedua orang tua Jenny yang kolot. David berhasil melepaskan Jenny dari diri seorang gadis SMA menjadi seorang perempuan yang dicintai. Jenny pun jatuh cinta. Jenny mendapatkan sesuatu yang ia mimpikan di masa-masa dewasanya kelak. Konser musik klasik, makan malam di restoran mahal, galeri seni, pakaian-pakaian indah, bepergian ke luar kota di akhir pekan, dan, tentu saja: Paris.

Parisssss....!!!!
The life that Jenny ever dream...
Bukan hal biasa bagi seorang Jenny dan latar belakangnya. Bahkan, bisa dibilang, Jenny tidak menyangka ia mendapatkan semua yang ia inginkan. Jenny menikmatinya. Itulah kehidupan yang ia inginkan, telah ia genggam. Hidup yang ia dapatkan dari seorang David. Maka, tidak menjadi luar biasa pula ketika Jenny memilih keluar dari sekolah ketika David melamarnya. Ya, Jenny lupa akan keinginannya masuk Oxford. Bahkan kalimat dari Miss Stubs, guru Sastra Inggrisnya dan kepala sekolahnya tidak ia pedulikan. Dengan bangga ia memamerkan cincin tunangannya. Baginya, inilah hidup yang ia impikan.

Maka, cerita dalam hidupnya menjadi lain dan akan berubah, ketika tanpa sengaja Jenny menemukan surat di dashboard mobil David. Malam itu, mereka sekeluarga akan makan malam bersama untuk merayakan lamaran David. Jenny diam dan menahan sesak meminta David mengantarkan mereka kembali ke rumah. Jenny tahu, ada yang salah dalam keputusannya untuk menerima lamaran David.

A girl, treated like a woman, a dream come true uh? *ini sebelum makan malam merayakan lamaran David.

“Mr. and Mrs. Goldman,” begitulah tertulis dalam amplop surat yang Jenny temukan. Ya, David ternyata sudah menikah.

Tapi David pecundang. Bukan lagi gentleman yang mewujudkan semua mimpi Jenny. Meski menyatakan akan menceraikan istrinya, nyatanya David tidak berani menemui kedua orangtua Jenny untuk memberikan penjelasan. Hidup Jenny berhenti. Tidak ada hidup indah seperti dalam mimpinya, dan ia, bukan lagi seorang siswa sekolah menengah.

Tentu kita tidak lupa bahwa Jenny bukan siswi bodoh. Dia adalah kandidat terkuat untuk belajar sastra di Oxford. Dengan rendah hati ia meminta kepala sekolahnya untuk diizinkan mengikuti ujian kelulusan. Sayangnya, ia tidak mendapatkan kesempatan itu. Saat itulah Jenny menyadari, tidak ada jalan pintas untuk mewujudkan hidup yang ia bayangkan. Ada tahapan-tahapan tertentu dalam hidup yang harus dilewati untuk menuju kehidupan dalam mimpinya itu.

Dan, salah satu tahapan itu adalah, pendidikannya. Oxford, bagi Jenny.

Inilah titik balik dimana Jenny sadar, ia justru mengacaukan hidupnya sendiri. Tapi tentu bukan seorang Jenny, ketika ia tidak mampu mewujudkan harapannya. Dengan bantuan Miss Stubs, gurunya, yang sempat ia anggap memiliki kehidupan membosankan, tapi, nyatanya memiliki kehidupan yang menyenangkan dalam standar Jenny.

Keberaninnya mendatangi rumah David dan melihat istri serta anak David, menemui kepala sekolah, menemui Miss Stubs, kembali membuka buku-bukunya, menuliskan esainya, berdamai dengan perasaannya sendiri dan dengan kedua orang tuanya, justru menjadi tahapan penting dalam kehidupan Jenny. Tahapan atau titik balik yang tentunya dimiliki oleh setiap orang. Di bagian inilah, emosi saya sebagai penonton diaduk-aduk dan ikut terseret mengikuti perasaan dan pemikiran Jenny.

Bagaimana kalau saya Jenny? Bagaimana kalau kita Jenny?

Apakah kita akan cukup berani menemui istri dari laki-laki yang jelas-jelas melamar kita? Memohon kembali ke sekolah padahal kita tahu pasti kita akan ditolak? Kembali belajar? Dan, kita melakukannya sendiri?

Saya membayangkan, jika itu adalah saya. Barangkali itu semua yang melakukan ayah saya, sementara saya menangis berhari-hari di dalam kamar. Karena begitulah budaya kita, orangtua selalu ikut campur dalam segala hal. Atau entahlah, karena itu adalah masalah Jenny, bukan saya.

Tapi Jenny nyatanya mampu membuat saya berfikir agak panjang. Apa yang terjadi di London, Inggris sana hampir lima dekade lalu, barangkali baru terjadi di masyarakat kita baru-baru ini, atau setidaknya satu atau dua dekade ini. Seberapa besar, kesadaran akan pentingnya belajar dan mengejar apa yang kita (perempuan) inginkan? Atau dalam hal lain, pilihan awal Jenny untuk memilih pernikahan dan kehidupan menjadi seorang istri masih menjadi pilihan pertama beberapa orang di masa kini, bahkan mungkin saya, jika dihadapkan pada kondisi yang sama. Ah, ini nglantur saja.

Karena sesungguhnya sejak pertama menonton film ini awal tahun lalu, saya jatuh cinta dengan karakter Jenny dan segala yang ada dalam film ini. An Education adalah film karya sutradara Lone Scherfig yang diproduksi pada tahun 2009. Cerita dalam film ini adalah kisah adaptasi dari memoir Lynn Barber, seorang jurnalis perempuan di Inggris, yang dimuat pada majalah Granta, sebuah majalah yang memuat cerita pendek.

Iya, ini adalah kisah masa muda Lynn yang diperankan dengan apik oleh Carey Mulligan. Dan bukan pilihan salah ketika mengadaptasi cerita ini menjadi film drama, yang bagi saya, sangat perempuan. Sosok David, yang diperankan oleh aktor Hollywood Peter Sarsgaard , pun mampu menarik hati untuk menjatuhkan pilihan padanya. Ketimbang “reading English”, istilah yang digunakan untuk menggambarkan tentang belajar sastra Inggris. Gambar dan dialog yang sederhana namun berisi menjadi poin lain, selain cerita dan karakter Jenny yang begitu kuat, yang menjadikan film ini menjadi film favorit saya, dan membuat saya menontonnya berkali-kali. Tapi baru ingin menuliskannya sekarang.

Secara pribadi saya memang menyukai film dengan karakter utama seorang perempuan yang kuat. Selain tampilan karakter yang kuat (akting si aktris), dan juga karakter yang digambarkan kuat. Dan di sini, Carey Mulligan berhasil menggambarkan karakter Jenny yang kuat dengan “kuat”. Membuat saya sekaligus menimbang: jika saya sekarang harus dihadapkan pada pilihan atas laki-laki atau menyelesaikan belajar saya. Saya akan memilih untuk menyelesaikan belajar saya, barangkali.

Dan tentu saja, saya tertampar sekaligus setuju, dengan kalimat “The life I want, there’s no shortcut.” Tentu saja, seperti nasihat banyak orang atau kata-kata bijak banyak orang, ada tahapan dan waktu tersendiri dalam hidup kita. Tentang menjadi apapun yang kita inginkan. Lalu saya percaya tentang adanya jalan yang berbeda dan kesempatan yang berbeda bagi tiap orang. Lalu saya teringat nasihat ibu saya, tentang menjadi “Sabar, ikhlas, dan legowo (berbesar hati)”. Maknanya hampir sama. Intinya, ketika kita melakukan sesuatu, mungkin kita akan melakukan kesalahan, tapi kita harus terus berusaha yang terbaik bukan, apapun hasilnya, kita harus menerima dan terus mengusahakan yang terbaik. Itulah sabar, ikhlas, dan legowo. Ibu saya lahir tahun 1967, ibu saya seorang Jawa tulen dan Muslimah tulen pula, bukan Jenny Mellor ataupun Lynn Barber, seorang Inggris dan Katolik, tapi mereka sama-sama perempuan. Dan, mereka sama-sama mengajarkan untuk menjadi seorang perempuan, yang kuat (?).

Aduh, saya kenapa ini?

Ini bukan review film, ini cuma curhat kok. Jangan bandingkan dengan tulisan di rumahfilm atau cinemapoetica. Saya menonton film ini dua kali dalam seminggu ini. Dan, mungkin, saya pernah mendapatkan semua yang saya inginkan sebelumnya. Tapi, pada akhirnya saya tahu, seperti halnya Jenny juga sadar di kemudian hari, tidak ada jalan pintas untuk semuanya. Termasuk setiap tahapan ketika kita berusaha menyelesaikan “those education things”. Inilah tahapan yang harus dilewati…

Bukan hanya oleh seorang perempuan, tapi oleh semua orang…

Kita, yang pernah bercita-cita ingin menjadi apapun, walaupun begitu membenci sistem pendidikan di kampus kita, semoga tidak pernah lupa untuk menyelesaikan ini semua. Ada baiknya kita selesaikan ternyata. Karena setelah ini, akan banyak hal yang lebih besar yang akan kita pelajari…

Ya, Jenny belajar di Oxford. Jenny melupakan kisahnya dengan David. Jenny memulai tahapan hidupnya tanpa jalan pintas apapun…

“So, I went to read English books, and did my best to avoid the spicy, spotty fate that Helen had predicted for me. I probably looked as wide-eyed, fresh and artless as any other student. But I wasn’t. One of the boys I went out with, and they really were boys, once asked me to go to Paris with him. And I told him I’d love to, I was dying to see Paris, as if I’d never been.”

Ini, Helen dan Jenny. Hellen itu semacam oh-wauw dan anggun banget kan??
*(Helen itu, dia pacar teman David, Danny. Mereka biasanya double-date gitu, tapi merahasiakan atau tepatnya tidak berani mengatakan kepada Jenny tentang status David yang sudah menikah. Helen, katakanlah, merupakan tampilan yang diimpikan Jenny juga, dia fashionable dan benar-benar gambaran perempuan anggun yang menyenangkan, walaupun agak bego dan menganggap belajar agak kurang pentin)

Kind a, move-on. Uh?

Dan, perempuan mana yang tidak ingin, sekedar menginjakan kaki di Paris, melihat lampu-lampunya, memakai Chanel No. 5 (yang asliiiiiii!!!!), dan, melakukannya dengan seorang laki-laki yang dicintainya dan mencintainya, dan dia yang mewujudkan itu semua…??? But wait, there will comes that time when you’ll get it all. Be patient.

Teretetetttt… mule ngayal! 

*anyway, saya lupa, dari siapa saya mendapatkan film ini. serius. ada aja di laptop saya. kandidat pertama, dapat dari sahabat dan abang saya Agung Purnama atau, dari seorang kawan yang addict film bagus, Ardyan M. Erlangga (Yandri) waktu dia berkunjung ke Solo. siapapunlah, terimakasih... :)

Saturday, January 28, 2012

...heiho, sekaten, here we go!


Saya kira, rasa senang dan tumpahnya itu adalah, ketika saya menyadari bahwa, barangkali, setelah ini, saya tidak lagi memiliki kesempatan seperti semalam. Atau malam-malam sebelumnya.



Saya tidak suka keramaian yang teramat-sangat. Sangat, dan sangat. Banyak orang dan suara yang tidak jelas. Termasuk konser musik, yang penyanyinya saya nggak mudeng atau outdoor dan berangin atau panas. Termasuk sekaten. Hampir lima tahun di Solo, sepertinya saya tiap tahun ke sekaten. Jadi, saya datang ke keramaian?

Akhirnya iya. Waktu pertama kalinya ke sekaten tentu karena saya penasaran sekaten itu apa… dan kalau tidak salah, itu adalah jaman tahun pertama menjadi anggota LPM dan harus liputan, jadi, waktu itu saya tidak di sekatennya malah, karena terlalu sesak, tapi di keratonnya. Termasuk waktu prosesi gunungan, saya waktu itu motret, jadi juga di keraton dan ikut dibelakang rombongan untuk masuk Masjid Agung. Walaupun sampai gunungan diturunkan, saya memilih mundur dan memotret dari kejauhan, karena ratusan orang yang berebut gunungan. Dan hanya memperhatikan satu kawan saya yang memanjat salah satu tiang masjid untuk mengambil gambar. Saya dehidrasi.

Tahun kemarin saya juga ke sekaten, bersama kawan-kawan LPM, karena waktu itu habis semacam rapat terus ingin keluar bersama. Hanya muter-muter dan membeli kerak telur. Karena kita datang sabtu malam, dan sekaten penuh dengan lautan manusia, dan kita bingung, jadi kita hanya berjalan mencari tempat paling longgar dengan jalan membentuk iring-iringan kereta. Waktu itu saya memegang kencang tas Hasan yang jalan paling depan, dan dibelakang saya Syauqi memegang tas saya juga. Sumpah, sesak.

Itulah masa saya benar-benar pengen naik bianglala.

Setahun berburu pasar malam, dan tidak kesampaian.

Karena beberapa teman tahu saya bener-bener pengen naik bianglala, atau istilah lainnya dermolem/dermolen/dremolem/dremolen, (waktu saya belum tahu namanya saya menyebutnya “kurungan manuk”, karena nanti kita akan naik semacam rumah burung), satu malam saya diajak ikut ke sekaten. Ahahai, waktu itu kita bertujuh. Dan, tentu saja, saya riang gembira sampai sana, dan tujuan pertama adalah bianglala di bagian paling depan sekaten. Cuma lima ribu. Ahahahai.

Saya kira saya akan naik sebuah “kurungan manuk”, diputer pelan ke atas, lalu melihat lampu dari atas. Iya, saya seneng melihat lampu. E, tapi, e, tapi, sialnya, bianglalanya diputar sangat cepat dan digoyang-goyang tempatnya, dan, lamaaaaaaaa. Setengah permainan saya masih bisa menikmati dan teriak-teriak girang. Tapi, setengah setelahnya, yang ada saya mual tidak karuan. Saya lemes, mes, mes, meessssss.

Tapi kita ingin bersenang-senang malam itu. Jadi, saya ikuti naik permainan bernama “ombak banyu”, nanti, kita akan di semacam-ombakan gitu (???), jadi diputar cepat sekaligus meliuk ke atas dan ke bawah. Dan, hahaha, saya memilih turun di dua menit pertama. Badan saya tidak karu-karuan. Dan, iya, sebelum akhirnya saya benar-benar muntah sembarangan di rumput sekaten. Aish. Benar-benar memalukan. Sebelum saya hanya duduk dari bawah, sementara Leila, Dhimas, Nanda, Nindya, Zulfa, dan Julia melambai-lambaikan tangan dari atas. Dan saya membalasnya pelan, sambil membersihkan sandal, tangan, dan rambut saya.

Saya merasa, saya benar-benar tidak jodoh dengan permainan-permainan macam itu.

Tapi saya tentu tidak akan melewatkan ajakan sahabat-sahabat baik saya, kebetulan kita lama sekaaaali tidak berkumpul bersama, padahal biasanya kita sering makan bersama sambil ngobrolin berbagai tugas kuliah. Saya, Leila, Maman dan Tika (pacarnya), Ajik, Maulana, Pusa, Dini, dan Andre, dan plus teman kost Pusa.

Saya berjanji tidak akan naik yang aneh-aneh lagi. Karena kita berangkat sendiri-sendiri, saya, Leila, Tika, dan Maman yang pertama-tama sampai. Kita menunggu teman-teman dengan duduk di deretan kursi untuk menunggu penumpang kereta kelinci. Okai, lima belas menit pertama baik-baik saja, tapi, menit-menit selanjutnya adalah suara yang sangat ramai dan kepala mulai pusing. Begitupun yang dirasakan Leila dan Tika. Mamannya motret ke mana-mana. Sambil menunggu, kita naik kereta kelinci. Hhhaaa… permainan paling santai. Tapi, e, tapi, ternyata tidak juga. Karena kereta kelinci memiliki semacam sirine yang super kerassssssssss. Dan, itu cukup membuat kita mengernyitkan dahi.

Yang lain belum juga datang. Jadi kita memutuskan masuk arena sekaten dan mulai memotret. Ajakan tempo hari emang untuk foto-foto saja. Kebetulan, Solo sedang tidak hujan dan udara cukup segar. Selang lama, teman-teman yang lain datang, dan kita mulai jalan-jalan. Lalu Pusa menantang semuanya naik kora-kora. Saya tidak setuju. Sebagian yang lain setuju. Tapi saya akan tidak naik, begitu pun Tika. Kita motret saja, kata saya.

Tapi ini adalah pertemanan bukan? Tika akhirnya naik, setelah Maman berhasil membujuk. Dan saya dibelikan tiket, baiklah, mari kita naik kora-kora, yang pada kali sebelumnya berhasil membuat Nindya, tepar sehari-semalaman setelah naik kora-kora.

Oke, saya ketakutan pas saya di ketinggian. Tapi Dini, yang duduk di samping saya malah lebih ketakutan. Sampai nangis nggak jelas. Dan Leila, di samping saya yang lain, justru santai. Dan, ternyata, setelah turun, justru Maman teman saya yang tadinya sangat bersemangat yang merasakan efek jackpot permainan seperti itu.

Rasa mual di perut, gemetaran di seluruh badan, pusing di kepala, mata berkunang-kunang, dan keringat dingin.

Setelah menyelesaikan foto-foto dan beberapa teman masih asyik motret, kita berlanjut ke pasar Gede, di sana, tiap imlek pasti penuh dg lampion. Kita menyempatkan foto-foto sebentar, untuk kemudian makan. Saya tadinya mau tidak makan, karena perut yang agak tidak karu-karuan dan dompet saya ketinggalan (sempat kepikiran hilang, tapi ternyata benar-benar ketinggalan).

Kita makan rica-kare, dan saya tambahkan banyak-banyak jeruk nipis, dan saya makan sampai habis. Dan, perut saya kembali tenang. Ahahahi, sepertinya saya lapar. Tapi, intinya adalah, semalam, dan malam-malam sebelumnya, ketika saya hampir tidak kuasa menolak ajakan teman-teman untuk keluar bersama, sekedar makan atau ke mana, atau ke mana. Itu karena, sekarang, kita jarang banget bisa tertawa bersama semacam itu.

Seperti semalam, waktu makan, saya sadar, sudah lamaaa sekali tidak bertemu Dini dan Ajik dan ngobrol tentang banyak hal. Sampai saya sadar, kapan lagi bisa makan seperti itu lagi bersama-sama… mereka…

Kita memang penggemar rica-kare di perempatan Novotel-Sami Luwes. Dulu, sering sekali kita makan di situ. Sampai semalam kita sadar, lamaaa sekali tidak bertemu. Dan, saya akan segera ujian juga. Dan mereka juga masih dengan bermacam kegiatan, macam jadi kontributor berita dan lain sebagaianya… ah, saya jadi sentimentil sekali yah.

Tapi apa yang lalu tidak menjadi sentimentil, kalau kita sadar, kesempatan semacam itu sudah menjadi sangat langka, dan kita semua ternyata sama-sama merindukannya…

Seperti saya tidak menyangka pas satu teman saya bilang, “Ngajak atuna mangan ki neng kare ki loh, rak neng nggon steak. Ho’oh?” Hhhaaa. Iya, mereka semua masih mengingat saya yang sukanya makanan Jawa dan agak tidak suka dengan daging. Walaupun seminggu kemarin ngidam KFC…

Ah. Gitu lah, pokoknya.

Lupalah saya sama betapa bikin mualnya permainan dan ramainya sekaten, karena lampunya indah dan anak-anak banyak tertawa. Termasuk teman-teman yang tertawa menertawakan orang yang kena jackpot setelah naik permainan di sekaten.

...antara Summer Finn dan rambut panjang saya (untuk Vicky...) :)


Saya terdiam sebentar memegang rambut saya dan masih tetap memagang gunting. Apakah saya baru memotong rambut panjang saya? Ternyata tidak. Hanya hampir.

Entah kanapa, tadi pagi, sebelum mandi, saya ingin sekali memotong sebagian rambut saya. Saya pernah memikirkannya beberapa kali, tapi saya urungkan. Alasannya, sayang. Akhirnya, saya hanya melakukan hal biasa yang hampir selalu saya lakukan, yaitu memotong bagian poni saya ketika sudah jatuh menutupi mata atau terlalu panjang.

Iya, saya memotongnya sendiri. Terakhir ke salon rambut itu adalah sekitar dua tahunan lalu, waktu saya memotong bagian ikal rambut saya gara-gara sempat saya ikal beberapa tahun sebelumnya. Sejak itu, saya merasa agak tidak nyaman dengan salon rambut. Selain karena saya memang belum atau tidak menginkan bermacam perawatan atau pelayanan dari salon-salon itu. Dan saya semakin senang memotong-motong sendiri rambut saya.

Saya nggak sadar, rambut saya sepanjang ini. Walaupun tidak begitu tebal, tidak begitu sehat, dan kecoklatan. Percaya nggak percaya, rambut sehat itu adalah rambut yang belum pernah kena bermacam alat pemanas dan bahan kimia apapun. Karena sepertinya, jaman sma sebelum mewarnai rambut dengan warna cokelat tua yang sedang tren itu, rambut saya agak hitam. Sampai semalam, Leila, taman saya, dan beberapa teman sebelumnya bilang, kalau rambut saya panjang yah ternyata. Iya, ternyata iya. Lalu, paginya, saya pengen memotongnya beberapa centimeter.

Tapi tidak jadi.

Saya jadi ingat Summer Finn, yang katanya sangat mencintai rambut panjangnya, tapi juga senang mengguntingnya, dan begitu saja melupakannya. Dan dia juga agak kejam dalam hal relationship dan agak tidak punya perasaan. Saya jadi keinget beberapa orang  yang dengan lantang bilang kalau saya kayak Summer, dalam artian, agak-agak tidak punya perasaan. Bahkan, sahabat baik saya, Vicky, malah bilang, saya itu kayak Summer tapi saya nggak sadar, parah kan saya? Seakan-akan saya parah. Ya ampun. Serius, ini nggak seburuk itu. Itu hanya karakter dalam film.

Dan, saya, saya ternyata tidak senang menggunting rambut panjang saya, atau menggantinya dengan model-model tertentu. Karena ibu saya pernah bilang, kalau sudah sebesar ini, tidak perlu membuat potongan rambut yang aneh-aneh. Walaupun sebenarnya, dari dulu juga potongan rambut saya hanya lurus dan berponi. Saya kira saya bisa berubah lebih baik. Saya nggak se-nggak punya perasaan kayak Summer Finn. Dalam artian, saya bisa sayang sama rambut saya, walaupun rambut saya nggak sesempurna rambut mbak-mbak iklan shampoo, karena saya sadar, saya berusaha merawatnya sejak beberapa tahun lalu. Jadi, saya kira, saya nggak segitu nggak punya perasaannya kok… Kita hentikan Summer, karena ternyata saya sama sekali nggak mirip dia, karena saya tidak segampang itu memotong rambut panjang saya dan melupakannya. Oke.

Setelah memotong poni saya, tiba-tiba saya ingat satu kalimat dalam Gossip Girl, “Blonde and pony girl is kind a bitch…”. Saya nggak blonde, tapi saya pake poni. Ya ampun…

Ternyata dari masalah rambut saja, agak-agak kejam efeknya sama psikologis kita. Eh, bukan, saya… nah kan, nah kan... :D

Tuesday, January 24, 2012

...sidang #2


Cemenlah saya.

Saya yang diam, gemeteran, nunggu balesan sms dari Ity, tentang nama calon penguji untuk sidang skripsi saya nanti. Ada satu nama yang benar-benar kalau boleh minta, saya nggak mau beliau menjadi penguji saya, walapun dari melihat masalah di skripsi saya, dia bisa jadi dosen yang sekiranya bakal jadi calon penguji. Dan, saya hampir nggak berani buka sms teman saya itu.

Saya deg-degan.

Dan, setelah membaca dua nama calon penguji selain pembimbing saya, tambah gemetaranlah saya. Sial. Cemen bener deh saya??? Hampir saya nggak berani ke kampus, sebelum muncul kesadaran dan keberanian, untuk segera mengurus prosedural sidang dan menghubungi tiga nama calon penguji dan mencari tanggal dan jam.

Oke, tentang sidang. Saya jadi keingat kapan kali saya bilang, ada dua hal yang ingin saya lakukan kalau saya sidang, untuk menghindari hal-hal yang biasa terjadi dalam sidang. Dan, sepertinya, saya tidak bisa melakukan keduanya. (kalau Shinta baca, “Iya Nta, kayaknya nggak bisa aku laksanain deh Nta….”)

Yaitu tentang, memakai kemeja warna kuning. Hhhaaa… sebut ini hal pekok nggak mutu yang malah dipikirin sebelum sidang. Bukannya mikirin materi atau apa, tapi malah mikirin baju. Iya, tadinya saya pengen pakai kemeja warna kuning, tapi, sementara saya beberapa kali ke toko atau pusat perbelanjaan, tidak ada kemeja warna kuning yang oke. Udah, saya emang nggak niat cari. Kepikiran mau jahit juga ribet. “Cuma buat sidang gitu? Sidang sejam gitu?” tanya saya ke diri saya sendiri. Oke, jadi, masalah baju, saya bakal baju seadanya yang ada di lemari saya saja. Karena baju kuning saya nggak layak sidang, jadi saya sepertinya batal pakai kemeja warna kuning.

Tentang semacam makanan, yang biasanya brownies yang buat penguji itu. Hhhaaa… Karena justru semakin tidak etis kalau memberikan barang-barang, jadi, mari kita kasih makanan saja. Kalaupun nggak kotakan brownies itu lagi, ya, hm… marilah kita, beri mereka, ehm, wes, gampanglah kui…

Saya nggak mau mikirin itu.

Saya deg-degan. Asem. Tanggalane kok mepet bet dah…

Dan, ehm, yang pasti. Saya siap ujian dan siap dengan nama-nama pengujinya, cuman, kok ya, embuh ah, saya deg-degan aja…

Anyway, buat temen-temen kompi yang bakal sidang deket-deket ini dan kita sering intip-intipan blog, kayak Amin Tya, Shinta, Mayang, sukses yah buat sidang kita semua… :) :)