Tuesday, May 14, 2013

...mayday



Kenapa saya harus bekerja? Saya tidak tahu.

Rossie the Riveter
 
Tapi saya masih ingat momen-momen kecil ketika saya mendapatkan uang untuk pertama-tama. Meski bukan dari bekerja, tapi dari hadiah-hadiah hasil ikut lomba, yang saya habiskan untuk membeli mie ayam, kaset, kaos, sepatu, tas, anting, cincin, atau sekedar senang karena tidak perlu meminta uang SPP untuk setahun. Atau mungkin ketika satu kali pernah benar-benar bekerja, untuk memandu satu acara sepekan penuh dengan fee yang sebenarnya tak seberapa, saya belikan sebuah bedak padat ber-foundation dan pemulas bibir gara-gara saya dibilang kucel. Waktu itu, saya senang sekali. Saya pikir, lain kali, jika harus memandu acara lagi, rekan saya tidak akan mengatakan saya kucel banget dan harus rikuh karena kemudian dia akan mendandani saya, dan semakin rikuh, karena saya tidak punya bedak padat dan pemulas bibir.

Ya, ternyata, untuk mendapatkan uang sendiri, saya harus melakukan sesuatu. Dan itu menyenangkan. Meski tentu saja, ada sesuatu yang harus kita berikan dengan sukarela. Apapun itu. Salah satunya adalah: lelah. Ya, bekerja itu melelahkan.

Pengalaman saya bekerja bahkan baru sekali. Saya pun awalnya menganggapnya belajar dan senang-senang saja. Coba bayangkan, kamu mempelajari hal baru, terlebih hal baru itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan kadang beberapa orang menganggapnya keren, dan kamu dibayar untuk itu. Bulan pertama, tiga bulan pertama, enam bulan pertama, wauw, saya tetap bisa datang ke tempat kerja jam sepuluh pagi. Wauw.

Tapi itu tidak selamanya. Ini kali pertama saya merayakan May Day. Dan ya, saya tahu, menjadi pekerja itu tetap saja ada tidak enaknya. Makanya, saya cukup appreciate ketika beberapa orang yang saya kenal memilih untuk menjadi “pengangguran” lebih lama dari pada mengambil begitu saja kesempatan untuk bekerja yang terbuka, atau memilih keluar dari posisi pekerjaan yang banyak orang-orang impikan, karena, mereka merasa, itu bukan jenis pekerjaan yang mereka inginkan. Dengan melakukan pekerjaan yang kita inginkan pun, yang kita sukai pun, yang kita impikan pun, tetap aka nada masanya ketika kita merasa tidak senang, tidak puas, tidak suka, dan hal-hal negatif lainnya. Jadi, bayangkan jika itu terjadi ketika kita melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak kita inginkan sejak awal? 

Atau, saya akan lebih appreciate lagi, pada mereka yang: melakukan pekerjaan, yang disuka ataupun tidak, tapi hampir tak pernah mengeluhkannya. Maksudnya, yah, begitulah, sering kan, selalu saja ada keluhan tentang berbagai hal. Tapi bagi orang yang selalu mensyukurinya tanpa mengeluhkannya, bagi saya, orang-orang ini hebat. Jika telah sampai pada pertanyaan: kamu tak ingin pindah? Dan lalu ia menjawab: suka tidak suka, ini adalah tanggungjawab dan aku mensyukurinya. Saya tidak akan menanyakannya lebih jauh lagi, atau memaksanya bercerita tentang hal-hal yang menyebalkan. 

Ya, bahkan yah, saya kira, apapun pekerjaannya, ada satu titik tidak menyenangkannya. Bahkan saya kira, posisi pimpinan pun, akan memiliki titik tidak menyenangkan. Meski mungkin bukan tentang pekerjaan, tapi sepertinya tiap posisi pimpinan rentan memiliki masalah psikologis yang kurang sehat, karena pasti akan khawatir untuk menjaga posisinya atau bahkan kehilangan kekuatan dan bawahannya. Man? Bukankah itu lebih melelahkan dari bekerja lebih dari sembilan jam?

Saya bahkan, meski memiliki rencana, tiba-tiba tidak memiliki orientasi pekerjaan impian. Hhhaa. Sudah tahu kan, kalau saya pengen banget jadi wartawan. Tapi entah mengapa, pada satu waktu, ketika terlalu sering mendengar kawan yang bekerja sebagai wartawan, saya berfikir bahwa, saya tidak yakin akan mampu menjalankannya kalau nantinya saya hanya akan mengeluhkan hal yang sama. Ini bukan tentang profesi atau tipikal pekerjaan tertentu. Tapi ini adalah tentang saya. Saya yang, saya nggak yakin saya akan mampu menjalankannya dengan baik. Meski saya tahu, ada begitu banyak pekerjaan keren di dunia ini, saya tidak lagi terlalu antusias. Saya kira menjadi anggota KPK tentu keren sekali, atau mungkin menjadi content writer, traveler, em, videographer, legal consultant, peneliti, socialpreneur, anggota DPR, ahli penerbangan, head of group creative director, dan lain-lain, dan lain-lain. Keren yah? Hebat kan? Gila yah, hebat nggak sih?

Karena, cita-cita terakhir saya, setelah sempat bercita-cita jadi ibu rumah tangga saja, tak usah bekerja, yaitu ingin menjadi staf khusus presiden. Hahaha. Saya serius. Setelah tahu bahwa, menjadi copywriter itu akan gini-gini aja, haha, yang kasarnya: hanya loncat dari satu campaign-ke-campaign lain, jualan kata-kata dan khayalan-khayalan untuk mensugesti orang. Ya meski nanti kalo udah seniouuurrr, akan ada istilah-istilah lain sih, macam planner, senior bla-bla-bla, head bla-bla-bla, atau bla-bla-bla director. Saat sedang sebal minta ampun dengan SBY yang agak kacau, dan membaca pidato kenegaraan Obama, saya bilang ke kawan saya: saya ingin jadi staf khusus presiden boy.

Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah: setelah merasakan sendiri rasanya bekerja, dan mencoba menerka-nerka sendiri, kenapa ada hari buruh, adalah untuk merayakan kerja keras kita selama bekerja. 

Tadi sekilas saya melihat berita di TV, seorang presenter senior melaporkan suasana pasca aksi demo hari buruh yang dilakukan ribuan buruh di silang monas, sambil menunggu bos saya yang sedang bercakap di telepon karena saya akan laporang tentang pekerjaan, saya tahu dia reporter senior, karena dia biasanya menjadi seorang anchor, dan sepertinya sore tadi dia sengaja ke lapangan untuk melaporkan aksi demo secara lebih spesial, karena siangnya saya sempat bertemu ibu itu digrobak abang rujak dan bertukar senyum, tapi saya kecewa, karena saat saya memperhatikan layar televisi, dia sedang berbicara tentang: sampah yang ditinggalkan para buruh yang tadi berdemo. Saya nggak ngerti juga si, kalau saya yang jadi dia, tapi, sebagai penonton dan karena tahu dia senior, saya berharap dia tidak hanya akan melaporkan tentang banyaknya jumlah sampah di sana. Setelah itu saya laporang ke bos saya, dan masih sebal dengan laporan berita itu. 

Siangnya saya bekicau tentang Rossie the Riveter, icon pekerja perempuan di Amerika ketika PD II (atau PD I, lupa). Karena kala itu para pria berjuang di medan perang, para perempuan menggantikan mereka di berbagai sektor pekerjaan. Hal yang sama yang juga terjadi di Eropa kala itu. Para perempuan melepas rok-rok lebar mereka, dan menggantinya dengan rok longgar yang tak membumbung lebar atau bahkan celana dan pergi bekerja. Dan saya suka kalimat “We Can Do It!”-nya. Saya ngebayangin, jikalah memang, memang, kita merasa negara kita memang sedang kacau dan keadaan ekonomi tidak menentu dan cendrung menyesakkan, kenapa yah, kita tidak menebar semangat untuk semacam “Ayo Bekerja Bersama!” kepada semua orang. Apa yah, mungkin semacam semangat, bahwa: okailah kita lima atau sepuluhtahun ini mari bersusah-susah sejenak, tapi biar anak dan adik-adik kita nanti bisa merasakan kondisi yang lebih baik. Tapi tanpa air mata, jadi malah mungkin bisa dilakukan dengan makan bersama di tempat kerja masing-masing yang disediakan kantor atau LSM, toh, ehm, kalau tak usah mewah-mewah amat, toh hampir sama dengan biaya untuk berdemo, kali yah. Maksudnya, yuk ayoklah kita rayakan kerja keras kita. Sebagai hari untuk menghargai diri kita sendiri. 

Tapi saya lupa. Pejabat kita masih doyan korupsi untuk liburan dan istri ke-tiga. Atau, ehm, pabrik-pabrik yang ada di suburban ibu kota itu milik Korea atau negara tetangga lainnya. Ya gimana yah? Akhirnya saya juga bingung sendiri. Mengingat saya juga buruh. Maksudnya, bos saya saja masih punya bos, yang bosnya itu masih punya bos lagi. Kalau mau nggak sopan, mungkin bos saya juga masihlah buruh. Okelah, pekerja. Saya lebih senang mengartikan kata “labour” menjadi “pekerja”. Biar saya bisa nyebut bos saya juga pekerja. Ya iya nggak sih? 

Kan yah, semisal kamunya adalah, ehm, commercial director of unilever Indonesia aja, kamu masih punya bos di, ehm, ke orang unilever asia-pacific yang nagih laporan tahunanmu. Kamu akan tetap seorang pekerja, sama kayak operator dipabrik sabun dove di cikarang, or somewhere. 

Ya gimana mau optimis yah, kalau kampanyein itu. Saya nggak ngerti, tapi rasanya bekerja itu menakutkan banget. Serius. Padahal, ya meski kadang menyebalkan, menurut saya, kita bisa kok tetap senang melakukannya. Kalau mau ngikut cara-cara bijak, ya salah satunya dengan bersyukur itu. Sekali-kali sangat bolehlah mengeluhkan kesusahan-kesusahan atau kemarahan, tapi nggak berkali-kali.

Ibu saya aja sempat sedih ketika menjenguk saya. Karena saat itu saya pulang jam 9 malam dan belum makan, padahal maksudnya biar tetap bisa makan malam bareng dia. Dia kasihan sama saya. Padahal saya biasa saja. Lagian tidak setiap hari saya pulang malam, lagian saya berangkat kerja juga kadang selepas makan siang, lagian saya juga di kantor tidur juga kalau sudah agak-agak sore, main game dan download-download video juga, dan klabakan cari ide sebelum hari H presentasi, tapi presentasi hampir tiap hari, ya itu aja sih. Karena di mata ibu saya, orang yang sangat sederhana, bekerja kantoran itu ya, berangkat pagi pulang sebelum malam dan tidak capek dan gaji besar. Hhi. Yaiyalah kali yah, mungkin semua orang juga pengen kayak gitu.

Tapi…

Nggak, saya kira, jadi Nia Ramadhani pun tetap capek. Oke, beri saya 1000 pembelaan. Tapi saya kira, pasti doi tetap merasa capek. Cuma ya memang dia kalau capek langsung ke spa, dan kita menunggu sampai gajian bulan depan untuk bisa pijat dua jam. 

Maksud saya, terutama bagi saya, yang datang dari kelas menengah sangat bawah, yang sekali tendang juga lalu menjadi kelas terbawah, karena hanya berpegang pada gaji bulanan dan tuntutan harus ini-harus itu. Ya memang kita perlu untuk bekerja. Mungkin itu kesimpulan akhir saya, malam ini. Perkara seberapa besar penghasilan, kesenangan, dan lain-lain, saya setuju dengan seorang kawan ketika gulang-guling ngobrol sambil mikirin pindah ke tempat yang lebih gede gajinya nggak yah: kecukupan dan kebahagiaan sebenarnya bisa kita tentukan sendiri.

Pertama, dengan bersyukur. Okelah, memang tuhan adalah pembelaan pertama dan terakhir untuk berlari dan bersembunyi. Tapi nyatanya adalah, dengan mensyukuri dan berbahagia dengan yang kita punya itu melegakan kok. Ya taiklah si Angel Lelga itu, yang katanya mencoreng citra sosialita Jakarta, toh ternyata, hidup saya baik-baik saja tanpa tas Hermes dan hanya memakai parfum Chanel No. 5 KW 100. 

Lalu, dengan sadar kelas. Rasanya baru beberapa hari lalu, saya ngobrol dengan seorang kawan  dan bercerita tentang: pengen nggak sih ganti gadget terbaru? (baca: termahal?). Saya si pengen, punya i-phone 64 giga atau i-pod lagi deh, yang paling gede, biar semuaaaaaa lagu bisa keputer. Tapi ni ponsel saya nggak rusak-rusak. Gara-gara sering ditanyain PIN BB, saya juga pengen loh punya BB. Teman saya juga pengen sih, punya gadget-gadget terbaru. Semua itu terjadi hanya karena, si A punya yang terbaruuuu, padahal yah, bukannya gaji dia hampir-hampir sama yah sama kita? Nah! Gini. Pada satu hari saya sempat bingung sendiri, karena ini: ada seorang abang warung tenda, yang kita akan memprediksi kalau doi itu agak-agak kampungan ,sekolah cuma sampai SMP di kuningan atau indramayu sana, pokoknya yang bawah-bawah banget lah, tapi gini, ehm, warungnya yang jualan mie jawa itu ruame banget, karena emang enaaak, bisa loh, sehari labanya sekitaran 500 ribu. Setelah diminus gaji karyawannya, yang adik sepupunya sendiri, ongkos preman, dll, laba bersihnya sekitar 250 ribu. Jadi, ehm, anggap dia bisa menggaji dirinya sendiri 7.500.000. Dan, itu, uang itu, adalah, lebih besar dari gaji saya dan teman-teman sesama pekerja pemula. Sangat lebih besar. Si abang nggak perlu langganan internet, nggak perlu ngidam sop rumput laut, istrinya nggak perlu beli bedak yang go green dan pembelian bahannya memakai asas fair-trade, nggak perlu peduli beli majalah gaya hidup terkini atau langganan tempo, nggak perlu naik taksi ke grand Indonesia, beli baju (x).s.m.l yang meski udah diskon 80% tetap 480.000, nonton film terbaru atau konser-nya siapa kek yang penting hip, apalagi langganan paket indovision yang ada HBO-nya. Dengan pendapatan yang lebih besar dari saya, si abang tidak perlu melakukan sesuatu yang: entah mengapa, menurut saya, seakan harus saya lakukan karena saya merasa memerlukannya, padahal ya nggak perlu-perlu amat juga. Gila yah? Lalu teman saya bilang: tapi kan kita akan punya kesempatan untuk memiliki gaji bahkan tiga atau lima kali lipat dari gaji si abang itu Di. Tapi kapan?? Maksud saya, sadar kelas di sini adalah tentang: ya, ada beberapa hal yang itu tu emang nggak saatnya (atau, okelah, untuk menyemangati diri sendiri, saya ubah jadi: belum saatnya). Dan itu baru sadari setelah bekerja. Karena ada semacam tuntutan untuk: harus hidup senyaman mungkin dengan pendapatan yang ada. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan dan rasakan sebelumnya. Bahkan seorang teman memilih meninggalkan mobil pemberian orangtuanya, karena, kata dia: aku nggak bisa isi bensin dan bayar tol dan bayar parkirnya kalau tiap hari naik mobil, lagipula Jakarta sangat macet. Maksudnya, saya belajar tentang itu sekarang. Sangat belajar. Selain tentang efisiensi, tentunya. Dengan menyadari semua itu, kita tidak akan memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak usahlah kita paksakan untuk lakukan. Toh, seiring pendapatan meningkat juga katanya pengeluaran meningkat toh? Yaitulah kali hukum kelas berlaku. Yang penting tetap sadar, kali yah.

Ketiga, berfikir positif tentang pekerjaan. Hari ini cukup istimewa, sebenarnya. Karena pagi tadi saya mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan sesuatu hal dan tanggapan orang-orang positif, dan, orang-orang itu adalah orang-orang yang, hm, people would die to be like them, semacam gitu lah. Saya senang, tapi kemudian saya tahu, diberitahu orang lain, sorenya, bahwa satu hal yang sudah disetujui itu, ini kekurangtelitian saya sih sebanernya, ternyata memiliki makna negatif, sangat negatif, dalam istilah slank di luar negeri, di Amerika tepatnya. Yang saya pikirkan, bahkan hingga sekarang, adalah, gimana besok tim saya harus menjelaskan ke orang-orang yang tadi pagi tersenyum-senyum setuju dengan itu semua? Saya sendiri, kalau tidak segera dihibur, sepertinya saya sudah akan menangis. Tapi di sisi lain, saya berfikir positif karena, beruntung hal tersebut masih belum dilempar ke publik. Dan, orang-orang yang tadi pagi ada pun tidak ada yang tahu sebelumnya. Dan yah, saya harus memperbaikinya. Sayalalu meminta maaf ke beberapa orang, karena mereka adalah orang-orang yang memberi kesempatan dan kepercayaan ke saya. Meski masih agak sedih, sampai sekarang loh, karena saya tidak teliti dan tergesa-gesa. Itu berarti saya tidak boleh mengulanginya lagi. See, ini ruang untuk belajar. Maksud saya, bukan berarti saya selalu merasa diri saya salah dan bego, tapi emang, bukankah kita kadang memang melakukan kesalahan? Kalau emang salah, yaudah salah aja. Kalau emang bego dan ngrasa harus belajar, yaudah bego aja. Nggak perlulah mencoba menyalahkan orang lain untuk membela diri, kecuali memang jika merunut pristiwa yang sebenarnya, kadang emang nggak cuma kita yang bego sih. Orang-orang juga kadang melakukan kesalahan. But, still, be positive. 

Keempat, hmmm…

Mungkin ini saatnya kita berhenti mengeluh.

Saya terlalu merasa, bahwa, hari buruh adalah selalu tentang mengeluh. Iya sih, saya nggak tahu penderitaan mereka. Halah. Maksudnya, selain tentang menuntun kesejahteraan yang lebih diperhatikan, seperti tadi saya bilang, barangkali perlu juga menularkan semangat yang lebih positif ke depannya. Media juga tuh, jangan cuma ngomongin macet dan sampahnya, ih. Sama aja kan, kalau mengeluh, mau pekerja mau bos, ujung-ujungnya ngeluh juga kalau gitu terus si.

Saya juga nih, masih ngeluh aja.

Udah, berenti.

Ya, sambil berharap, jikalah memang upah pekerja kebanyakan tak juga naik, karena kalau dinaikkan katanya malah inflasi lebih parah, mungkin pemerintah atau siapa pun, lebih maksimal menyediakan layanan pendidikan yang dapat terjangkau semua kalangan dengan kualitas yang bagus, pelayanan kesehatan yang lebih sehat, pelayanan umum yang juga memadai, dan juga rumah sederhana yang tak terlalu mahal. Jadi, setidaknya, meski gaji kebanyakan pekerja industri pendaptannya standar UMR, tapi mereka tidak terbebani harus menyekolahkan anak-anak mereka dengan biaya yang sangat mahal, juga biaya kesehatan, atau cicilan rumah dan kendaraan yang juga besar. 

Tak hanya pemerintah, saya kira, semua orang juga bisa mengusahakannya. Misal, Anda seorang dokter, kan bisa tuh, satu dari lima hari kerja praktek di rumah sakit dan klinik pribadi, diberikan untuk kalangan kurang mampu yang ingin berobat gratis. Kalau takut jadi sangat merugi kalau buanyak sekali pasiennya, mungkin juga bisa dibatasi hanya 10 sakit sedang, dan dua sakit parah. Yah, bayangin 1000 dokter nglakuin itu, saya kira akan cukup terasa manfaatnya. Mungkin. Namanya juga harapan.

Nah, tentang berbagi saya kira juga setiap orang pasti punya impian ini. Tapi saya sendiri masih bingung gimana caranya. Yang nggak cuma memberi lalu selesai. Gitulah, pokoknya. Mungkin sekarang saya harus mulai memikirkannya… :)

Yah, dan saya juga percaya, setiap orang bisa merubah hidupnya sendiri. Dengan cara apapun. Entah bekerja sendiri atau menjadi pekerja. Bahkan menjadi istri simpananpun, saya kira itu juga usaha. Dan pasti akan lebih bagus, kalau bisa berbagi dengan orang-orang lain, siapapun itu. 
Bagi siapapun yang bekerja, dengan cara apapun, meski agak melenceng dengan anggapan orang kebanyakan: inilah hari untuk kita semua, yang melakukan sesuatu untuk hidup. May Day. Hhhi, mirip sama game favorit saya sekarang, hayday. Hhi.

No comments:

Post a Comment