Saturday, May 25, 2013

...if you don't



Ada satu masa di mana, lagu-lagu The Beatles mampu membuat seseorang jatuh cinta. Begitupun cerita-cerita tentang Coldplay.
Ada satu masa ketika, gambar-gambar realis adalah mimpi-mimpi yang seperti menjadi nyata. Begitupun obrolan-obrolan tentang menjadi manusia: kita bukan siapa-siapa, juga bukan anak siapa-siapa, lalu besar, belajar, bekerja, menikah, menjadi orang tua, lalu mati, dan mungkin kita akan tetap menjadi bukan siapa-siapa, kecuali keluarga-keluarga tercinta, dan sahabat-sahabat terdekat, yang tetap saja, masih bukan siapa-siapa.

1
Waktu itu malam sedikit hujan. Oh, tidak, ini hujan beneran.
Pesan singkat masuk. “Gwen, hujan. Jadi berangkat tidak? Kalau jadi, aku pinjam mobil kakakku dulu.”
Gwen langsung membalas cepat. “Jadi. Aku sudah dandan.”
Setengah jam kemudian. Vios silver menerobos hujan.
“Ben, ini kan klub dangdut?”
“Kalau Selasa malam Beatles-an. Ayo turun. Lari yah, nggak ada payung.”
Bersama Ben, berdua meloncat cepat menghindari hujan. Tas kulit biru oleh-oleh dari Singapura terpaksa menjadi penutup kepala. Walau rambut panjang Gwen basah juga.
Ben hanya tertawa. Rambut poninya terbelah dua. Gaya McCartney-nya hancur sudah.
“Kalian nggak ada sing-a-long rame-rame kan? Aku cuma tahu “Imagine” sama “I Want To Hold Your Hand” doang… “Yesterday” lah paling agak-agak inget…”
Ben masih tertawa-tawa saja. Sambil membayar tiket sepuluh ribu rupiah.
Menuju kursi-kursi yang ditata seperti kursi pada acara perkawinan. Ben menyapa satu per satu orang, yang sepertinya dikenalnya. “Itu yang jadi John. Itu yang jadi Ringo. Itu Paul.”
“Mana George Horrison-nya?”
“Belum dateng mungkin…”
Gwen tertawa dan tepuk tangan paling keras selama lebih dari dua jam. Hujan reda. Lalu pulang. Kaca mobil dibuka. Kota sejuk setelah hujan. Memaksa Ben terus memutar “Oh! Darling” sepanjang jalan.
“Selasa depan lagi yuk, Ben?!”
“Siap”
“Yes!”
“Nanti aku kirim lagu-lagunya…”
Gwen membuka kotak surat-nya. Ben. Baru saja mengirim tiga lagu. “Oh! Darling”, “If I Fell”, dan “Girl”. Tak sabar, Gwen mengunduhnya. Memutarnya sampai Gwen tertidur pulas hingga pagi. Hingga Selasa datang lagi. Berdua menuju taman ria, makan bersama Ringo palsu. Merokok bersama John, yang, menganggap Yoko Ono adalah penyebab Beatles bubar. Gwen bahkan memiliki tiga gelas bergambar mereka. Didapatkan dari toko barang pecah belah di tumpukan terbawah, ketika menemani mamanya memberi dispenser baru.
Entah pada Selasa malam yang mana. Gwen lupa. Malam itu juga gerimis pelan-pelan datang. Ben dan Gwen naik motor bebek bertambal stiker yang warnanya tak jelas lagi punya Ben. Atap taman ria sedikit bocor, Ben dan Gwen harus tiga kali berganti kursi. Demi kepala Gwen yang sudah sedikit berat karena kegerimisan. “Oh! Darling” spesial buat Gwen, kata John dari atas panggung. Gwen berseru “Whoooo” keras sekali. Ben mengepalkan tangannya ke udara.
Gwen minta buru-buru pulang. “Kayaknya aku masuk angin.”
Ben cepat-cepat mengantar Gwen pulang. Gwen cepat-cepat masuk kamar. Sebelum tidur, satu pesan singkat masuk ke ponselnya. Dari Ben. “Kamu cantik sekali malam ini.”

2
Katanya, satu tim itu tidak boleh suka-sukaan. Apalagi kalau lagi kerja bareng. Tapi ya bagaimana kalau Gandhi, junior Gwen, tiap malam mengirim pesan singkat. Dari masalah tugas, sampai tentang, lagi dengerin lagu siapa? Wah, Coldplay? Lu suka Coldplay? Lu boleh ngatain gue mellow, tapi kadang-kadang gue pengen nangis dengerin mereka! Hhha, lu cengeng yah? Tapi emang anjir tuh band! Mungkin karena kita besar bareng mereka besar, jadi kita merasa mereka spesial banget. Tapi mereka emang keren banget. Aku ada video live mereka, kamu harus nonton! Oyah? Copy dong yah? Oke, besok aku bawain. E, udah siap meeting ntar? Ni lagi siap-siap. Ayo berangkat bareng. Boleh nih? Ayolah. Gila yah, wah, kalau Coldplay dateng nih yah, aku harus nonton. Hhha, tapi awas aja kalo jutaan. Hhha, semoga mereka dateng kalau aku udah nggak ngrasa sayang ngeluarin duit banyak cuma buat nonton konser. Hha, kalau mereka dateng kamu udah jadi ibu gitu, tetep akan nonton? Meski dengan sangat menyesal karena ninggalin anak, tapi seorang ibu juga boleh kan, tetep nonton konser dan seneng-seneng? Terus, suami kamu? Dia harus ikut, suamiku pasti juga nggak akan mau nglewatin Coldplay kali. Tapi, gila yah, kebayang nggak sih, kalau ntar kamu udah nikah gitu? Emang kenapa? Nikah ya nikah aja. Ya enggaklah, nikah itu kan sesuatu yang beda banget dengan pas kita belum nikah. Emang kenapa? Eh, kamu nggak pernah mikirin tentang nikah yah? Belumlah, ngapain? Aku nggak ada rencana nikah, aku baru dua puluh tahun, em, belum kepikiran lah. Emang kamu udah mikirin nikah? Udahlah. Terus, apa yang kamu bayangin? Kok cuma ketawa? Udah malam ah, antar aku pulang yah? Ayok! Emang kita harus mikirin nikah yah? Iyalah, kita udah dewasa kali, banyak hal yang harus dipikirin.
Entah kapan, entah bagaimana: malam itu Gwen jatuh cinta.

3
“Ben, gambarnya udah jadi belum?” ucap Gwen dari balik telepon.
“Belum Gwen, mau buat kapan?”
“Minggu ini Ben. Kalau bisa besok malam udah jadi.”
“Hmm… aku usahain yah…”
“Yah, Ben, ini aja udah agak molor Ben…”
“Hhha, yaudah, semoga besok malam udah jadi yah. Tolong kirimin aku brief tulisan ketiga dong, briefku hilang…”
“Aku kirim email yah… nih, aku kirim, wait, wait, all right, sent…”
“Oke Gwen…”
“Thanks Ben…”
“Sama-sama Gwen…”
“Bye Ben, besok aku telfon kamu lagi…”
“Siap!”

4
Gwen berdiam dari satu ujung gedung. Gandhi di ujung lainnya, bersama kawan-kawan yang lain. Tertawa-tawa. Entah perasaan Gwen saja, atau memang Gandhi sesekali mencuri pandang ke arahnya.
“Gwen..!”
“Gandhi.”
“Udah mau pulang?”
“Yap… kamu?”
“Iya…”
“Hmmm…”
“Ayo bareng…”

5
“Gwen, gambarmu udah jadi.” Ben menelfon Gwen.
“Oyah? Aku ambil di mana? Kamu mau aku bawain apa?”
“Nggak usah bawain apa-apa… ke sini aja…”
“Hha, okelah nanti kamu tetep kutraktir… Kamu di mana Ben?”
“Aku di RS. Mitra.”
“Kamu di rumah sakit? Ngapain? Siapa yang sakit?”
“Ada.Udah, sini aja…”

6
Gandhi dan Gwen tertawa-tawa. Gwen menatap Gandhi di depannya. Gandhi dan kaos putihnya. “Ya tuhan, apa yang dipunya laki-laki ini?”
“Gandhi, aku tahu aku mau jadi apa…”
“Oyah, apa?”
Berdua, mereka masih tertawa. Sepanjang malam. Hingga larut. Hingga tengah malam. Hingga pagi. Hingga besoknya lagi. Dan lagi.

7
Gwen mengetuk kamar 201. Seorang ibu mempersilahkan Gwen masuk. Gwen tersenyum. Ben terbaring lemas. Menunjukkan gulungan kertas berisi gambarnya.
“Kamu sakit? Kok kamu nggak bilang? Kan aku… kan aku…”
“Ini gambar kamu.”
“Aduh Ben, aku minta maaf. Aku nggak tahu kamu sakit…”
“Udah nih, gambar kamu. Kamu udah deadline kan. Bawa gih...”
Gwen diam.

*2010*

8.
Malam. Hampir tengah malam.
“Jadi dia pacar kamu?”
“Iya.”
“Terus selama ini, kamu dan semua ini. Apa?”
“Aku nggak tahu.”
“Kamu tahu aku suka sama kamu?”
“Tahu.”
“Terus?”
“Aku nggak tahu, Gwen.”
Gwen diam.

*2011*

9
Gwen sedang mengingat. Tapi malam ini, kepingan ingatannya jatuh berantakan. Tak beraturan.
Gwen diam.

*2013* 



__________________________

Turn down the lights, turn down the bed
Turn down these voices, inside my head
Lay down with me, tell me no lies,
Just hold me close, don’t patronize me
Don’t patronize me…

Cause I can’t make you love me
If you don’t
You can’t make your heart feel
Something it won’t

Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart
I feel the power but you don’t
No, you don’t…


(Cause I Can’t Make You Love Me – Bon Iver)

No comments:

Post a Comment