Thursday, February 21, 2013

...suburban love



Gwen memutar gelasnya. Tangannya sibuk memilin rambut-rambut kecil di sekitar wajahnya. Tangannya tak bisa berhenti. Ia gugup. Aku tahu, jika Gwen gugup, itu berarti akan ada kalimat-kalimat panjang di iringi tatapan mata yang tak jelas ke mana arahnya. Dan, meski dalam beberapa hal aku tidak akan setuju dengan pendapatnya, tapi akan banyak hal juga yang membuatku kemudian berfikir. Dan lantas setuju, jauh hari setelah Gwen mengatakannya.

Kadang kupikir Gwen ini ajaib. Kontradiktif. Hari ini dia benar, esok hari ia akan menangis-nangis menyesali kebodohannya, tapi tetap diakhiri dengan tertawa terbahak menertawakan kenapa ia menangis, dan bertanya, “Bukankah tiap orang melakukan hal bodoh yah? Ngapain nangis.”

Tapi Gwen lama tak menangis. Meski sempat terlintas dan sedikit khawatir, jangan-jangan Gwen mengajakku bertemu untuk menangis. Lagi. Mungkin Gwen melakukan kebodohan lagi. Kebodohan yang membuatnya terisak diantara kuah pedas bakso dan teh panas sambil merutuki nama mantan kekasihnya. Itu yang terjadi saat terakhir kali aku bertemu.

Aku merindukannya, tentu. Tapi aku terlalu sibuk. Melihatnya mengoceh tak penting di linimasa cukup membuatku tahu kalau Gwen baik-baik saja. Karena aku tahu, kalau dia tak lagi mengoceh, justru itu berarti ada yang keliru. Sedikit rahasia, Gwen bahkan tak pernah menceritakan hal-hal yang menyesakkannya sampai dia lega. Gwen lebih memilih menyimpan ponselnya di laci rak buku dan kemudian menguncinya demi menangisi segala hal yang menyakitinya. Dan Gwen, jika tanpa semangkuk kuah pedas nan panas bakso atau soto, dia tak akan menyia-nyiakan air matanya untuk kau tonton. Dan kau akan merindukan cara Gwen berkata atau sekedar memaki.

Sebentar lagi Gwen akan berkata-kata, tunggu saja, tisu sudah ia remas-remas sampai habis. Tapi sepertinya tak akan ada air mata. Gwen memesan chicken steak, strawberry float, semangkuk salad, dan, sebotol air putih. Gwen hanya akan bercerita panjang.  

“Nggak ngerti yah, tapi bagiku, nikah itu konsistensi harga mati. Bayangin kamu hidup, let’s count, kamu hidup selama 70 tahun dan kamu nikah umur 25 tahun, atau, okelah, kalau kamu mungkin sekitaran 30 tahun, itu berarti kamu akan menghabiskan sekitaran 45 atau 40 tahunan dengan orang yang sama. Dengan berbagai hal yang terus berubah, sementara kalian juga berubah, tapi kalian harus tetap saling bersama. Dan, hebatnya lagi, dalam kebersamaan itu, yang sangat panjang itu, akan ada hal-hal yang harus dilakukan berulang, sama, dan mungkin stagnan. Kenapa panjang, karena 40 tahunan itu adalah sekitar dua kali lipat umur kamu sekarang. Bukankah kita hidup sampai sekarang aja rasanya lama banget? Bayangin deh…”

Aku mencoba membayangkan. Gwen melihat keluar jendela, juga membayangkan. 

“Dan yah, kenapa konsistensi. Sadar nggak sih? Atau mungkin aku aja yah, konsistensi itu menyebalkan. Ya, oke, kadang kita merindukan, ya, kita akan merindukan sesuatu yang telah terjadi, pun itu konsistensi. Tapi, kita baru merindukan rasanya harus selalu ingat bawa topi buat upacara Senin pagi itu, sekarang kan? Ketika kita sudah tidak pernah lagi merasakan panasnya upacara bendera, pun ketika 17 Agustus. Dulu, waktu kita masih punya kesempatan itu, itu menyebalkan. Kita menyesal, kenapa kita nggak bisa menghormati orang-orang yang menghabiskan semuanya demi Indonesia Merdeka. Itu juga karena kita nggak sengaja baca novel-novel perjuangan atau sekedar tahu, dari dulu negara ini selalu merenggut ribuan nyawa dan membuat jutaan perempuan jadi janda atau anak-anak yang mendadak yatim piatu. Toh gitu, emang kita mau bangun pagi ikut upacara 17 Agustus? Tetep enggak. Nah, konsistensi di pernikahan ini, kayaknya bukanlah konsistensi macam harus pake topi pas upacara bendera atau masuk kantor harus sesuai jadwal dan pulang pun sesuai jadwal. Tapi, semacam, harus tetap bersama apapun yang terjadi. Kebayang nggak? Kalau mau ngikutin gambaran macam iklan-iklan, dalam bayanganku, itu berarti benar-benar jadi satu dengan semuanya. Itu berarti dengan orang yang akan kamu, kamu, mungkin, kamu nggak akan senang dengan caranya memakan burger, mungkin teman kantor kamu lebih cantik, mungkin lama-lama kamu nggak pengen ML sama dia, yah, semacam itulah, tapi kamu tetap menghormati dia dan melakukan yang terbaik buat dia. Tidakkah itu konsistensi yang benar-benar berat? Kalau mau dipikir-pikir lagi sih yah. But, we all know. Banyak orang berhasil melakukannya. Contoh paling simple. Orang tua kita. Mungkin mereka pernah melewati hal-hal yang mengerikan, entah itu pertengkaran atau cuma sekedar diam yang amat panjang, tapi, mereka masih bersama hingga sekarang. Dan, kecuali mereka mau cerita, kita nggak tahu lagi, apakah mereka masih saling mencintai atau enggak? Dan, sebenarnya, konsep mencintai itu dari mana sih?”

Gwen berhenti. Mukanya lucu ketika mengatakan kalimat terakhirnya. Aku juga tidak tahu.

“Dan, oya, satu lagi. Mungkin orang akan bilang, kan bisa bercerai. Nah, tapi, aku agak nggak setuju dengan konsep perceraian ini sih, tapi aku tetap bersimpati dengan segala kemungkinan sih. Berita-beritanya patroli membuat aku sadar hidup itu benar-benar agak mengerikan. Tapi aku juga salut sih, kalau ada satu orang yang tetap setia sama pasangannya, apapun yang terjadi. Misal, tiba-tiba suaminya yang tadinya berpenghasilan besar cacat karena kecelakaan, dan perlahan-lahan tabungan terkuras sementara kredit ini itu harus dilunasi, tapi si istri tetap mendampingi dan menggantikannya mencari nafkah. Atau si istri dipenjara, dan sang suami tetap setia. Benar-benar setia dan sabar loh yah konteksnya. Ini baru namanya konsistensi. Kadang, aku pengen deh, hidup yang benar-benar simpel kayak gitu. Kamu nggak perlu peduli dengan apa kata orang. Tapi kayaknya aku belum bisa. Kamu juga kayaknya belum bisa. Disenggol dikit aja mencak-mencak di twitter. Pengennya pake smartphone terbaru biar kece kalo lagi di cafĂ©, iya kan?”

Gwen tertawa, aku ikut tertawa. Gwen tahu tabletku baru. Kemarin baru kuganti tablet keluaran dua tahun lalu dengan keluaran terbaru yang lebih kecil tapi lebih pintar. 

“Gila yah, 22 tahun hidup aja kan panjang banget rasanya. Coba deh, berapa kali kamu ganti pacar? Berapa cewek yang kamu taksir diam-diam? Dari SD deh kalau bisa. Belum lagi macam drummer keren atau temennya temen temen kost yang cantik yang belum sempat kenalan tapi udah berhasil mencuri perhatian. Tapi kamu akan hidup dengan satu orang yang sama di sepanjang umur kamu. Dan aku salut sama mereka yang berani menikah. Tapi mungkin juga orang yang menyiapkan segalanya sebaik mungkin untuk menikah juga bagus si, seenggaknya mereka mempersiapkan dirinya untuk hal-hal yang tidak mereka inginkan. Mungkin perceraian, atau dan lain sebagaianya. Nggak tahu ini becandaan atau beneran, katanya cewek harusnya nikah sama pria yang mapan. Aku nggak ngerti deh, selain takaran mapan itu beda-beda, kan nggak semua pria terlahir dan beruntung untuk cepat mapan. Kalau gitu, gimana dengan si perempuannya? Harus yang macam Dian Sastro kah? Tapi aku juga nggak berani jamin si, kalau misal, nikah sama orang yang benar-benar nggak punya tujuan. Itu berarti ada semacam kebingungan selanjutnya kan. Meski, jika mapan itu adalah tentang jaminan pekerjaan, kok jadi sempit banget  yah ngelihatnya? Kan, kembali ke depan, kita nggak pernah tahu dengan apa yang terjadi kan? Misal kena PHK atau sakit parah dadakan? Kembalilah ke konsistensi itu tadi nggak sih, ketika kita siap, bersama dengan seseorang dalam segala suka dan duka? Gila yah… panjang benar hidup itu. Dan kita harus melewatinya. Dan, ajaibnya lagi adalah, hidup itu ada fasenya. Mungkin ini fase istirahat, Bri, istirahat sejenak untuk bertemu jadwal yang padat dalam hidup. Macam kita SMP Bri, ada istirahat pertama, ada istirahat kedua, dan kita harus tetap masuk kelas kalau nggak mau orang tua kita dipanggil ke sekolah karena kita badung. Konsistensi Bri. Gila yah…”

Gwen meneguk habis air putihnya lalu mengaduk-aduk strawberry floatnya. Aku mengambil sedikit salad Gwen.

“Gwen, tapi kamu nikah nggak Gwen nanti?” Aku bertanya, menggodanya.

“Nah, Bri, anehnya ya Bri, kalau aku sempat berdoa, aku selalu berdoa kalau anak-anakku kelak punya ayah yang menyayangi mereka Bri… Dan sayang ibunya juga, harusnya”

Kali ini aku tertawa terbahak. Hampir tersedak.

“Gwen, aku ngerti semua yang kamu omongin itu. Kamu tahu, sebaiknya jangan menikahi seseorang kalau kamu masih saja memikirkan tentang perceraian. Yah, meski bener sih, ada relativitas dalam memahami perceraian. Tapi sebaiknya jangan menikahi orang yang bakalan kamu ceraikan si sepertinya, setuju. Dan, kedua Gwen, hal apa yang sudah kamu lakukan secara konsisten selama ini? Selain sikat gigi atau makan Indomie… Karena aku nggak punya jawaban.”

“Sama Bri. Kamu tahu kan, tiap malam aku janji untuk bangun pagi, dan tiap pagi aku mengingkarinya dengan bangun jam sembilan.”

“Mungkin kita belum siap menikah Gwen.”

“Brian, Bri, kamu emang nggak pengen nikahin Maria? Ini tahun ke berapa kalian bersama? Tiga? Eh, lima?”

Aku tak punya jawaban, Gwen.

_____









Disclaimer:

Kenapa “Suburban Love”? Karena saya membuatnya dengan iringan "Suburban Love"  dari Lipstik Lipsing. Lagu untuk Brian, yang tidak mengerti kenapa dia tak punya jawaban untuk pertanyaan terakhir Gwen.

No comments:

Post a Comment