Saturday, February 2, 2013

...guilty pleasure #2



Kalau bener-bener lagi nggak ada kerjaan dan sendirian di kostan, sementara mata belum mau diajak tidur dan masih sangat males banget ke kamar mandi buat bersih-bersih badan, plus piring bekas jajan masih berantakan di pinggiran karpet, saya biasanya membuka laptop, memutar beberapa album orang-orang yang terlalu sering saya dengarkan, dan: membuka tautan-tautan yang kadang tidak terduga dan lalu entah ke mana.

Biasanya, semua bermula dari twitter atau keyword di google, lalu masuk ke halaman-halaman selanjutnya, jangan berhenti hanya di halaman pertama.

Kadang cukup unik. Kadang berubah seru. Kadang mengesalkan. Dan kadang, bikin nangis sesenggukan.

Niat banget yah? Tapi menikmati ke-selo-an (baca: sélo, longgar dalam Bahasa Jawa, bukan plesetan dari “slow”, lambat dari Bahasa Inggris), adalah sebuah harga tersendiri, yang seringnya akan saya nikmati sampai tertidur tanpa cuci muka dan berbuah jerawat di Jumat malam.

Baru-baru ini saya menemukan blog keyboardist salah satu band indie yang membuat saya penasaran sejak beberapa tahun lalu. Setelah sempat salah orang, karena ternyata orang yang saya maksud adalah semacam additional sepertinya, sementara saya dikenalkan kawan saya yang produser radio ke keybardist aslinya yang sudah tinggal di luar kota. Sebenarnya kebetulan, karena saat itu, selain band mereka memang keren, juga karena orang itu pernah memboyong banyak awards kompetisi iklan mahasiswa. Mbak Lale, kawan saya yang datang saat itu, dan kebetulan kakak tingkatnya yang cerita ke saya. Wauw, di mata saya, orang seperti dia itu luar biasa. Iya kan, kadang kita melihat orang terasa begitu hebat dan lalu kita pengen tahu, siapa si orang itu. Atau bahkan mungkin semacam, “Yang menang kemarin itu siapa si, yang mana orangnya?”; “O, dia yang menang itu ya? Karyanya kayak apa si? Pasti hebat juga…” 

Untunglah ada internet. Tinggal ketik namanya di google, kita akan bisa melihatnya. Melihat, bukan mengenal. Saya percaya, dibutuhkan interaksi yang lebih banyak untuk bisa mengenal dari pada sekedar melihat profil seseorang di laman blog atau menjadi follower di twitter.

Dan saya sering melakukannya. Bahkan cuma gara-gara baca namanya di satu artikel, baru-baru ini saya membuka blog seorang financial advisor gara-gara dia jadi narasumber satu artikel di kontan. 

Tapi saya sadar, tidak semuanya memang untuk dikenal secara personal. Ya sukur-sukur bisa saling tukar pikiran yah, atau mungkin tepatnya saya yang belajar –sambil menikmati pemikiran-pemikiran orang-orang itu di catatan maya mereka si. Em, ya kayak kita baca buku aja kan yah? Merekalah para penulisnya. Kita merasa tahu, tapi ingat, kita tak mengenal mereka. Dan, mungkin, tidak di tempatnya pula untuk terelalu peduli secara berlebihan. Kecuali memang krusial. Seperti misalnya mencaci selebritis menyebalkan, atau supir angkot menyebalkan. Yah, saya juga melakukannya. Karena saya belum tahu cara agar tidak melakukannya.

Naif banget ya saya?

Hufht.

Apa saya hentikan saja ya, ketidakpentingan ini?

Meski seringnya banyak bermanfaat si. Seperti misalnya, saya jadi tahu, siapa itu Yasmin Ahmad dan pandangan saya sedikit berubah ketika harus banyak bicara tentang masalah perbedaan Indonesia-Malaysia. Atau perbadaan-perbedaan lainnya. Saya pernah melihat dua karya Yasmin Ahmad, dan betapa, begitu banyak hal yang sederhana di sana. Seperti di sini. Dan, begitu banyak orang-orang yang terlalu senang untuk memprovokasi kebencian. Nah, kan, saya menghakimi. Saya sama saja ternyata. Belum belajar melihat hal-hal sederhana dengan mata terbuka.

Atau mengikuti twit Goenawan Mohammad. Sepertinya beliau masuk orang-orang pertama yang saya ikuti sejak memiliki akun twitter dan belum pernah berfikiran untuk meng-unfollow akun at gm_gm itu. Saya un-follow Dewi Lesatari karena dia, ah, sudahlah. Tapi GM menyenangkan, setidaknya bagi saya.

Atau tersesat ke dalam blog-blog menyenangkan yang membuat saya: aaah, kapan ya, saya bisa nulis sebagus yang menulis tulisan ini?

Atau melihat akun twitter orang, dan, ah, ini si ini to? Oh, ya ya…. Dan, klik, kita membuka lama web di tautan profilnya. Lupakan twitternya, dan, oh, ini interest-nya.

Dan besoknya lagi, besar kemungkinan saya akan melupakan semuanya.

Melakukannya sekali seminggu dan merasakan efek yang, menyenangkan tapi agak bodoh. A guilty pleasure.

Tapi malam ini saya begitu terharu tentang tulisan ini. Twit seseorang di timeline saya yang menautkan tulisan lainnya di dalam blog ini. Lalu saya pun terlena membaca, dan menemukan ini: http://365karakter.tumblr.com/post/36519167245/moch-asrul

Bukan apa-apa. Mungkin saya seperti Asrul. Saya pertama kali menonton bioskop di akhir umur 16 tahun. Ketika saya sudah tinggal di Solo. Di kota kelahiran saya tidak ada bisokop dan entah kenapa, ayah saya lebih senang mengajak kami, saya dan adik saya, memancing, ke gunung, dan ke pantai daripada ke bioskop. Bioskop terdekat di Purwokerto, saya sempat hampir nonton film ke bioskop sama mantan pacar saya waktu SMA, tapi keburu kemalaman dan saya ditelfon terus untuk pulang.

Tapi televisi di masa ketika saya kecil sepertinya memang penuh film deh.  

Saya pertama kali menonton Armageddon di Layar Emas RCTI kalau nggak salah. Atau Indosiar, saya juga lupa. Dan saya menyukai film itu hingga sekarang. Berkali-kali menangis di akhir film: takut kalau ayah saya tidak bisa menikahkan saya, ya, sebenarnya perasaan itu yang membuat saya menangis, saya ingin ayah saya bisa menggendong cucu dan cicitnya. Tidak meninggal. Karena saya yakin, ayah saya tidak mungkin harus meledakan diri bersama asteroid raksasa demi menyelematkan bumi. Kecuali itu, saya akan mencoba ikhlas.

Sampai sekarang tidak terlalu memaksakan diri menonton film ke bioskop karena awalnya agak sayang harus mengeluarkan uang tiket, pop corn, kue, soda, soda, air putih demi film yang: “Kok jelek yah?”; “Ngapain kamu nonton, ni aku udah punya downloadannya.” Kecuali kamu masih memiliki pacar, atau, minimal gebetan. Sejelek apapun pilihan film yang ada, toh kita sudah sampai lobi bioskopnya. Dan punya stok bahan cerita ketika makan setelahnya. “Ah, aku suka banget bagian si ini nglakuin itu…”; “Hah, bukannya itu aneh yah, menurutku si, soalnya yah…..”; “Optimus Prime keren banget yah….”; “Shia LaBeouf seksi bangettttttt….”.

Dan, tentu, “Terimakasih DVD Bajakan”. Ya, saya membeli dvd bajakan. Setelah tak ada lagi kawan penyuplai film downloadan. Dan, mungkin Agung sepertinya juga terlalu sibuk untuk mengunduhkan Breakfast at Tiffany’s atau Gone With The Wind, atau film-film klasik lainnya. Dan saya seperti melihat dvd Pulp Viction di lapak abah-abah deket kostan deh, yah…hmmm…

Dan karena film-film di televisi yang membuatnya ngantuk di sekolahan, Asrul, –tidakkah namanya mengingatkanmu pada Asrul Sani?, lebih ingin menjadi pembuat film daripada menjadi pandai seperti Haji Kalla, –Jusuf Kalla idola saya! Bayangkan ada sejuta pemuda seperti Asrul di masa depan, orang yang sedari kecil ingin membuat film. Mungkin kita akan bertemu Ifa Isfansyah-Ifa Isfansyah selanjutnya, yang terasa begitu hebat membuat Percakapan Ini di dalam omni Belkibolang.

Karena kenyataannya, begitu banyak film yang ingin ditonton tapi memang tidak tayang di layar bioskop. Pasti banyak di antara kita (kalau ada yang baca) yang sudah tahu apa yang terjadi. Saya sempat merasa berdosa sebenarnya, untuk tidak menonton film lokal di bioskop, tapi, ehm, saya masih begitu kolot memang, saya belum cukup berani menonton film ke bioskop sendirian. Dan saya selalu gagal nonton film bareng kawan kost saya, karena entah apa, dan lalu kami berakhir di lapak dvd bajakan. 

Pola pikir saya akhir-akhir ini agak melantur ke mana-mana. Ada yang terlalu banyak berseliweran. Sepertinya hantu kost-kostan. Mungkin karena saya terlalu banyak begadang sampai subuh. Jadi baiknya, mungkin saya akan mengurangi kegiatan selo ini. Meski saya tahu, saya bisa belajar banyak hal di sini. Tapi kadang tak baik juga mendapatkan begitu banyak informasi.

Karena seperti namanya, maya. Apa yang kita anggap ada, jangan-jangan sesungguhnya tak pernah ada. Ya.

5 comments:

  1. jujur, pas bagian ini:"Karena saya yakin, ayah saya tidak mungkin harus meledakan diri bersama asteroid raksasa demi menyelematkan bumi. Kecuali itu, saya akan mencoba ikhlas.". lucu banget.. ampe senyum2 sendiri kayak orang gila pas bacanya. hahaha.. memang Diyah ini pandai membuat tulisan yg serius, tp tetep humoris..

    ReplyDelete
  2. oh iya, tenang aja Diyah. ada yang baca kok.. hehe (in response to: kalau ada yang baca)

    ReplyDelete
  3. hhhi, mas pondra...
    jangan2 cuma mas pondra juga yang baca... :))

    bagian bruce willis meledakan diri itu sedih banget mas soalnya. :D

    ReplyDelete
  4. masak aku doang yg baca. pasti ada orang lain di sana yg mungkin juga baca tulisan Diyah.. entah siapa orang tersebut. kayak tulisan di atas itu lho. seseorang yg gak kenal, tp pengen tau. hehe

    wah wah, penggemar Armagedon ya ternyata..

    ngomong2, link yg ini juga kocak lho.. :D
    http://fuadiyah.blogspot.com/2011/09/hidup-susah.html

    ReplyDelete
  5. hhha, iya ya mas...
    aku baru ngeh kalo di blogspot itu bisa tau keyword apa yang dipake sehingga nyaut ke tulisan kita, ternyata ada keyword semacem: "cari istri yang mau hidup susah" dan itu yg paling atas blogku itu. hhha... :D

    iya ya mas..
    makanya sekarang harus mikir bberapa kali untuk nulis terlalu pribadi. hhhi, yg umum-umum aja... :D

    ReplyDelete