Monday, January 21, 2013

...ESAI (kayaknya esai)


print screen dari nytimes.com

 
Entah dalam rangka apa, saya menemukan tulisan ini. Esai (Kayaknya Esai) untuk mengikuti workshop penulisan kritik film di Indonesia Buku (Yogyakarta), sekitar September 2011. Kalau tidak salah, saya ditawari oleh kawan saya Mas Yandri, yang ketika itu menjadi program director di situ, sekarang dia jadi wartawan di Jakarta.


Sihir Resensi Bagi Kami yang Nggak Ngerti Film

Jika orang ‘ngerti’ film bicara tentang Quentin Tarantino atau Nazi dalam “Inglorious Bastards”, maka saya lebih senang bicara tentang Brad Pitt. Atau ketika mereka bicara tentang bagaimana rumitnya Chris Nolan membuat “Inception” hidup, saya lebih senang membicarakan betapa tampannya Leonardo DiCaprio dan Joseph Gordon-Levitt. Saya nggak ‘ngerti’ film.

Saya menonton film karena ada ‘resensi’ dari pihak lain. Entah itu dari sebuah artikel ataupun rekomendasi teman. Pun bisa memilih sendiri film yang akan saya tonton, saya akan membaca sinopsis pendek di belakang tempat dvd/vcd-nya atau bertanya pada si mbak penjaga rental. Pada akhirnya, saya memilih film yang saya tonton berdasarkan info-info kecil tentang film itu. Saya dan kebanyakan dari kita pasti tidak akan mau menonton film tidak bagus.
Karena saya cuma paham tentang beberapa pemainnya –itu pun tak paham-paham amat, jadi seringkali saya memilih film hanya karena pemainnya. Dalam pikiran saya, “si A oke di film X, maka dia pasti oke di film Y ini”. Tapi, pengetahuan yang tak seberapa itu bisa saja menjebak. Tahun kemarin kita pasti sangat terpesona dengan Nat Portman ketika ia menjadi Black Swan, maka saya menonton sebuah romcom  dimana Nat bermain bersama Aston Kutcher. Dan, yah, saya kecewa, untungnya tertolong kenyataan kecil bahwa Kutcher itu ganteng.
Pada akhirnya, saya banyak terbantu dengan adanya ‘resensi’ dari pihak lain tentang sebuah film bagus. Setidaknya, ketika oranglain bilang bahwa film X ini bagus, maka saya sedikit percaya, lalu menonton untuk membuktikannya. Dan, ‘buummm’, seringkali ‘resensi’ itu benar adanya. Pun, ketika saya harus membaca ulasan tentang sebuah film atau sekedar mengobrolkannya kembali setelah menonton, kadang banyak benarnya dan lantas setuju dengan pembahasan itu.
Sempat saya berfikir bahwa sebuah tulisan tentang film, atau album atau pertunjukan, ajaib sekali. Karena mampu mempengaruhi pembaca sedemikian rupa dan kemudian setuju (atau sedikit setuju) dengan pembahasannya. Meskipun, sampai detik ini, saya masih mempertanyakan perbedaan atau persamaan antara tulisan resensi dan review film. Entahlah, rasanya ada yang berbeda, tapi sekaligus sama. Atau saya saja yang tidak begitu mengerti.
Dan, saya kira, walaupun tidak punya penulis film favorit, rasanya perlu juga mengetahui rahasia apa dibalik ajaibnya sebuah ulasan film. Setidaknya, saya jadi tahu, rahasia apa yang membuat saya begitu saja setuju dengan ulasan itu. Bagi orang yang nggak ngerti film seperti saya, itu cukup penting. Agar saya tidak hanya terpesona dengan yang ganteng-ganteng, cantik-cantik, atau baju-baju di film saja. Karena film itu katanya terdiri dari banyak hal, macam cerita, artistik, akting si aktor, musik latar, atau efek digitalnya. Aduh, rumit deh, saya belum ngerti.

*****


Siapa sih, yang nggak seneng nonton film?

Seperti ketika pertama kali belajar tentang mode, film juga mengajak saya mengenal hal-hal lain di sekitarnya. Nggak cuma sekedar teknis pembuatan, pesta bintang, atau sekedar meraup berapa miliar keuntungan. Film memiliki ribuan pintu masuk ke berbagai hal di sekitar kita. Contoh paling rumit, menurut saya, kita bisa bermain-main dengan psikologi melalui psikoanalisis atau memaknai berbagai simbol-simbol yang ada melalui semiotika. Wauw.

Dan tentang kenapa akhirnya saya tertarik ikut. Selain ini sangat menarik, karena memacu kita belajar banyak hal lainnya lagi, juga karena saya pengen tahu rahasianya para penulis resensi bisa sampai membikin dunai perfilman kesetrum. Entah berbondong-bondong setuju dengan segala pujian atau caciannya. Atau justru ramai saling membalas karena tidak setuju. Kalau di Indonesia, beberapa situs yang membahasnya dengan kritis seperti rumahfilm.org, cinemapoetica.com, atau jakartabeat.net ulasannya sangat menyenangkan, saya berharap kelak bisa mengirim satu tulisan saya di sana. Tempo, Kompas, atau beberapa blog pribadi pecinta film atau wartawan yang saya kenal juga menyenangkan.

Kebetulan, waktu itu salah satu pematerinya Mas Hikmat Darmawan dari Rumah Film dan ada juga Windu Jusuf dari cinemapoetica. Dan beberapa kawan lain, yang, tulisan mereka sangat harus dipelajari.

Dan lalu, di sinilah saya. 

Meski mungkin baru menonton hanya sepersekian persen dari ribuan film yang ada. Saya pengen belajar. Bahkan sampai sekarang. Iya, sementara saya masih tertarik sama dunia mode dan film untuk saya tulis sekali-kali. Dari situ aja rasanya dunia itu terlampau luas buat dipelajari. Dan, ehm, dari situ akhrinya saya juga belajar banyak si, termasuk ketika harus mengaplikasikannya pada keseharian dan pekerjaan saya.

Sambil ngimpi-ngimpi bisa majang tulisan di, em, minimal beberapa nama yang saya sebut tadi. Syukur bisa di NY Times. Ah, senangnya. Hehehe.. :)))

No comments:

Post a Comment