Saturday, January 5, 2013

...and who knows?





Pagi ini saya akan berangkat ke Solo. Kereta saya pagi, sekitar jam tujuh. Jarak dari stasiun dan tempat saya cukup jauh. Saya akan berjalan dari kost sedikit dan naik trans Jakarta. Selama ini saya bangun jam setengah tujuh pagi atau jam sembilan. Saya memutuskan untuk tidak tidur saja dan tetap menyalakan lampu kamar. Kalau saya tidur dan mematikan lampu, saya khawatir saya akan terlambat mengejar kereta. Meski dengan taksi tercepat, sepertinya tidak akan dapat mencapai stasiun dalam waktu kurang dari 30 menit.

Hari ke-lima Januari tahun ini. Tahun pertama, ketika saya merasa lebih menjadi orang yang berguna. Setidaknya, berguna bagi diri saya sendiri.

Lagipula saya tidak terlalu ngantuk. Tiap Jumat malam saya tidur pagi. Ya, hari Sabtu terasa begitu berharga. Karena saya bisa bangun agak siang. Memasak sendiri makanan yang akan saya makan. Dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya. Termasuk besok. Naik kereta adalah sebuah keajaiban lain yang bisa saya rasakan.

Barusan, saya menonton kembali film favorit saya, "An Education". Kemudian membaca-baca postingan lama saya selama satu tahun kemarin. Lucu, bodoh, dan menyenangkan. Termasuk ketika saya menemukan catatan di awal tahun 2012 kemarin. Rangkuman singkat tentang momen-momen selama tahun 2011. Tentang menonton konser band lokal favorit, nilai tugas kuliah, sepatu, mantan pacar yang hanya beberapa saat, sebuah workshop dan ketertarikan saya akan satu bidang, atau tentang sakit, sakit yang sebenarnya, bukan sakit hati.

Dan, lalu, saya melihat diri saya saat ini. Setidaknya, satu tahun terakhir. Tidakkah waktu begitu hebat menunjukkan kuasanya? Meski semuanya bisa saja berubah dalam hitungan detik. Tidakkah ada yang saling berkaitan satu sama lain? Terangkai begitu apik, memanjang seperti karpet merah yang mengantatkanmu hingga di istana indah? Meski kita harus selalu bersiap-siap lari menyelamatkan diri jika istana itu hancur di kemudian hari. Tapi semoga tidak.

Di awal tahun, minggu pertama sepertinya. Saya terlalu percaya diri ketika mendapat panggilan tes tertulis satu media lokal di Solo. Sebelumnya, saya ditelpon salah seorang redakturnya. Saat itu ada lowongan reporter, jika saya tertarik, masukkan saya lamaran dan contoh tulisan. Orang sombong memang layak dikalahkan. Merasa cukup spesial karena berlatar belakang jurnalistik yang begitu kuat, anak komunikasi, anak persma, tulisan pernah dimuat di koran, rajin ngeblog nggak jelas, pasti saya keterima. Tapi, nyatanya, saya tidak mendapat panggilan apapun tuh. Jujur, sejak saat itu, saya merasa khawatir dengan kemampuan menulis saya. Kekhawatiran itu terjawab ketika saya membaca ulang blog saya barusan. Tulisan saya memang jelek, kawan. Harusnya saya sadar sejak dulu.

Tapi memang saya mendua sejak sebulan sebelumnya. Jika empat tahun lalu, keinginan saya tak terhalangi apapun untuk menjadi seorang jurnalis. Keinginan itu lambat laun menghilang. Mungkin karena pada dasarnya saya sadar, sebenarnya saya tidak mampu. Banyak hal kecil membuat saya berfikir dan berfikir ulang untuk menjadi jurnalis. Tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat saya pada profesi jurnalis. Semacam, warning sign.

Ya, sejak akhir 2011, saya memikirkan ulang keinginan saya. Yang ada dalam pikiran saya hanya satu hal, biarkan saya tetap menulis, meski itu hanya menuliskan cerita sehari-hari pada halaman blog. Dan jika sebelumnya menjadi jurnalis adalah sebuah gambaran untuk mendapatkan uang, maka semoga saya menemukan jalan lain mendapatkan uang atau karir atau apalah namanya pada hal lainnya yang saya suka dan mampu lakukan.

Kalau kata novel-novel dan buku motivasi, semesta mendengarkan dan bekerjasama.

Buktinya saya tidak diterima sebagai jurnalis. Di manapun saya melamar pekerjaan sebagai jurnalis, tidak ada tanggapan. Saya melamar di dua perusahaan, di Solopos dan di Femina. Semoga kelak mereka akan meminta saya untuk menuliskan kolom tentang mode atau film. Amin Tuhan. Tuhan pake huruf T besar.

Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan hal paling benar yang bisa saya lakukan kala itu: MENYELESAIKAN SKRIPSI. Karena ternyata tenggap membayar SPP tinggal sebulan lagi. Berkat doa semua umat, saya menyelesaikannya. Ternyata mengakhiri satu hal yang kita benci itu benar-benar menyenangkan. Semacam dengan lantang ngomong ke orang yang kita benci, “Aku benci kamu, jadi kita nggak perlu berurusan lagi.” Lega. Dan tentu tidak bayar SPP. Dan mengejar wisuda.

Dan wisuda ternyata gitu-gitu aja. Mengharukan malah. Saya agak sesek waktu berjalan menuju kursi tempat duduk di auditorium. “Anjing, besok saya ngapain?!” Semacam sedih, karena ternyata kita mencintai teman yang kita benci itu. Kuliah, tugas, skripsi, teman-teman. Dan mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi dengan itu semua, dengan rasa yang sama.

Saya ingin jalan-jalan. Seperti rencana sebelumnya. Tapi tabungan saya tidak banyak dan saya ingin tidak lagi minta ke orang tua saya. Entahlah, mungkin semacam ego untuk mengukur diri apakah kita mampu hidup tanpa mereka. Ego anak muda yang sedang merasa muda, kata bapak saya.

Tapi justru kesempatan datang mengajak saya mengenal Solo lebih dekat. Ah, kenapa tidak dipuas-puaskan jalan-jalan di Solo? Dan benar, ada satu warung tengkleng yang luar biasa ramai yang belum saya tahu sebelumnya. Kelak saya akan bisa membuktikan kalau saya pernah tinggal di Solo hampir lima tahun.

Merasakan kembali menjadi anak ayah dan ibu saya. Kakak bagi adik-adik saya. Sebelum sore bersama koper besar entah berisi apa menuju Jakarta.

Saya kira, saya akan magang di salah satu agency besar di Jakarta dulu barang satu atau dua bulan setelah berhasil mengumpulkan kembali tabungan untuk hidup selama di Jakarta. Baiklah, untuk pekerjaan yang sama tapi lingkup yang berbeda, kenapa tidak? Toh, menurut tanya-tanya waktu wawancara dulu, job desk-nya sama.

Saya gagal menjadi jurnalis. Saya juga gagal magang di Ogilvy, gara-gara ragu-ragu antara mending magang atau mending cari kerja lainnya. Tapi saya ternyata bekerja di televisi.

Waktu itu saya ngobrol bersama Agung, kawan adu mulut di Kentingan dulu, kata dia, “Ingat nggak Di, dulu kita ikut Workshop Metro TV sama Kompas, dan katanya kamu pengen kerja di Metro TV?”. Saya mencoba mengingat. Walaupun tidak ingat. “Dan di Kompas juga pengen,” kata saya. Waktu itu saya ketawa tanpa berhasil mengingat. “Dan iya si, kalau mau di TV ya, aku maunya di Metro si,” lanjut saya. Maksudnya menjadi reporter mungkin yah dulu. Lupa serius.

Kerjaan saya, eghm, kerjaan yang akan membuat orang bertanya: itu apaan ya? Agak nggak keren si sebenarnya. Man? Tapi saya bisa ngrapiin kemeja calon presiden pilihan saya waktu pemilu 2009 lho… Hhhaa, Pak Jusuf Kalla. Ya ampun, salaman aja saya seneng banget. Kalau 2014 beliau nyalon presiden lagi, sepertinya saya akan tetap memilih beliau. Siapapun calon wakilnya.

Hal-hal kecil macam, ruangan yang benar-benar terpisah dari suasana ruang redaksi tivi, mas-mas Media Indonesia gondrong+drummer+lucu di sebrang ruangan kalau mau jalan ke kantin, makan siang yang menunya sering aneh, boleh datang jam 1 siang (kalau mau), tim kecil yang meski di belakang kadang kesel sendiri tapi solid kalau lagi kerja (macam kentingan yang militant gitu), orang-orang unik dan luar biasa di ruangan yang selalu bikin ketawa (sekaligus stress karena kerjaan, kapan-kapan kita bahas satu per satu), dan kesempatan-kesempatan langka macam: Pak JK itu tadi, sepatu saya dibilang keren sama Marissa Anita waktu mau shooting promo 8-11, kata dia “Wauuuuww, that’s cute, coooool, I think I’ve to try wakai next time.” Kata saya, “Ahahaha, *tersipu* you should mbak…” (ini penting bgt!), atau ngobrolin tentang bonus akhir tahun sama dirut kantor saya di sela-sela fixing teks marketing gathering (akhirnya saya tahu, krisis Eropa berimbas pada bonus kawan!), dan Tomi Tjokro itu kalo dari jarak kurang dari 5 cm itu macam Ariel Peterpan, eh, Noah loh… Dan, Prabu Revolusi itu kalau pas lagi acara masak di 8-11, dia pasti nongol cuma buat nicipin makanan, nggak ngomong apa-apa terus pergi gitu aja (ini hasil menonton berhari-hari sama orang seruangan).

Dan akhirnya. Akhir tahun. Dan, saya tahu ini tidak mudah.

Saya bosan di Jakarta. Bukan macetnya, bukan kerjaan saya, bukan orang-orangnya. Sejujurnya saya masih terikat masa-masa bersama teman-teman saya dulu. Kebetulan saya kadang tidak peduli dengan ponsel. Saya jarang mengirimi mereka pesan pendek. Saya juga tidak punya blackberry, jadi tidak bisa ngrumpi di BBM. Sempat rajin bertukar email super panjang tiap waktu sama Vicky, tapi kemudian sepertinya kita sibuk. Bahkan saya belum menyempatkan bertemu Kenyo, meski dia sudah tinggal di Jakarta.

Saya menikmati hari-hari saya di sini. Tapi saya tidak lagi memiliki hubungan-hubungan pertemanan macam dulu ketika saya kuliah. Kalau dengan orang tua, mungkin karena sudah terbiasa di kost dulu, sudah cukup bisa teratasi, melalaui telpon mingguan orangtua saya untuk bercerita hal-hal sederhana. Atau sms ajaib Lulu, seperti misal ketika dia bertanya tentang soal Matematika atau dia harus nonton Cherrybelle tidak, atau pertanyaan benar nggak sih, kalau nonton Chibi di Selamanik (kebun binatang di dekat rumah saya) itu pasti penuh dan panas, semacam itu. Ada semacam ikatan yang enggan mengendur di sana, bahkan meski kita jarang bertemu langsung.

Waktu saya bilang ke Uqi saya mau ke Solo, seperti sebelumnya, saya bilang kalau saya bosan. Lalu saya ceritakan apa yang saya rasakan. Ajaib, ternyata dia juga merasakan apa yang saya rasakan. Mungkin ini akibar saya dan Uqi sama-sama harus berada di lingkungan yang benar-benar baru. Dan tentu saja, berpisah dengan kawan-kawan terdekat yang dulu selalu bersama. Ya, saya sendirian. Si Uqi juga. Dan tentu saja, membangun kualitas pertemanan itu tidak secepat membalik telur mata sapi di penggorengan.

Saya merindukan kualitas itu. Saya ingin sekali menemani Vicky menunggu penguji datang menuju ruang ujian. Saya ingin makan brambang asem. Saya ingin melakukan apa saja tanpa menerima reaksi “Wah…”, karena teman-teman saya tahu saya suka nggak jelas. Itu yang terjadi dua bulan ini. Bukan berarti saya tidak nyaman dengan lingkungan saya sekarang. Tapi memang saya sadar, sebaiknya memang ada jarak yang jelas dalam hubungan professional pekerjaan dan kedekatan pribadi yang lebih intens.

Atau mungkin, jangan-jangan, karena saya tidak bertemu teman-teman sebaya ketika bekerja, sementara merekalah yang saya temui lima hari seminggu? Bisa jadi. Saya ingat, hari pertama saya masuk, manajer saya bilang, kurang lebih: karena Diyah tidak melalui program development program fresh graduate, nanti penyesuaiannya secara bertahap. Ah, tapi saya kira bukan ini alasannya. Banyak orang tidak melalui program DP. Ini kenyataan yang harus saya terima, tentu saja mereka adalah tim yang hebat. Terlepas masalah usia, toh kelebihannya, saya justru bisa mencuri ilmu sebanyak-banyaknya dari mereka yang pengalamannya sudah berkali lipat dari saya. Anggap mereka adalah guru, dan saya adalah murid yang akan belajar secara langsung. Dan digaji.

Apapun alasannya, ini proses. Saya juga dulu sendirian di Solo, di tahun pertama menemukan satu sahabat. Lalu bertambah di tahun-tahun setelahnya. Hingga saya merasa sangat nyaman di sana.

Saya hanya merindukan teman-teman saya. Saya merindukan Solo.

Kebetulan saya masih menyimpan libur ganti hari. Kebetulan deadline tahun baru sudah menyusut. Kebetulan Vicky ujian. Kebetulan saya dapat ijin libur. Dua jam lagi saya ke Solo. Bismillah. Mungkin ini bukan kebetulan, ini kesempatan.

Jadi, tahun 2012 itu, em, semacam lanjutan cerita dari tahun 2011 sepertinya. Cerita yang lebih indah dan pelajaran yang lebih banyak. Pun semoga tahun ini. Dan tahun selanjutnya. Saya sudah memiliki beberapa rencana, saya tidak yakin akan berjalan dengan lancar. Karena jalan tol yang mulus pun ternyata rawan kecelakaan. Jadi, biar ceritanya terus bersambung rapi macam gerbong kereta api sajalah…

Sambil menulis ini dan menunggu adzan Subuh dari masjid depan kost, “Vagabond”-nya Beirut back to back terus.


Left the vagabonds// A trail of stones// Forward to find my way home now// As the air grows cold// The trees unfold// And I am lost/ and not found// And who knows/ who knows/ who knows///


Sepertinya resolusi tidak lagi penting. Karena kesempatan selalu datang tak terduga. Dan seringnya, di saat yang tepat. Tapi kita menyadari setelah semuanya terjadi.

And who knows? Lets life…

2 comments:

  1. ugh.. aku suka iri dengan orang macam kamu di...
    yang spontan, tanpa mikir dulu ini itu bikin segepok rencana tapi toh lewat juga

    pasti bahagia mau ngapain gak perlu kepikiran ntar gimana ntar gimana ntar gimana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kepikiran lah aliiiiin... :))
      spontan ngambil keputusan juga udah dipikir-pikir kok. hhhi... tapi kadang kita berani apa enggak. berani setelah jalan, harus lebih berhemat, misalnya... berani jauh dari teman2, dari keluarga... hhhi...

      etapi, seru loh, banyak yang nggak keduga...
      tapi kayaknya kita ttp harus punya rencana besar yang pengen dituju si. biar kita juga seneng. yeeaaaa...;)

      Delete