Sunday, February 12, 2012

...ojek payung


Tadi sore, kok, rasanya, itu adalah pertama kalinya saya memakai jasa ojek payung. Sepertinya iya.

Saya terjebak di PGS setelah mencari kain di Beteng. Nah loh? Pokoknya gitulah. Setelah mencari kain di Beteng, saya keinget pesen ibu saya untuk mencari sesuatu lainnya, lalu membelinya di PGS. Agak lama mencari tokonya, karena yang saya ingat hanya klu, “di bawah tangga”. Oyeyeyee… ada berapa tangga di PGS?? Hingga akhirnya ketemu, memilih, menawar (dan gagal), kesel, memilih lagi yang paling oke, saya beli. Pulang.

Dan, di luar hujannya deras sekali.

Saya duduk di tangga-tangga bagian depan PGS. Sendirian. Melihat banyak orang menawarkan jasa ojek payung. Saya berniat untuk menunggu hujan reda. Saya nggak mau kehujanan dan sakit. Sebenarnya saya agak heran, kenapa hujannya deras begini? Alasan saya memilih keluar siang, adalah karena beberapa hari ini Solo cerah ceria, bahkan hingga malam. Tapi tidak hari ini. Jam empatan itu hujan deras sekali. Saya nggak ngalamin mendungnya, mungkin mendungnya pas sejaman saya cari-cari toko mukena itu.

Saya memperhatikan para pengojek payung. Payung mereka bagus-bagus. Besar, sangat besar, warna-warni. Warna kuningnya paling menonjol. Dari atas saya bisa melihat warna-warnanya berputar cepat waktu payungnya diputar-putar. Ingat pelangi? Ingat kecepatan cahaya? Ingat asal-mula warna? Aha…

Saya jadi teringat satu bacaan, (saya lupa, ini fiksi atau fakta), tentang seorang anak yang ingin menjadi bos ojek payung di Jakarta sana. Dia akan menyimpan uang hasil mengojek payungnya, nanti dia akan membeli payung baru, lalu dia akan menyewakan payungnya ke teman-temannya yang lain, dan nanti temannya membagi hasilnya dengan dia. Lalu dia akan membeli payung baru lagi, dan teman-temannya akan lebih banyak lagi memakai payungnya dan membagi hasilnya dengan si anak itu. Tapi, karena saya lupa, ini fiksi atau fakta (sepertinya fiksi), sepertinya itu hanya terjadi dalam bayangannya, karena ketika dia melamunkan impiannya itu, dan menuju pusat perkantoran untuk mengojek payung, sepetinya si anak semacam tertabrak mobil. Sepertinya. Tadi, saya mencoba mengingat-ingatnya, tapi saya tidak berhasil mengingatnya, sampai sekarang.

Terus saya ingat satu bagian film di Belkibolang. Film pertama di Belkibolang, “Payung”. Si adik perempuan pengojek payung yang berpayung kuning dan terus menerus tersenyum riang ke Dwi Sasono, pekerja yang agaknya sore itu sedang kacau-balau-galau. Tapi si adik berambut panjang itu terus tersenyum tulus. Bahkan ada shoot adiknya melompat-lompat girang itu menyenangkan sekali. Film pendek itu minim kata-kata, tidak ada dialog malah. Hanya backsound menyenangkan, senyum riang si adik pengojek payung, dan muka kacau Dwi Sasono. Tapi, bagi saya kala itu, “Agung Sentausa, si sutradara berhasil menghilangkan kesan kotor, semrawut, ribet, dan becek perkampungan kumuh di Jakarta melalui gambar-gambarnya. Dia berhasil menggambarkan hujan Jakarta dengan indah, dari seorang mata gadis cilik pengojek payung.” (kutipan dari review film Belkibolang saya tahun lalu J). Dan, Dwi Sasono yang ikut tersenyum di akhir cerita.

Dan, hei, ojek payung itu nggak cuma di Jakarta kali yah? Ini apa saya yang baru sadar atau gimana? Sebelumnya di Grand Mall ada juga ojek payung gitu, tapi, bapaknya rapi-rapi gitu, emang pelayanan dari GM sampai parkiran mobil yang di seberang jalan depan deh kayaknya, jadi biasa aja bagi saya.

Masih dari tangga paling atas saya melihat seorang anak laki-laki yang riang ke sana- ke mari menawarkan ojek payung. Dan, entah kenapa, sejauh saya melihat, sepertinya anak itu selalu berhasil membuat beberapa ibu-ibu dan embak-embak untuk memakai payungnya. Dia menyerahkan payung besarnya (besar bangettt) ke pelanggannya, terus dia memakai caping. Larinya ringan. Sepertinya dia senang hujan datang dan dia akan mendapatkan tambahan uang. Dan, dia satu-satunya anak-anak di sana.

Hujannya awet. Dan memang awet sampai saya menulis catatan ini di jam sembilan, dan hujan belum reda.

Saya melihat jam tangan saya, sudah jam lima kurang seperempat. Sudah sekitar satu jam saya duduk. Dan saya harus segera menjemput teman saya jam limaan. Saya harus pulang. Menuju beteng terlebih dahulu, tentunya. Saya menunggu si anak laki-laki itu, saya pengen tahu namanya. Saya pengen tahu, dia kelas berapa dan sekolah di mana. Saya pengen bilang ke dia, “Habis ini jangan lupa mandi dan keramas yah, biar nggak sakit.” Saya pengen satu payung sama dia, biar dia nggak usah pake capingnya. Tapi dia nggak juga datang, dan saya harus segera pulang.

Saya mengikat rambut saya, menyatukan belanjaan saya dalam satu kresek. Turun ke bawah. Si anak nggak kelihatan. Sebelum seorang bapak menawari saya ojek payung, “Cuma tiga ribu mbak, ke beteng mbak?” katanya. Akhirnya saya bersama bapak itu. Saya tidak mungkin menolaknya (aih). Si bapak menyerahkan payung abu-abu besarnya ke saya, sementara dia memakai mantel panjang berwarna hijau dan bercaping. Tadinya gagang payungnya si bapaknya juga yang pegangin, tapi agak ribet yah, akhirnya saya meminta untuk memegangnya sendiri. E, malah setelah itu, tahu saya kesulitan memegang tas dan plastik belanjaan saya yang agak besar, si bapak membawakan belanjaan saya. Hhmmm…

Kami ngobrol loh. Dia cerita tentang kampungnya di Mojosongo, yang merupakan relokasi dari Sangkrah oleh wawali beberapa tahun kemarin. Kata dia, kalau boleh milih, dia lebih nyaman tinggal di Sangkrah daripada di Mojosongo. Karena di Mojosongo jalannya turun naik (saya nggak ngerti juga itu yang di mana?). Sayangnya, Sangkrah, kampung lamanya, pasti kena uapan dari Bengawan Solo tiap musim hujan seperti sekarang ini. E, tapi, bukannya emang Sangkrah itu emang bantaran Bengawan Solo yah? Gitulah…

Sampai saya mau pulang dan harus memberikan tiga ribu haknya. Bodohnya saya, saya hanya mempunyai dua puluhan ribu dan dua ribuan. Dilema? Agak. Oh, bukan, iya. Karena bapaknya bilang, dia tidak punya kembalian. Dan, saya nggak bisa ikhlas memberikan uang kembalian dari dua puluh ribuan itu, sebelum saya mencari-cari lagi di tas, dan menemukan dua ribuan itu tadi, dan bapaknya bilang, “Yaudah, mbak Diyah, dua ribu saja, ndak pa-pa.” Lalu bapaknya menasihati tentang, hati-hati waktu menyebrang di rel, dan di jalan, karena pasti akan banyak air menggenang.

Ini agak memalukan dan mengganggu sebenernya. Sambil pulang saya semacam doa, semoga si bapak sore ini dapat banyak pelanggan yang memanfaatkan jasa ojekannya. Tapi, pernah nggak sih, kita ditolong sedemikian rupa, tapi kita nggak bisa lebih berbesar hati gitu? Atau emang saya aja, yang nggak baik hati gitu kali yah? Ah, entahlah. Ntar malah jadi polisi moral. Mungkin emang saya aja yang pelit, itu uang dua puluh ribu itu kan uang makan saya.

Tapi, ketika si bapak, yang lupa saya tanyai namanya tersenyum dan bilang hati-hati ke saya, saya kira, si bapak tengah bersyukur. Semoga. Semoga. Saya lupa tanya namanya, padahal dia menanyakan nama saya siapa dan saya tinggal di mana, sejak awal mulai meninggalkan PGS dan berjalan sekitar lima ratusan meter menuju Beteng. Dan, satu lagi, kata dia, kalau langit ketika hujan itu putih merata (agak abu-abu gitu si), itu berarti hujannya akan lama sekali redanya. Dan, dia benar, sampai sekarang hujannya belum juga reda.

Coba tadi saya menunggu hujan reda, saya masih duduk bego di tangga paling atas depan PGS.

No comments:

Post a Comment