Tuesday, February 21, 2012

...brand equity???


Mungkin, yang juga bikin addict, selain narkoba (e, katanya deh yah…) dan rokok atau cokelat atau es krim, atau Oreo, adalah merek-merek toiletris.

Gara-gara ganti shampoo dan berhenti menggunakan semacam serum, rambut saya kacau. Maka saya potong rambut sependek-pendeknya yang saya mau. Agak berlebihan kali yah. Tapi, e, serius deh, selain saya emang udah niat potong rambut, tapi kemarin masih sempat ragu, terus kemarin jadi yakin. Tapi, shampoo itu sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan keindahan rambut. Yakinnya itu ya salah satunya karena, rambut saya sebenernya udah nggak sehat sekali. Selain ada misi khusus tentang memiliki rambut pendek, misi khusus menghindari hal yang saya hindari beberapa waktu ke depan *senyum sinissss.

Percaya nggak percaya, hal tersebut juga terjadi pada puluhan benda dengan merek tertentu yang biasa kita pakai.

Dan, akhirnya saya semakin percaya, kenapa ada yang namanya Brand Equity. Brand Equity atau ekuitas merek, yaitu, semacam kekuatan merek yang terbangun dari kepercayaan konsumen dari manfaat satu merek. Ini deh, kan kadang merek-merek menawarkn manfaat tertentu kan, nah, seberapa jauh si merek mampu memenuhi janjinya itu sampai dirasa manfaatnya sama konsumen. Kurang lebih gitu.

Misal ini, shampoo, shampoo anti ketombe, apa yang pertama kali terlintas di pikiran kita? Kalau saya sih Clear, tapi, bisa jadi, untuk mengatasi masalah ketombe, saya tidak menggunakan merek tersebut. Bisa jadi, saya memakai Head&Shoulders. Nah, ini, bedanya antara  Brand Equity dan Brand Awareness. Kalau spontanitas menyebut Clear sebagai shampoo anti ketombe di ingatan kita itu berarti Brand Awareness. Kalau kepercayaan kita akan merek, kita memakainya dalam waktu yang lama dan kita merasakan manfaatnya, itulah Brand Equity.

Termasuk ketika saya ditanya tentang, merek facial foam? Saya akan menjawab Ponds, karena merek itu yang pertama kali terlintas di ingatan saya. Padahal saya bukan pemakai Ponds, sejak pertama-tama bisa cuci muka, saya pakai Clean and Clear. Pernah pakai coba pakai Ponds teman, dan, serius, di muka saya perih.

Kenapa saya memilih Ponds dan juga Clear? Itu adalah karena berhasilnya dua merek tersebut dalam membangun merek (brand building) di kategori “facial foam” dan “shampoo anti ketombe”. Terus, karena apa dong? Bisa jadi, dan seringkali, adalah karena iklan di media massa. Sadar, nggak sadar, kedua merek tersebut sangat gencar beriklan di televisi dalam sepuluh tahun terakhir ini. Sebenernya nggak cuma dua produk itu sih, kalau mau tahu, kayaknya semua produknya Unilever, hhheee. Kalau mau bikin list, dari shampoo sampai kecap, yang paling rajin beriklan adalah produk pabrikan asal Belanda ini. Dan, tahu dong yah, berapa jumlah pemirsa televisi di antara kita, lebih besar dari pembaca koran dong yah? Dan, kalau mau merhatiin lagi, traffic di televisi penuh banget kan iklannya? Sadar nggak? Sampai semua iklan itu kerasa “biasa” banget. Nah, meskipun biasa, karena efek “berulang” itu, jadi udah masuk gitu aja di ingatan kita. Tanpa sadar, kesadaran merek kita sudah ter-setting dengan sendirinya.

Dan, mungkin akan begitu juga responnya terhadap beberapa merek lain. Tidak hanya merek-merek produk konsumsi.

Sebenarnya ini ada hubungannya dengan masalah best brand. Pernah kan, kita tahu adanya Indonesia Best Brand Award (IBBA)-nya SWA dan Mars Research. Saya tu suka iseng ngumpulin majalahnya, dan ngelihat-ngelihat, merek apa sih yang katanya paling Best Brand di benak konsumen Indonesia. Dan, siang tadi, saya semakin tertarik dengan masalah best brand-best brand-an ini waktu saya sedikit bersinggungan dengan Solo Best Brand Index (SBBI), semacam untuk mengukur kekuatan merek di tingkat lokal Solo dan masalah rambut saya, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya.

Ukuran yang digunakan dalam IBBA, antara lain awareness (popularitas merek) yang diukur dari Top Of Mind (TOM) ad dan TOM brand, kesadaran akan iklan dan merek itu sendiri; satisfaction and loyalty (tingkat kepuasan dan loyalitas); market share (pangsa pasar); dan gain index (potensi pertumbuhan merek di masa mendatang). Saya kira ukuran yang digunakan juga hampir sama dengan ukuran di SBBI.

Jadi, pada dasarnya, beberapa hal yang dapat saya tarik dari singgungan-singgungan ini adalah, tentang:

Pertama, perilaku kita sebagai konsumen, consumer behavior. Saya sadar sekali, kenapa saya ganti shampoo, itu adalah karena terpengaruh iklan. Lalu meninggalkan shampoo yang sudah saya pakai bertahun-tahun. Dan, nyatanya, hasilnya adalah tidak memuaskan. Tapi, anehnya, masih saja, saya yah, suka lama di swalayan untuk memilih produk hanya karena bujukan bonus-bonus. Hhaaa. Nah kan? Padahal saya ngakunya mau belajar iklan dengan serius. Tapi, peristiwa ke swalayan sore tadi agak sedikit ajaib, yaitu saya memilih barang dengan sangat cepat. Dari shampoo sampai kopi instan. Mungkin agak tidak kreatif, karena memakai produk yang sama terus, tapi saya percaya sama merek-merek itu. Kenapa deh? Kecuali tadi saya sadar, sepertinya krim pelembab muka saya sekarang harganya naik hampir setengah harga dari tiga atau empat bulanan lalu. Sial, saya tidak mengecek harga-harga.

Kedua, kekuatan iklan. Ini dia, misteri yang harus segera dipecahkan walaupun jawabannya akan sangat beragam. Besok-besok saya tulis ah…

Ketiga, ini, tau nggak sih, kalau merek dalam riset best brand nasional dan lokal itu bisa jadi berbeda. Sangat berbeda. Percaya nggak percaya, merek mie instan yang menang di SBBI tahun lalu adalah Mie Sedap, padahal, di IBBA yang tingkat nasional (dan di hati saya), Indomie masih berjaya. Atau Teh Gopek yang lebih berjaya di Solo dibanding Sariwangi. Kalau ini, pasti orang Solo sudah membuktikannya kali yah, di mana-mana emang ada teh ini…

Keempat, jangan gitu aja percaya iklan dan jangan gitu aja percaya lembaga survey. Percayai benefit dari produk dan merek tersebut, barulah, mencoba percaya iklan dan percaya lembaga survey.

Kelima, ayo bikin strategi iklan yang semakin bikin orang percaya sama iklan. Nah loh?

Keenam, setelah itu, kita akan lebih efisien waktu di dalam swalayan tanpa merasa tidak nyaman dengan rambut. Percayalah…

Ketujuh, jangan gitu aja percaya sama saya.

No comments:

Post a Comment